Takdir Syakila
SD desa 1
Ting ting ting!! Bel sekolah berbunyi menandakan waktu pelajaran sudah berakhir. Meskipun para guru belum menyelesaikan materi pelajaran, tapi pelajaran harus segera di akhiri, karena sudah waktunya untuk anak murid pulang sekolah.
”Yeah! Kita pulang!” seru semua anak murid.
Ibu guru geleng-geleng kepala melihat tingkah anak muridnya yang lebih antusias untuk pulang ketimbang belajar.
”Anak-anak! Siap-siap untuk pulang!”
”Hore!!” seru mereka lagi dengan sangat gembira.
Ibu guru tersenyum melihat mereka. Ia bisa memaklumi akan keinginan dan apa yang ada di pikiran anak-anak pada seusia mereka, karena ia juga pernah memiliki masa kecil seperti mereka.
”Siapa yang mau pimpin doa?” Ibu guru memandang anak muridnya satu persatu, berharap di antara mereka ada yang mau maju ke depan untuk memimpin doa.
”Aku, Bu!” Gadis dengan rambut panjang berwarna hitam, berkulit putih itu mengangkat jarinya ke atas.
”Baiklah. Syakila, ayo, maju ke depan! Berdirilah di samping Ibu guru untuk pimpin doanya.” Ibu guru telah berdiri di tempatnya.
Syakila maju ke depan, ia berdiri tepat di samping ibu guru.
”Ayo di mulai!”
Syakila mengangguk, ”Iya, Bu!”
”Teman-teman, sebelum kita pulang, marilah kita berdoa terlebih dahulu. Berdoa...di mulai!” dengan lancar dan tanpa keraguan, Syakila mulai memimpin baca doa.
Serentak teman-teman Syakila dalam ruangan kelas itu menundukkan kepala dan menengadahkan kedua telapak tangan mereka keatas dada. Begitu juga Syakila dan ibu guru, menunduk dan menengadahkan tangannya ke atas untuk berdoa.
”A'udzu billahi minasy syaitoni rrojiim. Bismillahir Rahmaanir Rahim. Alhamdulillahi Rabbil 'aalamiin, Ar Rahmaanir Rahim, Maaliki Yaumid Diin, Iyyaaka na'budu wa Iyyaaka nasta'iin, Ihdinas Siraatal mustaqiim, Siraatal laziina an 'amta 'alaihim, Qhayril magdhuubi 'alaihim wa lad dallin.”
”Aamiin.” serempak seisi ruangan kelas itu mengucapkan aamiin, mengamini doa yang di bacakan Syakila.
Setelah selesai membaca surah Al Fatihah, Syakila lanjut membaca surah An-Nas dan Al ikhlas sampai selesai.
”Shadaqallahul 'adzim.” ia menutup doanya seraya menyapukan kedua telapak tangannya ke wajah.
”Aamiin.” serempak mereka semua kembali mengamini doa yang di baca Syakila, termasuk ibu guru. Lalu mereka menyapu kedua telapak tangan pada wajah mereka masing-masing.
”Alhamdulillah, terima kasih Syakila sudah mau memimpin doa.” ucap ibu guru sambil tersenyum.
”Sama-sama, Ibu guru.” sahut Syakila sambil tersenyum, membalas senyum gurunya. Ia kembali ke tempat duduknya.
Ibu guru merapikan semua perlengkapan mengajarnya, begitu juga dengan anak muridnya, mereka memasukkan kembali buku-buku pelajaran ke dalam tas. Keributan pun tak bisa di elak kan lagi, karena mereka berebut ingin segera mencium punggung telapak tangan ibu guru untuk segera pulang.
Ibu guru memukul papan tulis menggunakan penggaris panjang yang terbuat dari kayu untuk mendiamkan mereka yang ribut. Semua anak muridnya menjadi diam, setelah mendengar suara ketukan di papan tulis.
”Jika kalian ribut seperti ini, Ibu tidak akan mengizinkan kalian untuk pulang!”
Semua siswa-siswi menunduk diam, tidak bersuara walau sekecil apapun itu, juga tidak berani melihat sang ibu guru.
