...Sepanjang hidu bersamamu...
...Kesetiaan ku, tulus untukmu...
...Hingga akhir watku ... aku milikmu, milikmu....
...Aku bersyukur kau di sini kasih .......
Sebuah lagu dari Maher Zein membahana dalam gedung ini.
Gedung yang penuh dengan warna-warni kebahagiaan. Bunga-bunga perpaduan antara warna putih dan peach, menghiasi.
Para tamu undangan yang datang ikut bahagia melihat aku dan dia yang sedang bernyanyi bahagia.
Ya, dia adalah suamiku kini. Suami kedua setelah kandasnya pernikahanku yang pertama.
Rangga Aditya Putra. Seorang pengusaha properti di kota Parahiyangan. Laki-laki yang berhasil membuatku kembali percaya pada sebuah hubungan yang bernama pernikahan. Dia yang membuat aku meyakini bahwa, kecewa karena laki-laki, bukan berarti harus membenci semua laki-laki. Bahwa rasa sakit itu selalu ada penawarannya. Bahwa setiap air mata akan berubah jadi tawa. Bahwa Allah itu mengambil sesuatu untuk digantikannya dengan yang lebih baik. Itu pasti!
Suaranya memang sangat bagus. Tentu saja. Dia pernah menjuarai lomba qiroati semasa sekolahnya dulu. Selain kaya, dia juga Soleh. Meski rupa tidak seindah suamiku yang durjana, dulu.
Dia selalu menatapku dan tersenyum saat bait
Sepanjang hidup, bersamamu ... kesetiaan ku tulus untukmu hingga akhir waktu ... aku milikmu, milikmu.
Dan itu membuat riuh suasana pesat yang sedang di gelar. Mereka ikut baper melihatnya.
Aku hanya tersenyum malu-malu dari balik niqob yang aku kenakan kini. Mataku tiba-tiba terasa panas. Aku bahagia, sedih, haru dan ... entahlah.
Aku bahkan tidak pernah membayangkan akan sebahagia ini setelah pedihnya menjalani biduk rumah tangga yang selalu penuh dengan air mata.
*****
"Saya gak akan ngasih mahar banyak. Toh, anak perempuannya sudah bukan perawan lagi."
Begitulah ucap calon mertuaku—Bu Sari, yang saat itu datang ke rumah untuk melamar dan membicarakan pernikahku dengan anaknya—Diman.
Mendengar ucapan Bu Sari, ibuku langsung mengelus dada dengan penuh tekanan. Aku tahu, beliau sedang menguatkan diri. Meski begitu, terlihat gurat kesedihan yang teramat dalam diwajahnya.
Aku berdoa dalam hati agar darah tingginya tidak kambuh saat atau setelah ini.
"Pernikahannya akan dilakukan biasa aja. Saya gak akan bawa orang banyak-banyak. Hanya sodara aja. Gak penting juga kan acaranya?"
"Bu! sudah." Diman sedikit meninggikan suaranya. "Dia gak perawan karena aku juga. Aku yang salah."
Ya! pernikahan ini terjadi setelah aku dan diman ketahuan telah tidur bersama saat aku berkunjung ke rumahnya waktu itu.
Saat itu, aku untuk pertama kalinya main ke rumah pacarku—Diman. Aku di bawa bertemu dengan orang tuanya. Diman membawaku ke toko—tempat Ibu dan bapaknya bekerja. Setelah ngobrol banyak, Diman membawaku ke rumahnya yang terletak cukup jauh dari toko.
Suasana saat itu sangat sepi. Terlebih posisinya memang ada di perkampungan, dimana orang-orang kebanyakan adalah petani dan jam seperti ini mereka sedang ada di sawah.
Bisikan setan itu memang sangat indah. Membuaikan meski akhirnya mencelakakan.
Kami kepergok sedang tidak memaki pakaian dan berada di atas ranjang. Meski belum melakukan hal yang lebih jauh, tapi pemandangan itu akan membuat siapapun yang melihatnya berpikiran jauh. Pun saat Kakak pertama Diman—Tarno, melihat kami berdua.
Kak Tarno menyeret Diman ke ruang keluarga dan menghajarnya habis-habisan. Sementara aku segera memakai pakaian dengan tubuh yang gemetar.
