NovelToon NovelToon

Takdir Syakila

eps 1

SD desa 1

Ting ting ting!! Bel sekolah berbunyi menandakan waktu pelajaran sudah berakhir. Meskipun para guru belum menyelesaikan materi pelajaran, tapi pelajaran harus segera di akhiri, karena sudah waktunya untuk anak murid pulang sekolah.

”Yeah! Kita pulang!” seru semua anak murid.

Ibu guru geleng-geleng kepala melihat tingkah anak muridnya yang lebih antusias untuk pulang ketimbang belajar.

”Anak-anak! Siap-siap untuk pulang!”

”Hore!!” seru mereka lagi dengan sangat gembira.

Ibu guru tersenyum melihat mereka. Ia bisa memaklumi akan keinginan dan apa yang ada di pikiran anak-anak pada seusia mereka, karena ia juga pernah memiliki masa kecil seperti mereka.

”Siapa yang mau pimpin doa?” Ibu guru memandang anak muridnya satu persatu, berharap di antara mereka ada yang mau maju ke depan untuk memimpin doa.

”Aku, Bu!” Gadis dengan rambut panjang berwarna hitam, berkulit putih itu mengangkat jarinya ke atas.

”Baiklah. Syakila, ayo, maju ke depan! Berdirilah di samping Ibu guru untuk pimpin doanya.” Ibu guru telah berdiri di tempatnya.

Syakila maju ke depan, ia berdiri tepat di samping ibu guru.

”Ayo di mulai!”

Syakila mengangguk, ”Iya, Bu!”

”Teman-teman, sebelum kita pulang, marilah kita berdoa terlebih dahulu. Berdoa...di mulai!” dengan lancar dan tanpa keraguan, Syakila mulai memimpin baca doa.

Serentak teman-teman Syakila dalam ruangan kelas itu menundukkan kepala dan menengadahkan kedua telapak tangan mereka keatas dada. Begitu juga Syakila dan ibu guru, menunduk dan menengadahkan tangannya ke atas untuk berdoa.

”A'udzu billahi minasy syaitoni rrojiim. Bismillahir Rahmaanir Rahim. Alhamdulillahi Rabbil 'aalamiin, Ar Rahmaanir Rahim, Maaliki Yaumid Diin, Iyyaaka na'budu wa Iyyaaka nasta'iin, Ihdinas Siraatal mustaqiim, Siraatal laziina an 'amta 'alaihim, Qhayril magdhuubi 'alaihim wa lad dallin.”

”Aamiin.” serempak seisi ruangan kelas itu mengucapkan aamiin, mengamini doa yang di bacakan Syakila.

Setelah selesai membaca surah Al Fatihah, Syakila lanjut membaca surah An-Nas dan Al ikhlas sampai selesai.

”Shadaqallahul 'adzim.” ia menutup doanya seraya menyapukan kedua telapak tangannya ke wajah.

”Aamiin.” serempak mereka semua kembali mengamini doa yang di baca Syakila, termasuk ibu guru. Lalu mereka menyapu kedua telapak tangan pada wajah mereka masing-masing.

”Alhamdulillah, terima kasih Syakila sudah mau memimpin doa.” ucap ibu guru sambil tersenyum.

”Sama-sama, Ibu guru.” sahut Syakila sambil tersenyum, membalas senyum gurunya. Ia kembali ke tempat duduknya.

Ibu guru merapikan semua perlengkapan mengajarnya, begitu juga dengan anak muridnya, mereka memasukkan kembali buku-buku pelajaran ke dalam tas. Keributan pun tak bisa di elak kan lagi, karena mereka berebut ingin segera mencium punggung telapak tangan ibu guru untuk segera pulang.

Ibu guru memukul papan tulis menggunakan penggaris panjang yang terbuat dari kayu untuk mendiamkan mereka yang ribut. Semua anak muridnya menjadi diam, setelah mendengar suara ketukan di papan tulis.

”Jika kalian ribut seperti ini, Ibu tidak akan mengizinkan kalian untuk pulang!”

Semua siswa-siswi menunduk diam, tidak bersuara walau sekecil apapun itu, juga tidak berani melihat sang ibu guru.

”Barisan yang paling rapi yang akan pulang duluan!”

Ibu guru berjalan sedikit menuju bibir pintu kelas, ia berdiri di sana dan memperhatikan anak muridnya yang terdiam dan menunduk di kursinya masing-masing.

”Barisan kedua dari sebelah kanan boleh pulang!”

Barisan deretan Syakila segera berdiri dari duduknya. Mereka berjejer satu per satu dengan rapi berjalan ke arah ibu guru, mereka menyalim tangan ibu guru lalu pulang.

Ibu guru mengulang lagi perkataannya menunjuk barisan demi barisan anak-anak yang duduknya rapi untuk pulang, hingga semua selesai.

”Syakila? Aku kira kamu sudah pulang.” sapa Arianti teman sebangku Syakila. Ia melihat Syakila masih berdiri di depan pagar sekolah, padahal Syakila pulang duluan sebelum dia.

