Jakarta...
Siapa yang tidak tahu Kota metropolitan itu hampir semua penduduk Indonesia mengetahuinya jelas, karena Kota besar itu adalah jantung dari Negara Indonesia. gedung-gedung berdiri Kokoh berlomba menembus tingginya angkasa, keramaian dimana-mana. hampir semua orang ingin menginjakan kaki di sana berharap bisa mencari kesenangan melepas rasa penasaran ketika sanak saudara bergunjing tentang kota itu. megah, mewah, Moderen, semua menjadi satu kata yakni, angan-angan.
Di kota itulah kisah hidup dari seorang gadis muda dimulai...
Hunian bercat Hijau muda terlihat masih sepi dan kelabu. pot-pot berisi tanaman cantik berjejer menghiasi sebagian sudut rumah, jemuran berwarna senada bertengger disudut rumah menambah kesan sederhana. walupun begitu Rumah tersebut nampak bersih dan hangat sepertinya si pemilik senang dengan kebersihan, hanya saja bila dibandingkan dengan hunian disekitarnya Rumah itu kalah jauh bagusnya.
Pukul 04:31 pagi udara dingin seakan mendobrak kenyamanan si wanita yang masih betah menutup mata. ditambah selimut bermotif bunga mengubur tubuhnya.
Sayup-sayup terdengar suara merdu berbunyi lantunan Sholawat sebelum Azab berkumandang. akan tetapi hal itu tidak membuatnya bergegas bangun. sampai terdengar ketukan.
Tok... tok....tok...
"Adel, bangun Nak? sebentar lagi Sholat Subuh."
Suara sang ibu terdengar mendayu dan Serak. mungkin wanita paruh baya itu masih mengantuk.
Mata berat Adel perlahan terbuka merasa terganggu dengan suara ketukan dan teriakan ibunya yang semakin menggema.
"Ya Mah, Adel bangun." Sahutnya setengah sadar sambil menutup mata merasakan kantuk yang terus membujuknya.
"Bangun, Sholat Subuh dulu." Pesan Bu Puji. setelahnya ia pergi untuk menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim.
Adel sendiri masih meringsek tak berdaya di atas ranjang. tiba-tiba saja rasa mual datang.
"Uee.... Uee... Uee..." Buru-buru Adel beranjak bangun dan keluar kamar sambil menutup mulut.
Aku masuk angin?
.
.
Mentari pagi mulai menyingsing. sinarnya begitu menyilaukan melukiskan awan berwarna biru berbentuk asal yang melayang di atas garis Katulistiwa.
Di Bawahnya semua manusia kembali sibuk untuk melanjutkan pekerjaan atau tugas yang sempat tertunda.
Diruang makan Adel termenung dengan wajah datar. matanya kosong tak terarah sendok yang ia genggam terus mengaduk makanan tanpa berniat memakannya, pikirannya melayang layang mencari jawaban atas pertanyaan yang terpatri didalam benaknya.
Bu puji dan sang suami yang juga ada di sana saling tatap melihat tingkah Adel.
"Del?" Suara merdu Sang Ayah terdengar.
Akan tetapi sang Dara seakan enggan beranjak sadar.
Bu Puji berinisiatif menggerakkan sendok dan membenturkannya ke bibir piring..
Tring.... tring....
Sontak Adel terkejut. "Mah, apa-apaan sih?" Protesnya.
"Pagi-pagi melamun? dan kenapa wajah kamu terlihat pucat?" mata Bu Puji memindai wajah cantik Adel.
Pria dengan seragam coklat ikut menatap Adel khawatir. "Kamu sakit, Nak.?"
Gerak cepat Adel meraba wajahnya." Adel merasa tidak enak badan Mah, Pa. oh iya? di warung ada obat masuk angin tidak, Mah.?"
"Ada. kenapa? kamu masuk angin.?" Tanya Bu Puji santai.
Adel mengangguk pelan.
Sang Ayah tersenyum hambar. "Biar Papa ambilkan."
