Di kebun Sarmi.
Kini Syakila dan temannya lagi fokus mengerjakan pekerjaan rumah mereka, mereka bekerja sama untuk menyelesaikannya.
”Sya, yang ini aku tidak mengerti. Apa kamu mengerti dengan pertanyaan ini?” ucap Sartini, ia menampakkan wajah bodohnya.
Syakila melihat Sartini, ”Yang mana Tin, yang kamu tidak mengerti?” tanyanya.
Sartini mengangkat bukunya, menunjukan pada Syakila. ”Yang ini, Sya. Apa kamu tahu jawabannya?”
Syakila terdiam, membaca soal dan memahaminya, ”Oh, yang ini. Masa kamu tidak tahu? Ini kan berkaitan dengan Pancasila. Kamu hafal gak Pancasila beserta simbol-simbolnya?” ucapnya kemudian.
Sartini terkekeh kecil, ”Hehehe, aku belum hafal!” ucapnya, ia merasa sedikit malu.
Syakila memukul jidatnya pelan. ”Tini... di setiap hari Senin kita upacara selalu di bacakan loh! Dan baru tiga hari yang lalu ibu guru menjelaskan di depan kelas, masa kamu sudah lupa?”
”Yah, maklum, Asya! Sartini dan Arianti kan memang pelupa orangnya.” sahut Helena dan Fitria bersamaan sambil tersenyum mengejek.
”Yah, kok aku di bawa-bawa!” protes Arianti. Ia tidak terima di katakan dirinya sama dengan Sartini, yaitu pelupa. Arianti memasang wajah murungnya, hingga membuat yang lain tertawa melihatnya.
”Sttttssstt!!” Syakila menaruh telunjuk pada bibirnya. ”Nenekku lagi tidur! Ketawanya pelan-pelan saja!” ucapnya pelan.
Helena, Fitria, dan Sartini terdiam sambil menoleh melihat ke arah nenek Syakila yang masih tidur.
”Sini, aku jelasin sedikit! Tapi, aku jelasin yang aku tahu saja, yah!” ucap Syakila kemudian, setelah suasana hening kembali.
”Iya,” sahut Sartini.
Syakila mengambil buku Sartini. Ia mulai menjelaskan kepada Sartini tentang Pancasila yang di ketahui nya. Bukan hanya Sartini, tetapi Helena, Fitria, Arianti juga ikut mendengarkan penjelasan Syakila. Dari berapa jumlah Pancasila, bunyinya, makna yang terkandung, contohnya, simbolnya bahkan posisi gambarnya di dalam bagan burung Garuda.
”Jadi, bagaimana? kamu sudah mengerti Sartini?” tanyanya kemudian, setelah ia selesai menjelaskan.
Sartini mengangguk, ”Oh, iya, sekarang aku sudah mengerti!” sahutnya, ”Jadi, ini termasuk pengamalan sila ke satu dalam Pancasila kan, jawabannya?” ia ulang bertanya untuk memastikan.
”Iya, Tini,” jawab Syakila.
Sekarang mereka telah selesai mengerjakan tugas sekolahnya, mereka kini sedang bermain-main menggunakan dedaunan. Mereka membuat bentuk candi dari batang daun singkong, membuat kalung dan gelang. Baru mereka memakainya untuk saling memamerkan jika buatannya lebih bagus dari yang lain.
Puas dengan bermain itu, mereka ingin membantu Sarmi yang sedang memetik sayur mayur. Terkecuali Syakila, ia sedang merawat bunganya.
”Tante, kami bantuin metik sayurnya, ya.” ucap Fitria menawarkan diri.
”Eh, tidak usah! Kalian bermain saja, ini juga tinggal sedikit. Kalian sudah selesai kerjakan PR?” sahut Sarmi, tangannya masih memetik sayur mayur.
”Iya, Tante. Kami sudah selesai mengerjakan PR nya.” jawab mereka kompak.
