NovelToon NovelToon

LANGIT JINGGA

LANGIT JINGGA

Senja kala itu mentari memancarkan cahaya jingga keemasannya yang begitu memukau bagi netra siapa saja yang menatapnya. Duduk dua orang bocah di sebongkah batang pohon yang tumbang yang memang difungsikan sebagai tempat duduk disitu. Di sebuah danau buatan dekat dengan panti asuhan tempat keduanya bernaung selama ini.

Nama kedua bocah itu adalah LANGIT dan JINGGA. Keduanya sudah akrab sejak kecil. Merasa mempunyai nasib yang tak jauh beda membuat keduanya saling menyayangi. Apalagi dengan beda usia yang terpaut 5 tahun membuat mereka seperti Kakak dan Adik. Langit yang saat ini berusia 13 tahun sedangkan Jingga berusia 8 tahun.

"Kak, lihat langitnya bagus banget warnanya!" tunjuk Jingga ke arah langit di atas sana. Langit ikut melihat ke arah yang ditunjuk Jingga. Dia langsung menganggukkan kepala sebagai jawaban sebelum berkata.

"Kamu tahu tidak? Langit itu seperti Kakak dan warna jingga yang menghiasinya seperti kamu. Karena kamu akan menjadi warna dalam kehidupan Kakak." Jingga hanya menggaruk-garuk kepalanya mendengar ucapan Langit. Sepertinya Jingga belum bisa memahami ucapan Langit. Melihat mimik wajah Jingga yang menggemaskan membuat Langit tertawa sambil mencubit kedua pipi Jingga.

"Kamu lucu, hahaha...!" ucap Langit masih mencubit kedua pipi Jingga dan menggoyangkannya.

"Ah, sakit kak...!" teriak Jingga sambil melepaskan kedua tangan Langit dari pipinya. Kemudian Jingga segera mengusap kedua pipinya yang agak memerah.

"Kakak jahat!" lanjut Jingga masih mengusap kedua pipinya.

"Maaf!" balas Langit.

"Jingga jelek...Jingga cengeng...!" suara dari belakang membuat Langit dan Jingga menoleh ke belakang. Mereka itu adalah teman satu panti juga dengan Langit dan Jingga. Karena sifat Jingga yang cengeng membuat mereka suka sekali menjahili Jingga. Sebenarnya mereka anak - anak yang baik tapi biasalah namanya juga anak kecil jadi suka iseng. Apalagi Jingga yang selalu menanggapi sikap mereka membuat mereka semakin gencar saja menjahili Jingga.

"Kak, lihat mereka! Kenapa sih mereka suka sekali meledek Jingga...?" tunjuk Jingga pada beberapa bocah yang sedang bermain sepeda sambil terus mengejek Jingga.

"Biarkan saja nanti juga bosan sendiri mereka. Nggak usah repot - repot meladeni mereka nanti juga merekanya capek sendiri. Habisnya kamu kalau diledek selalu nanggepin makanya mereka suka apalagi entar ujung-ujungnya nangis, itulah harapan mereka. Besok kalau mereka begitu lagi mending ditinggal pergi aja. Ngerti?"

"Ngerti kak." jawab Jingga.

Sejak tadi Jingga tidak menggubris ejekan mereka seperti biasanya. Hal itu membuat mereka bosan kemudian mengayuh sepeda menjauh dari tempat itu. Jingga yang melihat mereka pergi menjauh langsung tertawa dan bertepuk tangan.

"Kakak benar. Lihat, Kak mereka pergi!"

"Iya, Kakak tahu."

"Ayo kita pulang, udah makin sore sekarang..!" ajak Langit berdiri sambil menggandeng tangan kecil Jingga.

"Tunggu kak, aku ingin main air dulu kesana. Bentar aja...!" pinta Jingga langsung melepas gandengan tangannya dan berlari mendekati danau. Kakinya ia masukkan ke dalam air bergantian.