"Makasih, Pa."
"Pasang Ace-nya jangan terlalu dingin Sayang, lihat akibatnya." Ucap Bu Puji sambil melanjutkan sarapannya.
"Ya, Mah."
"Ayo di makan sarapannya. bukanya kamu mau kembali kuliah.? maksud Mama, Ayahnya Kasih kan sudah mau membantu supaya kamu kembali-
"Tidak Mah, Adel sudah tidak ingin meneruskan kuliah! Adel ingin bekerja." Seru Adel yakin.
Bu Puji meletakan alat makan dan menatap Adel lekat. "Kerja?"
"Iya Mah, lebih baik Adel mencari pekerjaan saja. lagipula biaya kuliah semakin mahal-
"Tapi, Tuan Rizal-
"Tidak Mah! Adel tidak mau bergantung dengan keluarga Kasih, apa Mama lupa? Tuan Rizal Papanya Teo, jadi-
Seketika Adel terdiam. dadanya tiba-tiba sesak menyebutkan nama Teo bak air panas yang melukai kulitnya.
Bu Puji mengerti apa yang dipikirkan putri bungsunya Itu. salah jika dirinya harus memaksa Adel menerima semua bantuan dari Tuan Rizal.
"Baiklah Sayang lakukan apa yang kamu anggap benar, Mama dan Papa akan selalu mendukungmu." Seru Bu Puji dengan elusan lembut ditangan Adel. memang secara tidak langsung dirinya merasa lega dengan keputusan Adel. bukan ia tidak mau membantu biaya pendidikan sang putri! akan tetapi akhir-akhir ini keuangan tengah dalam keadaan tidak baik.
Adel tersenyum ceria mendengar jawaban sang ibu tercinta. "Adel sayang, Mama"
"Kalau Papa?" Ucap sang Ayah yang baru datang dengan membawa sebungkus obat pesanan putri tunggalnya itu.
Adel dan Bu Puji menoleh kearah suara. "Adel sayang Papa, juga."
"Papa ga pernah mau kalah." Decit Bu Puji.
Sang Ayah kembali duduk tanpa menjawab ucapan sang istri, kemudian obat itu ia berikan kepada Adel.
"Habiskan sarapannya sayang, nanti baru boleh diminum obatnya."
Adel menerima kemasan obat itu. "Siap, Pa."
Lalu sarapan penuh kehangatan itu kembali dilanjutkan. setelahnya keluarga kecil itu sibuk dengan urusan masing-masing.
Bu Puji membuka warung yang ada di sampingnya rumah, sedangkan sang Suami pergi untuk melakukan tugas sebagai PNS. sedangkan Adel memilih berdiam didalam kamar untuk melanjutkan pergulatan batinnya, tentang buket bunga yang saat ini tersimpan rapi di atas meja kamarnya.
"Siapa yang sudah memberiku bunga? Bukan Teo? lantas, siapa?"
.
.
Dua bulan kemudian
Pesta meriah dan mewah tengah berlangsung di rumah Noah dan Kasih. mengingat kedua pasutri itu baru saja menyambut kelahiran sang putra yang akan menjadi penerus perusahaan miliknya.
Tawa dan perbincangan seakan melebur menjadi satu. Pesta itu benar-benar luar biasa para tamu yang datang berlomba berpenampilan menarik, memperlihatkan status sebagai orang berduit.
Disudut ruangan terdapat sebuah meja bundar dengan empat kursi yang mengelilinginya. duduklah satu wanita muda dengan gaun panjang berwarna merah, wajah cantik berpoleskan Make-up tipis itu terus tersenyum ceria melihat kebahagiaan sang sahabat melupakan orang-orang yang berlalu lalang disekitarnya. sebenarnya gadis itu merasa malu datang ke pasta perayaan itu! tapi akan menjadi pertanyaan kalau dirinya tidak datang dan hal itu akan membuat Kasih bersedih.