”Kalau begitu, sebaiknya kalian pulang ke kampung. Ini sudah jam setengah 5 sore. Kalau tidak, nanti kalian akan kemalaman di jalan. Apa kalian tidak takut nantinya kalau bertemu malam di perjalanan pulang? Dimana Syakila?”
”Syakila, Syakila lagi bersihin rumput di bunga-bunganya, Tante.” Arianti yang menjawab
”Tolongin Tante, panggilkan Syakila, yah.” pinta Sarmi.
”Baik, Tante.” sahut Helena. Ia segera pergi menghampiri Syakila untuk memberitahu padanya, jika ibunya sedang memanggilnya. Sedangkan Arianti, Sartini, dan Fitria mereka menunggu Helena dan Syakila di gode-gode.
Helena tiba di samping Syakila yang masih duduk di depan bunga-bunganya, ”Syakila, ibumu memanggilmu.” katanya, ”Kita harus pulang sekarang!” ucapnya.
”Iya, baiklah. Di mana yang lain?” sahut Syakila sambil berdiri.
”Mereka ada di bawah sana!” sahut Helena sambil menunjuk temannya yang lagi duduk di gode-gode. Syakila melihat arah tunjuk Helena. Benar, temannya sedang duduk di gode-gode.
”Oh, apa kalian sudah mengambil tas?” tanya Syakila lagi.
”Yah, belum! Aku panggil mereka dulu ya untuk ambil tasnya.” pamit Helena.
”Tidak usah!” Cegah Syakila. ”Kamu akan capek pulang pergi nantinya. Mending, kita bawakan saja tas-tas mereka. Ayo, bantu aku membawakannya!”
Helena mengangguk. Syakila masuk ke dalam rumah mengambil tasnya juga tas teman-temannya.
”Nenek? Nenek, sudah bangun?” tanyanya pada sang nenek. Saat ia masuk ke rumah, ia melihat neneknya sudah duduk di samping jendela kecil yang terbuat dari sepotong papan.
”Dari tadi Nenek bangun nya, kamu mau pulang sekarang?” tanya sang nenek saat melihat Syakila menyandang tas dan tangannya memegang tas-tas yang lain.
”Iya, Nek. Syakila mau pulang sekarang.” jawab Syakila.
Syakila melangkah ke bibir pintu memberikan tas milik Helena dan memberikan satu tas milik Arianti padanya.
”Bantu Nenek dulu tumbuk sirih pinang.” pinta sang Nenek.
”Baik, Nek. Sebentar yah!” Syakila mendekati Helena. ”Helena, kamu duluan kebawah yah. Aku mau tumbuk sirih pinang dulu untuk nenekku.” ucapnya.
Helena mengangguk. Ia pergi ke bawah sendirian dengan membawa tasnya juga tas Arianti.
Syakila mendekati neneknya dan duduk di depannya, ”Mari Nek, Syakila akan menumbuknya untuk Nenek.”
Syakila meraih lesung kecil untuk menumbuk sirih milik nenek yang berada di tangan sang nenek.
Sang Nenek memasukkan beberapa sirih yang sudah di buka tulang daunnya yang sebelumnya di gulung gulung sampai kecil lalu di potong-potong kecil ke dalam lesung. Lalu ia menambahkan sepotong pinang ukuran dadu, hapuk dan gambir baru Syakila menumbuknya sampai halus.
”Ini Nek. Sirihnya sudah halus.” ucapnya sambil menyerahkan kepada sang nenek. Nenek mengambilnya. ”Syakila pulang yah, Nek.” pamitnya. Ia mencium punggung tangan sang nenek.
”Hati hati di jalan!”
”Iya, Nenek.”
Syakila segera turun menyusul Helena kebawah dengan menyandang tasnya dan memegang tas milik Fitria dan Sartini. Ia menghampiri teman-temannya dan memberikan tas milik Sartini dan Fitria padanya.
”Ibu, Syakila pulang ke kampung dulu, Bu. Besok, pulang dari sekolah baru Syakila kesini lagi.” pamitnya sambil mencium punggung tangan ibunya. Teman-teman Syakila juga ikut mencium punggung telapak tangan Sarmi.
