Rodiyah Madu Untukmu
...Sepanjang hidu bersamamu...
...Kesetiaan ku, tulus untukmu...
...Hingga akhir watku ... aku milikmu, milikmu....
...Aku bersyukur kau di sini kasih .......
Sebuah lagu dari Maher Zein membahana dalam gedung ini.
Gedung yang penuh dengan warna-warni kebahagiaan. Bunga-bunga perpaduan antara warna putih dan peach, menghiasi.
Para tamu undangan yang datang ikut bahagia melihat aku dan dia yang sedang bernyanyi bahagia.
Ya, dia adalah suamiku kini. Suami kedua setelah kandasnya pernikahanku yang pertama.
Rangga Aditya Putra. Seorang pengusaha properti di kota Parahiyangan. Laki-laki yang berhasil membuatku kembali percaya pada sebuah hubungan yang bernama pernikahan. Dia yang membuat aku meyakini bahwa, kecewa karena laki-laki, bukan berarti harus membenci semua laki-laki. Bahwa rasa sakit itu selalu ada penawarannya. Bahwa setiap air mata akan berubah jadi tawa. Bahwa Allah itu mengambil sesuatu untuk digantikannya dengan yang lebih baik. Itu pasti!
Suaranya memang sangat bagus. Tentu saja. Dia pernah menjuarai lomba qiroati semasa sekolahnya dulu. Selain kaya, dia juga Soleh. Meski rupa tidak seindah suamiku yang durjana, dulu.
Dia selalu menatapku dan tersenyum saat bait
Sepanjang hidup, bersamamu ... kesetiaan ku tulus untukmu hingga akhir waktu ... aku milikmu, milikmu.
Dan itu membuat riuh suasana pesat yang sedang di gelar. Mereka ikut baper melihatnya.
Aku hanya tersenyum malu-malu dari balik niqob yang aku kenakan kini. Mataku tiba-tiba terasa panas. Aku bahagia, sedih, haru dan ... entahlah.
Aku bahkan tidak pernah membayangkan akan sebahagia ini setelah pedihnya menjalani biduk rumah tangga yang selalu penuh dengan air mata.
*****
"Saya gak akan ngasih mahar banyak. Toh, anak perempuannya sudah bukan perawan lagi."
Begitulah ucap calon mertuaku—Bu Sari, yang saat itu datang ke rumah untuk melamar dan membicarakan pernikahku dengan anaknya—Diman.
Mendengar ucapan Bu Sari, ibuku langsung mengelus dada dengan penuh tekanan. Aku tahu, beliau sedang menguatkan diri. Meski begitu, terlihat gurat kesedihan yang teramat dalam diwajahnya.
Aku berdoa dalam hati agar darah tingginya tidak kambuh saat atau setelah ini.
"Pernikahannya akan dilakukan biasa aja. Saya gak akan bawa orang banyak-banyak. Hanya sodara aja. Gak penting juga kan acaranya?"
"Bu! sudah." Diman sedikit meninggikan suaranya. "Dia gak perawan karena aku juga. Aku yang salah."
Ya! pernikahan ini terjadi setelah aku dan diman ketahuan telah tidur bersama saat aku berkunjung ke rumahnya waktu itu.
Saat itu, aku untuk pertama kalinya main ke rumah pacarku—Diman. Aku di bawa bertemu dengan orang tuanya. Diman membawaku ke toko—tempat Ibu dan bapaknya bekerja. Setelah ngobrol banyak, Diman membawaku ke rumahnya yang terletak cukup jauh dari toko.
Suasana saat itu sangat sepi. Terlebih posisinya memang ada di perkampungan, dimana orang-orang kebanyakan adalah petani dan jam seperti ini mereka sedang ada di sawah.
Bisikan setan itu memang sangat indah. Membuaikan meski akhirnya mencelakakan.
Kami kepergok sedang tidak memaki pakaian dan berada di atas ranjang. Meski belum melakukan hal yang lebih jauh, tapi pemandangan itu akan membuat siapapun yang melihatnya berpikiran jauh. Pun saat Kakak pertama Diman—Tarno, melihat kami berdua.
Kak Tarno menyeret Diman ke ruang keluarga dan menghajarnya habis-habisan. Sementara aku segera memakai pakaian dengan tubuh yang gemetar.
Tetangga yang kebetulan lewat, masuk ke dalam rumah untuk mengecek. Begitu melihat apa yang sedang terjadi, orang itu berlari keluar.
Tidak lama kemudian orang tua Diman datang. Ayahnya melerai adik kakak yang sedang bertengkar.
Suasana menjadi semakin tidak terkendali. Belum lagi ibunya Diman yang menangis histeris melihat Diman yang sudah mengeluarkan darah. Teriakan Tarno dan Bapak sama-sama keras.