"Kamu benar-benar beruntung Kasih, aku senang melihatnya." Serunya seraya mengangkat tangan mengingat Kasih tengah melambaikan tangannya.
Selang beberapa menit. Adel yang tengah asik sendiri dikejutkan oleh seseorang yang langsung duduk disampingnya.
Adel nampak terkejut dan melemparkan senyuman canggung. "Hai."
"Hai. kenapa sendirian saja? apa kamu merasa tidak nyaman?" Tanya orang itu.
Adel menggelengkan kepala. "Tidak, aku hanya ingin sendiri saja." Serunya santai.
Sosok itu mengangguk-anggukan kepala dan kembali diam.
Sesaat keduanya bungkam tanpa tahu harus berbuat apa. mengingat diantara mereka tidak terlalu akrab.
Dari kejauhan dua sosok pria berbeda tempat berusaha mencuri pandangan kearah Adel dan sosok yang menemaninya. akan tetapi hanya sebatas itu mereka tidak berani untuk mendekat, bisa dibilang keduanya pengecut! atau mungkin berusaha menghindar dari tatapan berbahaya para keluarga? entahlah.
Hembusan napas panjang terdengar yang mana membuat Adel melirik sosok yang duduk di sampingnya. "Kenapa?"
"Kenapa apanya? "Sosok itu balik bertanya.
"Suara napas mu terdengar lain?"
Sosok itu tersenyum hambar. "Benarkah?"
Adel menggelengkan kepala. "Entahlah, maaf aku hanya asal bicara."
Kepala berhias mahkota cantik itu mengangguk dengan ekspresi wajah datar.
"Kamu tau Adel." Kalimatnya terhenti, kini matanya menatap Adel intens. "Katakan padaku? apa salah jika aku mencintai Kakak Teo.?"
Senyuman hangat Adel yang sedari tadi menghiasi wajahnya kini menghilang berganti dengan wajah pucat. susunan kata itu benar-benar memporak-porandakan hatinya.
Mencintai Kakak Teo! Mencintai Kakak Teo.
Kalimat Itu terus terngiang. dadanya kembali sesak beruntung tangannya tidak berhias gelas karena kalau sampai benda itu ada. Bisa-bisa akan jatuh dan mengejutkan para tamu undangan.
Ya Alloh. apa yang dikatakan Anandita? apa aku tidak salah dengar?
"Katakan Adel? apa salah jika aku mencintainya." Anandita kembali mengulang kalimat yang sama.
Ragu-ragu Adel membuka bibirnya. akan tetapi tiba-tiba saja penglihatannya menjadi kabur dan tubuhnya seakan mati rasa! seketika Adel terkulai lemas tak berdaya.
Sontak Anandita membulatkan kedua matanya melihat Adel pingsan.
"Adel... Adel...bangun....Adel... Tolong....tolong..." Anandita panik sekaligus khawatir, suaranya menjerit meminta bantuan disaat ia sibuk menahan tubuh Adel.
Para tamu dan sang pemilik acara terkejut dibuatnya, sampai datanglah dua pria tampan berlari menghampiri kedua wanita itu bak kesatria berkuda yang akan menjemput sang putri.
"Adel..." Teo terkejut.
"Adel." Itu suara Gavin.
.
.
Visual para pemain...mohon jangan di hujat kalau Visual ini tidak sesuai dengan harapan kalian..beberapa pemain visualnya saya ganti? alasannya, karena saya merasa visual ini lebih cocok dengan karakter mereka...
.
.
Nama: Adelia putri Alam...
Usia: 23 tahun
.
.
Nama: Gavin Abrisam
Usia: 31 tahun
.
.
Nama: Teo Tantala
Usia: 31 tahun
.
.
Nama: Anandita Aditama
Usia: 24 tahun
.
.
Ini hanya Visual belaka, jadi kalau tidak suka mohon jangan menghujat...