"Hati-hati disitu licin, Ngga!" teriak Langit dari tempatnya berdiri.

Karena keasyikkan memasukkan kakinya Jingga melupakan kalau tempatnya berpijak licin. Saat dia ingin mengganti kakinya saat itu pula ia terpeleset. Dan salah satu sandalnya terjebur ke dalam danau.

"Aw....!" teriak Jingga membuat Langit segera berlari ke arahnya. Langit segera membantu Jingga berdiri dengan hati-hati.

"Mana yang sakit?" tanya Langit saat dia mendengar suara tangisan yang sudah pecah. Langit sangat takut kalau sampai terjadi apa-apa pada Jingga. Namun tebakannya langsung terbantahkan saat Jingga membuka mulutnya. Dan perkataan Jingga membuat Langit bernapas lega namun tidak dengan Jingga.

"Kak, sandal ku hanyut ...hik..hik..hik...!" ucapan Jingga di tengah-tengah tangisannya. Membuat Langit yang dari tadi mengkhawatirkan keadaan Jingga yang menangis bisa bernapas lega. Karena sebelumnya Langit berpikir kalau Jingga menangis karena kesakitan namun ternyata inilah jawabannya. Dengan sedikit tersenyum Langit menoleh ke arah danau. Ternyata dari tadi sandal itu yang ditangisi Jingga.

Sandal Jingga sudah menjauh. Tidak mungkin dia mengambilnya. Danau itu dalam dan Langit tidak bisa berenang. Tidak ada yang bisa Langit lakukan. Mereka berdua hanya bisa melihat sandal itu bergerak semakin ke tengah. Jingga masih duduk dan menangis di tepi danau. Dan sekarang tugas Langit untuk membujuknya berhenti menangis.

"Sudah jangan nangis lagi. Besok kita beli sandal yang baru."

"Tapi aku suka sandal itu, Kak. Sandal itu hadiah dari Kakak..hik..hik..hik...!" Jingga masih belum terima kehilangan sandalnya.

"Terus mau gimana lagi? lihat sendirikan sandalnya udah hanyut. Ditangisi terus juga nggak bakal kembali. Besok Kakak janji beliin sandal yang lebih bagus dari itu!" Jingga langsung mendongakkan wajahnya yang dari tadi menunduk. Menatap wajah Langit dengan mata berbinar dan senyum yang mengembang. Mata bulatnya yang jernih dengan pupilnya yang berwarna hitam sungguh indah dipandang.

"Kakak janji?" tanya Jingga penuh harap. Langit segera mengangguk.

"Iya kakak janji ." balas Langit.

"Buruan naik biar Kakak gendong di belakang!" perintah Langit yang sudah berjongkok di depan Jingga.

Saat ini mereka menuju jalan pulang ke panti dengan Jingga yang berada di gendongan Langit. Jarak dari danau ke panti tidak begitu jauh karena itu mereka lebih memilih berjalan dari pada naik sepeda. Danau itu merupakan tempat favorit bagi keduanya. Setengah perjalanan telah dilewati. Jingga merasa tidak tega melihat Langit yang dari tadi menggendongnya.

"Kak, turunin Jingga dong. Jingga mau jalan sendiri aja..!" pinta Jingga.

"Udah kamu diem aja, jangan banyak gerak entar jatuh..!"

"Kakak pasti capek. Jingga kan udah besar sekarang, pasti berat. Buruan Kakak turunin Jingga!" Jingga masih ngotot namun Langit tidak mau menurutinya. Dia terus saja melangkahkan kakinya seolah tidak mendengarkan perkataan Jingga.

Akhirnya Jingga lah yang mengalah. Dia menikmati perjalanan pulang dalam gendongan Langit. Keheningan menyelimuti keduanya sebelum akhirnya Jingga membuka mulutnya. Mengudarakan suara cemprengnya itu.