”Aku belum pulang, Anti. Aku menunggu kalian untuk pulang bersama.” Jelas Syakila.

”Oh, lalu, tunggu apa lagi? Mari kita pulang!” ajak Arianti.

”Kita tunggu Sartini, Helena, dan Fitria dulu baru kita pulang sama-sama, ya?” tawar Syakila. Arianti mengangguk.

Syakila adalah anak kedua dari seorang ibu yang bernama Sarmi dan ayahnya bernama Halim. Sarmi dan Halim memiliki Enam orang anak dari hasil pernikahannya. Lima perempuan bernama Fatma berusia 7 tahun, Syakila berusia 6tahun, Yuli berusia 5 tahun, Ita berusia 4 tahun, Endang berusia 2 tahun. Dan seorang anak laki-laki yang bernama Hardin berusia 3 tahun. Jarak mereka memang tidak jauh, karena Sarmi tidak pernah menunda-nunda kehamilannya.

Mereka bukanlah keluarga yang kaya. Mereka hidup dengan berkecukupan. Tinggal di kampung terpencil dan di kelilingi dengan teman-teman yang baik, juga ayah dan ibu yang bijak, membuat Syakila tumbuh menjadi anak yang berbakti kepada orang tuanya.

Diantara berenam saudara, hanyalah Syakila yang memiliki sifat penurut, penyayang dan pengertian. Ia juga merupakan orang yang pendiam, meskipun banyak memiliki teman.

Syakila memang jarang sekali untuk berbicara. Di antara mereka berenam barulah Fatma dan Syakila yang bersekolah, mereka berdua sama-sama duduk di kelas 2 SD, hanya berbeda kelas.

”Hai, Syakila, Arianti, kalian sudah lama menunggu kami?” tanya Fitria, Helena, dan Sartini.

”Iya,” sahut Arianti.

”Gak juga,” sahut Syakila.

”Gak ada yang di tunggu lagi kan?” tanya Fitria. Ke empat temannya mengangguk. ”Ya sudah, sekarang kita pulang, yuk!”

”Ayo,” sahut Syakila, Helena, Sartini, dan Arianti bersamaan.

Mereka semua berjalan kaki untuk pulang menuju rumahnya masing-masing, karena jarak dari sekolah ke rumah mereka tidaklah jauh.

Kehidupan di kampung tidaklah sama dengan kehidupan di perkotaan. Kehidupan di kampung masih jauh dari kata polusi udara, karena di sana hanya beberapa orang saja yang memiliki kendaraan pribadi.

”Sore ini kita libur mengaji, kan?” tanya Fitria di sela-sela jalan mereka.

”Iya, kita libur mengaji,” katanya kak Muti, ”Ia lagi sibuk untuk mengurus sesuatu, jadi kita libur mengaji untuk hari ini dan tiga hari ke depan.” jelas Syakila.

”Lalu, kita harus lakukan apa untuk mengisi kosongnya waktu mengaji? Aku bosan main masak-masak terus!” sahut Sartini.

Mereka tampak berpikir.

”Bagaimana kalau kita pergi ke kebun Syakila saja? Kita kerjakan PR di sana, lalu kita pulang dari kebun lewat jalur sungai. Jadi, kita mandi-mandi dulu di sungai, baru deh kita pulang ke rumah.” usul Helena.

Ia sudah membayangkan betapa asyik dan serunya saat berenang nanti.

”Iya..boleh...boleh...aku mau... aku mau...!” seru Fitria, Sartini, Arianti serentak.

Syakila tampak bingung, ”Tapi, kebun mamaku sangat jauh! Terakhir kesana siapa yang mengeluh tidak akan pergi ke kebun lagi?” tanyanya.

”Arianti..!” jawab Fitria, Helena, dan Sartini kompak.

Arianti tertawa kikuk sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal mendengar namanya di sorakan.

”Tidak apa-apa, Syakila. Terakhir kali itu aku benar-benar capek, jadi refleks bilang begitu. Aku akan tetap ikut ke kebun nanti, kok.” ucap Arianti membela diri.

”Kalau kalian memang mau pergi ke kebun, setelah bergantian kita langsung berangkat ke sana. Tapi, kalian harus izin dulu sama ibu dan bapak kalian.” ucap Syakila memberi saran.

”Iya... iya...itu pastilah! Kalau jalan gak izin, yang ada mama dan papa akan marah-marah!” sahut Fitria.

”Hum, kalian kalau tidak di ingatin, kalian gak bakalan minta izin sama orang tua kalian. Itu sudah menjadi kebiasaan kalian semua, aku sudah tiga kali di tegur sama kalian punya orang tua. Orang tua kalian mengira aku yang ajak kalian pergi ke kebun dengan diam-diam tanpa harus izin sama orang tua kalian.” keluh Syakila.

Ia memasang wajah kesalnya melihat temannya satu persatu.