Teo dan Gavin saling tatap membawa perasaan bingung. tapi kemudian kedua sahabat itu memilih acuh dan bergegas mengangakat tubuh Adel yang ada di atas pangkuan Anandita.
Anandita bergantian menatap Teo dan Gavin yang seakan berebut ingin membawa tubuh lemah Adel. tanpa sadar matanya berkaca-kaca apalagi melihat perhatian Teo kepada Adel.
"Kita bawa kerumah sakit.!" Usul Gavin.
Teo mengangguk dan keduanya berjalan bersama-sama dengan Adel pastinya meninggalkan Anandita seorang diri.
Dari kejauhan Kakak Hendri menatap sendu sang Cucu. lalu senyuman tipis meningsing seakan memberi kekuatan.
Anandita memilih pergi untuk memenangkan diri. Noah yang juga ada di sana mengerutkan kening melihat tingkah Sang Adik. sedangkan Kasih mengikuti Adel yang sudah berada diluar.
"Ada apa dengannya? kenapa-"
Noah memilih diam dan bergegas keluar mengabaikan rasa penasaran tentang sikap Anandita.
.
.
Kasih menangis panik melihat Adel pingsan. kejadian menegangkan itu benar-benar di luar dugaan! Sang sahabat yang tadi nampak ceria kini terkulai lemas tak berdaya.
"Hiks...hiks....Adel bangun Adel...bangun." Pinta Kasih sambil terisak disaat Adel sudah masuk kedalam mobil.
Nyonya Sekar yang ada disamping Kasih juga ikut panik dan berusaha menenangkan Kasih.
"Sayang. tenanglah, Adel akan baik-baik saja."
"Mama katakan, tidak akan terjadi sesuatu bukan, Mah?" Seru Kasih yang terus mengusap wajah pucat Adel.
"Tidak Sayang, dia akan baik-baik saja. Gavin, Teo. cepat bawa Adel kerumah sakit." Titahnya tidak sabar.
Gavin yang ada di depan kemudi langsung menghidup mesin mobil. sedangkan Teo duduk dibangku belakang seraya merangkul Adel
"Kasih, aku akan pergi." Gavin melirik Kasih seolah memintanya untuk menyingkir.
"Aku akan ikut?" Kasih bersiap-siap masuk kedalam mobil melupakan tubuhnya yang lemah.
Nyonya Sekar langsung menarik tangan Kasih.
"Tidak sayang! biarkan Teo dan Gavin yang pergi. ingatlah, kamu masih lemah dan Ayres!"
Mendengar Nama Sang Putra membuat Kasih tersadar dan memilih menutup pintu. "Kak, pastikan Adel baik-baik saja." Mata Kasih menatap Teo penuh harap.
Teo mengangguk cepat.
Kemudian Mobil melenggang pergi meninggalkan rumah Noah.
"Mah. apa dia akan baik-baik saja?" Seru Kasih yang masih menatap kepergian mobil.
Nyonya Sekar menarik tangan sang putri. "Dia akan baik-baik saja, percayalah."
Noah berlari menghampiri istri dan ibu Mertuanya cukup santai pasalnya pikiranya tebagi.
"Apa mereka sudah pergi.?" Tanya Naoh setengah berteriak.
Kasih dan Nyonya Sekar menoleh kearah suara lalu keduanya mengangguk pelan.
.
.
Pesta masih berlangsung walaupun sesekali para tamu berbisik akan kejadian tadi. diantara mereka begitu penasaran siapa gerangan wanita muda itu? sampai-sampai membuat kedua pria tampan itu khwatir dan langsung membawanya kerumah sakit.
Seorang wanita berjalan berdampingan bersama pria dengan wajah datar. mata keduanya celingukan seperti tengah mencari sesuatu.
"Pah, dimana Gavin.?" Wanita berbaju biru senada dengan suaminya bertanya ketus.
Pria yang dipastikan suaminya hanya mengangkat kedua bahunya sebagai jawaban.
