BIARKAN KAMI BAHAGIA
Jakarta...
Siapa yang tidak tahu Kota metropolitan itu hampir semua penduduk Indonesia mengetahuinya jelas, karena Kota besar itu adalah jantung dari Negara Indonesia. gedung-gedung berdiri Kokoh berlomba menembus tingginya angkasa, keramaian dimana-mana. hampir semua orang ingin menginjakan kaki di sana berharap bisa mencari kesenangan melepas rasa penasaran ketika sanak saudara bergunjing tentang kota itu. megah, mewah, Moderen, semua menjadi satu kata yakni, angan-angan.
Di kota itulah kisah hidup dari seorang gadis muda dimulai...
Hunian bercat Hijau muda terlihat masih sepi dan kelabu. pot-pot berisi tanaman cantik berjejer menghiasi sebagian sudut rumah, jemuran berwarna senada bertengger disudut rumah menambah kesan sederhana. walupun begitu Rumah tersebut nampak bersih dan hangat sepertinya si pemilik senang dengan kebersihan, hanya saja bila dibandingkan dengan hunian disekitarnya Rumah itu kalah jauh bagusnya.
Pukul 04:31 pagi udara dingin seakan mendobrak kenyamanan si wanita yang masih betah menutup mata. ditambah selimut bermotif bunga mengubur tubuhnya.
Sayup-sayup terdengar suara merdu berbunyi lantunan Sholawat sebelum Azab berkumandang. akan tetapi hal itu tidak membuatnya bergegas bangun. sampai terdengar ketukan.
Tok... tok....tok...
"Adel, bangun Nak? sebentar lagi Sholat Subuh."
Suara sang ibu terdengar mendayu dan Serak. mungkin wanita paruh baya itu masih mengantuk.
Mata berat Adel perlahan terbuka merasa terganggu dengan suara ketukan dan teriakan ibunya yang semakin menggema.
"Ya Mah, Adel bangun." Sahutnya setengah sadar sambil menutup mata merasakan kantuk yang terus membujuknya.
"Bangun, Sholat Subuh dulu." Pesan Bu Puji. setelahnya ia pergi untuk menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim.
Adel sendiri masih meringsek tak berdaya di atas ranjang. tiba-tiba saja rasa mual datang.
"Uee.... Uee... Uee..." Buru-buru Adel beranjak bangun dan keluar kamar sambil menutup mulut.
Aku masuk angin?
.
.
Mentari pagi mulai menyingsing. sinarnya begitu menyilaukan melukiskan awan berwarna biru berbentuk asal yang melayang di atas garis Katulistiwa.
Di Bawahnya semua manusia kembali sibuk untuk melanjutkan pekerjaan atau tugas yang sempat tertunda.
Diruang makan Adel termenung dengan wajah datar. matanya kosong tak terarah sendok yang ia genggam terus mengaduk makanan tanpa berniat memakannya, pikirannya melayang layang mencari jawaban atas pertanyaan yang terpatri didalam benaknya.
Bu puji dan sang suami yang juga ada di sana saling tatap melihat tingkah Adel.
"Del?" Suara merdu Sang Ayah terdengar.
Akan tetapi sang Dara seakan enggan beranjak sadar.
Bu Puji berinisiatif menggerakkan sendok dan membenturkannya ke bibir piring..
Tring.... tring....
Sontak Adel terkejut. "Mah, apa-apaan sih?" Protesnya.
"Pagi-pagi melamun? dan kenapa wajah kamu terlihat pucat?" mata Bu Puji memindai wajah cantik Adel.
Pria dengan seragam coklat ikut menatap Adel khawatir. "Kamu sakit, Nak.?"
Gerak cepat Adel meraba wajahnya." Adel merasa tidak enak badan Mah, Pa. oh iya? di warung ada obat masuk angin tidak, Mah.?"
"Ada. kenapa? kamu masuk angin.?" Tanya Bu Puji santai.
Adel mengangguk pelan.
Sang Ayah tersenyum hambar. "Biar Papa ambilkan."
"Makasih, Pa."
