Suara tawa menghentikan langkah Langit yang ingin menuju ke kamar Jingga. Ternyata orang yang dicarinya sedang bermain dengan anak panti yang lain di halaman depan.
Hahahaha....suara tawa itu menarik perhatian Langit. Seolah tidak ingin melihat tawa itu sirna . Gadis kecilnya yang dulu selalu digendongnya sekarang sudah tumbuh besar. Ternyata waktu cepat sekali bergulir. Seolah Langit terpaku dalam lamunannya hingga sebuah panggilan membuyarkan lamunannya.
"Kak...ayo, kesini! Kita main sama - sama!" teriak Jingga.
Langit segera mengampiri pemilik suara itu. Namun dia tidak ikut bergabung tapi menarik tangan kecil itu untuk mengikutinya.
"Kak, kita mau kemana? Aku kan lagi asyik bermain sama yang lain." Langit seolah tidak mendengarnya. Dia terus saja melangkah mengabaikan pertanyaan Jingga.
"Ih, Kakak nggak asyik!" gerutunya.
Tanpa dijawab pun akhirnya Jingga tahu kemana dia akan diajak pergi. Karena jalan ini jalan yang biasa mereka lewati saat akan ke danau. Tak berapa lama mereka berdua pun sampai di tepi danau. Seperti biasa Jingga duduk di sebuah bongkahan kayu disusul Langit di sebelahnya.
"Kenapa kita kemari, Kak?"
"Kakak ingin memberikan ini!" jawab Langit sambil menyodorkan tas plastik yang dari tadi dibawanya. Dengan gembiranya Jingga menerimanya. Matanya langsung berbinar saat melihat sandal yang ada di tangannya.
"Kak, ini bagus banget. Pasti mahal? Seharusnya Kakak beliin Jingga sandal jepit aja. Kan sayang uangnya, Kak?"
"Nggak papa, Kakak suka sama sandal itu makanya Kakak pilih yang itu. Pasti cantik saat kamu pakai. Coba kamu pakai!" Jingga pun lantas memakainya. Dia berdiri dan berputar di depan Langit sambil memamerkan sandalnya.
"Sandalnya empuk, Kak. Enak digunakan. Makasih, kak!" ucap Jingga bahagia sembari memeluk tubuh Langit yang masih duduk.
"Iya sama-sama." jawab Langit sambil mengurai pelukan itu.
Melihat wajah bahagia Jingga merupakan sebuah kebahagiaan juga bagi Langit. Tegakah dia menghapus kebahagiaan itu dengan menceritakan soal kepergiannya besok. Tapi tidak ada jalan lain, Langit tetap harus bercerita.
"Jingga!"
"Iya kak."
"Seandainya Kakak pergi meninggalkan panti apa kamu marah sama Kakak?" tanya Langit dengan suara berat.
"Kenapa Jingga harus marah, Kak? Kalau sedih pasti iya, tapi nanti lama kelamaan Jingga juga akan terbiasa yang penting dimanapun Kakak berada, Kakak harus berjanji bahwa Kakak akan selalu bahagia!" jawab Jingga sembari menampilkan senyum manisnya.
Langit benar-benar nggak percaya mendengar jawaban Jingga. Apa yang dia dengar jauh dari pemikirannya. Dia berpikir Jingga akan bersedih dan menangis saat dia bercerita akan pergi namun kenyataannya tidak. Ketakutan Langit kian memudar saat mendengar jawaban Jingga dan melihat senyum manis gadis itu. Langit memegang tangan Jingga yang masih berdiri di depannya. Ditariknya tangan itu agar kembali duduk di sampingnya.
"Besok Ayah Kakak akan datang menjemput Kakak!"
"Artinya besok Kakak akan pergi?" tanya Jingga mencoba sekuat tenaga menahan air matanya.
"Secepat itukah kah?" lanjutnya.
"Iya, Kakak juga baru tahu tadi sepulang sekolah. Awalnya kakak juga terkejut." Langitpun berusaha menekan kesedihannya.
"Tadinya Kakak ingin menolak untuk pergi. Kakak berat ninggalin kamu. Tapi cita-cita Bunda yang ingin melihat Kakak sukses membuat Kakak harus meninggalkan panti ini untuk ikut bersama Ayah Kakak. Maafin Kakak ya Jingga karena harus meninggalkan mu?"
"Kakak nggak perlu minta maaf, Jingga ngerti kok dan Jingga juga senang karena Kakak bisa berkumpul dengan keluarga kakak." Akhirnya air mata itu menetes tanpa permisi. Buru-buru Jingga menghapusnya.
"Jingga akan selalu berdoa demi kebaikkan Kakak. Jangan khawatirkan Jingga, Kak. Jingga akan baik-baik saja dan bahagia disini. Yang penting Kakak harus berjanji akan menjadi orang sukses kelak karena demi itu Kakak tega ninggalin Jingga!"
"Iya, Kakak janji. Dan saat Kakak sukses nanti, Kakak akan kembali untuk menjemput mu!"
"Janji!" ucap Jingga sambil menaikkan jari kelingkingnya.
"Kakak janji! Jadi, kamu juga harus janji nungguin Kakak!" jawab Langit mantap sambil menautkan jari kelingkingnya ke jari kelingking Jingga.
Langit melepaskan kalung yang selama ini menggantung di lehernya. Dipakaikan kalung itu ke leher Jingga. Kalung dengan bandul berinisial huruf L yang sangat cantik. Kalung pemberian Bundanya.