Teman-teman Syakila tertawa kikuk. Yang di bilang Syakila memang benar, mereka terkadang lupa untuk izin sama orang tuanya untuk ikut Syakila pergi ke kebun. Alhasil, Syakila lah yang di marahi sama orang tua mereka.

Meskipun begitu, Syakila tidak membenci atau menjauh dari teman-temannya. Karena hanya mereka sajalah yang bisa mengerti dan memahami Syakila, juga hanya mereka yang mau berteman dengan Syakila tanpa pamrih.

”Aku duluan yah, rumahku sudah sampai!” pamit Arianti dan Fitria bersamaan.

Rumah Arianti dan Fitria bersampingan.

”Iya, ingat! Jangan lupa, habis makan kita kumpul di rumah Syakila baru kita sama-sama pergi ke kebun!” ucap Helena mengingatkan.

”Dan ingat! Jangan lupa, untuk pamit sama ibu dan bapak kalian dan bawa buku PR kalian, ya. Anti jangan lupa kamu bawa puku paket mu.” sambung Syakila juga mengingatkan mereka berdua.

Mereka berdua mengangguk.” Iya,” jawabnya bersamaan.

Fitria dan Arianti masuk ke dalam rumahnya masing-masing. Syakila, Helena, Sartini melanjutkan jalannya.

”Syakila, Helena, aku sudah sampai di rumah ku. Da..dah..sampai ketemu nanti.” ucap Sartini berpamitan sambil melambaikan tangannya.

”Iya, da..dah..” sahut Syakila dan Helena.

Sekarang Syakila dan Helena sudah sampai di rumahnya masing-masing.

Di antara mereka berlima, orang tua Arianti lah yang sedikit lebih tinggi derajatnya, ayahnya seorang Polisi. Sedangkan orang tua yang lainnya, mereka hidup berkecukupan sama seperti Syakila. Tapi mereka lebih beruntung lagi dari Syakila.

eps2

Di kediaman Arianti.

”Mama, Arianti sudah selesai makan. Arianti pergi ke rumahnya Fitria sekarang ya, Mah.” pamit Arianti pada ibunya.

Ia mengambil tas dan memakainya, ia juga menyium punggung telapak tangan ibunya.

”Iya, hati-hati di jalan, Nak! Ingat, jangan bermain di jalan saat pergi ke kebun! Dan jangan pulang kemalaman!” sahut ibu Arianti menasehati.

”Iya, Mama.”

Arianti pergi ke rumah Fitria. Ia di sambut langsung oleh Fitria yang baru keluar dari rumah.

”Arianti, kamu sudah datang? Kamu sudah izin pada orang tuamu untuk pergi ke kebun?” tanyanya.

”Iya, aku sudah izin, kalau kamu?”

”Aku juga sudah.” jawab Fitria.

”Kalau begitu, ayo kita pergi ke rumah Syakila.” ajak Arianti. Ia menggandeng tangan Fitria.

”Ayo. Tapi, kita jemput Sartini dulu sama Helena, baru kita sama-sama ke rumahnya Syakila ya.” tawar Fitria.

Arianti mengangguk. Mereka berdua berjalan sambil bersenandung riang ke rumah Sartini. Mereka tiba di depan rumah Sartini yang pintunya masih tertutup.

"Assalamu 'alaikum... Sarti..ni... ini kami Sartini..” Anti dan Fitria bersamaan memanggil Sartini, sambil mengetuk pintu rumahnya.

”Iya sebentar ya...!” sahut Sartini dari dalam rumahnya.

Ia sedang memasukkan buku PR ke dalam tas, lalu menyium telapak tangan orang tuanya sambil berpamitan. Setelah itu, ia keluar untuk menemui temannya.

”Hai, kalian sudah izin sama orang tua kalian untuk pergi ke kebun?” tanyanya kepada kedua temannya itu.

”Iya, sudah. Kalau gak, mana mungkin kami berada disini sekarang sambil menyandang tas.” jawab Fitria dan Arianti bersamaan.

”Oh, baguslah! Kirain, kalian lupa izin lagi.” Sartini melihat Arianti, ”Eh, An, kamu gak lupa bawa buku paket yang di minta Syakila kan?” tanyanya.

Pada dasarnya, Arianti adalah orang yang pelupa. Karena itulah Sartini bertanya untuk memastikan jika ia tidak lupa membawa buku yang butuhkan Syakila.

”Tunggu! Aku cek ulang dulu.” ucap Arianti.

Ia membuka kembali tasnya, mengeluarkan buku-buku yang di bawanya. Ia tersenyum melihat buku paket yang di pesan Syakila ada dalam tasnya.

”Alhamdulillah, iya aku bawa bukunya.” ucapnya senang, sambil menyandang kembali tasnya. ”Ayo kita jalan!”

”Ya, ayo!”

Mereka bertiga berjalan ke rumahnya Helena. Dari jauh, mereka melihat Helena yang baru keluar dari rumahnya sambil menyandang tas.

Mereka bertiga berlari cepat menghampiri Helena.