"Kak, seandainya kita punya keluarga pasti akan sangat menyenangkan sekali ya. Kakak tahu tidak, kadang Jingga iri saat melihat teman Jingga diantar jemput oleh orang tuanya di sekolah. Jingga selalu berdoa suatu saat nanti Jingga bisa mempunyai keluarga. Punya Mama dan Papa yang selalu menyayangi Jingga. Tapi mungkinkah itu terjadi, Kak?" Pertanyaan Jingga itu membuat hati Langit terluka. Entah apa yang dia rasakan, dia sendiri tidak tahu. Ada rasa kecewa di dalam hatinya saat membahas keluarga.

"Bukankah kamu sudah memiliki ku yang sangat menyayangi mu. Apa itu masih belum cukup bagi mu?" Langit mencoba memberi pengertian pada Jingga supaya dia tidak terpuruk.

"Maaf, Kak. Bukan maksud ku tidak menganggap mu. Kamu tahu, Kak? Kamu seperti hadiah yang turun dari langit sama seperti nama mu...he..he..he...aku selalu bersyukur pada Tuhan karena telah mengirim mu dalam hidup ku. Aku juga menyayangi mu, Kak." balas Jingga sambil mencium pipi Langit dengan sayang.

Apa aku terlalu serakah, Kak? Aku sadar sudah memiliki kasih sayang mu namun semua itu tetap berbeda. Aku ingin memiliki orang tua dan itu tidak bisa aku dapatkan dari mu, Kak..maaf jika aku menjadi serakah, batin Jingga.

LANGIT JINGGA

Siang ini sepulang sekolah Langit mampir ke pasar untuk membeli sandal yang sudah ia janjikan pada Jingga. Tadi pagi sebelum berangkat sekolah, Langit membuka celengannya dan mengambil beberapa lembar uang yang sekiranya cukup untuk membeli sandal. Keadaan pasar saat siang hari memang tidak terlalu ramai dan Langit menyukainya. Karena dengan begitu dia bisa leluasa memilih tanpa harus berdesakkan. Langit berjalan dari lorong ke lorong untuk mencari sandal yang menurutnya pantas dipakai oleh Jingga. Sampai akhirnya dia menemukan juga sandal yang menurutnya cocok.

Langit segera memanggil pelayan di toko itu. Memintanya untuk mengambilkan stok sandal yang ada di dalam sesuai dengan sandal yang dipegangnya. Dia menyebutkan warna dan ukuran sandalnya pada pelayan toko itu. Karena warna sandal yang dipegangnya berwarna pink sedangkan dia menginginkan warna merah. Untungnya warna pilihannya itu ada. Entah kenapa Langit sangat suka saat Jingga memakai apapun yang berwarna merah. Setelah mendapatkan yang ia inginkan Langit segera menuju kasir untuk membayarnya. Langkah kakinya begitu ringan menuju jalan pulang ke panti. Janjinya untuk membelikan sandal sudah dia penuhi. Dan nanti Langit ingin memberi kejutan pada Jingga. Langit sudah tidak sabar melihat raut kegembiraan di wajah cantik Jingga.

Sesampainya di panti, Langit segera menuju kamarnya. Dia menaruh bungkusan plastik yang berisi sandal di atas ranjangnya. Di kamar Langit dihuni oleh delapan anak termasuk dirinya. Dengan ranjang yang bertingkat, Langit tidur di ranjang bawah. Segera Langit mengambil baju ganti dari lemari dan segera mengganti seragamnya dengan baju itu.

*******

Tok..tok..tok...suara pintu diketuk. Dan pelakunya adalah Langit. Sekarang dia ada di depan pintu kamar Jingga. Beberapa saat pintu terbuka namun bukan Jingga yang membukanya. Langit meninggalkan kamar Jingga dengan lemas karena dia tidak bertemu Jingga. Kata temannya tadi Jingga keluar karena sedang belajar kelompok. Akhirnya dengan langkah lunglai dia kembali ke kamarnya. Membaringkan tubuhnya di atas ranjang kemudian terlelap.