"Kak, inikan kalung mu. Kenapa kamu memberikannya pada ku?"
"Pakai ini! Suatu saat bila kita bertemu dan tak saling mengenal, kalung inilah yang akan menyatukan kita. Jadi, selalu pakai kalung ini dan jangan pernah kamu lepaskan!"
"Iya, Kak. Jingga janji akan selalu memakainya."jawab Jingga sambil memegang bandul di kalung itu yang sudah bertengger manis di lehernya.
*******
Sepulang dari danau, Jingga tidak bisa menyembunyikan lagi kesedihannya. Dia berlari ke kamar mandi untuk menumpahkan air matanya yang sejak tadi ditahannya. Jingga tidak ingin teman sekamarnya tahu saat dia menangis. Dia harus kuat dan tegar di hadapan semua orang termasuk Langit. Jingga tidak ingin Langit melihat dia bersedih dan lantas mengkhawatirkannya. Sudah banyak yang sudah Langit perbuat untuk Jingga. Sejak dulu Langit selalu menjaga dan menyayangi Jingga. Membuat Jingga selalu bahagia saat di dekatnya. Mungkin dengan tidak menjadi beban dan membiarkan Langit berkumpul dengan keluarganya itu sebagai balasan dari Jingga atas kebaikkan Langit selama ini padanya.
Jingga POV
Saat aku merasa bosan karena terus terusan berada di kamar, aku memutuskan untuk keluar mencari udara segar. Namun langkah ku terhenti saat aku melihat siluet orang yang ku kenal sedang berlari lari kecil. Tapi ini belum jam pulang sekolah, mana mungkin dia sudah pulang. Rasa penasaran ku mengajak langkah kaki ini mengikuti kemana siluet itu pergi.
Dia masuk ke ruang kepala panti. Untuk apa dia kesana tidak seperti biasanya. Aku pun juga melangkah mendekat. Pintu yang tidak sepenuhnya tertutup membuat ku bisa dengan jelas mendengar percakapan di dalam. Benar, suara itu benar-benar suara Langit. Ternyata aku tidak salah. Tapi ada urusan apa Langit bertemu Bu Retno. Aku mencoba untuk pergi karena kurasa tidak sopan mendengar percakapan orang lain. Namun semua itu aku urungkan saat nama ku juga disebut disana.
Pergi...siapa yang akan pergi..? Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak terisak saat mendengar semuanya. Ku tutup mulut ku dengan kedua tangan. Rasanya begitu menyesakkan. Namun aku harus segera pergi saat aku mendengar dia berpamitan.
Aku berlari menuju kamar ku. Di kamar masih belum ada teman karena semua masih sekolah. Sekarang aku hanya sendiri dan segera ku luapkan semua kesedihan ku. Air mata ini ku biarkan mengalir bebas dari mata ku. Harus ku tumpahkan sekarang agar air mata ini cepat habis dan setelah itu sudah tidak ada lagi air mata yang keluar. Aku harus terlihat kuat dan bahagia di hadapan Langit saat bertemu dia nanti.
Aku menyayanginya karena itu aku ingin yang terbaik untuknya. Sejak dulu aku selalu berharap mempunyai keluarga. Pasti membahagiakan walau di panti ini pun aku juga bahagia. Dan sekarang saat aku tahu dia akan kembali ke keluarganya, aku tidak bisa egois dan menjadi bebannya hingga dia harus sulit mengambil langkah. Aku ingin Langit ku pergi dengan langkah ringan tanpa harus mengkhawatirkan ku. Dan aku akan berusaha untuk tetap bahagia dan tersenyum saat di depannya nanti walau hati ini ternyata sakit.
Sore ini aku masih belum bertemu dengannya. Aku memutuskan untuk bermain dengan teman-teman yang lain. Tertawa tawa bahagia seolah tanpa beban. Hingga akhirnya aku melihatnya berdiri menatap ku. Ku panggil namanya. Dia lantas berjalan ke arah ku. Menggenggam tangan ku dan menarik ku untuk mengikutinya. Aku sempat bertanya kemana dia akan membawa ku tapi dia diam saja. Danau, ya ini jalan yang biasa kami lalui saat ingin kesana.
Seperti biasa aku duduk di sebongkah kayu disusul dirinya yang duduk di sampingku. Dia memberikan ku sandal seperti janji nya kemarin. Sandalnya sangat bagus pasti mahal harganya. Aku sangat senang dan langsung memeluk dirinya. Hingga akhirnya dia membuka suara yang menyebutkan bahwa dia akan pergi. Walaupun sebelumnya aku sudah mempersiapkan diri untuk kuat namun saat hal ini dibahas entah kenapa aku menjadi rapuh. Sekuat tenaga aku menahan air mata ini agar tidak terjatuh namun tetap saja ada yang menerobos keluar. Segera ku hapus air mata itu agar dia tidak tau.
Hingga dia pun melepas kalung nya dan memberikannya pada ku. Kalung yang sangat berharga untuknya. Dia meminta ku untuk berjanji agar selalu memakainya dan jangan sampai melepaskannya. Akupun menyanggupinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Fitria Dafina
Terharu sama Kasih sayang mereka 😭😭😭
2021-09-01
0
Watilaras
sendal jepit nya bakalan jadi kesan di kemudian hari kaya nya 😁
2021-07-24
0
Fakhriani Nur
awal yg menarik thor
2021-07-14
2