Sepulang sekolah seperti permintaan Bu Retno semalam, kini Langit pun berjalan setengah berlari melewati beberapa koridor menuju ke ruangan kepala panti. Rasa penasaran menguasai dirinya sejak semalam. Namun saat ingin bertanya saat itu juga Langit tidak berani mengutarakannya. Terpaksa dia harus menunggu sampai saatnya tiba. Untung saja hari ini Langit pulang lebih awal karena ada rapat guru di sekolah. Dengan tergesa Langit pulang dari sekolah dan kini langkahnya mulai mendekati tempat tujuan.
Tok..tok...tok...bunyi ketukan pintu membuat penghuni di dalamnya tahu kalau ada yang datang.
"Masuk!" ucapnya mempersilahkan. Langit yang mendengarnya, segera membuka pintu di depannya.
"Kok jam segini sudah pulang, Nak?" tanya Bu Retno.
"Iya bu, ada rapat di sekolah. Jadi, pulang cepat!" jawab Langit.
"Sebenarnya hal penting apa yang ingin Ibu sampaikan?" tanya Langit yang langsung saja menanyakan hal itu karena rasa penasarannya yang sudah membumbung.
Hem...Bu Retno menghela napasnya sebelum berucap. Kendatipun ini akan sulit tapi dia harus menjelaskan semuanya.
"Duduk sini, Nak!" pinta Bu Retno menyuruh Langit duduk di sofa bersebelahan dengannya. Tangan keriputnya mengusap punggung Langit. Mencoba memberikan kekuatan pada anak itu saat mendengarkan ceritanya.
"Seminggu yang lalu ada orang yang datang menemui Ibu. Seorang lelaki yang wajahnya mirip dengan mu. Dari sini kamu pasti bisa menebak siapa lelaki itu kan Langit?" tanya Bu Retno berhati-hati dalam memilih kata.
"Maksud Ibu, Ayah ku datang kesini?" tanya Langit yang seolah bisa menebak ucapan Ibu kepala. Bu Retno segera mengangguk yakin.
"Tidak hanya wajah kalian yang mirip tapi dia juga membawa kalung yang sama persis seperti yang kamu pakai Langit. Saat Ibu menemukan mu disini, umur mu sudah 8 tahun, pasti kamu masih ingat wajah Ayah mu bukan?" tanya Bu Retno ingin memastikan. Namun Langit segera menggelengkan kepalanya.
"Kenapa tidak ingat?" Bu Retno mulai penasaran.
"Karena sejak kecil, Langit tidak pernah bertemu sama Ayah, Bu!" jawabnya.
"Selama ini Langit hanya hidup berdua dengan Bunda tanpa tahu siapa Ayah Langit." lanjut Langit. Bu Retno hanya mengangguk.
Keheningan menyelimuti keduanya. Hanya detak jarum jam yang terdengar hingga akhirnya Langit bersuara.
"Lalu untuk apa dia kemari, Bu? Apa ingin menjemput ku pulang bersama nya? Atau hanya ingin memastikan bahwa anaknya masih hidup sampai sekarang?" tanya Langit.
"Kenapa kamu bisa berpikir begitu, Nak? Tentu saja Ayah mu datang kesini untuk menjemput mu pulang!"
"Benarkah? Buktinya sampai sekarang dia tidak datang kesini lagi, Bu?"
"Ayah mu bilang dia akan menjemput mu seminggu lagi sejak kedatangannya. Dan seminggu itu adalah besok pagi. Untuk itu Ibu memanggil mu kemari agar kamu bisa bersiap. Bereskan pakaian mu dan barang - barang mu yang lain yang akan kamu bawa!"
Perkataan Bu Retno bukannya membuat Langit senang namun justru lebih menjurus ke rasa sedih dan bimbang. Sudah 5 tahun dia tinggal di panti ini, rasanya sangat berat untuk meninggalkan tempat ini. Apalagi saat dia harus meninggalkan Jingga. Gadis kecil yang sangat disayanginya. Mampukah Langit melakukan itu. Pergi menjauh dari Jingga. Tidak...Langit tidak bisa melakukan itu. Kepergiannya akan membuat gadis kecilnya bersedih. Dan Langit tidak sanggup membuat Jingga bersedih, membuat gadis cengengnya itu menangis.
"Seandainya Langit memilih tetap tinggal di panti, apakah Ibu mengijinkan? Langit tidak ingin pergi dari sini. Langit senang tinggal disini Bu. Jadi, ijinkan Langit tetap tinggal disini!" Akhirnya itu yang menjadi keputusan Langit. Dia ingin tetap tinggal di panti bersama Jingga nya.
"Jangan gegabah, Nak! Pikirkan dulu baik-baik, Ibu tahu kamu bukannya berat meninggalkan panti ini, tapi kamu berat karena harus berpisah dari Jingga. Benarkan?" Langit pun mengangguk sebagai jawaban.
"Sebenarnya dari awal Ibu juga berat mengatakan semua ini karena melihat kasih sayang mu pada Jingga. Tapi pikirkan tentang masa depan mu, Nak. Kamu akan hidup terjamin bersama keluargamu nanti!"
Haruskah kali ini Langit menjadi orang yang egois. Demi masa depannya dia tega membuat gadis kecilnya bersedih. Semua yang dikatakan Bu Retno memang benar. Langit bisa hidup terjamin bersama keluarganya. Tapi bisakah dia hidup bahagia tinggal bersama Ayah yang belum dikenalnya. Dan bagaimana kehidupannya nanti disana, semua masih menjadi tanda tanya besar di benak Langit.
