NovelToon NovelToon

Ketika Kisah Kita Ternyata Abadi

Pertemuan

Gadhis melangkahkan kaki mungilnya masuk ke halaman sekolah yang terletak disebuah desa di Jawa Timur. Sebuah tempat yang asing baginya karena selama ini dia tinggal di kota.

Rambut ikalnya dikepang ekor kuda oleh mama. Perawakannya yang cukup tinggi membuat jalannya terlihat semampai dengan tas yang menggantung di punggung. Kulitnya putih bersih, menunjukkan kalau sebenarnya dia berasal dari keluarga yang berkecukupan.

“Maafkan papa ya Dhis, karena papa kita jadi harus pulang ke rumah kakek nenek, dan kamu harus sekolah di desa seperti ini.”

Gadhis menggenggam tangan papa erat. Pandangan mata yang sebelumnya menatap lurus ke depan, menjadi berubah memandang ke wajah papa yang berjalan di sisinya.

“Gadhis baik-baik saja pa…papa tidak usah merasa bersalah.”

“Semuanya akan baik-baik saja nak, jangan takut, semua akan kembali seperti dulu lagi.”

Gadhis hanya menganggukkan kepala menanggapi kalimat papa. Sebuah gerakan yang mungkin sama sekali tak terlihat oleh papa, karena papa tak pernah mengalihkan pandangannya dari lurus menatap ke depan.

Genggaman tangan papa semakin erat, ketika langkah mereka semakin mendekati sebuah pintu. Di depan pintu tergantung sebuah papan yang bertuliskan “RUANG KEPALA SEKOLAH”.

Tak lama setelah papa mengetuk pintu, keluarlah seorang lelaki yang sudah terlihat tua dan berkepala botak. Gadhis sudah ingin tertawa kalau tidak ingat dia sedang berada di ruang Kepala Sekolah. Meskipun dalam hati merasa geli, Gadhis harus benar-benar menahan diri.

“Selamat pagi pak, saya ayah dari Gadhis, siswa yang mau pindah untuk bersekolah disini.”

“Oh ini yang namanya Gadhis. Kelas berapa kamu nak?”

“Kelas 5 pak.”

“Di sekolah lama biasanya ranking berapa kamu?”

Apaan sih, baru ketemu juga sudah tanya ranking.

Meskipun dengan menggerutu Gadhis tetap menjawab pertanyaan itu dengan sopan, “biasanya ranking satu pak.”

“Wah…pinter, semoga disini kamu tetap hebat ya, biar bisa membantu menambah pengetahuan teman-temannya, maklum sekolah ini kan didesa,” dengan senyum yang mengembang Bapak Kepala Sekolah memberi nasehat pertamanya.

“Iya, pak,” jawab gadhis sopan.

“Sebentar ya pak, silahkan tunggu sebentar, saya akan mengantarkan Gadhis menemui guru kelasnya.”

“Baik pak, saya akan menunggu disini.”

“Sambil menunggu, silahkan bapak menyelesaikan administrasi ke bu guru yang ada di ruang sebelah ya, nanti saya akan kembali.”

Setelah berbicara dengan papa, bapak kepala Sekolah mengulurkan tangannya hangat, “ayo Dhis, ikut bapak.”

Sambil menganggukan kepala Gadhis menyambut tangan hangat itu untuk digenggamnya. Bagaimanapun Gadhis masih terlalu takut untuk masuk ke lingkungan baru sendirian.

Ketika sampai di depan ruang kelas, genggaman tangan gadhis semakin erat saja. Tangannya mulai sedikit berkeringat, mungkin karena menyadari hal itu Bapak kepala Sekolah menundukkan tubuhnya. Menggenggam tangan Gadhis dengan hangat dan ditepuk-tepuk perlahan.

“Semuanya akan baik-baik saja tidak perlu takut, ya…” senyum yang mengembang membuat hati Gadhis yang semula takut menjadi tenang seketika. Melihat Gadhis yang sudah tenang Pak Wagiman (Nama Bapak kepala Sekolah) kembali berdiri dan mengetuk pintu kelas.

Tok…tok. Untuk beberapa saat pintu itu belum terbuka. Gadhis mendengar seorang Bu Guru menjelaskan tentang sebuah materi pelajaran.

“Kalau sudah mengerti, kalian kerjakan dulu tugasnya, Bu Tasmi ada tamu.”

Tak lama setelah itu terbukalah pintu ruang kelas lima. Dibelakang pintu terlihat berdiri seorang Guru yang berwajah jutek.

