Membiasakan Diri

Hanya pernah satu kali berpacaran dan itu tidak berlangsung lama karena aku ditinggal nikah. Sekarang? malah aku langsung tinggal bersama laki-laki yang langsung berstatus suami.

"Sepertinya kita tidak bisa langsung menempati rumah ini. Perlengkapan rumah sudah lengkap, tapi saya lupa kamar ini belum terisi apa-apa."

Ya, kamar yang dia sebut dengan kamar kita itu, kosong. Tidak ada apa-apa di sana. Hanya ruangan dengan cat berwarna cokelat dan krem.

Dia menatapku. Aku yang tidak tahu apa-apa hanya bisa diam.

"Kita tidak bisa ke rumah Ibu, dan saya juga tidak memiliki tempat tinggal lain. Emm, mungkin kita harus ke hotel dan menginap beberapa malam di sana."

Sontak aku terhenyak. Mendengar kata hotel nya saja, pikiranku sudah traveling kemana-mana.

"Kita ke rumah Ibu saja. Bilang padanya kalau saya ini pembantu atau suster baru yang akan merawat Ibu. Gimana?"

"Ide buruk."

Tidak ada ide lain yang bisa aku berikan padanya. Apa lagi? tidak ada. Aku hanya harus mengikuti apa saja yang dia katakan.

"Kamu tidak membawa apa-apa dari rumah, sebelum ke hotel, kita beli beberapa pakaian untukmu. Ayo. Saya sudah lelah."

"Tapi, Mas ...."

"Ada apa lagi?"

"Mas ke hotel saja atau ke rumah Ibu. Saya tidur bareng Mba Tuti dan Mba Adah saja."

"Ngaco!"

Dia berlalu. Mendengar apa yang dia katakan sebagai jawaban dari usulanku, sepertinya kaki ini harus segera mengikutinya.

Butuh sekitar tiga puluh menit perjalanan untuk sampai ke hotel tempat kami menginap sebenarnya, tetapi kami mampir dulu untuk membeli beberapa pakaian. Hotel yang cukup bagus. Tidak terlalu mewah tapi lumayan. Toh, kami hanya menginap sampai furniture yang dipesan Glen, tiba. Entah berapa hari.

Kamar kami berada di lantai tiga. Hotel ini terdiri dari tujuh lantai. Di lantai paling atas adalah kolam renang dan tempat untuk berolahraga. Untuk luasnya entah seluas apa. Yang pasti sangat luas karena halaman depannya luas sekali. Belum halaman belakang yang terdapat lima kolam renang dan juga Playground.

Begitu masuk kamar, yang aku lihat adalah sebuah pentry kecil yang menyatu dengan sofa untuk bersantai sekaligus menonton televisi. Ada sebuah pintu lagi yang ternyata adalah kamar tidur.

Jendela kamar itu view-nya menuju kolam renang di bawah. Dan sebelah kirinya ada sebuah pintu yang menuju kamar mandi.

"Kalau kamu tidak ingin kita tidur bersama, saya akan tidur di sofa luar dan kamu tidur di sini."

"Jangan!" Spontan aku menolak.

"Kenapa? apa kamu ingin kita tidur bersama seperti pengantin baru?"

"Bu-bukan itu maksudnya. Lebih baik saya yang tidur di sofa. Toh, saya sudah biasa tidur dengan tidak nyaman. Beda halnya dengan Mas."

"Baiklah. Deal!"

Aku melebarkan mata. Rasanya tidak biasa. Aneh tapi nyata. Biasanya laki-laki akan menolak dan ... Ah! ini kehidupan nyata, bukan drama Korea.

Rasanya sungguh luar biasa. Selama ini aku hanya sibuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan adik-adikku. Tidak pernah sedikit pun membahagiakan diri sendiri. Saat teman kantor sibuk melakukan skin care, aku masih pusing dengan bayaran ujian Rina dan Reno. Teman-teman pergi setiap akhir pekan hanya sekedar santai di salon dan ngopi di kafe, aku sibuk mengurus rumah.

Lihatlah. Di mana aku berada saat ini? musibah yang ditimbulkan Rina, membuatku berada di sini. Melihat pemandangan yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Menginap di tempa yang tidak pernah aku bayangkan.

"Mau mandi?"

Suara itu membuyarkan lamunanku. Segera ku seka air mata yang tanpa sadar, luruh.

"Astaga!" Aku memekik seraya menutup wajah dengan kedua tangan.

"Kenapa? aku kan memakai handuk."

"Malu sendiri lihatnya. Berbalik, Mas. Atau tutup badanmu pakai selimut."

"Aku balik badan. Silakan."

Masih dengan menutup mata, aku berjalan melipir menyusur dinding. Setelah sampai ke kamar mandi, langsung membuka baju. Membasahi badan dengan air hangat di bathtub. Memejamkan mata dan masih meyakinkan diri bahwa ini sebuah mimpi.

Namun saat membuat mata, aku kembali sadar bahwa ini suatu kenyataan yang harus aku jalani. Hidup bersama laki-laki yang sama sekali tidak aku kenal. Bahkan namanya saja baru tahu pas tadi akad nikah.

Puas berendam dan membersihkan badan, aku mengeringkan tubuh dengan handuk. Ada sesuatu yang kelupaan. Bajuku masih ada di luar.

"Ya Allah, gimana ini? tidak mungkin aku keluar hanya memakai handuk saja. Ck!"

Ke kanan dan ke kiri. Kaki terus melangkah di tempat yang sama. Bingung dengan apa yang harus aku lakukan.

Langkahku terhenti saat terdengar ketukan pintu.

"Kenapa lama? kamu pingsan atau tidur?"

Aku diam. Semakin bingung harus melakukan apa.

"Kami beneran pingsan? aku dobrak, ya!"

"Jangan!"

Spontan aku berteriak.

"Kalai begitu ayo keluar. Aku lapar."

"Mas ...."

"Ya."

"Bajuku ada di luar. Aku tidak bisa keluar hanya dengan memakai handuk."

"Aku ambilkan, buka pintunya."

Aku membuka pintu sedikit, memberi ruang untuk dia memasukkan kantong belanjaan.

"Ini bajunya. Padahal tak apa bukan keluar memaksa handuk, tanpa handuk pun jauh lebih baik."

Brak!

Tidak sengaja aku menutup pintu begitu kencang. Bukannya marah tapi dia malah tertawa keras sekali.

Sejenak aku kembali berpikir. Semua yang terjadi pada manusia, adalah yang terbaik dari Allah. Meski aku menikah dengan seseorang yang tidak aku kenal, pastilah ada tujuan yang Allah berikan dibalik semua itu.

"Paling tidak, dia orang yang baik. Tidak seperti yang ada di sinetron."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!