*******

Di depan panti asuhan, Langit menunggu Jingga yang tak kunjung pulang. Dari tadi ia berjalan mondar mandir kesana kemari. Sudah jam 6 tapi Jingga belum juga pulang. Langit sangat khawatir karena langit sudah mulai gelap dan juga mendung. Awan hitam sudah menutupi keindahan langit sejak sore tadi walaupun sampai sekarang belum menitikkan air matanya. Dengan membawa payung Langit mencoba mencari Jingga. Siapa tahu bisa menemukan Jingga di tengah jalan. Dari pada mondar mandir nggak jelas di depan panti. Baru beberapa langkah, rintik hujan pun mulai turun. Dari rintik menjadi deras dengan sesekali diiringi bunyi petir yang menggelegar. Langit mempercepat langkahnya melalui jalur yang biasa mereka lewati. Rasa khawatirnya semakin menjadi karena belum menemukan Jingga. Semoga tidak terjadi apa-apa padanya, pinta Langit dalam hati.

Di emperan toko yang sudah tertutup, ada bocah kecil yang sedang berteduh. Bajunya sudah basah namun karena hujannya yang sangat lebat membuat dia terpaksa berteduh. Entah kapan hujan akan reda sedangkan waktu semakin malam. Terbesit rasa takut dalam diri bocah itu.

Tubuhnya sudah menggigil, bibirnya sudah membiru, dan telapak tangannya pun juga sudah berkeriput. Menandakan bahwa dia benar-benar kedinginan.

"Ayo, pulang!" Suara yang sangat dikenalinya tanpa harus melihat siapa orangnya.

"Kakak, kok ada disini?" tanya Jingga yang agak terkejut melihat Langit yang ada di sampingnya.

"Dari tadi Kakak nyariin kamu. Sudah malam dan juga hujan tapi kamu belum pulang. Kakak khawatir takut kamu kenapa- napa." balas Langit.

"Yuk...!" lanjutnya sambil mengarahkan payung ditengah keduanya. Mereka berdua berjalan pulang membelah derasnya hujan di bawah payung.

"Maaf ya Kak, kalau selalu merepotkan Kakak!" ucap Jingga sambil memandang wajah Langit yang lebih tinggi darinya.

"Sudahlah nggak perlu minta maaf. Kakak suka melakukan ini. Jadi, jangan merasa bersalah!" balas Langit.

"Lagian kenapa belajar kelompok sampai selarut ini pulangnya? Seharusnya kalau sudah tahu mau hujan bisa pulang cepet kan?" tanya Langit.

"Sebenarnya tadi jam 4 sudah kelar belajar kelompoknya, Kak. Tapi waktu mau pulang aku ketemu sama seorang Nenek yang lagi sibuk nyari alamat anaknya. Makanya aku bantuin Nenek itu nyari rumah anaknya!" terang Jingga.

"Trus udah ketemu?"

"Udah, Kak. Setelah memastikan itu memang rumah anaknya, aku langsung pamit biar nggak kehujanan tapi ternyata tetap aja terjebak hujan. Untung Kakak datang. Makasih ya, Kak!" ucap Jingga tulus. Langit hanya tersenyum manis membalasnya.

Malam itu Langit yang hendak menuju kamar mandi, mengurungkan niatnya dan berbalik arah. Tadi dia tidak sengaja melihat Jingga yang dipapah kedua temannya menuju ruang kesehatan. Dan pemandangan itu langsung menarik perhatian Langit. Apa Jingga sakit karena kehujanan tadi? Pertanyaan itu membuat Langit mempercepat langkahnya menuju ke ruang kesehatan. Dan benar saja dugaannya. Jingga sakit dan sekarang dia sudah rebahan di atas ranjang ditemani kedua temannya tadi. Langit segera masuk dan meminta kedua teman Jingga untuk kembali ke kamarnya. Mereka berdua pun menurut dan segera pergi meninggalkan ruangan. Sekarang hanya ada Langit dan Senja. Tak berapa lama muncul Bu Dewi yang bertugas di ruang kesehatan. Beliau segera menghampiri Jingga sambil membawa obat dan air hangat. Bu Dewi memberikan paracetamol untuk menurunkan panas. Tak lupa Bu Dewi juga mengompres Jingga dengan air hangat supaya panasnya segera turun.