Tetangga yang kebetulan lewat, masuk ke dalam rumah untuk mengecek. Begitu melihat apa yang sedang terjadi, orang itu berlari keluar.
Tidak lama kemudian orang tua Diman datang. Ayahnya melerai adik kakak yang sedang bertengkar.
Suasana menjadi semakin tidak terkendali. Belum lagi ibunya Diman yang menangis histeris melihat Diman yang sudah mengeluarkan darah. Teriakan Tarno dan Bapak sama-sama keras.
"Anji*** kamu! berani zinah di rumah ini."
"Berhenti! stop. Lepaskan, Tarno!"
Sementara Diman, dia hanya diam menerima pukulan sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Yang lebih membuat semuanya berantakan adalah kondisi Diman saat itu—telanjang.
Perkelahian yang lebih tepatnya penganiyaan karena Diman tidak melawan, berhasil dilerai setelah ada dua orang bapak-bapak yang datang dan menarik Tarno dari tubuh Diman.
Ibu Dari segera menghampiri Diman yang sudah terkapar. Menutup tubuh bagian bawah Diman dengan kerudung yang dia kenakan.
Bu Sari menangis sesenggukan seraya mengelap darah yang keluar dari hidung anak ketiganya itu.
Beberapa saat kemudian, setelah semuanya tenang. Kami semua berkumpul. Tarno—anak pertama, Imam—anak kedua dan Widya—anak bungsu Bu Sari.
Saat itu Diman masih terlihat kesakitan. Hidungnya di tutup dengan daun sirih yang di linting. Wajahnya lebam. Bibirnya sedikit sobek.
Untuk beberpa saat kami semua diam. Hingga Bu Sari membuka pembicaraan.
"Kalian harus menikah secepatnya."
Aku kaget.
"Sebelum terjadi hal memalukan terjadi," imbuhnya.
"Tapi, Bu ...."
"Jangan membantah, Diman!"
"Dia masih sekolah. Gimana ...."
"Resiko! suruh siapa jadi wanita kok murahan banget. Ck! baru sekali diajak ke rumah sudah mau menyerahkan kehormatannya. Memalukan!"
"Kami belum melakukan apa-apa, Bu."
"Apa perlu aku menjelaskan semua yang aku lihat?" Tarno berteriak. Dia hampir kembali berdiri jika saja tidak dihalangi ayahnya.
"Anter dia pulang. Besok kita ke rumahnya untuk melamar. Tidak usah ada pertunangan segala. Langsung nikah. Kita cari penanggalan, lalu langsung menikah."
"Saya belum siap, Bu."
Mendengar apa yang keluar dari mulutku, Bu Sari terlihat marah. Namun, dia menyunggingkan sebuah senyuman sinis di bibirnya.
"Murahan! tolol juga ternyata. Saya tidak perduli, kalian harus menikah secepatnya."
Kepalaku terasa sakit saat itu. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada ibuku mendengar semua ini. Dia punya penyakit darah tinggi. Aku sangat takut. Takut sekali.
Dari rumah Diman menuju rumahku, membutuhkan waktu satu jam memakai kendaraan roda dua. Sepanjang perjalan, kami hanya diam tidak saling bicara. Tangan Diman menggenggam erat jemari ini. Dia berusaha menguatkan dan meyakinkan aku, mungkin.
"Apapun yang akan terjadi, aku akan bertanggungjawab untuk itu," ucapnya saat kami turun dari motor. Kemudian dia membantuku melepaskan helm. Merapikan rambutku sambil tersenyum. "Ayo, kita bicarakan dengan orang tua kamu."
Aku takut dan juga merasa bangga pada Diman. Dia mau bertanggungjawab atas apa yang terjadi. Paling tidak, dia tidak lari meninggalkanku sendiri.
Aku mengusap wajahnya perlahan. Dia merintih.
"Sakit, ya?" tanyaku khawatir.
"Akan lebih sakit lagi di kamunya jika kita benar-benar melakukan yang tadi sampai selesai," godanya.
"Ihhh. Sempet-sempetnya bahas itu."
"He he he. Sudah, ayo kita temui orang tua kamu. Agar kita bisa melanjutkan yang tadi secepatnya."
"Apaan sih!?" aku memukul lengan Diman. Dia terkekeh.