"Anji*** kamu! berani zinah di rumah ini."
"Berhenti! stop. Lepaskan, Tarno!"
Sementara Diman, dia hanya diam menerima pukulan sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Yang lebih membuat semuanya berantakan adalah kondisi Diman saat itu—telanjang.
Perkelahian yang lebih tepatnya penganiyaan karena Diman tidak melawan, berhasil dilerai setelah ada dua orang bapak-bapak yang datang dan menarik Tarno dari tubuh Diman.
Ibu Dari segera menghampiri Diman yang sudah terkapar. Menutup tubuh bagian bawah Diman dengan kerudung yang dia kenakan.
Bu Sari menangis sesenggukan seraya mengelap darah yang keluar dari hidung anak ketiganya itu.
Beberapa saat kemudian, setelah semuanya tenang. Kami semua berkumpul. Tarno—anak pertama, Imam—anak kedua dan Widya—anak bungsu Bu Sari.
Saat itu Diman masih terlihat kesakitan. Hidungnya di tutup dengan daun sirih yang di linting. Wajahnya lebam. Bibirnya sedikit sobek.
Untuk beberpa saat kami semua diam. Hingga Bu Sari membuka pembicaraan.
"Kalian harus menikah secepatnya."
Aku kaget.
"Sebelum terjadi hal memalukan terjadi," imbuhnya.
"Tapi, Bu ...."
"Jangan membantah, Diman!"
"Dia masih sekolah. Gimana ...."
"Resiko! suruh siapa jadi wanita kok murahan banget. Ck! baru sekali diajak ke rumah sudah mau menyerahkan kehormatannya. Memalukan!"
"Kami belum melakukan apa-apa, Bu."
"Apa perlu aku menjelaskan semua yang aku lihat?" Tarno berteriak. Dia hampir kembali berdiri jika saja tidak dihalangi ayahnya.
"Anter dia pulang. Besok kita ke rumahnya untuk melamar. Tidak usah ada pertunangan segala. Langsung nikah. Kita cari penanggalan, lalu langsung menikah."
"Saya belum siap, Bu."
Mendengar apa yang keluar dari mulutku, Bu Sari terlihat marah. Namun, dia menyunggingkan sebuah senyuman sinis di bibirnya.
"Murahan! tolol juga ternyata. Saya tidak perduli, kalian harus menikah secepatnya."
Kepalaku terasa sakit saat itu. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada ibuku mendengar semua ini. Dia punya penyakit darah tinggi. Aku sangat takut. Takut sekali.
Dari rumah Diman menuju rumahku, membutuhkan waktu satu jam memakai kendaraan roda dua. Sepanjang perjalan, kami hanya diam tidak saling bicara. Tangan Diman menggenggam erat jemari ini. Dia berusaha menguatkan dan meyakinkan aku, mungkin.
"Apapun yang akan terjadi, aku akan bertanggungjawab untuk itu," ucapnya saat kami turun dari motor. Kemudian dia membantuku melepaskan helm. Merapikan rambutku sambil tersenyum. "Ayo, kita bicarakan dengan orang tua kamu."
Aku takut dan juga merasa bangga pada Diman. Dia mau bertanggungjawab atas apa yang terjadi. Paling tidak, dia tidak lari meninggalkanku sendiri.
Aku mengusap wajahnya perlahan. Dia merintih.
"Sakit, ya?" tanyaku khawatir.
"Akan lebih sakit lagi di kamunya jika kita benar-benar melakukan yang tadi sampai selesai," godanya.
"Ihhh. Sempet-sempetnya bahas itu."
"He he he. Sudah, ayo kita temui orang tua kamu. Agar kita bisa melanjutkan yang tadi secepatnya."
"Apaan sih!?" aku memukul lengan Diman. Dia terkekeh.
Candaan itu berhenti saat sosok wanita yang tua karena kelelahan, keluar. Wanita yang sok kuat meski ternyata rapuh itu tersenyum pada kami. Wanita yang masih kepala tiga tapi sudah terlihat tua dan beruban itu memang sangat baik pada Diman.
Menurutnya, Diman adalah laki-laki yang sopan dan baik. Sedih rasanya jika ingat ucapan Ibu—dulu dengan apa yang baru saja terjadi hari ini.
'Aku minta maaf, Ibu.'
🌺🌺🌺🌺🌺
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Rudi Rudi
kok akunjafinketawa ya baca ceritanya🤭🤭🤭🤭✌✌✌, tpi 👍👍👍
2021-10-10
2
[💝¹³_ALi💫¹⁶JaFar²⁰*💝
🤗🤗🤗🤗🤗🥰💖
2021-08-24
2