#01 (Awal bencana terjadi)

Kau tahu, menjadi anak sulung dari orang tua tiri itu sangatlah tidak nyaman. Tidak hanya itu, rasa sakit lahir dan batin kerap mendera.

Ayah meninggalkan aku dengan seorang wanita yang dia nikahi saat aku berusia tujuh tahun. Selain ibu tiri, aku juga memiliki dua adik tiri. Satu laki-laki dan satunya perempuan.

Hidupku memang tidak senahas ratapan anak tiri. Kedua adikku sangat baik. Mereka menganggap aku benar-benar Kakak mereka. Meski kami tidak lahir dari rahim dan Ayah yang sama.

Rina dan Reno. Ya, mereka kembar. Usia mereka baru satu tahun saat orang tua kami menikah.

Setelah Ayah meninggal, aku yang sudah beranjak dewasa dan telah lulus kuliah, harus menjadi tulang punggung keluarga. Menggantikan Ibu mencari nafkah untuk membiayai adikku sekolah.

"Ibu ini udah tua. Habis tenaga ibu untuk menyekolahkan kamu. Sekarang giliran kamu yang kerja buat biayai adik kamu sekolah."

Selalu itu yang Ibu katakan. Padahal biaya sekolahku selama ini memakai uang tabungan yang Ayah persiapkan. Saat Ayah masih hidup, keluargaku memang termasuk golongan berada. Kami memiliki rumah, mobil dan juga perusahaan furniture. Perusahaan itu kini dikendalikan sepenuhnya oleh Ibu sambungku.

Jika dipikir-pikir, uang dari penjualan furniture tidak akan kurang untuk membiayai hidup kami semua. Hanya saja ... Entahlah.

"Kamu udah gajian belum?" tanya Ibu saat kami sedang berkumpul di ruang keluarga.

"Masih dua hari lagi, Bu."

"Rina minta uang SPP. Nanti kamu siapkan."

"Bu, maaf sebelumnya. Memangnya uang dari penjualan furnitur tidak cukup untuk membiayai sekolah ade-ade? Aku lihat penjualannya cukup banyak belakangan ini."

"Tau apa kamu tentang penjualan? udah! kalau udah gajian langsung kasih Rina uangnya. Ibu lelah mau tidur."

Ibu pergi begitu saja. Tanpa menjawab pertanyaanku. Masih dengan pertanyaan yang sama bertahun-tahun ini.

Toko furnitur itu milik Ayah dan ibuku. Bukankah seharusnya menjadi milikku dan bukan milik Ibu tiriku.

"Kak, kenapa?" Reno datang menghampiri.

"Habis latihan lagi, Ren?"

"Iya. Pekan depan akan ada pertandingan basket. Pertandingan bergengsi, loh, Kak. Hadiahnya bea siswa."

"Wah! lumayan, tuh. Kamu harus menang kalau begitu. Biar dapat beasiswa dan kuliah gratis."

"Iya, Kak. Aku juga ingin dapat beasiswa itu. Aku gak mau merepotkan Kakak masalah biaya sekolah." Reno menunduk lesu.

"Kakak tidak repot dan tidak cape. Asalkan kalian belajar dengan sungguh-sungguh. Jangan kecewakan Kakak, ya!"

"Iya, Kak." Aku mengelus kepala Reno. Dia masih menunduk. Kurasa dia mendengar percakapan antara aku dan Ibu. Reno dan Rina memang tidak tahu kalau kami bukan sodara kandung. Semoga mereka tahu di saat yang tepat, agar hubungan kami tidak berubah. Aku takut mereka akan menjauh saat mengetahui yang sebenernya.

"Ren, adik kamu kemana? sudah malam begini belum datang juga." tanyaku saat Reno kembali setelah mandi dan makan.

"Gak tau, Kak. Coba aku telpon dulu."

Reno mencoba menelpon Rina. Entah sudah yang ke berapa kalinya dia mencoba menghubungi adik bungsu kami. Hasilnya sama. Tidak ada jawaban.

"Vangke, nih, anak. Telpon gue kagak dijawab sama sekali. Ibu tau mah baru nyaho!"

"Udahlah ... kamu jangan marah-marah gitu. Ini bukan untuk yang pertama kalinya dia pulang malam, kan?"

"Iya, Kak. Aku tahu. Heran aja, gitu. Dia tuh ngapain coba di luaran sampe malem gini?"

"Iya. Kakak juga tahu. Mau gimana lagi? tiap kita interogasi Rina, Ibu malah akan balik marahi kita."

"Tapi, Kak. Kemarin aku denger Ibu marah besar sama Rina. Tau, deh, kenapa. Rina sampe nangis-nangis."