Melihat sikap acuh sang suami membuatnya memutar bola mata malas. lalu wanita yang diyakini ibu dari Gavin tak sengaja melirik kedatangan Noah dan istrinya.
"Noah!"
Noah dan Kasih mengalihkan perhatiannya kearah suara. "Mas, itu bukannya-
"Ya sayang. mereka kedua orang tua, Gavin." Bisik Noah sebagai jawaban atas pertanyaan Kasih.
Kedua orang tua Gavin berjalan angkuh menghampiri Noah dan Kasih yang juga berjalan untuk menyambut kedua pasutri itu.
"Om, Tante." Kasih menyapa keduanya sopan.
Keduannya tersenyum hambar dan memilih menatap Naoh.
"Dimana Gavin, Noah?" Sekarang ayah Gavin yang bertanya.
"Dia pergi bersama Teo untuk membawa-
"Tante?" Kasih memangkas kalimat Noah.
"Ya, Luna.?" Seru Keduanya.
"Yang tadi pingsan itu teman Luna. jadi Luna meminta Mas Teo dan Mas Gavin untuk membawanya kerumah sakit." terang Kasih ragu-ragu mengingat bagaimana ibu dari Gavin itu.
Noah pernah menceritakan tentang keluarga Gavin kepadanya. pria satu anak itu mengatakan kalau keluarga Gavin sangat disiplin dan selalu menjunjung martabat, keluarga kaya itu terkenal dengan cara memilih orang yang akan masuk kedalam keluarga Abrisam. tentunya dengan kriteria yang menurut mereka benar?
Anak itu. tidak biasanya dia mau membuang waktu hanya untuk menolong orang. Batin sang ibu penuh tanya.
.
.
Disaat semua orang yang ada di lantai bawah masih berpesta, Kakek Hendri terlihat menaiki tangga menuju kamar Anandita pasalnya gadis cantik itu tadi tak kunjung turun.
Tanpa mengetuk pintu Kakek Hendri meraih pegangan pintu dan membukanya. "Sayang."
Anandita yang tengah terisak diatas ranjang menoleh kearah suara. "Kakek."
Langkah Kakek Hendri nampak lemas melihat Cucu cantiknya sedang menangis. "Sayang, berhenti menangis."
"Hiks...hiks...Kek, Dita sangat mencintainya Kek, hiks...hiks...Bantu Dita, Kek... Dita mohon...Hiks...hiks..."
Kakek Hendri duduk disamping Anandita lalu tanganya mengusap pipinya yang basah.
"Ternyata. Cucu cantik Kakek sekarang sudah menjadi wanita dewasa, bagaimana bisa Kakek melihat kamu menderita karena Teo, huh.. katakan? apa yang bisa Kakek bantu? bukanya waktu itu Kakek pernah-
"Siapa yang menyukai siapa?"
Anandita dan Kakek Hendri membulatkan kedua mata mendengar suara familiar itu.
"Kakak Noah?"
Didalam mobil itu terasa sunyi. Gavin berusaha pokus menatap jalan yang sesak dengan berbagai jenis kendaraan, semua berkutat bersama waktu yang seakan mencekik meminta untuk bergegas menyelesaikan pekerjaan.
Sesekali Gavin melirik kebelakang lewat pantulan kaca spion yang ada di atas kepalanya. wajah tampanya nampak murung! dan tanpa sadar tanganya mengepal merasakan kesal.
"Apa dia akan baik-baik saja? " Gavin memberanikan diri membuka suaranya untuk menghilangkan ketegangan.
Teo sendiri seakan enggan menjawab pertanyaan Gavin. dirinya terlalu sibuk memandangi wajah pucat Adel yang ada di pangkuanya. "Cepat sedikit, Gavin." Serunya alih-alih menjawab pertanyaan sang sahabat.
Kembali Gavin menatap kaca spion. "Aku bertanya. apa dia akan baik-baik saja?"
"Berhenti membuat aku kesal dan jangan perduli padanya!" Kata Teo setengah berteriak.