”Barisan yang paling rapi yang akan pulang duluan!”
Ibu guru berjalan sedikit menuju bibir pintu kelas, ia berdiri di sana dan memperhatikan anak muridnya yang terdiam dan menunduk di kursinya masing-masing.
”Barisan kedua dari sebelah kanan boleh pulang!”
Barisan deretan Syakila segera berdiri dari duduknya. Mereka berjejer satu per satu dengan rapi berjalan ke arah ibu guru, mereka menyalim tangan ibu guru lalu pulang.
Ibu guru mengulang lagi perkataannya menunjuk barisan demi barisan anak-anak yang duduknya rapi untuk pulang, hingga semua selesai.
”Syakila? Aku kira kamu sudah pulang.” sapa Arianti teman sebangku Syakila. Ia melihat Syakila masih berdiri di depan pagar sekolah, padahal Syakila pulang duluan sebelum dia.
”Aku belum pulang, Anti. Aku menunggu kalian untuk pulang bersama.” Jelas Syakila.
”Oh, lalu, tunggu apa lagi? Mari kita pulang!” ajak Arianti.
”Kita tunggu Sartini, Helena, dan Fitria dulu baru kita pulang sama-sama, ya?” tawar Syakila. Arianti mengangguk.
Syakila adalah anak kedua dari seorang ibu yang bernama Sarmi dan ayahnya bernama Halim. Sarmi dan Halim memiliki Enam orang anak dari hasil pernikahannya. Lima perempuan bernama Fatma berusia 7 tahun, Syakila berusia 6tahun, Yuli berusia 5 tahun, Ita berusia 4 tahun, Endang berusia 2 tahun. Dan seorang anak laki-laki yang bernama Hardin berusia 3 tahun. Jarak mereka memang tidak jauh, karena Sarmi tidak pernah menunda-nunda kehamilannya.
Mereka bukanlah keluarga yang kaya. Mereka hidup dengan berkecukupan. Tinggal di kampung terpencil dan di kelilingi dengan teman-teman yang baik, juga ayah dan ibu yang bijak, membuat Syakila tumbuh menjadi anak yang berbakti kepada orang tuanya.
Diantara berenam saudara, hanyalah Syakila yang memiliki sifat penurut, penyayang dan pengertian. Ia juga merupakan orang yang pendiam, meskipun banyak memiliki teman.
Syakila memang jarang sekali untuk berbicara. Di antara mereka berenam barulah Fatma dan Syakila yang bersekolah, mereka berdua sama-sama duduk di kelas 2 SD, hanya berbeda kelas.
”Hai, Syakila, Arianti, kalian sudah lama menunggu kami?” tanya Fitria, Helena, dan Sartini.
”Iya,” sahut Arianti.
”Gak juga,” sahut Syakila.
”Gak ada yang di tunggu lagi kan?” tanya Fitria. Ke empat temannya mengangguk. ”Ya sudah, sekarang kita pulang, yuk!”
”Ayo,” sahut Syakila, Helena, Sartini, dan Arianti bersamaan.
Mereka semua berjalan kaki untuk pulang menuju rumahnya masing-masing, karena jarak dari sekolah ke rumah mereka tidaklah jauh.
Kehidupan di kampung tidaklah sama dengan kehidupan di perkotaan. Kehidupan di kampung masih jauh dari kata polusi udara, karena di sana hanya beberapa orang saja yang memiliki kendaraan pribadi.
”Sore ini kita libur mengaji, kan?” tanya Fitria di sela-sela jalan mereka.
”Iya, kita libur mengaji,” katanya kak Muti, ”Ia lagi sibuk untuk mengurus sesuatu, jadi kita libur mengaji untuk hari ini dan tiga hari ke depan.” jelas Syakila.
”Lalu, kita harus lakukan apa untuk mengisi kosongnya waktu mengaji? Aku bosan main masak-masak terus!” sahut Sartini.
Mereka tampak berpikir.
