Malam hari di kebun Sarmi.
”Bapak baru pulang?” tanya Sarmi pada suaminya.
Ia melihat Halim, suaminya yang baru datang dengan memikul kayu bakar. Halim menurunkan kayu-kayu bakar yang dipikulnya ke tanah.
Ia duduk bersandar pada dinding gode-gode mengistirahatkan dirinya, ia memandang istrinya.
”Iya, sayang. Maaf, Papa lama datangnya. Mari sini duduk di sampingku.” sahutnya sambil menepuk lantai di sampingnya.
Sarmi datang mendekat dengan membawa segelas air putih di tangannya, ia memberikan gelas berisi air itu kepada Halim, suaminya. Lalu, ia duduk di samping suaminya tersebut.
Halim meminum airnya sampai habis, lalu, ia meletakkan gelas kosong itu di samping kirinya. Ia memandang wajah istrinya lekat lekat.
”Ada apa Pa, mengapa memandang Mama seperti itu? Apa ada yang salah dengan wajah Mama?”
Halim menggeleng, ia tersenyum kecil. ”Tidak ada apa-apa di wajah Mama, hanya saja...Mama semakin cantik.” godanya.
”Apaan sih, Pa. Sudah tua, gombalnya Uda gak laku lagi, Pa.” ucap Sarmi, namun, wajahnya terlukis jika ia senang di puji oleh suaminya tersebut.
Halim terkekeh menerima cubitan kecil di lengannya, ”Mama, tadi Papa bertemu dengan temannya Papa di jalan, saat Papa mau masuk ke hutan, yang kebetulan dia ingin menemui adiknya yang ada di kebun. Papa di ajak duduk sebentar untuk bercerita dengannya.”
Ia menceritakan alasan keterlambatannya pulang ke kebun. Tanpa menunggu Sarmi bertanya padanya.
”Oh, jadi karena itu Papa terlambat pulangnya? Teman mu yang mana, Pa? Teman mu terlalu banyak. Apa yang dia bicarakan sama Papa?” sahut Sarmi penasaran. Ia memperhatikan wajah suaminya dengan serius.
”Namanya Anton, Mama mengenalinya. Dia menawarkan Papa sesuatu, tapi, Papa belum menjawab keinginannya. Papa ingin berunding denganmu dulu, baru Papa akan menjawab apa Papa akan menerima atau menolak tawarannya itu.” ucap Halim sambil mencubit sedikit hidung mancung istrinya.
”Memangnya, harus ya berunding dulu dengan Mama, Pa? Sepertinya sangat penting dan serius! Tentang apa itu Pa?”
Halim menghela nafas, ”Iya, ini memang penting untuk kelangsungan hidup kita, Ma. Dia menawarkan Papa untuk kerja sama dalam urusan berdagang.” ucapnya
”Lalu?”
”Jika Mama menyetujui dan mengizinkan Papa, Papa akan menerima tawarannya. Bagaimana menurut, Mama?”
Sarmi tersenyum, ”Jika menurut Papa itu baik untuk kita, jangan ragu, Papa terima saja.”
Halim bahagia mendengarnya, ”Jadi, Mama setuju jika Papa menerima tawarannya Anton?” tanyanya kembali memastikan.
Sarmi mengangguk, ”Iya, Mama setuju.” jawabnya meyakinkan.
”Kalau begitu, Papa akan menemui Anton besok di kampung. Papa akan memberitahunya jika Papa menerima tawarannya. Sekaligus Papa akan mengambil tiketnya.” ucap Halim dengan bahagia.
Sarmi terbengong menatap suaminya.
Mengambil tiket? Untuk apa? Jangan-jangan suamiku akan pergi ke kota A, karena Anton berdagang di sana?
”Kenapa bengong, Ma?” tanya Halim lembut memegang dagu istrinya, saat ia melihat istrinya terbengong.
”Mama bingung tentang ucapan Papa mengambil tiketnya. Apa maksud Papa? Papa akan merantau ke kota A?” tanya Sarmi dengan ragu-ragu.
”Oh, itu. Iya, Papa akan berangkat lusa ke kota A. Karena, di sanalah tempat usaha Anton. Lalu, apa Mama berubah pikiran? Tidak mengizinkan Papa ke sana?”
Sarmi terdiam.