“Ah, Pak Wagiman…ada apa nggih pak?”

“Ini murid kelas 5 yang baru pindah dari kota, namanya Gadhis. Saya harap Bu Tasmi dapat membimbing Gadhis dengan baik, biar anaknya betah sekolah disini.”

“Oh nggih pak, Insyaallah saya akan lakukan yang terbaik,” Gadhis melihat Bu Tasmi mengulurkan tangannya menyambut Gadhis.

Dengan senang hati Gadhis menyambut tangan itu, untuk kemudian masuk ke dalam kelas menemui teman-teman barunya.

Aaa…Ternyata orang-orang di desa senang sekali mengulurkan tangan.

Di depan kelas Gadhis berdiri di sisi Bu Tasmi, “Ayo Dhis, perkenalkan diri kamu ke teman-temannya.”

“Baik bu.”

“Selamat pagi teman-teman, nama saya Gadhis Ayu Putri Sasmito. Sebelumnya saya bersekolah di kota. Saya pindah ke sekolah ini karena mengikuti orang tua saya, terimakasih teman-teman. Gadhis harap kita dapat berteman dengan baik ya.”

Tak ada satupun dari teman-temannya yang mengeluarkan suara untuk berkomentar. Semuanya diam memandang Gadhis mulai dari atas ke bawah. Gadhis yang tidak paham hanya bingung dan senyum-senyum di depan kelas.

“Baiklah karena perkenalan siswa sudah selesai, ibu harap kalian bisa menerima teman baru kalian dengan baik. Jangan dinakali dan diganggu ya temannya.”

“Karena bangku kosong hanya ada disebelah Pria, jadi Gadhis akan duduk disebelah Pria mulai hari ini.”

Gadhis berjalan mendekati bangku kosong Yang ditunjukkan Bu Tasmi. Disitu ada seorang anak laki-laki yang hanya sepintas meliriknya kemudian sibuk kembali dengan buku dan tugas yang ada didepannya. Karena tak ingin mengganggu Gadhis melewatkan sapaan pertamanya dengan anak laki-laki yang dipanggil Pria itu. Gadhis meletakkan tasnya dengan tenang kemudian sibuk dengan buku tulis dan pelajaran sama seperti anak yang lain. Tanpa mereka tahu takdir akan membawa keduanya melalui kisah panjang yang tak berkesudahan.

~Rumah Kakek~

Rumah kakek adalah penggambaran sebuah rumah yang menunjukkan derajat dari pemilik rumahnya. Rumahnya luas dengan pagar tembok tinggi di sekelilingnya. Tidak ada pagar di depan rumah. Halaman rumah yang luas ditumbuhi banyak pohon buah, ada mangga, pisang, jeruk nambangan dan beberapa buah lain dengan pokok pohon yang besar. Terlihat sekali kalau mereka berasal dari keluarga berada.

Mama menunggu dengan cemas kembalinya papa dari sekolah untuk mengantarkan Gadhis. Sebagai seorang ibu, ada rasa khawatir yang berlebihan kepada anak semata wayangnya. Memasuki lingkungan baru yang jauh berbeda dari lingkungan hidup sebelumnya, pasti tidaklah mudah bagi Gadhis. Meskipun mama tahu putri kecilnya adalah anak yang pemberani.

Dari kejauhan terlihat papa berjalan perlahan mendekati rumah. Wajah papa menunjukkan beban yang tak ringan. Apalagi pantulan cahaya matahari menyinari wajah papa dan membuat papa mengerutkan dahinya.

“Bagaimana pa?” mama yang sudah tidak sabar berlari mendekati papa yang baru masuk halaman rumah.

“Tidak apa-apa, mama kan tahu bagaimana Gadhis, dia anak yang berani. Papa lihat Gadhis akan baik-baik saja dengan semua ini. Dia akan dengan mudah beradaptasi. Mama tidak usah terlalu khawatir.”

“Bagaimana dengan papa, apa rencana papa selanjutnya?”

“Mama tahu kan, papa tak mungkin akan terus berada disini. Papa tidak bisa apa-apa disini. Papa akan kembali ke kota dan akan memulai bisnis papa mulai dari nol lagi. Ada teman papa yang bersedia membantu.”

“Ingat pa, pengalaman yang kemarin jangan sampai terulang lagi. Usaha catering kita hancur karena papa terlalu percaya pada seseorang. Untung rumah kita tidak ikut terjual. Kalau tidak, habislah semua.”