”Helena...kami datang...!” teriak mereka bertiga.

”Eh, kalian datang menjemput ku?” Helena terkejut melihat kehadiran ketiga temannya itu. Mereka bertiga kompak mengangguk.

”Kalau gitu, ayo kita pergi ke rumahnya Syakila sama-sama.” ajaknya.

”Ok, ayo pergi!” ucap ketiga temannya tersebut dengan kompak.

Rumah Helena dan Syakila tidak terlalu jauh jaraknya. Kini, mereka sudah berdiri di depan pintu rumah Syakila. Mereka memanggil nama Syakila sambil mengetuk pintu rumahnya.

”Syakila... Sya ... kami datang Syakila...!” teriak mereka bersamaan.

Syakila segera membuka pintu rumah setelah mendengar namanya di panggil. Ia melihat temannya sudah bersiap.

”Eh, kalian sudah datang? Kalian semua sudah izin sama ayah dan ibu kalian, belum?” tanyanya.

”Iya, aku diizinkan sama ayah dan ibuku.” sahut mereka bersamaan.

”Oh, baguslah! Kirain kalian gak izin lagi sama orang tua kalian. Tunggu sebentar ya, aku mau ambil tas ku dulu di dalam.” ucap Syakila.

”Iya, cepat yah!" sahut mereka kompak.

Syakila mengangguk. Ia segera masuk ke dalam rumah. Tidak lama kemudian, ia kembali lagi ke depan menemui temannya dengan menyandang tas. Ia mengunci pintu rumahnya.

”Ayo kita pergi!” ajak Syakila.

”Iya, ayok!” sahut para sahabatnya dengan kompak.

Mereka berjalan kaki untuk pergi ke kebun. Jalan untuk menuju kebun tidaklah bagus dan mulus seperti jalan raya. Jalannya sedikit berlumpur akibat hujan yang turun, juga terdapat batu-batu kerikil kecil.

Berjalan kaki pergi ke kebun adalah hal biasa bagi mereka yang berkehidupan di kampung, meskipun jalannya yang tidak bagus dan juga jaraknya yang jauh. Kebun milik orang tua Syakila memang sangat jauh, jalannya pun melewati pekuburan umum menembus hutan.

Untuk sampai di kebun Syakila menggunakan dua jalur, jalur sungai dan jalan kuburan. Mereka memilih jalan kuburan untuk pergi ke kebun, karena di saat mereka pulang dari kebun nanti, mereka akan mengambil jalur sungai.

Setelah menempuh waktu satu jam lebih dalam perjalanan, kini mereka sampai di kebun. Namun, kebun Syakila melewati dua kebun milik orang baru lagi, baru sampai di kebunnya.

Mereka melihat Sarmi, mamanya Syakila sedang berjongkok mencabut rumput-rumput kecil yang tumbuh di samping samping sayur juga jagung. Mereka menyapanya.

”Assalamu 'alaikum, Bu.” sapa Syakila.

”Assalamu 'alaikum, Tante.” sapa teman-teman Syakila.

”Eh, kalian! Wa 'alaikum salam.” sahut Sarmi.

Ia berdiri untuk menyambut kedatangan anaknya dan teman-temannya itu. Mereka semua mencium punggung telapak tangan Sarmi secara bergantian mengikuti Syakila.

”Ibu, ayah di mana, Bu?" tanya Syakila.

Syakila tahu jika ayahnya tidak sedang berada di kebun. Jika ada ayahnya, yang menyambut kedatangannya, yang pertama adalah ayahnya, baru mamanya.

”Ayah mu lagi mencari kayu bakar di hutan.” sahut Sarmi.

”Oh,” singkat Syakila menyahuti.

”Kalau kakak? Kakak sudah kesini, Ibu?” tanyanya lagi menanyakan keberadaan kakaknya, Fatma.

Fatma tidak tinggal bersama mereka, ia lebih memilih tinggal bersama bibinya, adik dari Sarmi.

”Kakak mu besok baru kesini, Asya.” jawab Sarmi.

Ia sedang mencari cincinnya yang jatuh saat ia berdiri terburu-buru tadi. Ia mencari melihat ke kiri dan kanannya.

”Ibu, Ibu lagi cari apa?”

”Ibu sedang mencari cincin, cincin ibu jatuh tadi.” jawab Sarmi sambil terus mencari cincinnya.

Syakila ikut membantu mencari cincin ibunya, bukan hanya Syakila, tetapi temannya juga ikut mencari.

”Alhamdulilah, sudah ketemu!” ucap Sarmi senang sambil melihat cincin tersebut. Cincin itu adalah cincin mas kawinnya dari Halim. Ia memakai kembali cincinnya.

”Syukurlah! Ibu, kalau nenek di mana, Bu?”

”Nenekmu ada di rumah-rumah yang di atas sana!” jawab Sarmi sambil menunjuk rumah-rumah yang di maksud. ”Nenek mu lagi menjaga sayur labu juga tomat yang sudah berbuah.”

