Pasrah Pada Takdir

Apa kau harus lari? mungkin lebih baik aku kabur dari rumah. Banyak lagi hal-hal lain yang aku pikirkan. Kecuali bunuh diri. Rasanya terlalu dungu untukku melakukan hal itu. Demi apa? hidup ini terlalu berharga untuk diakhiri dengan kematian yang memalukan.

Sejak kecil aku memang dituntut untuk selalu menerima apapun yang terjadi. Lalu, kenapa aku harus berhenti sekarang? siapa yang bisa melawan kuasa Tuhan. Kita hanya manusia biasa. Seorang hamba yang harus mengikuti sekenario yang sudah disiapkan. Suka tidak suka, itu adalah yang terbaik untuk kita. Tuhan tahu apa yang harus kita lakukan. Nikmati saja prosesnya.

Satu Minggu sudah berlalu. Hari pernikahan itu pun tiba. Hanya akad nikah biasa dan tanpa adanya perwakilan dari Kantor Urusan Agama. Ya, nikah siri.

Tak ada yang istimewa layaknya pernikahan yang lain. Bahkan, aku hanya memakai baju muslim biasa berwarna navy merias diri sendiri dengan riasan seadanya.

"Kelihatannya dia wanita baik-baik. Kok, bisa, ya, menggoda laki-laki sampai dinikahi begini?"

Bisikkan dari salah satu anggota keluarga mempelai laki-laki usai akad nikah selesai.

"Kak, sini dulu." Rina menarik tanganku menuju dapur. "Sepertinya ada yang salah, deh." Dia berujar dengan sangat serius.

"Kenapa?"

"Yang kemarin terkait skandal sama aku, bukan dia. Ini mah udah Om-om. Yang tidur sama aku masih muda dan ganteng."

"Mungkin posisinya sama kaya kita. Dituker."

Apa yang aneh? bukankah apa yang kita perbuat, kita akan menerima hal serupa? aku bertukar tempat dengan adikku karena alasan dia masih sekolah. Mereka pun juga sama, meski aku tidak tahu alasannya apa.

"Baguslah. Paling tidak, Kakak tidak menikah dengan bocah."

Ku tinggalkan Rina yang masih terlihat bingung dengan apa yang aku ucapkan.

"Karena dia sudah jadi keluarga kami, maka dia akan kami bawa. Tidak mungkin, kan, kalau anak saya yang tinggal di sini. Rumah ini terlalu sempit dan kotor. Keponakan saya ini seorang general manager. Harus tinggal di rumah yang bersih."

"Bawalah!"

Ucapan Ibu membuat hampir semua orang bengong. Iyalah, mana ada seorang Ibu yang tega seperti dia. Ada, kok. Iya, dia ibuku. Ibu tiri tepatnya.

"Saya bersiap dulu untuk mengemas barang-barang."

"Tidak usah! percuma kalau isinya baju murahan. Bikin malu keluarga aja."

"Saya harus mengambil beberapa berkas pekerjaan."

"Kerja? buat apa? gaji kamu itu gak seberapa ketimbang uang dapur yang akan kamu dapatkan. Bukankah itu tujuan kamu dari awal karena menggoda keponakan saya!"

"Sudah, Tan. Lebih baik kita segera pergi dari sini," ujar Glen, suamiku. Ah! benar, dia sudah menjadi suamiku sekarang.

"Eh, siapa nama kamu tadi?" tanya wanita yang mulutnya pedas.

"Aisyah, Tan. Panggil saja Ai."

"Ai, kamu ikut mobil Glen, dia pulang ke rumahnya sendiri. Kami beda arah."

"Tante, maaf. Kalau orang tua Glen yang mana?"

"Ayahnya meninggal dan ibunya sakit. Struk udah hampir dua tahun. Nanti kamu yang akan mengurus dia. Jaga baik-baik."

Hupf! baiklah. Akan ada pekerjaan berat yang menantiku. Keluar dari penjara, masuk ke penjara lainnya. Mengurus orang tua bukanlah perkara mudah, ditambah dengan kondisinya yang struk. Kepalaku terasa berat.

"Masuklah." Glen membukakan pintu mobil untukku. Mobil yang hanya bisa dimiliki oleh para direktur di perusahaanku bekerja. Dan sekarang? aku bisa menaikinya. Rasnya ... entahlah.

"Terima kasih. Pak."

"Mas."

Sejenak aku terdiam mendengar ucapannya. Lalu segera masuk ke dalam mobil itu. Wangi. Itulah kesan pertama yang aku dapatkan. Bersih dan rapi. Ya, sudah terlihat dari penampilannya, bahwa laki-laki ini orangnya rapi.