Candaan itu berhenti saat sosok wanita yang tua karena kelelahan, keluar. Wanita yang sok kuat meski ternyata rapuh itu tersenyum pada kami. Wanita yang masih kepala tiga tapi sudah terlihat tua dan beruban itu memang sangat baik pada Diman.
Menurutnya, Diman adalah laki-laki yang sopan dan baik. Sedih rasanya jika ingat ucapan Ibu—dulu dengan apa yang baru saja terjadi hari ini.
'Aku minta maaf, Ibu.'
🌺🌺🌺🌺🌺
Kau tahu, menjadi anak sulung dari orang tua tiri itu sangatlah tidak nyaman. Tidak hanya itu, rasa sakit lahir dan batin kerap mendera.
Ayah meninggalkan aku dengan seorang wanita yang dia nikahi saat aku berusia tujuh tahun. Selain ibu tiri, aku juga memiliki dua adik tiri. Satu laki-laki dan satunya perempuan.
Hidupku memang tidak senahas ratapan anak tiri. Kedua adikku sangat baik. Mereka menganggap aku benar-benar Kakak mereka. Meski kami tidak lahir dari rahim dan Ayah yang sama.
Rina dan Reno. Ya, mereka kembar. Usia mereka baru satu tahun saat orang tua kami menikah.
Setelah Ayah meninggal, aku yang sudah beranjak dewasa dan telah lulus kuliah, harus menjadi tulang punggung keluarga. Menggantikan Ibu mencari nafkah untuk membiayai adikku sekolah.
"Ibu ini udah tua. Habis tenaga ibu untuk menyekolahkan kamu. Sekarang giliran kamu yang kerja buat biayai adik kamu sekolah."
Selalu itu yang Ibu katakan. Padahal biaya sekolahku selama ini memakai uang tabungan yang Ayah persiapkan. Saat Ayah masih hidup, keluargaku memang termasuk golongan berada. Kami memiliki rumah, mobil dan juga perusahaan furniture. Perusahaan itu kini dikendalikan sepenuhnya oleh Ibu sambungku.
Jika dipikir-pikir, uang dari penjualan furniture tidak akan kurang untuk membiayai hidup kami semua. Hanya saja ... Entahlah.
"Kamu udah gajian belum?" tanya Ibu saat kami sedang berkumpul di ruang keluarga.
"Masih dua hari lagi, Bu."
"Rina minta uang SPP. Nanti kamu siapkan."
"Bu, maaf sebelumnya. Memangnya uang dari penjualan furnitur tidak cukup untuk membiayai sekolah ade-ade? Aku lihat penjualannya cukup banyak belakangan ini."
"Tau apa kamu tentang penjualan? udah! kalau udah gajian langsung kasih Rina uangnya. Ibu lelah mau tidur."
Ibu pergi begitu saja. Tanpa menjawab pertanyaanku. Masih dengan pertanyaan yang sama bertahun-tahun ini.
Toko furnitur itu milik Ayah dan ibuku. Bukankah seharusnya menjadi milikku dan bukan milik Ibu tiriku.
"Kak, kenapa?" Reno datang menghampiri.
"Habis latihan lagi, Ren?"
"Iya. Pekan depan akan ada pertandingan basket. Pertandingan bergengsi, loh, Kak. Hadiahnya bea siswa."
"Wah! lumayan, tuh. Kamu harus menang kalau begitu. Biar dapat beasiswa dan kuliah gratis."
"Iya, Kak. Aku juga ingin dapat beasiswa itu. Aku gak mau merepotkan Kakak masalah biaya sekolah." Reno menunduk lesu.
"Kakak tidak repot dan tidak cape. Asalkan kalian belajar dengan sungguh-sungguh. Jangan kecewakan Kakak, ya!"
"Iya, Kak." Aku mengelus kepala Reno. Dia masih menunduk. Kurasa dia mendengar percakapan antara aku dan Ibu. Reno dan Rina memang tidak tahu kalau kami bukan sodara kandung. Semoga mereka tahu di saat yang tepat, agar hubungan kami tidak berubah. Aku takut mereka akan menjauh saat mengetahui yang sebenernya.
"Ren, adik kamu kemana? sudah malam begini belum datang juga." tanyaku saat Reno kembali setelah mandi dan makan.
"Gak tau, Kak. Coba aku telpon dulu."