”Oh. Asya naik ke rumah dulu, lihat adik.”

”Iya, tapi, jangan ganggu adik mu.” sahut Sarmi.

Syakila mengangguk, ia menaiki anak tangga rumah untuk menemui adik-adiknya. Adik-adiknya lagi tertidur dengan pulas.

”Asya...”

Syakila mendengar suara ibunya yang memanggilnya dari luar.

”Iya, Ibu. Asya disini!” sahutnya, ia berdiri di bibir pintu rumah.

Ibu Sarmi mengangkat wajahnya melihat syakila, ”Makan dulu, Nak! Ajak juga dengan teman-teman mu untuk makan. Ibu sudah memasak jagung dengan ikan pindang. Ayo turun makan!" ucapnya.

”Iya Bu.”

Syakila segera turun dan pergi ke gode-gode yang terbuat dari bambu untuk tempat bersantai dan berkumpul untuk makan.

”Teman-teman, ayo kita makan dulu.” ajaknya pada temannya.

”Terima kasih, Tante, Asya, aku sudah makan sebelum kesini.” sahut Arianti menolak.

”Aku juga sudah makan.” tolak Helena.

”Aku juga sudah makan.” ucap Fitria dan Sartini bersamaan menolak.

”Kalau begitu, aku makan dulu, yah! Habis ini, baru kita kerjakan PR sama-sama.” sahut Syakila.

Teman-temannya mengangguk. Sarmi tersenyum lembut melihat Syakila dan teman-temannya.

Syukurlah masih ada yang mau berteman dengan anakku, meskipun anakku bukan dari anak yang berada.

Mereka memang bukan dari kalangan orang yang berada, kehidupan mereka sehari-hari hanya berkebun. Mereka pergi ke pasar hanya sesekali untuk menjual beberapa hasil kebun dan membeli kebutuhan sehari-hari.

Syakila menikmati makanannya meskipun hanya jagung dan ikan pindang yang ia makan. Beberapa menit kemudian, ia telah selesai makan. Ia kembali menemui temannya.

”Teman-teman, kita ke sana saja yuk! Kita kerjakan PR di rumah-rumah itu.” ucapnya sambil menunjuk rumah-rumah tempat neneknya berada.

”Ok, ayok!” sahut mereka kompak.

”Kalian duluan lah, aku pamit dulu sama ibuku.” ucap Syakila lagi. Teman-temannya mengangguk, mereka jalan duluan. Sedangkan Syakila, ia pergi menemui ibunya.

”Ibu, Asya sama teman-teman ke rumah atas ya Bu untuk temani nenek di sana, sekalian buat PR.” ucapnya berpamitan.

”Iya, Nak! Hati-hati kalau jalan yah, Nak. Ada beberapa titik jebakan yang terpasang di tanah untuk perangkap babi hutan.” sahut Sarmi mengingatkan.

”Iya, Ibu.” ucap Syakila.

Ia pergi menyusul temannya yang belum jauh melangkah, ”Teman-teman, hati-hati, lihat pijakan kalian, ada jebakan yang di pasang untuk babi hutan. Jangan sampai kalian menginjaknya.” ucapnya menasehati temannya, ketika ia sudah bergabung dengan teman-temannya.

”Oh, ok.” sahut temannya kompak.

Mereka berjalan dengan hati-hati memperhatikan setiap langkah kaki mereka. Kini, mereka telah sampai.

”Wah! Ternyata dari sini kita memandang ke bawah sana sangat indah, yah!” ucap Arianti, yang tertegun melihat indahnya perkebunan dari atas.

”Iya, itu benar!” ucap Fitria mengiyakan, ”Eh, ternyata, disini kamu tanam bunga juga, Sya?” tanyanya, saat melihat deretan bunga yang rapi.

Syakila memang menyukai tanaman bunga, di depan rumahnya yang di kampung, berjejer bunga-bunga yang di tanaminya. Terutama bunga matahari yang menjadi bunga kesukaannya.

Ia mengangguk sambil tersenyum, ”Iya, selama kalian berkunjung ke sini, kalian belum pernah ku ajak ke sin, kan?”

”Iya, kamu curang! Kalau tahu di sini lebih bagus, dari pertama kita ke kebun, ini akan menjadi tempat favorit kita, jika ke sini.” ucap Helena.

”Maaf, maaf! Makanya aku gak ngajak kalian ke sini, takutnya kalian tidak kuat lagi untuk ke sini, setelah capek berjalan dari kampung ke kebun.” sahut Syakila membela diri.

Ia duduk sebentar di teras rumah yang terdiri dari satu papan kayu. ”Nenek, Nenek ada di dalam?”

Tidak terdengar sahutan dari dalam rumah-rumah tersebut, Mungkin nenek lagi tidur. Benak Syakila.

Ia menarik tali yang terulur dari atas pintu rumah tersebut untuk membuka pintunya.

Krak! Pintu yang hanya terbuat dari kayu, terbuka. Ia melihat neneknya sedang tidur.