"Langit, kamu tidurlah Nak. Sudah malam nanti gantian kamu yang sakit kalau kurang istirahat..!" nasihat Bu Dewi. Namun Langit yang keras kepala sama sekali tidak beranjak dari tempat duduknya.

"Biarkan saya disini Bu, saya ingin menjaga Jingga. Biarkan saya saja yang mengompresnya!" pinta Langit tulus. Melihat ketulusan Langit, Bu Dewi merasa tersentuh. Dan iya menyetujuinya. Segera Bu Dewi memberikan kain kompres itu kepada Langit.

"Ibu ada di ruangan itu!" kata Bu Dewi menunjuk biliknya.

"Nanti kalau kamu capek dan ngantuk, kamu tidur di ranjang sini saja!" lanjutnya.

"Iya, bu." jawab Langit. Sepeninggalan Bu Dewi, dengan telatennya Langit mengompres Jingga. Dilihatnya Jingga yang sudah terlelap. Mungkin obat yang diminumnya tadi menyebabkan ngantuk karena setelah minum obat Jingga langsung terlelap.

Seperti biasa setiap malam Bu kepala panti suka memantau keadaan panti. Bu Retno namanya. Wanita paruh baya yang begitu baik dan penyabar. Dia adalah ibu bagi kami semua disini. Saat melewati ruang kesehatan, Bu Retno menghentikan langkahnya. Dia memasuki ruang itu yang pintunya terbuka separuh karena jika pintu itu terbuka pasti sedang ada yang sakit. Matanya berbinar melihat pemandangan di depannya. Sungguh indah sekali. Dia melihat Langit yang dengan telatennya sedang mengompres Jingga. Langit benar-benar anak yang baik. Melihat itu membuat Bu Retno senang sekaligus merasakan kesedihan.

Bu Retno teringat pada orang yang menemuinya seminggu yang lalu. Orang yang mengaku sebagai orang tua Langit. Bukan mengaku tapi dari semua bukti yang ditunjukkannya, dia memang benar Ayahnya Langit. Dan katanya seminggu kemudian dia akan datang kembali untuk menjemput anaknya. Dan seminggu kemudian yang dimaksud itu adalah lusa. Karena kesibukkannya membuat Bu Retno lupa menyampaikan hal itu pada Langit. Dan saat ini, saat dia bertemu dengan Langit barulah dia mengingat semua. Tapi bagaimana dia harus memulai menyampaikannya. Melihat kedekatan mereka berdua selama ini, mampukah dia memisahkan keduanya. Sanggupkah dia melihat kesedihan di hati kecil mereka.

Namun bagaimanapun Langit berhak tahu dan mau tidak mau dia harus kembali ke keluarganya. Dengan langkah berat Bu Retno mendekati Langit. Dia mengusap puncak kepala Langit dengan lembut.

"Kamu nggak capek dan ngantuk, Nak?" tanya Bu Retno.

"Ini sudah malam, dari tadi Ibu lihat kamu ngompres Jingga, pasti itu melelahkan. Sekarang istirahatlah biar Ibu yang gantiin kamu disini. Besok kamu juga harus sekolah kan? Jadi, istirahatlah sekarang!" perintah Bu Retno yang membuat Langit terpaksa menurut.

Langit berjalan menuju ranjang lainnya tapi masih di ruangan yang sama. Jujur sebenarnya Langit pun sudah mengantuk dan capek sekali. Saat ingin menutup matanya, terdengar Bu Retno memanggil namanya. Mengurungkan niatnya yang ingin segera terlelap. Kini Langit mendudukkan dirinya di atas ranjang.