Benarkan suamiku akan berangkat ke kota tersebut. Apa aku harus mengizinkannya? Jika aku tidak mengizinkan, apa dia akan kecewa padaku?
Ia memandang suaminya, suaminya itu sedang memandang penuh harap kepada dirinya agar ia diizinkan. Ia berpikir, ini juga untuk kebaikan mereka sekeluarga. Sarmi yang memandang suaminya tanpa kedip itu, ia tahu dari tatapan matanya, jika ia sangat berharap untuk diizinkan pergi ke sana.
Ia melapangkan dadanya. ”Jika itu yang terbaik untuk kita kedepannya, pergilah! Mama mengizinkan Papa untuk merantau ke kota tersebut.” ucapnya sambil tersenyum.
”Mama yakin untuk izinkan Papa?” Halim kembali bertanya untuk meyakinkan. ”Papa di sana akan lama.” katanya dia "Papa di beri waktu selama enam bulan untuk mengatur dagangannya. Jika Papa berhasil dalam waktu enam bulan itu, Papa bisa menjemput mu dan anak-anak untuk pergi ke sana bersama. Kita akan tinggal dan berkumpul bersama di sana.”
”Apa?” Sarmi terkejut. ”Waktu enam bulan? Selama enam bulan Papa di sana dan Mama disini? Kita akan berpisah selama enam bulan, Pa?” Sarmi memasang wajah sedihnya.
Halim mengangguk ragu-ragu. ”Mama tidak setuju?”
Sarmi menghela nafas. Ia mencoba untuk melapangkan lagi hatinya.
”Mama setuju, Pa. Yang penting, Papa jaga diri Papa selama Papa berada di sana. Dan Mama harap, Papa tetap setia pada Mama.”
Halim sangat gembira sekali mendengar perkataan istrinya itu.
”Terima kasih, Mama. Papa janji, Papa akan menjaga diri Papa dengan baik untuk Mama dan untuk anak-anak kita.” ucapnya meyakinkan.
Ia menarik kepala istrinya lalu mengecup dahinya. Sarmi menutup matanya merasakan kecupan hangat di dahinya itu.
Lusa, lusa aku tidak bisa merasakan ciuman hangat di keningku lagi. Karena ia akan pergi ke kota A besok lusa.
”Ibu dimana?” tanya Halim setelah ia melepaskan ciumannya.
”Ibu sudah tidur, setelah selesai makan malam.”
”Anak-anak?”
”Anak-anak juga sudah tidur. Pa, tadi Syakila datang kesini bersama teman-temannya. Sepertinya, dia merindukan Papanya karena ia menanyakan mu terus, bahkan sempat menunggu mu pulang untuk ia berpamitan dengan mu.”
”Hum, Syakila pasti akan merindukan ku.” sahut Halim. ”Mama cemburu?” ucapnya lagi menggoda sang istri.
”Tidak! Mama tidak cemburu!” elak Sarmi. ”Mama tahu dari bayi, Syakila terus menempel padamu, bahkan mau tidur saja kecuali di pelukanmu baru ia nyenyak tidurnya.”
Halim terkekeh mendengar jawaban istrinya. Karena hanya itu-itu saja jawabannya jika sudah bertanya tentang rasa cemburunya.
Syakila memang lebih dekat sama Halim ketimbang sama Sarmi dan hal itu membuat Sarmi cemburu padanya. Karena Syakila tidak ingin bermanja-manja pada Sarmi. Dan itu Halim ketahui dari ibu mertuanya, itulah sebabnya ia selalu menggoda istrinya itu.
”Oh ya? Benarkah begitu?” tanya Halim sambil menahan kekehannya.
Sarmi sangat kesal. Ia berdiri dari duduknya. ”Ah, sudahlah! Malas, aku berbicara.”
Halim tersenyum. Ia menahan tangan istrinya yang hendak pergi darinya, menariknya, sehingga Sarmi terjatuh dalam pelukannya. Ia memeluk istrinya itu dengan mesra.
”Jangan cemburu! Bukankah sering ku beritahu, jika Syakila menyayangimu juga?” ucapnya pelan.
Sarmi mengangguk dalam pelukan suaminya. ”Iya, Pa. Papa, Papa sudah makan malam?”
Halim menggeleng, ”Belum.”
Kening Sarmi mengerut. ”Mama kira Papa sudah makan bersama Anton.”