”Teman- teman, ayo masuk ke dalam!” ajaknya pada temannya, ”Tapi, jangan ribut yah, nenekku lagi tidur.”

Teman Syakila mengangguk. Mereka masuk ke dalam rumah tanpa berisik. Syakila menghampiri neneknya.

Nenekku pasti semalam tidurnya tidak nyenyak. Tidur di kebun memang kurang nyenyak karena harus tetap terjaga untuk menjaga hasil kebun dari babi hutan juga monyet.

Ia tersenyum bahagia melihat muka neneknya yang tertidur dengan pulas. Tangannya terulur membelai pipi neneknya yang sudah keriput itu.

Meski nenek sudah berumur, tapi masih kuat untuk pulang pergi ke kebun dan ke kampung. Aku juga ingin kuat seperti nenek.

eps3

Di kebun Sarmi.

Kini Syakila dan temannya lagi fokus mengerjakan pekerjaan rumah mereka, mereka bekerja sama untuk menyelesaikannya.

”Sya, yang ini aku tidak mengerti. Apa kamu mengerti dengan pertanyaan ini?” ucap Sartini, ia menampakkan wajah bodohnya.

Syakila melihat Sartini, ”Yang mana Tin, yang kamu tidak mengerti?” tanyanya.

Sartini mengangkat bukunya, menunjukan pada Syakila. ”Yang ini, Sya. Apa kamu tahu jawabannya?”

Syakila terdiam, membaca soal dan memahaminya, ”Oh, yang ini. Masa kamu tidak tahu? Ini kan berkaitan dengan Pancasila. Kamu hafal gak Pancasila beserta simbol-simbolnya?” ucapnya kemudian.

Sartini terkekeh kecil, ”Hehehe, aku belum hafal!” ucapnya, ia merasa sedikit malu.

Syakila memukul jidatnya pelan. ”Tini... di setiap hari Senin kita upacara selalu di bacakan loh! Dan baru tiga hari yang lalu ibu guru menjelaskan di depan kelas, masa kamu sudah lupa?”

”Yah, maklum, Asya! Sartini dan Arianti kan memang pelupa orangnya.” sahut Helena dan Fitria bersamaan sambil tersenyum mengejek.

”Yah, kok aku di bawa-bawa!” protes Arianti. Ia tidak terima di katakan dirinya sama dengan Sartini, yaitu pelupa. Arianti memasang wajah murungnya, hingga membuat yang lain tertawa melihatnya.

”Sttttssstt!!” Syakila menaruh telunjuk pada bibirnya. ”Nenekku lagi tidur! Ketawanya pelan-pelan saja!” ucapnya pelan.

Helena, Fitria, dan Sartini terdiam sambil menoleh melihat ke arah nenek Syakila yang masih tidur.

”Sini, aku jelasin sedikit! Tapi, aku jelasin yang aku tahu saja, yah!” ucap Syakila kemudian, setelah suasana hening kembali.

”Iya,” sahut Sartini.

Syakila mengambil buku Sartini. Ia mulai menjelaskan kepada Sartini tentang Pancasila yang di ketahui nya. Bukan hanya Sartini, tetapi Helena, Fitria, Arianti juga ikut mendengarkan penjelasan Syakila. Dari berapa jumlah Pancasila, bunyinya, makna yang terkandung, contohnya, simbolnya bahkan posisi gambarnya di dalam bagan burung Garuda.

”Jadi, bagaimana? kamu sudah mengerti Sartini?” tanyanya kemudian, setelah ia selesai menjelaskan.

Sartini mengangguk, ”Oh, iya, sekarang aku sudah mengerti!” sahutnya, ”Jadi, ini termasuk pengamalan sila ke satu dalam Pancasila kan, jawabannya?” ia ulang bertanya untuk memastikan.

”Iya, Tini,” jawab Syakila.

Sekarang mereka telah selesai mengerjakan tugas sekolahnya, mereka kini sedang bermain-main menggunakan dedaunan. Mereka membuat bentuk candi dari batang daun singkong, membuat kalung dan gelang. Baru mereka memakainya untuk saling memamerkan jika buatannya lebih bagus dari yang lain.

Puas dengan bermain itu, mereka ingin membantu Sarmi yang sedang memetik sayur mayur. Terkecuali Syakila, ia sedang merawat bunganya.

”Tante, kami bantuin metik sayurnya, ya.” ucap Fitria menawarkan diri.

”Eh, tidak usah! Kalian bermain saja, ini juga tinggal sedikit. Kalian sudah selesai kerjakan PR?” sahut Sarmi, tangannya masih memetik sayur mayur.

”Iya, Tante. Kami sudah selesai mengerjakan PR nya.” jawab mereka kompak.

”Kalau begitu, sebaiknya kalian pulang ke kampung. Ini sudah jam setengah 5 sore. Kalau tidak, nanti kalian akan kemalaman di jalan. Apa kalian tidak takut nantinya kalau bertemu malam di perjalanan pulang? Dimana Syakila?”