"Iya bu, ada apa?" tanya Langit setelah dia duduk.

"Ehm, besok sepulang sekolah, kamu temui Ibu di ruangan Ibu. Ada sesuatu yang ingin Ibu sampaikan kepada mu. Dan itu sangat penting Langit." jawab Bu Retno.

"Iya, Bu. Besok sepulang sekolah saya akan langsung menemui Ibu!"

"Besok siang sepulang sekolah jangan sampai lupa ya, Langit! Kamu harus langsung temui Ibu. Sekarang tidurlah!" ingatkan Bu Retno lagi dan Langit pun hanya mengangguk.

LANGIT JINGGA

Sepulang sekolah seperti permintaan Bu Retno semalam, kini Langit pun berjalan setengah berlari melewati beberapa koridor menuju ke ruangan kepala panti. Rasa penasaran menguasai dirinya sejak semalam. Namun saat ingin bertanya saat itu juga Langit tidak berani mengutarakannya. Terpaksa dia harus menunggu sampai saatnya tiba. Untung saja hari ini Langit pulang lebih awal karena ada rapat guru di sekolah. Dengan tergesa Langit pulang dari sekolah dan kini langkahnya mulai mendekati tempat tujuan.

Tok..tok...tok...bunyi ketukan pintu membuat penghuni di dalamnya tahu kalau ada yang datang.

"Masuk!" ucapnya mempersilahkan. Langit yang mendengarnya, segera membuka pintu di depannya.

"Kok jam segini sudah pulang, Nak?" tanya Bu Retno.

"Iya bu, ada rapat di sekolah. Jadi, pulang cepat!" jawab Langit.

"Sebenarnya hal penting apa yang ingin Ibu sampaikan?" tanya Langit yang langsung saja menanyakan hal itu karena rasa penasarannya yang sudah membumbung.

Hem...Bu Retno menghela napasnya sebelum berucap. Kendatipun ini akan sulit tapi dia harus menjelaskan semuanya.

"Duduk sini, Nak!" pinta Bu Retno menyuruh Langit duduk di sofa bersebelahan dengannya. Tangan keriputnya mengusap punggung Langit. Mencoba memberikan kekuatan pada anak itu saat mendengarkan ceritanya.

"Seminggu yang lalu ada orang yang datang menemui Ibu. Seorang lelaki yang wajahnya mirip dengan mu. Dari sini kamu pasti bisa menebak siapa lelaki itu kan Langit?" tanya Bu Retno berhati-hati dalam memilih kata.

"Maksud Ibu, Ayah ku datang kesini?" tanya Langit yang seolah bisa menebak ucapan Ibu kepala. Bu Retno segera mengangguk yakin.

"Tidak hanya wajah kalian yang mirip tapi dia juga membawa kalung yang sama persis seperti yang kamu pakai Langit. Saat Ibu menemukan mu disini, umur mu sudah 8 tahun, pasti kamu masih ingat wajah Ayah mu bukan?" tanya Bu Retno ingin memastikan. Namun Langit segera menggelengkan kepalanya.

"Kenapa tidak ingat?" Bu Retno mulai penasaran.

"Karena sejak kecil, Langit tidak pernah bertemu sama Ayah, Bu!" jawabnya.

"Selama ini Langit hanya hidup berdua dengan Bunda tanpa tahu siapa Ayah Langit." lanjut Langit. Bu Retno hanya mengangguk.

Keheningan menyelimuti keduanya. Hanya detak jarum jam yang terdengar hingga akhirnya Langit bersuara.

"Lalu untuk apa dia kemari, Bu? Apa ingin menjemput ku pulang bersama nya? Atau hanya ingin memastikan bahwa anaknya masih hidup sampai sekarang?" tanya Langit.

