Di kediaman Arianti.
”Mama, Arianti sudah selesai makan. Arianti pergi ke rumahnya Fitria sekarang ya, Mah.” pamit Arianti pada ibunya.
Ia mengambil tas dan memakainya, ia juga menyium punggung telapak tangan ibunya.
”Iya, hati-hati di jalan, Nak! Ingat, jangan bermain di jalan saat pergi ke kebun! Dan jangan pulang kemalaman!” sahut ibu Arianti menasehati.
”Iya, Mama.”
Arianti pergi ke rumah Fitria. Ia di sambut langsung oleh Fitria yang baru keluar dari rumah.
”Arianti, kamu sudah datang? Kamu sudah izin pada orang tuamu untuk pergi ke kebun?” tanyanya.
”Iya, aku sudah izin, kalau kamu?”
”Aku juga sudah.” jawab Fitria.
”Kalau begitu, ayo kita pergi ke rumah Syakila.” ajak Arianti. Ia menggandeng tangan Fitria.
”Ayo. Tapi, kita jemput Sartini dulu sama Helena, baru kita sama-sama ke rumahnya Syakila ya.” tawar Fitria.
Arianti mengangguk. Mereka berdua berjalan sambil bersenandung riang ke rumah Sartini. Mereka tiba di depan rumah Sartini yang pintunya masih tertutup.
"Assalamu 'alaikum... Sarti..ni... ini kami Sartini..” Anti dan Fitria bersamaan memanggil Sartini, sambil mengetuk pintu rumahnya.
”Iya sebentar ya...!” sahut Sartini dari dalam rumahnya.
Ia sedang memasukkan buku PR ke dalam tas, lalu menyium telapak tangan orang tuanya sambil berpamitan. Setelah itu, ia keluar untuk menemui temannya.
”Hai, kalian sudah izin sama orang tua kalian untuk pergi ke kebun?” tanyanya kepada kedua temannya itu.
”Iya, sudah. Kalau gak, mana mungkin kami berada disini sekarang sambil menyandang tas.” jawab Fitria dan Arianti bersamaan.
”Oh, baguslah! Kirain, kalian lupa izin lagi.” Sartini melihat Arianti, ”Eh, An, kamu gak lupa bawa buku paket yang di minta Syakila kan?” tanyanya.
Pada dasarnya, Arianti adalah orang yang pelupa. Karena itulah Sartini bertanya untuk memastikan jika ia tidak lupa membawa buku yang butuhkan Syakila.
”Tunggu! Aku cek ulang dulu.” ucap Arianti.
Ia membuka kembali tasnya, mengeluarkan buku-buku yang di bawanya. Ia tersenyum melihat buku paket yang di pesan Syakila ada dalam tasnya.
”Alhamdulillah, iya aku bawa bukunya.” ucapnya senang, sambil menyandang kembali tasnya. ”Ayo kita jalan!”
”Ya, ayo!”
Mereka bertiga berjalan ke rumahnya Helena. Dari jauh, mereka melihat Helena yang baru keluar dari rumahnya sambil menyandang tas.
Mereka bertiga berlari cepat menghampiri Helena.
”Helena...kami datang...!” teriak mereka bertiga.
”Eh, kalian datang menjemput ku?” Helena terkejut melihat kehadiran ketiga temannya itu. Mereka bertiga kompak mengangguk.
”Kalau gitu, ayo kita pergi ke rumahnya Syakila sama-sama.” ajaknya.
”Ok, ayo pergi!” ucap ketiga temannya tersebut dengan kompak.
Rumah Helena dan Syakila tidak terlalu jauh jaraknya. Kini, mereka sudah berdiri di depan pintu rumah Syakila. Mereka memanggil nama Syakila sambil mengetuk pintu rumahnya.
”Syakila... Sya ... kami datang Syakila...!” teriak mereka bersamaan.
Syakila segera membuka pintu rumah setelah mendengar namanya di panggil. Ia melihat temannya sudah bersiap.
”Eh, kalian sudah datang? Kalian semua sudah izin sama ayah dan ibu kalian, belum?” tanyanya.
”Iya, aku diizinkan sama ayah dan ibuku.” sahut mereka bersamaan.
”Oh, baguslah! Kirain kalian gak izin lagi sama orang tua kalian. Tunggu sebentar ya, aku mau ambil tas ku dulu di dalam.” ucap Syakila.
”Iya, cepat yah!" sahut mereka kompak.
Syakila mengangguk. Ia segera masuk ke dalam rumah. Tidak lama kemudian, ia kembali lagi ke depan menemui temannya dengan menyandang tas. Ia mengunci pintu rumahnya.
”Ayo kita pergi!” ajak Syakila.
”Iya, ayok!” sahut para sahabatnya dengan kompak.