"Pasang Ace-nya jangan terlalu dingin Sayang, lihat akibatnya." Ucap Bu Puji sambil melanjutkan sarapannya.
"Ya, Mah."
"Ayo di makan sarapannya. bukanya kamu mau kembali kuliah.? maksud Mama, Ayahnya Kasih kan sudah mau membantu supaya kamu kembali-
"Tidak Mah, Adel sudah tidak ingin meneruskan kuliah! Adel ingin bekerja." Seru Adel yakin.
Bu Puji meletakan alat makan dan menatap Adel lekat. "Kerja?"
"Iya Mah, lebih baik Adel mencari pekerjaan saja. lagipula biaya kuliah semakin mahal-
"Tapi, Tuan Rizal-
"Tidak Mah! Adel tidak mau bergantung dengan keluarga Kasih, apa Mama lupa? Tuan Rizal Papanya Teo, jadi-
Seketika Adel terdiam. dadanya tiba-tiba sesak menyebutkan nama Teo bak air panas yang melukai kulitnya.
Bu Puji mengerti apa yang dipikirkan putri bungsunya Itu. salah jika dirinya harus memaksa Adel menerima semua bantuan dari Tuan Rizal.
"Baiklah Sayang lakukan apa yang kamu anggap benar, Mama dan Papa akan selalu mendukungmu." Seru Bu Puji dengan elusan lembut ditangan Adel. memang secara tidak langsung dirinya merasa lega dengan keputusan Adel. bukan ia tidak mau membantu biaya pendidikan sang putri! akan tetapi akhir-akhir ini keuangan tengah dalam keadaan tidak baik.
Adel tersenyum ceria mendengar jawaban sang ibu tercinta. "Adel sayang, Mama"
"Kalau Papa?" Ucap sang Ayah yang baru datang dengan membawa sebungkus obat pesanan putri tunggalnya itu.
Adel dan Bu Puji menoleh kearah suara. "Adel sayang Papa, juga."
"Papa ga pernah mau kalah." Decit Bu Puji.
Sang Ayah kembali duduk tanpa menjawab ucapan sang istri, kemudian obat itu ia berikan kepada Adel.
"Habiskan sarapannya sayang, nanti baru boleh diminum obatnya."
Adel menerima kemasan obat itu. "Siap, Pa."
Lalu sarapan penuh kehangatan itu kembali dilanjutkan. setelahnya keluarga kecil itu sibuk dengan urusan masing-masing.
Bu Puji membuka warung yang ada di sampingnya rumah, sedangkan sang Suami pergi untuk melakukan tugas sebagai PNS. sedangkan Adel memilih berdiam didalam kamar untuk melanjutkan pergulatan batinnya, tentang buket bunga yang saat ini tersimpan rapi di atas meja kamarnya.
"Siapa yang sudah memberiku bunga? Bukan Teo? lantas, siapa?"
.
.
Dua bulan kemudian
Pesta meriah dan mewah tengah berlangsung di rumah Noah dan Kasih. mengingat kedua pasutri itu baru saja menyambut kelahiran sang putra yang akan menjadi penerus perusahaan miliknya.
Tawa dan perbincangan seakan melebur menjadi satu. Pesta itu benar-benar luar biasa para tamu yang datang berlomba berpenampilan menarik, memperlihatkan status sebagai orang berduit.
Disudut ruangan terdapat sebuah meja bundar dengan empat kursi yang mengelilinginya. duduklah satu wanita muda dengan gaun panjang berwarna merah, wajah cantik berpoleskan Make-up tipis itu terus tersenyum ceria melihat kebahagiaan sang sahabat melupakan orang-orang yang berlalu lalang disekitarnya. sebenarnya gadis itu merasa malu datang ke pasta perayaan itu! tapi akan menjadi pertanyaan kalau dirinya tidak datang dan hal itu akan membuat Kasih bersedih.
"Kamu benar-benar beruntung Kasih, aku senang melihatnya." Serunya seraya mengangkat tangan mengingat Kasih tengah melambaikan tangannya.