”Syakila, Syakila lagi bersihin rumput di bunga-bunganya, Tante.” Arianti yang menjawab

”Tolongin Tante, panggilkan Syakila, yah.” pinta Sarmi.

”Baik, Tante.” sahut Helena. Ia segera pergi menghampiri Syakila untuk memberitahu padanya, jika ibunya sedang memanggilnya. Sedangkan Arianti, Sartini, dan Fitria mereka menunggu Helena dan Syakila di gode-gode.

Helena tiba di samping Syakila yang masih duduk di depan bunga-bunganya, ”Syakila, ibumu memanggilmu.” katanya, ”Kita harus pulang sekarang!” ucapnya.

”Iya, baiklah. Di mana yang lain?” sahut Syakila sambil berdiri.

”Mereka ada di bawah sana!” sahut Helena sambil menunjuk temannya yang lagi duduk di gode-gode. Syakila melihat arah tunjuk Helena. Benar, temannya sedang duduk di gode-gode.

”Oh, apa kalian sudah mengambil tas?” tanya Syakila lagi.

”Yah, belum! Aku panggil mereka dulu ya untuk ambil tasnya.” pamit Helena.

”Tidak usah!” Cegah Syakila. ”Kamu akan capek pulang pergi nantinya. Mending, kita bawakan saja tas-tas mereka. Ayo, bantu aku membawakannya!”

Helena mengangguk. Syakila masuk ke dalam rumah mengambil tasnya juga tas teman-temannya.

”Nenek? Nenek, sudah bangun?” tanyanya pada sang nenek. Saat ia masuk ke rumah, ia melihat neneknya sudah duduk di samping jendela kecil yang terbuat dari sepotong papan.

”Dari tadi Nenek bangun nya, kamu mau pulang sekarang?” tanya sang nenek saat melihat Syakila menyandang tas dan tangannya memegang tas-tas yang lain.

”Iya, Nek. Syakila mau pulang sekarang.” jawab Syakila.

Syakila melangkah ke bibir pintu memberikan tas milik Helena dan memberikan satu tas milik Arianti padanya.

”Bantu Nenek dulu tumbuk sirih pinang.” pinta sang Nenek.

”Baik, Nek. Sebentar yah!” Syakila mendekati Helena. ”Helena, kamu duluan kebawah yah. Aku mau tumbuk sirih pinang dulu untuk nenekku.” ucapnya.

Helena mengangguk. Ia pergi ke bawah sendirian dengan membawa tasnya juga tas Arianti.

Syakila mendekati neneknya dan duduk di depannya, ”Mari Nek, Syakila akan menumbuknya untuk Nenek.”

Syakila meraih lesung kecil untuk menumbuk sirih milik nenek yang berada di tangan sang nenek.

Sang Nenek memasukkan beberapa sirih yang sudah di buka tulang daunnya yang sebelumnya di gulung gulung sampai kecil lalu di potong-potong kecil ke dalam lesung. Lalu ia menambahkan sepotong pinang ukuran dadu, hapuk dan gambir baru Syakila menumbuknya sampai halus.

”Ini Nek. Sirihnya sudah halus.” ucapnya sambil menyerahkan kepada sang nenek. Nenek mengambilnya. ”Syakila pulang yah, Nek.” pamitnya. Ia mencium punggung tangan sang nenek.

”Hati hati di jalan!”

”Iya, Nenek.”

Syakila segera turun menyusul Helena kebawah dengan menyandang tasnya dan memegang tas milik Fitria dan Sartini. Ia menghampiri teman-temannya dan memberikan tas milik Sartini dan Fitria padanya.

”Ibu, Syakila pulang ke kampung dulu, Bu. Besok, pulang dari sekolah baru Syakila kesini lagi.” pamitnya sambil mencium punggung tangan ibunya. Teman-teman Syakila juga ikut mencium punggung telapak tangan Sarmi.

”Iya, kalian hati hati di jalan. Jangan banyak main saat di jalan!” sahut Sarmi menasihati.

”Iya, Ibu,” sahut Syakila.

”Iya, Tante!” sahut Fitria, Helena, Arianti, Sartini kompak.

Sarmi mengambil beberapa bungkusan plastik yang berisi sayur mentah yang di petik dari kebun untuk di berikan kepada Syakila dan temannya.

”Asya!” Sarmi memanggil Syakila yang hendak jalan.

Syakila berbalik. ”Iya, Ibu. Ada apa?” tanyanya lembut.

Sarmi memberikan rantang makanan untuk Syakila dan satu plastik sayur. Dan juga beberapa kantung plastik sayur yang sudah diikat.

”Ini, satu plastik yang ada rantang makanan itu untuk kamu, sampai di kampung, kamu tinggal masak sayur saja, ikan dan jagung ada disini. Dan ini bagi-bagikan satu-satu kepada temanmu, ya.” jelasnya.

”Iya, Ibu. Terima kasih!” sahut Syakila, ”Bapak belum datang juga kah, Bu? Asya mau pamit sama bapak.”