"Ini dia. Kita akan menuju rumah baru kita."

"Rumah baru? apa kita tidak pergi ke rumah ibumu, Mas?" sedikit ragu aku memanggilnya Mas.

"Tidak. Kebetulan aku membeli rumah bulan lalu, dan hari ini baru sempat melihat. Sekalian saja saya bawa kamu. Toh, kamu juga akan tinggal di sana."

"Oh, begitu rupanya. Tapi, Mas. Saya belum bertemu Ibu. Setidaknya saya harus menemuinya bukan?"

"Jangan. Bukan waktu yang tepat. Ibu tidak tahu pernikahan ini dan kejadian yang ditimbulkan adik saya. Takutnya dia malah syok."

"Oh, baiklah. Maaf kalau saya terlalu lancang."

"Tidak apa-apa."

"Setiap mendengar kata Ibu, saya selalu antusias. Berharap Ibu yang saya temui kali ini adalah wanita yang baik."

"Nanti akan saya ajak kamu bertemu dengannya. Tidak untuk saat ini, oke!"

"Iya, Mas."

Ada hal aneh yang terjadi. Untuk pertama kalinya kami bertemu dan langsung dalam ikatan pernikahan, tapi rasanya tidak canggung. Dia yang aku bayangkan akan seperti dalam film, laki-laki angkuh dan kasar, ternyata tidak. Dia ramah dan baik.

Perjalanan yang kami tempuh kurang lebih sekitar dua jam. Karena jarak yang memang jauh, juga karena macet.

Tiba di sebuah komplek yang cukup mewah. Entahlah, tapi kami juga melewati perumahan yang rumahnya kecil. Mobil masih melaju menyusuri jalan di dalam komplek. Sepertinya memang sangat luas. Kami melewati sebuah mesjid besar dan mewah. Terlihat dari kejauhan ada stasiun kereta api. Jauh di depan stasiun itu ada sebuah danau.

Mobil berbelok ke arah kiri. Memasuki rumah-rumah yang berukuran besar dan luas. Berbeda dengan rumah yang tadi kami lewati. Beberapa meter dari kami masuk, ada sebuah pasar namun berukuran kecil. Terlihat penjual sayuran dengan tatanan yang rapi. Mobil berbelok dan tepat di sebelah kiri, ada sebuah sekolah dasar yang gedungnya terlihat mewah. Setiap kelas terpasang pending ruangan.

"Itu rumah kita."

Mataku mengikuti arahan telunjuk Glen. Rumah bercat putih yang berada di paling ujung. Ukuranya terlihat jauh lebih besar.

"Rumah ini lebih besar karena sudah full renovasi. Dan tanah disebelah pun sekalian saya beli untuk memperluas rumah ini. Nah, ini dia. Kita sudah sampai."

Garasi rumah ini berbeda dengan yang lain. Atapnya terlihat seperti kaca. Transparan. Di setiap besinya ditumbuhi daun-daun hijau. Hanya plastik, tapi cukup membuat mata terasa segar.

Ada taman kecil di depannya. Tepat di depan teras menuju pintu masuk. Ada juga kolam ikan yang sudah dipenuhi ikan koi yang sangat besar-besar

"Mas yakin belum pernah ke sini? kenapa semuanya sudah tertata rapi?"

"Teman saya arsitektur. Dia yang mengatur semuanya. Saya terima beres saja. O, iya. Di sini ada dua pembantu, dan satu supir. Saya juga belum bertemu dengan pembantunya."

Tidak lama kemudian, datang dua orang wanita menghampiri kami dengan posisi hormat layaknya pembantu bertemu majikannya.

"Kalian yang bekerja di sini?"

"Iya, Tuan."

"Oh, begitu rupanya. Perkenalkan, ini Ai istri saya. Dia yang akan jadi Nyonya di rumah ini. Kalian mengerti?"

"Iya, Tuan." Mereka masih menunduk.

"Siapa nama kalian?" tanyaku.

"Saya Tuti dan ini Adah."

"Oh, begitu."

"Kamu mau melihat bagian lainnya?" tanya Glen yang sudah berada jauh dari kami.

"Iya, Mas. Aku ke sana." Aku sedikit berlari untuk menyamakan posisi.

Kami menelusuri ruang demi ruang. Tidak ada yang aneh dan istimewa. Isinya hampir sama dengan rumah pada umumnya. Hanya saja furniture dan desain rumah ini terlihat sangat elegan.

"Ini kamar kita."

Kita?

Terpopuler

Comments

Thalita Aulia

Thalita Aulia

dan aisyah tidak tau klo dijafikan istri ke dua

2021-10-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!