”Belum, sayang! Papa ingin makan berdua sama Mama.”
”Kalau begitu, bisakah Papa melepaskan pelukannya sebentar? Mama ingin menyiapkan makanan untuk kita. Mama sudah lapar.” ucap Sarmi.
”Hum, baiklah.”
Halim melepaskan pelukannya dan membiarkan sang istri menyiapkan hidangan makan malam untuk mereka berdua. Selama sang istri menyiapkan makanan, ia terus memandangnya.
”Papa mari makan, Mama sudah siapkan semuanya.”
”Hum.” jawab Halim singkat.
Ia mengikuti langkah kaki istrinya. Mereka duduk makan berdua di atas karpet yang di gerai di atas tanah.
Mereka makan seadanya, Jagung, ikan pindang, sayur bening bayam campur terong, dan kukusan ubi jalar dan ubi kayu.
”Mama pasti akan merindukan saat-saat seperti ini, Pa.” ucap Sarmi, setelah mereka selesai makan, mereka kembali duduk di gode-gode.
”Yakinlah Mah, kita akan selalu seperti ini. Ini hanya sementara saja, jika Mama ragu, Papa tidak mengapa untuk membatalkannya.”
”Tidak, Pa! Jangan batalkan! Maaf, jika Mama seperti ini. Mama hanya belum terbiasa jika tidak ada Papa di sisi Mama.” ucap Sarmi dengan sedih.
”Sabarlah sayang, aku pasti akan kembali untuk kalian. Karena kalian sangat berarti untuk hidupku, jika Papa tidak memikirkan masa depan anak-anak, Papa juga tidak ingin berpisah dengan Mama dan anak-anak.” jelas Halim.
Ia membelai punggung istrinya dan membawanya dalam pelukannya.
”Papa sangat menyayangi Mama. Papa tau, apa yang sebenarnya Mama ragukan.” ucapnya lagi.
Sarmi terdiam, ia menegakkan kepalanya melihat Halim, suaminya.
”Papa tau apa yang Mama ragukan?”
Halim mengangguk, ”Papa sangat tahu itu! Mama, ingatlah ini, Papa hanya mencintai Mama seorang di dunia ini. Mama jangan khawatir kan cinta Papa untuk Mama. Hati Papa, jiwa Papa dan raga Papa hanya untuk Mama. Apa Mama masih ragu lagi?” ia menatap lekat wajah istrinya.
”Mama tidak akan ragu lagi jika Papa sudah bisa meyakinkan diri Papa sendiri. Mama percaya kepada Papa.”
”Terima kasih, Ma. Keyakinan dan kepercayaan Mama, juga cinta Mama ke Papa, itu Papa jadikan pegangan Papa untuk semangat mencari nanti selama di sana.” ia mencium kening Sarmi.
Sarmi tersenyum bahagia. Kata-kata yang di utarakan suaminya cukup menenangkan hati dan pikirannya. Ia memang sangat percaya pada suaminya itu.
Malam ini, mereka berbicara berdua di gode gode, di bawah sinaran bulan dan bintang-bintang. Hingga tidak sadar jika Sarmi sudah tertidur dalam dekapan suaminya. Dan suaminya, ia membiarkan dirinya terus mendekap istri tercintanya itu, ia memandang wajah teduh istrinya.
Aku pasti akan merindukan mu yang seperti ini. Yang selalu bermanja di pelukan ku, tertidur dalam dekapan ku. Bersabarlah istriku, aku akan segera kembali nanti untuk kalian. Karena aku tidak bisa hidup tanpa senyuman, belaian, dan kasih sayangmu, istriku. Dan juga suara tawa dan canda dari anak-anak kita.
Ia mencium kening istrinya, lalu ia membaringkan tubuh sang istri dengan pelan di lantai gode-gode dan ia ikut berbaring di sampingnya, tidur terlelap masih dengan mendekap tubuh sang istri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 239 Episodes
Comments
coco
semangat
2021-07-14
1
🌷💚SITI.R💚🌷
awas aja klu pa.halim ingkar janji dn me inggalkn iatri dan anak2y...biasay laki2 kli sdh sukses lp akan anak istri..
2021-07-11
2
zien
aku hadir 💗💗 mendukungmu🌹🌹
2021-05-18
3