"Jika nanti Langit pergi, bagaimana dengan Jingga, Bu? Dia pasti sedih?"
"Kamu tenang saja nak. Mungkin awalnya saja sedih tapi seiring berjalannya waktu, Jingga pasti akan terbiasa. Apalagi disini banyak sekali teman yang menyayangi Jingga. Kami semua akan ada untuk menghiburnya. Kamu tidak perlu khawatir!"
Bu Retno dengan sabar memberikan penjelasan pada Langit. Mencoba membujuk Langit untuk ikut pulang bersama Ayahnya besok. Karena baginya tidak ada tempat yang lebih baik selain hidup di tengah-tengah keluarga.
Di sisi lain di balik tembok ruangan itu ada seorang gadis kecil yang menahan tangisnya agar tidak terdengar. Dia membungkam mulutnya erat dengan kedua tangannya. Percakapan dua orang di dalam terdengar jelas olehnya. Bukan maksud ingin menguping pembicaraan orang lain. Namun karena pembicaraan itu juga menyangkut dirinya membuat dia enggan meninggalkan tempat itu.
Tadi saat Jingga bosan terus berada di dalam kamar, dia memutuskan untuk jalan-jalan keluar. Hari ini Jingga memang tidak masuk sekolah karena demamnya semalam. Saat ingin menuju ke taman depan, sepintas dia melihat siluet orang yang dikenalnya. Mungkinkah itu dia tapi ini belum saatnya pulang sekolah. Rasa penasarannya yang tinggi menuntun langkah kaki Jingga mengikuti kemana arah siluet itu pergi. Dan disinilah Jingga sekarang. Di depan ruangan kepala panti. Sedangkan di dalam ada Langit dan Bu Retno yang sedang bercakap. Dari tempatnya sekarang Jingga bisa mendengar dengan jelas perbincangan di dalam sana. Hingga air mata nya tidak bisa dibendung untuk turun dari mata bulatnya.
Segera Jingga beranjak pergi saat ia mendengar Langit yang sedang berpamitan pada Bu Retno. Jingga tidak ingin Langit mengetahui bahwa Jingga mendengar semua percakapannya. Dengan cepat Jingga berhambur menuju kamarnya. Menetralkan perasaannya dan isak tangisnya. Jangan sampai ada yang tahu kalau dia bersedih saat ini terutama di depan Langit. Orang yang selama ini selalu sayang padanya.
*******
Di dalam kamar, setelah mengganti seragamnya, Langit merebahkan tubuhnya. Dia menatap langit- langit kamarnya yang berwarna putih polos. Diambilnya kalung yang selalu dia pakai di lehernya. Kalung dengan liontin huruf L pemberian dari Bundanya sebelum dia ditinggal di panti asuhan ini.
Bunda, apa yang harus Langit lakukan sekarang? Langit bingung Bunda. Bunda bilang akan menjemput Langit tapi kenapa malah orang yang mengaku sebagai Ayah ku yang datang menjemput. Benarkah dia benar-benar Ayah ku , Bunda? Ayah yang selama ini tidak pernah ku lihat dan ku ketahui keberadaannya. Tapi tiba-tiba saja dia datang dan ingin menjemput ku. Apa Bunda yang menyuruhnya untuk menjemput ku? Tapi kenapa tidak Bunda sendiri yang datang menjemput ku. Aku kangen sama Bunda. Apa Bunda baik-baik saja disana? Kamu ada dimana Bunda? Aku selalu berdoa dimanapun Bunda berada, Bunda selalu sehat. Aku juga akan baik-baik saja disini. Jadi, Bunda tidak perlu khawatir. Aku akan jadi anak yang baik dan akan menjadi orang yang sukses suatu saat nanti seperti yang Bunda harapkan. Doakan anak mu ini Bunda...
I♡ U, Bunda...
Tanpa terasa mata itu pun terpejam dan dari sudut mata mengalir bulir bening membasahi pipi Langit. Begitu banyak kerinduan yang tersimpan untuk bundanya. Entah kapan dia bisa bertemu dengan Bundanya lagi. 5 tahun telah berlalu dan Bundanya tidak pernah sekalipun datang menemuinya.
Entah sudah berapa lama Langit tertidur. Rasanya baru sebentar tapi saat dia membuka mata hari sudah sore. Tak biasanya dia tidur siang selama ini. Mungkin karena banyaknya beban pikiran hingga otaknya lelah dan minta diistirahatkan sesaat. Segera dia beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai bebersih dia mendekati ranjangnya dan pandangan matanya tertuju pada sebuah plastik di atas meja dekat ranjang. Itu sandal yang dia beli untuk Jingga kemarin yang belum sempat diberikannya.
Langkah Langit menuju ke arah kamar Jingga. Dia berniat memberikan sandal itu dan memberitahukan akan kepergiannya besok. Akhirnya Langit memutuskan untuk pergi meninggalkan panti dan Jingganya. Dia akan ikut dengan Ayahnya besok. Demi mewujudkan keinginan Bundanya untuk jadi orang sukses, dia harus keluar dari panti dan bersekolah tinggi. Apapun keputusan yang diambil pasti ada konsekuensinya. Langit berjanji kelak saat dirinya sudah sukses, dia akan datang dan menjemput Jingganya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Fitria Dafina
😭😭😭
2021-09-01
2
Watilaras
nice story suka terharu juga klo cerita ttg panti asuhan
2021-07-24
3
Watilaras
next 🥰
2021-07-24
0