”Bapak mu belum pulang, Nak! Mungkin sedikit lagi, bapak cari kayu bakarnya mungkin banyak makanya belum pulang. Nanti Ibu sampaikan sama bapak mu kalau kamu mencarinya saat ia pulang nanti.”

”Iya, Ibu. Asya pulang, Bu. Assalamu 'alaikum!” pamitnya.

”Wa 'alaikum salam,” sahut Sarmi.

Syakila dan teman-temannya pulang kembali ke kampung dengan menempuh perjalanan yang lumayan jauh. Namun, kali ini mereka melewati jalur sungai, seperti yang sudah mereka sepakati sebelumnya.

Mereka semua berjalan sambil bersenandung riang. Setelah lumayan jauh mereka menempuh perjalanan, mereka terlihat sangat gembira ketika telinga mereka menangkap suara aliran air sungai yang mengalir.

”E..e..eh coba dengar itu! Itu suara air sungai, kita sudah dekat dengan sungai!” ucap Fitria dengan senang. Yang lain ikut mendengarkan.

”Eh, iya benar, itu suara air sungai. Yeah! kita mandi-mandi!” ucap Arianti dengan gembira.

Mereka semua berjalan sedikit berlari agar mereka cepat sampai ke sungai. Setelah sampai, mereka belum juga mandi, tapi mereka menyebrangi sungainya dulu hingga ke sebrang sana. Setelah menyebrangi sungai, mereka menyimpan tas mereka di atas bebatuan besar.

Kini mereka berdiri berjejer rapi di atas bebatuan besar lainnya, mereka bersiap-siap untuk melompat ke dalam air.

”Dalam hitungan ketiga, kita sama-sama menyebur ke dalam sungai, yah! Kita hitungnya secara bersamaan, ok” ucap Syakila.

”Ok,” sahut Fitria, Helena, Sartini, dan Arianti bersamaan.

”Satu... dua... tiga..!”

Byur!

Plung!

Byur!

Bunyi suara di air ketika mereka meloncat ke dalamnya. Mereka tertawa bahagia bersama-sama.

”Hahahaha.”

”Hahahaha, asyik sekali!” kata Helena dengan senang.

”Iya, sangat asyik!” ucap Arianti, Sartini, dan Syakila bersamaan.

”Iya, seru juga!” ucap Fitria. ”Eh, loncatnya Arianti tadi kayak takut-takut, ya?” Fitria melihat Arianti, ”Kamu takut Arianti?” tanyanya.

Arianti memang sedikit gugup saat melompat tadi, karena ia tidak pernah melompat seperti itu jika mau mandi atau berenang di sungai.

”A-a-aku tidak takut kok!” elaknya dengan gugup. ”Buktinya aku lompat juga, kan?”

”Iya, iya! Percaya, percaya!” sahut Fitria dan Sartini bersamaan, namun, dengan nada mengejek.

”Eh, nanti kita ulangi yah lompat dari atas batu yang tinggi itu!” ucap Helena sambil menunjuk batu yang sedikit tinggi dari batu yang mereka lompat tadi.

”Ok.” sahut Syakila, Fitria, Sartini, dan Arianti kompak.

Mereka sekarang sedang asyik bermain di dalam air, mereka main siram siraman juga berlomba berenang dan berlomba siapa yang paling lama berada di dalam air. Setelah puas bermain, mereka kembali ke atas batu.

Mereka kembali berjejer rapi di bebatuan yang di tunjuk Helena tadi, bersiap untuk melompat.

”Satu... dua... tiga..!” Mereka kembali menghitung secara bersamaan dan melompat ke dalam sungai.

Byur!

Plung!

Bunyi itu kembali terdengar setelah mereka loncat ke dalam air sungai.

”Eh, kita sudahan, yok! Ini sudah mau Maghrib. Kita pulang sekarang!” ucap Syakila. Ia telah keluar dari dalam sungai.

”Eh, iya yah, sudah mau Maghrib. Iya, ayok kita pulang! Kalau pulang agak malam nanti mama dan papa marah.” sahut mereka kompak.

Akhirnya mereka keluar dari sungai, mereka kembali memakai tasnya.

”Ini, ada sedikit sayur dari ibuku.” ucapnya seraya membagikan satu plastik sayur kepada temannya, sesuai perintah dari ibunya. ”Terima kasih, kalian sudah menemaniku ke kebun.” ucapnya dengan tulus.

”Iya, sama-sama! Besok, kita ke sana lagi, yah! kan, masih libur juga ngajinya.” ucap mereka kompak.

”Boleh! Yang penting, kalian harus izin kepada bapak dan ibu kalian.” sahut Syakila menasehati.

”Iya, tentu saja!” ucap mereka kompak.

Sungai adalah tempat mereka untuk mandi dan mencuci. Dan karena air sungai tidak berada jauh dari rumah-rumah mereka, kini mereka sudah sampai di kampung. Mereka berjalan terpisah-pisah menuju rumahnya masing-masing.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!