Reno mencoba menelpon Rina. Entah sudah yang ke berapa kalinya dia mencoba menghubungi adik bungsu kami. Hasilnya sama. Tidak ada jawaban.
"Vangke, nih, anak. Telpon gue kagak dijawab sama sekali. Ibu tau mah baru nyaho!"
"Udahlah ... kamu jangan marah-marah gitu. Ini bukan untuk yang pertama kalinya dia pulang malam, kan?"
"Iya, Kak. Aku tahu. Heran aja, gitu. Dia tuh ngapain coba di luaran sampe malem gini?"
"Iya. Kakak juga tahu. Mau gimana lagi? tiap kita interogasi Rina, Ibu malah akan balik marahi kita."
"Tapi, Kak. Kemarin aku denger Ibu marah besar sama Rina. Tau, deh, kenapa. Rina sampe nangis-nangis."
"Kamu itu. Nguping orang ngobrol itu gak baik, loh."
"Gak sengaja, Kak. Eh, tapi keterusan."
Kami pun tertawa bersama. Tidak lama setelah itu, aku dan Reno terdiam lalu bersamaan menoleh ke arah pintu. Ada suara mobil berhenti di depan rumah.
"Siapa malam-malam gini datang ke rumah?" tanyaku pada diri sendiri. Aku bangkit disusul Reno.
Sebuah mobil Fortuner hitam berhenti di depan rumah. Seorang laki-laki turun lalu memutar dan membukakan pintu yang satunya. Seorang wanita yang aku kenal terlihat dari balik pintu. Dia yang wajahnya tidak jauh beda dari laki-laki yang ada di sampingku saat ini.
Reflek aku menutup mulut yang ternganga. Rina turun dengan keadaan yang kacau. Wajahnya ....
"Elu kenapa?" teriak Reno yang segera berlari menghampiri adiknya. Semakin dekat bisa aku lihat keadaan dia dengan jelas. Ada beberapa lebam di wajahnya, dari sudut bibirnya terlihat darah yang sudah mulai mengering. Pahanya yang terbuka terlihat memerah. Jalannya pun pincang.
"Rina ...." rintihku. Segera aku memeluk dan membantunya berjalan masuk ke rumah. Tidak aku perdulikan Reno yang sedang marah-marah pada laki-laki yang membawa Rina.
Keributan itu membuat Ibu keluar dari kamar. Matanya masih belum sempurna terbuka dan berteriak. "Apa, sih, ribut-ribut?"
Mata Ibu baru terbuka sepenuhnya saat melihat kondisi Rina yang tengah duduk di sofa. Ibu berlari dengan wajahnya yang tampak cemas.
"Ka-kamu kenapa, Rin? Ada apa ini? kenapa wajah ... ada apa sebenarnya?" Ibu histeris. Pandangan Ibu teralihkan pada suara yang semakin terdengar ribu di luar sana. Sepertinya para tetangga mulai berdatangan.
"Dek, kamu kenapa? ada apa sebenarnya?"
Rina hanya diam.
"Tidak usah cerita apa-apa jika memang belum siap. Lebih baik kamu bersihkan diri kamu dan ganti baju. Udah makan? Kakak siapin makan buat kamu, ya?"
Rina menggeleng pelan.
"Ya sudah, kita ke kamar saja. Kamu mandi lalu tidur. Besok kita bicarakan setelah kamu tenang."
Kali ini Rina mengangguk. Aku kembali membantu dia berdiri dan berjalan. Namun, baru beberapa langkah kaki ini terhenti oleh suara Ibu.
"Rina! mau kemana kamu?" Ibu menghampiri lalu menarik tangan Rina dengan kasar. "Jadi begini? apa ini balasan kamu pada ibu? sejak kecil kamu ibi hidupi dengan perjuangan yang tidak mudah, lalu ini balasan kamu buat ibu? dasar anak kurang ajar!"
Plak!
Sebuah tamparan mendarat di wajah Rina yang sudah kesakitan sebelumnya.
"Ibu, tunggu! ada apa ini? Rina terluka, Bu. Kenapa malah ditampar lagi?" tanyaku sambil merengkuh tubuh Rina.
"Jangan ikut campur! ini urusan ibu sama dia. Anak sialan ini harus ibu beri pelajaran." Ibu kembali menarik tangan Rina. Tangan Ibu kembali bersiap menampar Rina lagi tapi segera aku tangkis.