Selang beberapa menit. Adel yang tengah asik sendiri dikejutkan oleh seseorang yang langsung duduk disampingnya.
Adel nampak terkejut dan melemparkan senyuman canggung. "Hai."
"Hai. kenapa sendirian saja? apa kamu merasa tidak nyaman?" Tanya orang itu.
Adel menggelengkan kepala. "Tidak, aku hanya ingin sendiri saja." Serunya santai.
Sosok itu mengangguk-anggukan kepala dan kembali diam.
Sesaat keduanya bungkam tanpa tahu harus berbuat apa. mengingat diantara mereka tidak terlalu akrab.
Dari kejauhan dua sosok pria berbeda tempat berusaha mencuri pandangan kearah Adel dan sosok yang menemaninya. akan tetapi hanya sebatas itu mereka tidak berani untuk mendekat, bisa dibilang keduanya pengecut! atau mungkin berusaha menghindar dari tatapan berbahaya para keluarga? entahlah.
Hembusan napas panjang terdengar yang mana membuat Adel melirik sosok yang duduk di sampingnya. "Kenapa?"
"Kenapa apanya? "Sosok itu balik bertanya.
"Suara napas mu terdengar lain?"
Sosok itu tersenyum hambar. "Benarkah?"
Adel menggelengkan kepala. "Entahlah, maaf aku hanya asal bicara."
Kepala berhias mahkota cantik itu mengangguk dengan ekspresi wajah datar.
"Kamu tau Adel." Kalimatnya terhenti, kini matanya menatap Adel intens. "Katakan padaku? apa salah jika aku mencintai Kakak Teo.?"
Senyuman hangat Adel yang sedari tadi menghiasi wajahnya kini menghilang berganti dengan wajah pucat. susunan kata itu benar-benar memporak-porandakan hatinya.
Mencintai Kakak Teo! Mencintai Kakak Teo.
Kalimat Itu terus terngiang. dadanya kembali sesak beruntung tangannya tidak berhias gelas karena kalau sampai benda itu ada. Bisa-bisa akan jatuh dan mengejutkan para tamu undangan.
Ya Alloh. apa yang dikatakan Anandita? apa aku tidak salah dengar?
"Katakan Adel? apa salah jika aku mencintainya." Anandita kembali mengulang kalimat yang sama.
Ragu-ragu Adel membuka bibirnya. akan tetapi tiba-tiba saja penglihatannya menjadi kabur dan tubuhnya seakan mati rasa! seketika Adel terkulai lemas tak berdaya.
Sontak Anandita membulatkan kedua matanya melihat Adel pingsan.
"Adel... Adel...bangun....Adel... Tolong....tolong..." Anandita panik sekaligus khawatir, suaranya menjerit meminta bantuan disaat ia sibuk menahan tubuh Adel.
Para tamu dan sang pemilik acara terkejut dibuatnya, sampai datanglah dua pria tampan berlari menghampiri kedua wanita itu bak kesatria berkuda yang akan menjemput sang putri.
"Adel..." Teo terkejut.
"Adel." Itu suara Gavin.
.
.
Visual para pemain...mohon jangan di hujat kalau Visual ini tidak sesuai dengan harapan kalian..beberapa pemain visualnya saya ganti? alasannya, karena saya merasa visual ini lebih cocok dengan karakter mereka...
.
.
Nama: Adelia putri Alam...
Usia: 23 tahun
.
.
Nama: Gavin Abrisam
Usia: 31 tahun
.
.
Nama: Teo Tantala
Usia: 31 tahun
.
.
Nama: Anandita Aditama
Usia: 24 tahun
.
.
Ini hanya Visual belaka, jadi kalau tidak suka mohon jangan menghujat...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Jaycie Radimond
arrggggggghhhhhh
2022-02-07
0
putek riyanti.
sesuai thor,,haha dimas bex,klo visual org korea,,gk cocok pmain nya muslim,mf ya thor
2022-01-29
0
Noona_Nana
hadir aku maaf telat 🙏🙏🙏
2022-01-10
1