“Iya, mama benar, pengalaman kemarin akan menjadi pembelajaan buat papa. Orang yang papa percaya malah menghancurkan kepercayaan pelanggan dan menyerobot semua pelanggan untuk berpindah ke perusahaannya. Mana papa tahu kalau dia akan curang seperti itu.”

“Sekarang yang berlalu biarlah berlalu. Mama berdoa semoga perusahaan yang papa rintis lagi ini nanti akan lebih sukses dari sebelumnya. Kasihan anak-anak yang masih setia sama papa. Mereka kan masih berharap tetap bekerja sama papa.”

“Iya, rencana papa, untuk sementara rumah yang kita tempati akan menjadi tempat workshop kita. Karena workshop yang lama terjual untuk menutup semua kerugian.”

“Papa yakin tidak membutuhkan bantuan mama nantinya?”

“Mama tunggu disini saja dulu dengan tenang. Biar papa yang berusaha dan mengurus semuanya.”

Pembicaraan itu terhenti ketika terdengar suara kakek memenggil nama papa dari ruang tengah, “Sas kesini sebentar kamu, bapak mau bicara sebentar. Ajak pula istrimu kesini.”

“Nggih pak,” jawab papa menanggapi panggilan kakek.

“Ayo ma, kita ke ruang tengah, sepertinya ada yang penting yang ingin disampaikan bapak,” tanpa suara, mama mengikuti langkah papa menuju ke ruang tengah untuk menemui kakek.

Nenek sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Jadi bagi kakek, kehadiran Gadhis cucunya dan Marta menantunya adalah sebuah anugerah tersendiri yang sangat dia syukuri.

“Duduk dulu, ada yang ingin bapak tanyakan.”

“Nggih pak,” ayah menjawab sambil menunggu mama Marta duduk, untuk kemudian meletakkan tubuhnya sendiri di sebuah kursi kayu ukir yang ada di ruang itu.

“Bapak langsung saja,” ehmm kakek berdehem sebelum melanjutkan kalimatnya.

“Apapun yang akan kamu lakukan nanti bapak akan tetap mendukungmu Sas. Kamu anak bapak satu-satunya, seperti Gadhis juga cucu bapak satu-satunya. Bapak tidak ingin membuat cucu dan menantu bapak hidup susah. Kalau kamu mau tetap disini mengurusi sawahnya bapak, bapak akan senang sekali. Tetapi kalau kamu mau kembali membuka usahamu seperti dulu, bapak juga akan mendukungmu. Bapak akan membantu berapapun modal yang kamu butuhkan. Itu bukan masalah buat bapak.”

“Maaf pak, bukannya Sas menolak bantuan bapak. Sas akan memulai lagi semuanya dari awal dengan usaha Sas sendiri. Sas titip Marta dan Gadhis sementara untuk tinggal disini dulu. Sas harap bapak tidak keberatan.”

“Baiklah Sas. Tentu saja bapak tidak keberatan Mata dan Gadhis tinggal disini. Bapak malah yang berharap mereka berdua bisa kerasan tinggal di desa. Biasanya kan mereka ke sini hanya untuk berkunjung.”

“Maaf pak, kalau Marta ikut bicara. Marta sangat berterimakasih atas kesediaan bapak menampung kami. Saya juga ingin menyampaikan permintaan maaf saya, kalau nantinya saya dan anak kami merepotkan bapak."

“Kamu itu ngomong apa. Bagaimanapun kamu dan Gadhis adalah keturunanku yang akan mewarisi semua hartaku,”

Semua diawali pada hari itu. Hari dimana Gadhis harus memulai hidup di lingkungan baru yang tak dikenalnya sama sekali.

Teman Baru

Hari ini Gadhis sudah mulai berangkat sendiri. Beberapa hari Gadhis masih meminta papa untuk mengantarnya. Lokasi sekolah yang terletak persis di pinggir jalan raya jalur cepat Jawa Timur-Jawa Tengah masih membuat Gadhis takut untuk berangkat sekolah sendiri. Karena papa akan berangkat ke kota nanti siang, Gandhis memberanikan diri untuk berangkat sendiri ke sekolah.

Kecanggungan dengan teman baru sudah mulai berkurang. Masih ingat pada hari dia memperkenalkan diri, teman-temannya hanya memandang saja dari atas kepala sampai kaki. Bayangkan bagaimana canggungnya Gadhis saat itu.

Tapi ternyata itu hanya karena penampilan Gadhis yang berbeda. Mulai dari ikat rambut yang lucu, jaket yang cantik, kaos kaki putih yang tebal, tas yang bergambar sailor moon sampai sepatu hitam beludru yang tidak dijual didesa.