"Cukup, Bu. Bukan begini caranya menyelesaikan masalah. Kita bicaralah baik-baik. Lihat kondisi Rina juga, Bu."
"Biarin aja, Kak. Biarin aja Ibu mukul aku sampai aku mati. Aku pantes, kok, dapet itu semua."
"Ya! kamu memang pantas mati. Sini ... kita lebih baik mati bersama sekalian. Ayo!"
"Cukup!" aku berteriak. "Aku memang tidak tau masalahnya apa, tapi tidak seperti ini juga. Kita duduk dan bicarakan ini baik-baik."
"Kak ... dia diperkosa. Eum ... lebih tepatnya, sih, melakukan itu ...." Reno gagap.
Aku memandang Ibu, tapi Ibu membuang muka. Terlihat jelas wajahnya bermuram durja.
"Rina, ada apa, Dek? ayo, jelaskan sama kakak."
Rina ambruk. Dia menangis sejadinya dan aku hanya terdiam dengan keadaan yang sama sekali tidak aku pahami.
Kepalaku terasa berdenyut hebat saat mendengar Rina menjelaskan apa yang terjadi, bahkan dia belum menyelesaikan penjelasannya tapi kepala ini sudah sangat terasa berat.
Ibu tampak tegang. Tangannya mengepal menahan amarah.
"Tapi dia mau tanggung jawab, kok."
Tidak ada yang membuat kepala ini menjadi lebih baik meski dengan kalimat terkahir yang dia ucapkan.
Entah apa yang membuat Rina terseret arus buruk. Bagaimana kami bisa tidak tahu apa yang selama ini dia lakukan di luar sana. Reno saja belum pernah menyesap asap rokok, tapi Rina? dia bahkan sudah mengenal apa yang namanya alkohol. Malam ini? bahkan dia sudah kehilangan kehormatannya.
"Anak gak tahu diri! tidak pernahkah kamu memikirkan Kakak kamu yang selama ini banting tulang membiayai sekolah kamu? tidak pernahkah kamu memikirkan ibu yang dengan segala cara membesarkan dan memberimu hidup yang layak?"
"Maaf, Bu."
"Jika kalian melakukan dengan suka sama suka, kenapa tubuhmu terluka seperti ini?" tanyaku penasaran.
"Itu ...."
"Jawab Kakak kamu!"
"Dia ...."
"Kelainan seksualitas kali," seloroh Reno. Membuat kami semua terkejut. Ibu bangkit dari duduknya. Jalannya terhuyung. Dengan sigap Reno mendekat dan membantu Ibu berjalan ke kamarnya.
"Dek, kamu kenapa? kenapa bisa sampai sejauh ini, sih?"
"Kakak ...." Dia berhambur ke pelukanku. Tangisnya pecah.
"Kenapa bisa seperti ini, Dek?" bisikku disela isak tangis. Ya, aku ikut menangis. Rasanya sedih melihat kondisinya seperti ini. Sedih juga karena apa yang selama ini aku lakukan tidak berarti apa-apa di matanya, dia membuat kerja kerasku selama ini menjadi lelucon. Tidakkah dia ingat betapa takutnya aku saat hendak diperkosa para pemuda mabuk setelah pulang kerja. Demi apa? demi dia bisa sekolah.
Setelah selesai kuliah, aku langsung bekerja meski tidak sesuai dengan jurusan yang aku pelajari di kampus. Sarjana manajemen bisnis tapi terpaksa bekerja di pabrik. Tidak ada pilihan karena tuntutan. Aku yang dianggap harus bertanggung jawab karena kematian Ayah, harus mencari nafkah untuk keluarga.
Ayah meninggal dalam perjalanan menjemputku.
Kerja di pabrik tidak mudah. Berdiri selama bekerja membuat kaki ini sakit.
Meski pada akhirnya aku mendapatkan pekerja yang lebih layak dan tidak lagi bekerja di pabrik.
Rina masih menangis dalam pelukanku. Berkali-kali dia meminta maaf padaku.
"Lalu bagaimana dengan Rendi?"
"Mungkin kami akan segera putus, Kak. Dia tidak mungkin mau menerima keadaanku sekarang."
Ah! Rendi ... dia pemuda yang baik dan juga sopan. Bisikku dalam hati.