"Apa kau bilang-
"Menyetir saja dan lihat jalan." Perintah Teo ketus.
Gavin semakin mengepalkan tangannya marah ucapaan Teo benar-benar membuatnya melupakan dimana posisinya.
Akhirnya Gavin memilih diam dan berkonsentrasi walupun matanya sesekali melirik kebelakang untuk memastikan kalau Adel baik-baik saja.
Bertahanlah, aku akan membawamu. Batin Gavin.
Teo mengelus pipi Adel yang nampak pucat layaknya mayat hidup. entah apa yang terjadi sampai sang Dara pingsan? pertanyaan itu terus berputar meminta penjelasan.
"Bangunlah Adel, jangan buat aku ketakutan." Gumam Teo, elusan tanganya seakan tidak berarti apa-apa.
.
.
Anandita terlihat panik dan ketakutan. seketika tubuhnya bangun dan menatap pergerakan Noah. "Kakek?" Mata Anandita menyempit merasakan takut.
Kakek Hendri berusaha tenang dan membalikan tubuhnya.
"Noah, kenapa-
"Katakan? siapa yang mencintai siapa?" Noah memencingkan kedua matanya kearah Anandita mengabaikan pertanyaan Kakek Hendri.
Tenggorokan Anandita bergetar. pertanyaan itu membuatnya tidak bisa berkutik, waktu itu Kakek Hendri sudah memergokinya membicarakan Teo dan Sekarang Sang Kakak! tapi yang menjadi pertanyaannya adalah, apakah Noah mau menerima kenyataan itu? kenyataan kalau dirinya mencintai Teo sahabat sekaligus Kakak iparnya! entahlah, membayangkan-nya saja sudah membuat Anandita mual.
Anandita mendangah seraya tersenyum hambar mellihat bagaimana Noah menatapnya. "Kak!"
"Katakan Dita? apa yang barusan Kakak dengar itu benar?" Naoh bertanya dengan suara berat.
Anandita masih betah membisu. sejujurnya dirinya merasa kebingungan dan harus mulai dari mana untuk memberi tahu Noah, tentang perasaannya terhadap Teo.
Apa yang harus aku katakan? aku tidak tau harus mulai dari mana? Anandita malah melamun dan bergulat didalam hati.
"Dita! "
Anandita dan Kakek Hendri tersentak mendengar suara nyaring Noah.
"Noah, kecilkan suaramu." Kata Kakek Hendri seraya beranjak berdiri agar bisa sejajar dengan Cucu tampannya itu.
Anandita menunduk merasa takut, air mata kembali bercucuran. sedangkan Kakek Hendri berusaha mencaikan suasana.
"Memang apa yang kamu dengar? katakan? "
Noah hanya menghela napas panjang merasa tidak percaya dengan apa yang tadi didengarnya.
Setelah berbincang dengan kedua orang tua Gavin. Noah dan Kasih memilih naik ke lantai atas untuk menenangkan diri dan juga Baby Ayres mulai bosan, ditambah Kasih ingin memberi tahukan kalau Adel dilarikan kerumah sakit kepada Bu Puji. akan tetapi ketika Noah ingin kembali untuk menemani para tamu, tak sengaja dirinya mendengar suara dari dalam kamar Anandita dan itu menyelitik jiwa penasarannya. diam-diam Noah membuka pintu kamar sang Adik dan pembicaraan intens keduanya terdengar.
Mata Noah bergantian menatap Sang Kakek Dan Anandita. kemudian Noah membungkuk untuk mendekati Anandita membawa perasaan kalut.
"Dengar Dita, Teo bukan pria baik! dan satu lagi, dia mencintai wanita lain percayalah, Kakak tau siapa dia kamu tidak pantas mencintai pria seperti Teo! sama sekali tidak pantas, sekarang berhenti berharap dan buang perasaan tidak berguna itu." Seru Noah dengan tatapan tajam, satu tanganya menarik tangan Anandita tanpa memperdulikan isakan adiknya.