Semuanya terjawab ketika jam istirahat tiba.

“Kenalkan namaku Sri, kuncir rambutmu lucu sekali Dhis,” kata teman barunya yang bernama Sri sambil mengulurkan tangan untuk berjabatan dengannya.

“Iya aku Gadhis, tahu kan…tadi sudah kenalan dalam kelas. Mmmm…ini kuncir rambutnya beli di kota, mungkin di desa belum ada,” sahut Gadhis tersenyum tanpa bermaksud untuk menyombongkan diri.

“Iya, mbakku kerja dikota, kapan-kapan aku mau minta untuk dibelikan yang seperti itu. Pasti mbakku tahu tempatnya,” kata Wiwik yang punya potongan rambut pendek.

Mau dipakai dimana coba kucir rambutnya?

“Kalau aku ndak pingin punyamu Dhis, bapak ibukku ndak akan mampu membelikan, kasian nanti malah kepikiran, kalau kamu mbah kung mu orang kaya, pasti mampu membelikan,” sahut Tri yang berambut panjang dan dibiarkan tergerai.

Gadhis memandang satu persatu temannya. Mereka ramah dan baik, semuanya akan baik-baik saja, begitu fikir Gadhis. Tidak akan ada masalah, dia akan baik-baik saja di sini, tidak ada yang perlu ditakutkan.

Hari ini sekolah masih sepi. Ketika Gadhis melangkahkan kakinya memasuki halaman sekolah, hanya terlihat Mas Yono sedang membersihkan lingkungan sekolah.

Mas Yono adalah penjaga sekolah sekaligus petugas kebersihan di sekolah itu. Istilahnya Pak Bon, kenapa dipanggil mas, karena usianya masih muda dan belum menikah.

“Mas lagi bersihin apa?”

“Ini Dhis sedang membersihkan kamar mandi, anak-anak kalau nyiram kamar mandi kurang banyak airnya jadi bau pesing.”

“Iya, aku juga sering bau gak enak, makanya kalau kebelet ditahan saja.”

“Kalau lagi kebelet jangan ditahan, bisa jadi penyakit tahu,” entah dari mana datangnya Pria yang datang sambil nyamber kaya petir.

“Tck…kan nggak lama nahannya. Nggak sampai satu hari.”

“Tahan saja terus, hati-hati kalau perut mules karena salah makan, memang bisa ditahan?”

Ih…laki-laki kok judes.

“Sudah Dhis, biarkan saja, itu anak memang begitu, suka judes kalau ngomong. Tapi mending kamu masih diajak ngomong, anak yang lain ndak pernah diajak ngomong sama dia.”

“Masa Mas Yono, makanya nggak kelihatan sering kumpul sama teman-teman.”

Karena merasa sudah ada teman, akhirnya Gadhis memutuskan untuk mengikuti Pria masuk ke dalam kelas,”Mas, Gadhis masuk kelas dulu ya, mau baca-baca catatan.”

“Iya Dhis hati-hati disamber petir,” jawab mas Yono sambil tertawa.

Gadhis hanya tertawa menanggapi ucapan Mas Yono sambil memonyongkan sedikit bibirnya. Buat Gadhis kalau petirnya Pria itu biasa.

Sampai di bangku tempatnya duduk, Gadhis sengaja meletakkan tasnya dengan keras. Karena tak ada tanggapan dari petir boy akhirnya Gadhis mengeluarkan suara.

“Woi, ada orang disini, memang lagi baca apa sih, serius sekali.”

“Bukan urusan kamu,” dengan cepat Pria melipat kertas yang tadi dibacanya.

“Contekan ya, kalau mau ulangan itu belajar jangan menyiapkan contekan.”

Gadhis hanya mendapatkan lirikan mata dari Pria tanpa ada sepatah katapun keluar dari mulutnya.

Ganteng-ganteng pelit senyum…dasar petir boy.

“huh,” dengus gadhis perlahan. Tapi nyatanya terdengar jelas di telinga Pria.

“Apa hah huh hah huh, nggak usah mbatin orang lain, suatu saat butuh sama aku lo, kualat kan jadinya.”

Kelas mulai penuh dengan anak-anak yang mulai berdatangan. Saling sapa, saling canda, suasana kelas yang semula tenang menjadi riuh seketika.

“Dhis sudah siap belum, aku nanti nyontoh ya, kamu kan pinter,” pinta Eko yang duduk tepat di depan Gadhis.