”Bagaimana kalau kita pergi ke kebun Syakila saja? Kita kerjakan PR di sana, lalu kita pulang dari kebun lewat jalur sungai. Jadi, kita mandi-mandi dulu di sungai, baru deh kita pulang ke rumah.” usul Helena.
Ia sudah membayangkan betapa asyik dan serunya saat berenang nanti.
”Iya..boleh...boleh...aku mau... aku mau...!” seru Fitria, Sartini, Arianti serentak.
Syakila tampak bingung, ”Tapi, kebun mamaku sangat jauh! Terakhir kesana siapa yang mengeluh tidak akan pergi ke kebun lagi?” tanyanya.
”Arianti..!” jawab Fitria, Helena, dan Sartini kompak.
Arianti tertawa kikuk sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal mendengar namanya di sorakan.
”Tidak apa-apa, Syakila. Terakhir kali itu aku benar-benar capek, jadi refleks bilang begitu. Aku akan tetap ikut ke kebun nanti, kok.” ucap Arianti membela diri.
”Kalau kalian memang mau pergi ke kebun, setelah bergantian kita langsung berangkat ke sana. Tapi, kalian harus izin dulu sama ibu dan bapak kalian.” ucap Syakila memberi saran.
”Iya... iya...itu pastilah! Kalau jalan gak izin, yang ada mama dan papa akan marah-marah!” sahut Fitria.
”Hum, kalian kalau tidak di ingatin, kalian gak bakalan minta izin sama orang tua kalian. Itu sudah menjadi kebiasaan kalian semua, aku sudah tiga kali di tegur sama kalian punya orang tua. Orang tua kalian mengira aku yang ajak kalian pergi ke kebun dengan diam-diam tanpa harus izin sama orang tua kalian.” keluh Syakila.
Ia memasang wajah kesalnya melihat temannya satu persatu.
Teman-teman Syakila tertawa kikuk. Yang di bilang Syakila memang benar, mereka terkadang lupa untuk izin sama orang tuanya untuk ikut Syakila pergi ke kebun. Alhasil, Syakila lah yang di marahi sama orang tua mereka.
Meskipun begitu, Syakila tidak membenci atau menjauh dari teman-temannya. Karena hanya mereka sajalah yang bisa mengerti dan memahami Syakila, juga hanya mereka yang mau berteman dengan Syakila tanpa pamrih.
”Aku duluan yah, rumahku sudah sampai!” pamit Arianti dan Fitria bersamaan.
Rumah Arianti dan Fitria bersampingan.
”Iya, ingat! Jangan lupa, habis makan kita kumpul di rumah Syakila baru kita sama-sama pergi ke kebun!” ucap Helena mengingatkan.
”Dan ingat! Jangan lupa, untuk pamit sama ibu dan bapak kalian dan bawa buku PR kalian, ya. Anti jangan lupa kamu bawa puku paket mu.” sambung Syakila juga mengingatkan mereka berdua.
Mereka berdua mengangguk.” Iya,” jawabnya bersamaan.
Fitria dan Arianti masuk ke dalam rumahnya masing-masing. Syakila, Helena, Sartini melanjutkan jalannya.
”Syakila, Helena, aku sudah sampai di rumah ku. Da..dah..sampai ketemu nanti.” ucap Sartini berpamitan sambil melambaikan tangannya.
”Iya, da..dah..” sahut Syakila dan Helena.
Sekarang Syakila dan Helena sudah sampai di rumahnya masing-masing.
Di antara mereka berlima, orang tua Arianti lah yang sedikit lebih tinggi derajatnya, ayahnya seorang Polisi. Sedangkan orang tua yang lainnya, mereka hidup berkecukupan sama seperti Syakila. Tapi mereka lebih beruntung lagi dari Syakila.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 239 Episodes
Comments
Felix RH
oke kak thor
2022-10-22
1
🍾⃝ ͩSᷞɪͧᴠᷡɪ ͣ
mendarat pertama🤗 aku hadir
2021-08-25
2
🌷💚SITI.R💚🌷
sepertiy menarik nih..siap baca..sukses thor semangat..sy si jd readers aja..🤣🤣🤣
2021-07-10
4