"Kamu itu. Nguping orang ngobrol itu gak baik, loh."

"Gak sengaja, Kak. Eh, tapi keterusan."

Kami pun tertawa bersama. Tidak lama setelah itu, aku dan Reno terdiam lalu bersamaan menoleh ke arah pintu. Ada suara mobil berhenti di depan rumah.

"Siapa malam-malam gini datang ke rumah?" tanyaku pada diri sendiri. Aku bangkit disusul Reno.

Sebuah mobil Fortuner hitam berhenti di depan rumah. Seorang laki-laki turun lalu memutar dan membukakan pintu yang satunya. Seorang wanita yang aku kenal terlihat dari balik pintu. Dia yang wajahnya tidak jauh beda dari laki-laki yang ada di sampingku saat ini.

Reflek aku menutup mulut yang ternganga. Rina turun dengan keadaan yang kacau. Wajahnya ....

"Elu kenapa?" teriak Reno yang segera berlari menghampiri adiknya. Semakin dekat bisa aku lihat keadaan dia dengan jelas. Ada beberapa lebam di wajahnya, dari sudut bibirnya terlihat darah yang sudah mulai mengering. Pahanya yang terbuka terlihat memerah. Jalannya pun pincang.

"Rina ...." rintihku. Segera aku memeluk dan membantunya berjalan masuk ke rumah. Tidak aku perdulikan Reno yang sedang marah-marah pada laki-laki yang membawa Rina.

Keributan itu membuat Ibu keluar dari kamar. Matanya masih belum sempurna terbuka dan berteriak. "Apa, sih, ribut-ribut?"

Mata Ibu baru terbuka sepenuhnya saat melihat kondisi Rina yang tengah duduk di sofa. Ibu berlari dengan wajahnya yang tampak cemas.

"Ka-kamu kenapa, Rin? Ada apa ini? kenapa wajah ... ada apa sebenarnya?" Ibu histeris. Pandangan Ibu teralihkan pada suara yang semakin terdengar ribu di luar sana. Sepertinya para tetangga mulai berdatangan.

"Dek, kamu kenapa? ada apa sebenarnya?"

Rina hanya diam.

"Tidak usah cerita apa-apa jika memang belum siap. Lebih baik kamu bersihkan diri kamu dan ganti baju. Udah makan? Kakak siapin makan buat kamu, ya?"

Rina menggeleng pelan.

"Ya sudah, kita ke kamar saja. Kamu mandi lalu tidur. Besok kita bicarakan setelah kamu tenang."

Kali ini Rina mengangguk. Aku kembali membantu dia berdiri dan berjalan. Namun, baru beberapa langkah kaki ini terhenti oleh suara Ibu.

"Rina! mau kemana kamu?" Ibu menghampiri lalu menarik tangan Rina dengan kasar. "Jadi begini? apa ini balasan kamu pada ibu? sejak kecil kamu ibi hidupi dengan perjuangan yang tidak mudah, lalu ini balasan kamu buat ibu? dasar anak kurang ajar!"

Plak!

Sebuah tamparan mendarat di wajah Rina yang sudah kesakitan sebelumnya.

"Ibu, tunggu! ada apa ini? Rina terluka, Bu. Kenapa malah ditampar lagi?" tanyaku sambil merengkuh tubuh Rina.

"Jangan ikut campur! ini urusan ibu sama dia. Anak sialan ini harus ibu beri pelajaran." Ibu kembali menarik tangan Rina. Tangan Ibu kembali bersiap menampar Rina lagi tapi segera aku tangkis.

"Cukup, Bu. Bukan begini caranya menyelesaikan masalah. Kita bicaralah baik-baik. Lihat kondisi Rina juga, Bu."

"Biarin aja, Kak. Biarin aja Ibu mukul aku sampai aku mati. Aku pantes, kok, dapet itu semua."

"Ya! kamu memang pantas mati. Sini ... kita lebih baik mati bersama sekalian. Ayo!"

"Cukup!" aku berteriak. "Aku memang tidak tau masalahnya apa, tapi tidak seperti ini juga. Kita duduk dan bicarakan ini baik-baik."

"Kak ... dia diperkosa. Eum ... lebih tepatnya, sih, melakukan itu ...." Reno gagap.

Aku memandang Ibu, tapi Ibu membuang muka. Terlihat jelas wajahnya bermuram durja.

"Rina, ada apa, Dek? ayo, jelaskan sama kakak."

Rina ambruk. Dia menangis sejadinya dan aku hanya terdiam dengan keadaan yang sama sekali tidak aku pahami.

Terpopuler

Comments

Rudi Rudi

Rudi Rudi

baca bab 1 paham, tpi baca bab 2 masih loading🤔🤔🤔

2021-10-10

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!