“Biasa...,” toyoran Rani telak mengenai Eko yang duduk di sebelahnya.

Semua berjalan lancar sampai tiba-tiba perut Gadhis terasa melilit. Sakitnya terasa sebelum lonceng istirahat berbunyi.

Haduh kenapa perutku ya...Jangan-jangan omongan Pria kejadian.

Dengan susah payah Gadhis menahan rasa melilit diperutnya. Tangannya mulai mencari-cari minyak kayu putih yang biasa dibawakan mama dalam tas. Setelah beberapa saat mencari, barang yang dicari ternyata tidak ada.

Minyak kayu putihku mana…kok nggak ada. Bagaimana ini, perutku semakin sakit.

Keringat dingin mulai bermunculan didahi dan tubuh Gadhis. Duduknya pun mulai tidak tenang, sedikit-sedikit bergerak kekanan sebentar kemudian bergerak kekiri.

Lumayan sedikit berkurang, untung Pria nggak sadar kalau aku gerak terus dari tadi.

“Kamu kenapa, dari tadi gerak-gerak terus badannya. Kalau kebelet pipis, pipis dulu jangan ditahan.”

“Nggak kok, siapa yang nahan pipis. Aku nggak kebelet kok.”

“Yakin kamu nggak apa-apa, kalau ditahan nanti jadi penyakit.”

“Rewel,” jawab Gadhis sewot.

Semua kembali tenang sampai waktu istirahat selesai. Tiba-tiba gadhis terkulai lemas dengan wajah pucat dan tubuh yang basah karena keringat.

“Bu Tas, sepertinya Gadhis sakit,” teriak Pria dari bangkunya.

Anak itu sama sekali tidak berani menyentuh tubuh Gadhis. Hanya melihat sambil sekali-sekali bertanya, “Dhis kamu tidak apa-apa?”

Bu Tas yang mendengar teriakan Pria langsung mendatangi bangku tempat duduk Gadhis. Gadhis terlihat sangat pucat. Tubuhnya dalam posisi menelungkup di atas meja. Tangannya memegangi perut yang makin lama makin terasa makin terasa melilit.

“Mama…Gadhis sakit,” terdengar suara gadhis sangat lemah ditelinga Pria.

“Sri, cepat ambilkan minyak kayu putih di ruang guru ya, bilang sama Pak Har Gadhis sakit, biar pak Har datang kesini,” Pak Har adalah guru olah raga yang juga bertanggung jawab jika ada anak yang sakit.

“Mama…” rintih Gadhis perlahan.

“Gadhis nak, apa yang kamu rasakan, apa perlu Bu Tas memanggil mama kamu untuk menjemput?”

Tak ada jawaban dari Gadhis, air mata mulai membasahi pipi dan tangan Gadhis. Tangannya mulai meremas semua yang ada di atas meja. Tak terkecuali tangan Pria yang ada di dekatnya yang sedari tadi sudah kena remas tangan Gadhis.

Kamu kenapa, kamu sakit apa, jangan, jangan sakit seperti ibuku. Cukup ibu saja yang mengalami kesakitan yang seperti aku lihat. Kamu akan sehat, kamu akan sembuh. Atau jangan…jangan…

Bu Tas masih bingung melihat keadaan Gadhis, “apa kamu sudah menstruasi nak, mendapat tamu rutin tiap bulan?” tetap tidak ada jawaban dari Gadhis.

Apa itu menstruasi bu…saya tidak mengerti. Mama…perut Gadhis makin sakit.

Pintu ruang kelas tiba-tiba terbuka dengan keras, Pak Har masuk dengan tergopoh-gopoh, “Kenapa muridnya Bu Tas, apa perlu kita bawa ke rumah sakit?”

“Badannya sudah dingin begini bu.”

“Sebelum dibawa ke rumah sakit, sebaiknya orang tuanya di beri tahu terlebih dahulu Pak Har, jangan asal bawa, harus ada ijin orang tua.”

“Iya benar juga, kalau tidak, kita bawa saja ke puskesmas desa, kan dekat bu.”

Tanpa sekitarnya memperhatikan karena sudah bingung dengan pemikiran masing-masing. Pria menundukkan kepalanya sambil membisikkan sesuatu ke telinga Gadhis. Dan ajaibnya meskipun dengan gerakan pelan hampir tak terlihat Gadhis menganggukkan kepalanya.

“Maaf Bu Tas, Pak Har, mungkin sebaiknya mamanya Gadhis dipanggil untuk menjemput.”