"Kenapa kamu bisa berpikir begitu, Nak? Tentu saja Ayah mu datang kesini untuk menjemput mu pulang!"

"Benarkah? Buktinya sampai sekarang dia tidak datang kesini lagi, Bu?"

"Ayah mu bilang dia akan menjemput mu seminggu lagi sejak kedatangannya. Dan seminggu itu adalah besok pagi. Untuk itu Ibu memanggil mu kemari agar kamu bisa bersiap. Bereskan pakaian mu dan barang - barang mu yang lain yang akan kamu bawa!"

Perkataan Bu Retno bukannya membuat Langit senang namun justru lebih menjurus ke rasa sedih dan bimbang. Sudah 5 tahun dia tinggal di panti ini, rasanya sangat berat untuk meninggalkan tempat ini. Apalagi saat dia harus meninggalkan Jingga. Gadis kecil yang sangat disayanginya. Mampukah Langit melakukan itu. Pergi menjauh dari Jingga. Tidak...Langit tidak bisa melakukan itu. Kepergiannya akan membuat gadis kecilnya bersedih. Dan Langit tidak sanggup membuat Jingga bersedih, membuat gadis cengengnya itu menangis.

"Seandainya Langit memilih tetap tinggal di panti, apakah Ibu mengijinkan? Langit tidak ingin pergi dari sini. Langit senang tinggal disini Bu. Jadi, ijinkan Langit tetap tinggal disini!" Akhirnya itu yang menjadi keputusan Langit. Dia ingin tetap tinggal di panti bersama Jingga nya.

"Jangan gegabah, Nak! Pikirkan dulu baik-baik, Ibu tahu kamu bukannya berat meninggalkan panti ini, tapi kamu berat karena harus berpisah dari Jingga. Benarkan?" Langit pun mengangguk sebagai jawaban.

"Sebenarnya dari awal Ibu juga berat mengatakan semua ini karena melihat kasih sayang mu pada Jingga. Tapi pikirkan tentang masa depan mu, Nak. Kamu akan hidup terjamin bersama keluargamu nanti!"

Haruskah kali ini Langit menjadi orang yang egois. Demi masa depannya dia tega membuat gadis kecilnya bersedih. Semua yang dikatakan Bu Retno memang benar. Langit bisa hidup terjamin bersama keluarganya. Tapi bisakah dia hidup bahagia tinggal bersama Ayah yang belum dikenalnya. Dan bagaimana kehidupannya nanti disana, semua masih menjadi tanda tanya besar di benak Langit.

"Jika nanti Langit pergi, bagaimana dengan Jingga, Bu? Dia pasti sedih?"

"Kamu tenang saja nak. Mungkin awalnya saja sedih tapi seiring berjalannya waktu, Jingga pasti akan terbiasa. Apalagi disini banyak sekali teman yang menyayangi Jingga. Kami semua akan ada untuk menghiburnya. Kamu tidak perlu khawatir!"

Bu Retno dengan sabar memberikan penjelasan pada Langit. Mencoba membujuk Langit untuk ikut pulang bersama Ayahnya besok. Karena baginya tidak ada tempat yang lebih baik selain hidup di tengah-tengah keluarga.

Di sisi lain di balik tembok ruangan itu ada seorang gadis kecil yang menahan tangisnya agar tidak terdengar. Dia membungkam mulutnya erat dengan kedua tangannya. Percakapan dua orang di dalam terdengar jelas olehnya. Bukan maksud ingin menguping pembicaraan orang lain. Namun karena pembicaraan itu juga menyangkut dirinya membuat dia enggan meninggalkan tempat itu.