Mereka berjalan kaki untuk pergi ke kebun. Jalan untuk menuju kebun tidaklah bagus dan mulus seperti jalan raya. Jalannya sedikit berlumpur akibat hujan yang turun, juga terdapat batu-batu kerikil kecil.
Berjalan kaki pergi ke kebun adalah hal biasa bagi mereka yang berkehidupan di kampung, meskipun jalannya yang tidak bagus dan juga jaraknya yang jauh. Kebun milik orang tua Syakila memang sangat jauh, jalannya pun melewati pekuburan umum menembus hutan.
Untuk sampai di kebun Syakila menggunakan dua jalur, jalur sungai dan jalan kuburan. Mereka memilih jalan kuburan untuk pergi ke kebun, karena di saat mereka pulang dari kebun nanti, mereka akan mengambil jalur sungai.
Setelah menempuh waktu satu jam lebih dalam perjalanan, kini mereka sampai di kebun. Namun, kebun Syakila melewati dua kebun milik orang baru lagi, baru sampai di kebunnya.
Mereka melihat Sarmi, mamanya Syakila sedang berjongkok mencabut rumput-rumput kecil yang tumbuh di samping samping sayur juga jagung. Mereka menyapanya.
”Assalamu 'alaikum, Bu.” sapa Syakila.
”Assalamu 'alaikum, Tante.” sapa teman-teman Syakila.
”Eh, kalian! Wa 'alaikum salam.” sahut Sarmi.
Ia berdiri untuk menyambut kedatangan anaknya dan teman-temannya itu. Mereka semua mencium punggung telapak tangan Sarmi secara bergantian mengikuti Syakila.
”Ibu, ayah di mana, Bu?" tanya Syakila.
Syakila tahu jika ayahnya tidak sedang berada di kebun. Jika ada ayahnya, yang menyambut kedatangannya, yang pertama adalah ayahnya, baru mamanya.
”Ayah mu lagi mencari kayu bakar di hutan.” sahut Sarmi.
”Oh,” singkat Syakila menyahuti.
”Kalau kakak? Kakak sudah kesini, Ibu?” tanyanya lagi menanyakan keberadaan kakaknya, Fatma.
Fatma tidak tinggal bersama mereka, ia lebih memilih tinggal bersama bibinya, adik dari Sarmi.
”Kakak mu besok baru kesini, Asya.” jawab Sarmi.
Ia sedang mencari cincinnya yang jatuh saat ia berdiri terburu-buru tadi. Ia mencari melihat ke kiri dan kanannya.
”Ibu, Ibu lagi cari apa?”
”Ibu sedang mencari cincin, cincin ibu jatuh tadi.” jawab Sarmi sambil terus mencari cincinnya.
Syakila ikut membantu mencari cincin ibunya, bukan hanya Syakila, tetapi temannya juga ikut mencari.
”Alhamdulilah, sudah ketemu!” ucap Sarmi senang sambil melihat cincin tersebut. Cincin itu adalah cincin mas kawinnya dari Halim. Ia memakai kembali cincinnya.
”Syukurlah! Ibu, kalau nenek di mana, Bu?”
”Nenekmu ada di rumah-rumah yang di atas sana!” jawab Sarmi sambil menunjuk rumah-rumah yang di maksud. ”Nenek mu lagi menjaga sayur labu juga tomat yang sudah berbuah.”
”Oh. Asya naik ke rumah dulu, lihat adik.”
”Iya, tapi, jangan ganggu adik mu.” sahut Sarmi.
Syakila mengangguk, ia menaiki anak tangga rumah untuk menemui adik-adiknya. Adik-adiknya lagi tertidur dengan pulas.
”Asya...”
Syakila mendengar suara ibunya yang memanggilnya dari luar.
”Iya, Ibu. Asya disini!” sahutnya, ia berdiri di bibir pintu rumah.
Ibu Sarmi mengangkat wajahnya melihat syakila, ”Makan dulu, Nak! Ajak juga dengan teman-teman mu untuk makan. Ibu sudah memasak jagung dengan ikan pindang. Ayo turun makan!" ucapnya.
”Iya Bu.”
Syakila segera turun dan pergi ke gode-gode yang terbuat dari bambu untuk tempat bersantai dan berkumpul untuk makan.
”Teman-teman, ayo kita makan dulu.” ajaknya pada temannya.
”Terima kasih, Tante, Asya, aku sudah makan sebelum kesini.” sahut Arianti menolak.
”Aku juga sudah makan.” tolak Helena.
”Aku juga sudah makan.” ucap Fitria dan Sartini bersamaan menolak.
”Kalau begitu, aku makan dulu, yah! Habis ini, baru kita kerjakan PR sama-sama.” sahut Syakila.