“Eko, Mas Yono sudah kamu beri tahu belum untuk menjemput mama gadhis?”

“Sudah bu, mas Yono langsung berangkat naik sepedanya.”

“Ya sudah. Memangnya kenapa Pria, apa kamu tahu sesuatu?”

“Tidak Pak Har, mungkin mama Gadhis lebih tahu. Karena dari tadi gadhis terus memanggil mamanya.”

Dengan cekatan Pria melepaskan tangannya dari genggaman erat Gadhis, “lepaskan dulu tangannya, bukunya mau aku masukkan dulu dalam tas.”

Terdengar suara rem sepeda berdecit di depan kelas. Mama Gadhis tampak tergesa mendatangi Gadhis yang terlihat makin pucat.

“Gadhis kamu kenapa. Nak? Kita pulang ya.”

Tak lama, terdengar suara motor masuk ke halaman sekolah. Kakek Pomo terlihat memakirkan motornya di tempat yang mudah dijangkau. Tidak semua orang memiliki motor, hanya orang-orang tertentu yang punya motor di desa itu.

“Ayo Ta, segera tuntun Gadhis keluar. Kita bawa Gadhis pulang dulu,” perintah kakek tak terbantahkan ke mama.

“Maaf Pak Bu, kalau sudah merepotkan, biar hari ini saya bawa cucu saya pulang dulu.”

“Nggih monggo Pak Pomo, silahkan bawa Gadhis pulang dulu,” Bu Tar menjawab dengan hormat. Siapa yang tidak mengenal kakek. Salah seorang tetua yang disegani dilingkungan itu.

Pak Wagiman, Kepala Sekolah hanya mengikuti dari depan pintu kelas sampai motor kakek.

“Maaf lo Man kalau cucuku merepotkan.”

“Ndak apa-apa Mo, namanya juga anak sakit, wes sana bawa cucumu pulang.”

Semua kembali tenang. Suasana kelas kembali kondusif untuk tempat belajar. Dibangkunya terlihat Pria sedang senyum-senyum sendiri sambil berkata dalam hati…

Kualat kan kamu…diberi tahu jangan suka nahan, masih juga ditahan-tahan.

Aku Akan Menjagamu

Pria berjalan perlahan menikmati panasnya mentari. Sambil menghitung tiap langkah yang dia ambil untuk sampai rumah. Teman-temannya berlarian mendahului sambil bercerita dan bernyanyi riang.

“Pria, ayo…ikut ke rumah Gadhis, menjenguk bagaimana keadaan Gadhis sekarang,”Teriak Eko berlari melewatinya. Tetapi belum jauh anak itu berhenti dan menoleh melihat Pria. Dia melambaikan tangannya sambil berteriak, “ayo…”

Pria hanya menganggukan kepala tanpa menambah kecepatan langkah kaki. Tetap tenang dan satu persatu.

Akhirnya Eko kembali berteriak, “kamu lama…” kemudian dia berlari meninggalkan Pria sendiri untuk mengejar temannya yang lain. Sudah ada Sri, Tri, Wiwik, Eko , dan Rani di barisan depan.

Rumah Gadhis tidak terlalu jauh dari sekolah. Hanya sebentar berjalan kaki mereka akan sampai. Kedatangan anak-anak itu disambut dengan hangat oleh Mama Marta yang sedang duduk diteras rumah.

“Ayo masuk…masuk. Gadhis ada di kamarnya. Masuk saja, biar bulik siapkan minum dulu ya.”

“Iya lik buatkan es teh saja lik, biar mboten susah buatnya,” sahut Eko karena sudah kehausan. Tak urung teman-temannya yang lain melotot sambil mengingatkan betapa tidak sopannya sikap Eko tadi.

“Bagaiman sakitmu Dhis?” tanya Sri mewakili teman-temannya, karena usianya yang paling tua. Gadhis terbaring di tempat tidur sambil sesekali masih meringis seperti menahan sakit.

“Sudah enakan kok teman-teman, kalian tidak usah khawatir.”

“Alkhamdulillah…,” jawab mereka kompak bersamaan.

“Tadi Bu Tas pesan supaya kita mampir melihat kamu,” sahut Wiwik melanjutkan.

“Terimakasih ya teman-teman, kalian sudah mau mampir.”

“Terimakasih lo anak-anak, mau mampir untuk melihat Gadhis,” mama datang sambil membawa es teh dan beberapa camilan khas dari jawa. Ada rengginang, madumangsa, keripik pisang dan beberapa camilan lainnya.