"Ayo, kita mandi lalu makan. Kita bicarakan ini besok pagi. Bersihkan seluruh tubuh kamu, ya."
"Iya, Kak."
Setelah Rina pergi menuju kamarnya, aku pergi ke dapur. Makanan yang kami makan tadi setelah isya, sudah dingin. Aku akan membuat dia nasi goreng dan juga susu hangat kesukaannya.
"Kak, makasih, ya. Aku beruntung memiliki Kakak yang kasih sayangnya lebih besar dari Ibu," ucapnya lalu menyuapkan nasi goreng buatanku.
"Tidak ada orang tua yang tidak mencintai anaknya. Mereka hanya memiliki cara berbeda saat menyampaikannya."
"Apakah Ibu kita juga seperti itu? apa dia mencintai kita?"
Dia mencintaimu dan Reno, tidak padaku.
"Tentu saja. Sudah, selesaikan makannya lalu cepat tidur. Udah hampir dini hari."
"Iya, Kak. Kakak ... keluarganya mau datang. Mereka mau bertanggung jawab. Masalahnya, berita ini sudah nyebar di internet. Seseorang merekam kejadian–"
"Apa?! kalian melakukan itu dan direkam?"
"Tidak. Bukan itu maksudku. Saat aku dan dia bertengkar, seseorang merekamnya. Saat itu aku berteriak jika dia memperkosa ...ku."
"Kenapa? apa itu tidak benar? apa kalian melakukannya atas dasar saling ingin?"
Tidak ada jawaban dari Rina. Dia hanya menunduk malu.
"Ya Allah, Dek! kamu itu kenapa, sih? apa selama ini kamu tidak pernah melihatnya pengorbanan Kakak untuk kalian?" Aku berteriak dan diikuti Isak tangis yang selama ini aku bendung.
"Selama ini Kakak selalu ngalah demi kalian. Kerja keras bahkan hampir diperkosa preman!" Suaraku tak terkendali. Membuat seseorang datang.
"Sudah malam. Kenapa ribut?" Ternyata itu Ibu. "Lagi pula, sudah tugas kamu sebagai anak sulung untuk jadi tulang punggung keluarga."
"Tulang punggung? lalu uang penjual dari furnitur lari ke mana? bukankah itu pun harusnya aku yang mengelola. Itu perusahaan orang tuaku!"
Plak!
Aku memejamkan mata erat. Merasakan rasa pedih dan panas di pipi kiri.
Tangan Rina yang gemetar mengusap. Tangisannya semakin pecah. Suaranya terdengar begitu ketakutan.
"Ini salahku ... kenapa Kakak yang ditampar?"
"Kurang ajar sekali kamu. Berani mengungkit masalah harta. Ku pikir selama ini kamu hidup dari siapa? siapa yang mengatur keuangan keluarga agar tidak bangkrut?"
"Ayah! dia yang selama ini mencari uang untuk kami hidup. Usaha furniture itu milik orang tuaku. Harusnya aku yang mengelolanya. Ayah yang selama ini menjalankan perusahaan itu!" Aku meninggikan suara. Tidak kalah dari suara Ibu.
"Ayah? ayah siapa yang kamu maksud? apakah laki-laki yang selama ini berfoya-foya dengan para pelacur?! apa dia yang kamu maksud?" Ibu menunjuk foto Ayah yang tertengger di dinding.
"Jika memang dia yang kamu maksud, lupakan saja jika dalam darahmu mengalir darahnya. Aku tidak berharap, gen kotor itu berkembang pada tubuhmu."
Meski aku ingin bertanya, tapi rasanya aku cukup mengerti apa yang Ibu bicarakan. Entah itu suatu kebenaran atau kebohongan. Satu yang pasti dan aku tahu. Ibu bukanlah wanita yang pandai berbohong. Meski padaku, anak sambungnya.
"Sudah, Bu ...." Suara Rina masih bergetar. "Jangan marah lagi pada Kakak. Ini salahku. Aku, aku akan menerima lamaran keluarganya. Aku mau menikah dan tidak sekolah lagi."
"Jangan bodoh! masa depan kamu masih panjang."
"Tapi, Bu. Keluarganya akan datang. Mereka–"
"Kakak kamu yang akan menggantikan posisimu. Dia yang akan menikah. Bukan kamu!"
"Apa?" aku dan Rina kompak.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!