Kakek Hendri langsung menyingkirkan tangan Noah cukup kencang. "Hentikan Noah, Cucuku kesakitan."
"Kakek, beri tau Dia, kalau Teo bukan pria baik! katakan padanya!" ucapnya ketus. Lalu Noah memalingkan wajah dan bergegas pergi membawa perasaan kesal.
.
.
Gavin bergegas memarkirkan mobil setelah melewati penjaga yang bertugas didepan rumah sakit. tanpa membuang waktu Gavin keluar untuk membukakan pintu mobil.
"Berikan dia padaku?" Gavin meraih tubuh Adel secepat kilat. akan tetapi! Teo menghentikan niatnya.
"Jangan menyentuhnya!" Teo menatap tajam tangan Gavin yang siap meraih tubuh sang dara.
Ingin rasanya Gavin menjawab. tapi Gavin memilih pasrah! kembali ia menarik tangannya dan mundur membawa wajah penuh tanya.
Ada apa dengan diriku? kenapa aku perduli. ingat Gavin, Adel adalah wanita yang dicintai Teo, jadi jangan bertingkah seolah dia adalah milikmu.
Gavin mengalah dan membiarkan Teo membawa Adel masuk kedalam ruang UGD.
Dari kejauhan Gavin menatap kepergian Teo. "Ada apa denganku?" Tanyanya pada diri sendiri. merasa bingung dengan sikap yang dirinya perlihatkan. "Kejadian itu tidaklah berarti lagi, ingat itu Gavin."
.
.
"Suster! " Teo berteriak histeris setelah melewati pintu kaca berukuran besar.
Suster yang berjumlah tiga orang meminta Teo untuk membaringkan Adel diatas ranjang perawatan.
"Tolong, dia." Pinta Teo panik sambil menggenggam tangan Adel.
Suster sibuk memeriksa Adel yang masih menutup mata. "Apa yang terjadi, Pak.?" Tanya Suster disaat tangan dan mata memeriksa sebagian tubuh Adel.
Teo dengan tenang menceritakan kejadian dirumah tadi, sampai akhirnya Dokter datang disusul Gavin.
Dokter memeriksa tubuh Adel secara berkala mengecek apa ada luka yang berarti. akan tetapi tidak ada hal yang menghawatirkan.
Teo dan Gavin hanya bisa menjadi penonton saja. tanpa sadar keduanya menatap wajah Adel yang masih nampak pucat.
Kemudian, Kedua pria tampan itu mengerutkan kening ketika Dokter tersenyum penuh arti sambil melirik kearah mereka.
"Tuan. diantara kalian siapa suaminya?" tanya Dokter.
Gavin dan Teo saling tatap mendengar pertanyaan itu.
Dokter menatap Teo. "Anda, suaminya? "
Spontan Teo menggelengkan kepala.
Dokter mengangguk paham. lalu matanya beralih melirik Gavin. "Pasti anda, 'kan Suaminya.?"
Gavin juga memberikan reaksi yang sama. gelengekan kepala menjadi pertanda kalau tebakan Dokter muda itu salah.
Dokter mengerutkan keningnya melihat gelengan kepala dari kedua pria yang ada dihadapanya itu bingung.
"Lantas, dimana suaminya?" Mata Dokter bergantian menatap Teo Dan Gavin seolah meminta jawaban.
"Me-memangnya ada apa, Dokter?" Teo bertanya sambil menatap Gavin yang juga menatapnya bingung.
"Saya tidak bisa memberi tau karena Tuan bukan suaminya. tolong beritahu keluarga dan suami-
"Adel?"
Dokter seketika berhenti berbicara ketika dari arah samping terdengar suara.
Bu Puji dengan tertatih menghampiri ranjang perawatan yang mana ada putrinya disana.
"Adel Sayang, apa yang terjadi?" Tangis Bu Puji pecah sambil memeluk Adel yang masih pingsan.