Kahadiran teman-teman sangat menghibur Gadhis. Tetapi bagi Gadhis ada sesuatu yang kurang. Ya…Pria tidak ada disana. Dimana Pria? Mau bertanya Gadhis malu, tidak bertanya penasaran. Akhirnya dia memutuskan untuk diam dan tidak bertanya, daripada nanti dijadikan bahan tertawaan dan godaan teman-temannya.

“Eh…Pria mana ya…tadi sudah aku ajak kemari lo Dhis, tapi sepertinya dia nggak mau,” Gadhis tersenyum senang Eko membuka pembicaraan tentang Pria.

“Kasihan Pria, ibunya sedang menjalani pengobatan lagi Ko, kamu ndak tahu ya?” sambung Tri.

“Ha…beneran? kasihan, berarti dia ditinggal sendiri lagi di rumah sama bapaknya berdua. Pasti budenya mengantarkan Ibunya ke kota lagi untuk berobat,” lanjut Eko.

“Kata makku, ibunya Pria itu sakit perut nggak sembuh-sembuh, katanya disantet orang. Keluar darah terus-terusan,” Tri melanjutkan bercerita sambil menunjukkan wajah ketakutan.

Gadhis yang mendengar semua cerita itu terdiam. Mungkin kertas yang dia baca tadi adalah surat dari ibunya yang sedang berobat di kota. Mungkin karena itu juga, tadi waktu Gadhis meremas tangannya dia diam saja. Padahal sakit perutnya tadi disebabkan dia menahan buang air besar, karena kamar mandi yang bau.

Mama sudah mengomel panjang lebar sejak sampai rumah sampai sebelum teman-temannya datang, agar Gadhis banyak makan sayur, agar dia tidak sembelit. Tapi bagi Gadhis makan sayur adalah siksaan yang paling menyedihkan. Menurut lidahnya, sayur itu terasa pahit dan tidak enak seperti jamu.

Hari-hari berikutnya pertemanan Gadhis dan Pria semakin dekat. Pria lebih sering tertawa setelah peristiwa sakit perut yang dialami Gadhis. Tidak ada yang tahu apa sebabnya, hanya Gadhis dan Pria yang tahu tentang rahasia penyebab sakit perutnya Gadhis.

“Kalau sakit perut lagi bilang, biar tak ambilkan ember buat nampung apapun yang kamu buang,” bisik Pria sambil tersenyum.

“Huh,” biasanya itu jawaban Gadhis sambil memutar kepalanya ke arah lain.

Kenapa harus kepingin BAB di sekolah sih…kenapa juga kamar mandinya bau, terus kenapa lagi si petir boy bisa menyimpulkan kalau aku waktu itu ingin BAB.

Kemudian Gadhis akan berlari tergesa menghindari Pria yang terus menggodanya.

...~~~~...

Hari ini pelajaran olah raga pertama yang dilakukan di luar kelas bagi Gadhis. Di sekolahnya yang lama, jika praktek olah raga siswa-siswa akan digiring menuju aula atau lapangan yang ada di halaman sekolah. Tetapi sekarang dia harus berolah raga di tanah lapang bersama dengan kerbau dan kambing milik penduduk. Tempatnya juga ditumbuhi rumput dan becek karena baru hujan.

Gadhis masih belum bergerak dan tetap berdiri dipinggir lapangan sambil melihat teman-temannya melepas sepatu dan kaus kaki dengan santainya. Mereka seperti tidak peduli dengan kondisi tanah yang becek dan mungkin…mungkin saja ada kotoran kerbau atau kambing di tengah lapangan. Membayangkannya saja Gadhis sudah tidak sanggup, apalagi harus ikut melepas sepatu…tidak akan.

Pria rupanya menyadari hal itu, diam-diam dia mendekati Gadhis sambil berbisik tepat ditelinga, “Mau dibawakan ember buat cuci kaki nanti?” kemudian dengan santai sambil tertawa dia berlalu melewati Gadhis yang berdiri tak bergeming.

“Pria…,” teriak Gadhis tiba-tiba mengagetkan anak laki-laki yang namanya dipanggil.

Tetap seperti biasa dengan gayanya yang sok cool anak itu melihat Gadhis sambil menggoyangkan kepalanya sedikit ke atas, “apa?” katanya hanya menggerakkan bibir tanpa bersuara.

“Tolong…,” kata Gadhis juga tanpa suara hanya menggerakkan bibirnya sambil menjulurkan tangan.