Teman-temannya mengangguk. Sarmi tersenyum lembut melihat Syakila dan teman-temannya.
Syukurlah masih ada yang mau berteman dengan anakku, meskipun anakku bukan dari anak yang berada.
Mereka memang bukan dari kalangan orang yang berada, kehidupan mereka sehari-hari hanya berkebun. Mereka pergi ke pasar hanya sesekali untuk menjual beberapa hasil kebun dan membeli kebutuhan sehari-hari.
Syakila menikmati makanannya meskipun hanya jagung dan ikan pindang yang ia makan. Beberapa menit kemudian, ia telah selesai makan. Ia kembali menemui temannya.
”Teman-teman, kita ke sana saja yuk! Kita kerjakan PR di rumah-rumah itu.” ucapnya sambil menunjuk rumah-rumah tempat neneknya berada.
”Ok, ayok!” sahut mereka kompak.
”Kalian duluan lah, aku pamit dulu sama ibuku.” ucap Syakila lagi. Teman-temannya mengangguk, mereka jalan duluan. Sedangkan Syakila, ia pergi menemui ibunya.
”Ibu, Asya sama teman-teman ke rumah atas ya Bu untuk temani nenek di sana, sekalian buat PR.” ucapnya berpamitan.
”Iya, Nak! Hati-hati kalau jalan yah, Nak. Ada beberapa titik jebakan yang terpasang di tanah untuk perangkap babi hutan.” sahut Sarmi mengingatkan.
”Iya, Ibu.” ucap Syakila.
Ia pergi menyusul temannya yang belum jauh melangkah, ”Teman-teman, hati-hati, lihat pijakan kalian, ada jebakan yang di pasang untuk babi hutan. Jangan sampai kalian menginjaknya.” ucapnya menasehati temannya, ketika ia sudah bergabung dengan teman-temannya.
”Oh, ok.” sahut temannya kompak.
Mereka berjalan dengan hati-hati memperhatikan setiap langkah kaki mereka. Kini, mereka telah sampai.
”Wah! Ternyata dari sini kita memandang ke bawah sana sangat indah, yah!” ucap Arianti, yang tertegun melihat indahnya perkebunan dari atas.
”Iya, itu benar!” ucap Fitria mengiyakan, ”Eh, ternyata, disini kamu tanam bunga juga, Sya?” tanyanya, saat melihat deretan bunga yang rapi.
Syakila memang menyukai tanaman bunga, di depan rumahnya yang di kampung, berjejer bunga-bunga yang di tanaminya. Terutama bunga matahari yang menjadi bunga kesukaannya.
Ia mengangguk sambil tersenyum, ”Iya, selama kalian berkunjung ke sini, kalian belum pernah ku ajak ke sin, kan?”
”Iya, kamu curang! Kalau tahu di sini lebih bagus, dari pertama kita ke kebun, ini akan menjadi tempat favorit kita, jika ke sini.” ucap Helena.
”Maaf, maaf! Makanya aku gak ngajak kalian ke sini, takutnya kalian tidak kuat lagi untuk ke sini, setelah capek berjalan dari kampung ke kebun.” sahut Syakila membela diri.
Ia duduk sebentar di teras rumah yang terdiri dari satu papan kayu. ”Nenek, Nenek ada di dalam?”
Tidak terdengar sahutan dari dalam rumah-rumah tersebut, Mungkin nenek lagi tidur. Benak Syakila.
Ia menarik tali yang terulur dari atas pintu rumah tersebut untuk membuka pintunya.
Krak! Pintu yang hanya terbuat dari kayu, terbuka. Ia melihat neneknya sedang tidur.
”Teman- teman, ayo masuk ke dalam!” ajaknya pada temannya, ”Tapi, jangan ribut yah, nenekku lagi tidur.”
Teman Syakila mengangguk. Mereka masuk ke dalam rumah tanpa berisik. Syakila menghampiri neneknya.
Nenekku pasti semalam tidurnya tidak nyenyak. Tidur di kebun memang kurang nyenyak karena harus tetap terjaga untuk menjaga hasil kebun dari babi hutan juga monyet.
Ia tersenyum bahagia melihat muka neneknya yang tertidur dengan pulas. Tangannya terulur membelai pipi neneknya yang sudah keriput itu.
Meski nenek sudah berumur, tapi masih kuat untuk pulang pergi ke kebun dan ke kampung. Aku juga ingin kuat seperti nenek.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 239 Episodes
Comments
R.F
2like hadir kak semangat. like balik iya
2022-11-06
0
🌷💚SITI.R💚🌷
masih nymak spriy bagus ceritau...smngat y
2021-07-10
2
mutoharoh
syakila semangat kamu pasti bisab
2021-07-03
2