Teo dan Gavin mundur beberapa langkah untuk memberi ruang kepada wanita paruh baya itu.
"Dokter, apa yang terjadi dengan putri saya?" Bu Puji melirik Dokter lekat. akan tetapi dirinya seakan tidak melihat Teo dan Gavin.
Dokter muda bernama Ilham itu mengelus punggung Bu Puji seraya tersenyum ceria. yang mana menarik perhatian Teo dan Gavin.
"Putri Ibu baik-baik saja. dia hanya kelelahan. dan lagi, tolong jangan membuatnya bekerja terlalu banyak, saya khwatir dengan Kandunganya yang masih sangat muda!" papar Dokter Ilham semangat. "Usia kandungannya sekitar 7minggu. jadi, sangat rawan kalau Putri ibu terlalu lelah. saya sarankan untuk sementara waktu biarkan dia istirahat." Tambah Dokter Ilham.
Sontak saja Bu Puji menjatuhkan tubuhnya. kalimat terakhir itu membuatnya tidak berdaya. "Tidak... itu tidak mungkin, Tidak... hiks...hiks...Adel." Serunya. tangisan tidak bisa lagi ditahan. putri yang amat disayang dan dibaggakan kini tengah hamil tanpa ada ikatan pernikahan! kembali Bu Puji meraung dalam diam menyesali ketidak becusaannya mengawasi sang Putri. "Adel.. hiks...hiks...apa yang kamu lakukan...hiks...hiks...bagaimana dengan Papa, Adel..."
Senyuman Dokter Ilham menghilang berganti dengan wajah penuh tanya. kemudian matanya menatap dua pria yang ada dihadapanya, terlihat kalau wajah keduanya menyiratkan rasa tidak percaya. disini Dokter Ilham mengambil kesimpulan kalau anak yang dikandung si wanita hasil diluar pernikahan.
Tak ada yang bisa dirinya lakukan Dokter Ilham memilih pamit dan pergi untuk menghindar dan merenung. karena perkataanya pasti akan membuat perubahan besar dalam hidup si wanita dan keluarganya. akan tetapi, disini dirinya tidak salah! ingatlah, Dokter Ilham adalah seorang tenaga Medis yang memang harus memberitahukan kondisi Pasien-nya.
Teo mundur beberapa langkah. kakinya seakan lemah tidak kuat menopang bobot tubuhnya, matanya berkedip cepat otaknya melang-lang buana bertamasya untuk membuang kalimat Dokter Ilham tentang sang pujaan hati.
Sekarang apa lagi Tuhan? Adel hamil! dia hamil. Teo berbicara didalam hati sambil meringsek lemas.
Gavin mematung disaat Teo dan Bu Puji terkulai. tubuhnya bak karang dilautan begitu kokoh seakan anginpun enggan menggoyahkan tubuh tingginya. Sesaat pikiranya melayang mengingat kejadian dua bulan yang lalu ketika dirinya menggagahi Sang dara yang masih menutup mata, kepalanya ia miringkan untuk memperjelas ingatkannya seraya menatap Adel lekat.
"Apa dia mengandung anakku? apa janin itu anakku?" Gavin bergumam dengan tatapan kosong.
Tanpa sadar Adel mulai membuka matanya. dan satu tanganya bergerak menghilangkan rasa kaku yang seakan membelenggu.
"Aku dimana?" Ucap Adel penuh perjuangan pasalnya rasa pusing lebih mendominasi.
Mendengar suara lembut itu membuat Bu Puji beranjak bangun dan menghampiri ranjang perawatan, sampai akhirnya tangannya terangkat dan siap mendarat dipipi Adel. "Adelia!"
Gavin yang melihat hal itu bergegas maju dan menghalau niat Bu Puji.
Bu Puji dan Gavin saling tatap. Gavin melihat wajah wanita paruh baya itu dipenuhi amarah.
"Kamu.?" Bu Puji menatap lekat Gavin. "Kamu yang waktu itu?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!