Tadi saat Jingga bosan terus berada di dalam kamar, dia memutuskan untuk jalan-jalan keluar. Hari ini Jingga memang tidak masuk sekolah karena demamnya semalam. Saat ingin menuju ke taman depan, sepintas dia melihat siluet orang yang dikenalnya. Mungkinkah itu dia tapi ini belum saatnya pulang sekolah. Rasa penasarannya yang tinggi menuntun langkah kaki Jingga mengikuti kemana arah siluet itu pergi. Dan disinilah Jingga sekarang. Di depan ruangan kepala panti. Sedangkan di dalam ada Langit dan Bu Retno yang sedang bercakap. Dari tempatnya sekarang Jingga bisa mendengar dengan jelas perbincangan di dalam sana. Hingga air mata nya tidak bisa dibendung untuk turun dari mata bulatnya.

Segera Jingga beranjak pergi saat ia mendengar Langit yang sedang berpamitan pada Bu Retno. Jingga tidak ingin Langit mengetahui bahwa Jingga mendengar semua percakapannya. Dengan cepat Jingga berhambur menuju kamarnya. Menetralkan perasaannya dan isak tangisnya. Jangan sampai ada yang tahu kalau dia bersedih saat ini terutama di depan Langit. Orang yang selama ini selalu sayang padanya.

*******

Di dalam kamar, setelah mengganti seragamnya, Langit merebahkan tubuhnya. Dia menatap langit- langit kamarnya yang berwarna putih polos. Diambilnya kalung yang selalu dia pakai di lehernya. Kalung dengan liontin huruf L pemberian dari Bundanya sebelum dia ditinggal di panti asuhan ini.

Bunda, apa yang harus Langit lakukan sekarang? Langit bingung Bunda. Bunda bilang akan menjemput Langit tapi kenapa malah orang yang mengaku sebagai Ayah ku yang datang menjemput. Benarkah dia benar-benar Ayah ku , Bunda? Ayah yang selama ini tidak pernah ku lihat dan ku ketahui keberadaannya. Tapi tiba-tiba saja dia datang dan ingin menjemput ku. Apa Bunda yang menyuruhnya untuk menjemput ku? Tapi kenapa tidak Bunda sendiri yang datang menjemput ku. Aku kangen sama Bunda. Apa Bunda baik-baik saja disana? Kamu ada dimana Bunda? Aku selalu berdoa dimanapun Bunda berada, Bunda selalu sehat. Aku juga akan baik-baik saja disini. Jadi, Bunda tidak perlu khawatir. Aku akan jadi anak yang baik dan akan menjadi orang yang sukses suatu saat nanti seperti yang Bunda harapkan. Doakan anak mu ini Bunda...

I♡ U, Bunda...

Tanpa terasa mata itu pun terpejam dan dari sudut mata mengalir bulir bening membasahi pipi Langit. Begitu banyak kerinduan yang tersimpan untuk bundanya. Entah kapan dia bisa bertemu dengan Bundanya lagi. 5 tahun telah berlalu dan Bundanya tidak pernah sekalipun datang menemuinya.

Entah sudah berapa lama Langit tertidur. Rasanya baru sebentar tapi saat dia membuka mata hari sudah sore. Tak biasanya dia tidur siang selama ini. Mungkin karena banyaknya beban pikiran hingga otaknya lelah dan minta diistirahatkan sesaat. Segera dia beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai bebersih dia mendekati ranjangnya dan pandangan matanya tertuju pada sebuah plastik di atas meja dekat ranjang. Itu sandal yang dia beli untuk Jingga kemarin yang belum sempat diberikannya.

Langkah Langit menuju ke arah kamar Jingga. Dia berniat memberikan sandal itu dan memberitahukan akan kepergiannya besok. Akhirnya Langit memutuskan untuk pergi meninggalkan panti dan Jingganya. Dia akan ikut dengan Ayahnya besok. Demi mewujudkan keinginan Bundanya untuk jadi orang sukses, dia harus keluar dari panti dan bersekolah tinggi. Apapun keputusan yang diambil pasti ada konsekuensinya. Langit berjanji kelak saat dirinya sudah sukses, dia akan datang dan menjemput Jingganya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!