“Nggak mau,” jawab Pria lagi tanpa suara.

Kali ini Gadhis hanya menggerakkan tangannya dan mengakupkan di depan dada sambil memasang wajah memelas agar Pria mau datang ke arahnya.

Hahaha…imutnya, bagaimana bisa aku tolak permintaannya coba.

Akhirnya Pria pun mengalah, dia memutar badan untuk kembali mendatangi Gadhis.

“Apa?” tanyanya ketika sudah dekat.

“Bantu aku jalan, aku takut kena rumput, kena lumpur terus membayangkan kena eek kambing,” Gadhis berbicara sambil memasang tampang jijik.

“Nggak mau ah…jalan saja sendiri.”

“Tolong, hanya pegang tangan aku, biar sepatunya aku bawa sendiri,” wajah Gadhis seperti ingin menangis.

“Lepas dulu sepatunya.”

“Iya, terimakasih ya…,” senyum Gadhis mengembang sempurna. Sebuah senyum yang tidak akan pernah dilupakan oleh anak laki-laki itu sampai kelak mereka dewasa.

Pria mengulurkan tangannya dan disambut dengan wajah ceria oleh Gadhis.

“Pelan-pelan jalannya, aku nggak mau kena eek kambing.”

“Mana kelihatan itu eek, ketutup sama rumput, rumputnya juga basah kan, langsung bersih kaki kamu habis kena eek.”

“Nggak mau kena eek, jijik.”

“Dasar anak kota, manja,” Gadhis memonyongkan sedikit bibirnya ke depan mendengar kalimat Pria.

Dengan terpaksa dan dipaksa akhirnya Gadhis ikut berkumpul dengan teman-temannya. Gadhis tetap menjauhi area tengah lapangan, dia memilih duduk dipinggir yang berdekatan dengan sawah dan berbatas anak sungai kecil yang dibeton. Dia duduk diatas beton yang menurut dia bersih dan jauh dari kata becek.

Pak Har mengumumkan bahwa pelajaran kali ini tentang permainan bola kasti. Siswa satu kelas akan dibagi menjadi beberapa kelompok. Kebetulan kelompok Gadhis dan Pria akan melawan satu sama lain. Kelompok yang memegang bola akan memukul bola keras-keras untuk diambil temanya yang terdekat, kemudian melemparkan bola itu ke kelompok musuh yang harus berlari mengelilingi lapangan.

Sudah beberapa anak bergiliran dari kelompok Gadhis untuk berlari, dan sekarang adalah giliran Gadhis untuk menyelesaikan bagiannya.

Di kelompok musuh, Priya sedang bersiap untuk menangkap bola dan melemparkan bola itu ke tubuh Gadhis agar kelompoknya menang. Memang permainannya sengaja dibuat sederhana oleh Pak Har.

“Siap semua ya,” peluit pak Har menggema di udara. Bola sudah dipukul dan Gadhis sudah mulai berlari. Alih-alih konsentrasi untuk berlari dan mencapai tempat yang ditentukan, Gadhis malah bingung menghindari kotoran kerbau yang ternyata jumlahnya banyak di tengah lapangan dan di beberpa tempat yang berbeda.

“Pria ayo lempar bolanya ke badan Gadhis,” teriak anak-anak yang satu kelompok dengan Pria.

“Pria…” Pria masih diam, dia hanya tersenyum melihat Gadhis yang berlari berkelok-kelok tidak tentu arah.

Ketika gadhis sudah hampir mendekati akhir, tiba-tiba Pria melemparkan bola kasti dengan sekuat tenaga, Gadhis yang sedang konsentrasi dengan larinya, terlonjak kaget dan langsung berhenti yang akhirnya membuatnya terjatuh tepat di atas kotoran kerbau yang sejak awal ingin dia hindari.

Dengan posisi duduk Gadhis tidak menggerakkan tubuhnya. Dia hanya diam, sambil memandang Pria dengan tatapan marah. Yang dilihat hanya mengangkat kedua tangan sambil mengendikkan bahu, “maaf”, katanya lagi tanpa besuara.

Tiba-tiba air mata Gadhis meleleh, dia menangis sambil berdiri dengan dibantu teman-teman yang lain. Gadhis dibawa ke sungai pinggir sawah untuk dibersihkan kakinya dari kotoran yang melekat. Diam-diam Pria memperhatikan anak perempuan itu sambil tersenyum.

Lucu…, seperti menjaga seorang bayi. Ingin melindunginya dengan membuatnya menangis terlebih dahulu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!