”Iya, kalian hati hati di jalan. Jangan banyak main saat di jalan!” sahut Sarmi menasihati.
”Iya, Ibu,” sahut Syakila.
”Iya, Tante!” sahut Fitria, Helena, Arianti, Sartini kompak.
Sarmi mengambil beberapa bungkusan plastik yang berisi sayur mentah yang di petik dari kebun untuk di berikan kepada Syakila dan temannya.
”Asya!” Sarmi memanggil Syakila yang hendak jalan.
Syakila berbalik. ”Iya, Ibu. Ada apa?” tanyanya lembut.
Sarmi memberikan rantang makanan untuk Syakila dan satu plastik sayur. Dan juga beberapa kantung plastik sayur yang sudah diikat.
”Ini, satu plastik yang ada rantang makanan itu untuk kamu, sampai di kampung, kamu tinggal masak sayur saja, ikan dan jagung ada disini. Dan ini bagi-bagikan satu-satu kepada temanmu, ya.” jelasnya.
”Iya, Ibu. Terima kasih!” sahut Syakila, ”Bapak belum datang juga kah, Bu? Asya mau pamit sama bapak.”
”Bapak mu belum pulang, Nak! Mungkin sedikit lagi, bapak cari kayu bakarnya mungkin banyak makanya belum pulang. Nanti Ibu sampaikan sama bapak mu kalau kamu mencarinya saat ia pulang nanti.”
”Iya, Ibu. Asya pulang, Bu. Assalamu 'alaikum!” pamitnya.
”Wa 'alaikum salam,” sahut Sarmi.
Syakila dan teman-temannya pulang kembali ke kampung dengan menempuh perjalanan yang lumayan jauh. Namun, kali ini mereka melewati jalur sungai, seperti yang sudah mereka sepakati sebelumnya.
Mereka semua berjalan sambil bersenandung riang. Setelah lumayan jauh mereka menempuh perjalanan, mereka terlihat sangat gembira ketika telinga mereka menangkap suara aliran air sungai yang mengalir.
”E..e..eh coba dengar itu! Itu suara air sungai, kita sudah dekat dengan sungai!” ucap Fitria dengan senang. Yang lain ikut mendengarkan.
”Eh, iya benar, itu suara air sungai. Yeah! kita mandi-mandi!” ucap Arianti dengan gembira.
Mereka semua berjalan sedikit berlari agar mereka cepat sampai ke sungai. Setelah sampai, mereka belum juga mandi, tapi mereka menyebrangi sungainya dulu hingga ke sebrang sana. Setelah menyebrangi sungai, mereka menyimpan tas mereka di atas bebatuan besar.
Kini mereka berdiri berjejer rapi di atas bebatuan besar lainnya, mereka bersiap-siap untuk melompat ke dalam air.
”Dalam hitungan ketiga, kita sama-sama menyebur ke dalam sungai, yah! Kita hitungnya secara bersamaan, ok” ucap Syakila.
”Ok,” sahut Fitria, Helena, Sartini, dan Arianti bersamaan.
”Satu... dua... tiga..!”
Byur!
Plung!
Byur!
Bunyi suara di air ketika mereka meloncat ke dalamnya. Mereka tertawa bahagia bersama-sama.
”Hahahaha.”
”Hahahaha, asyik sekali!” kata Helena dengan senang.
”Iya, sangat asyik!” ucap Arianti, Sartini, dan Syakila bersamaan.
”Iya, seru juga!” ucap Fitria. ”Eh, loncatnya Arianti tadi kayak takut-takut, ya?” Fitria melihat Arianti, ”Kamu takut Arianti?” tanyanya.
Arianti memang sedikit gugup saat melompat tadi, karena ia tidak pernah melompat seperti itu jika mau mandi atau berenang di sungai.
”A-a-aku tidak takut kok!” elaknya dengan gugup. ”Buktinya aku lompat juga, kan?”
”Iya, iya! Percaya, percaya!” sahut Fitria dan Sartini bersamaan, namun, dengan nada mengejek.
”Eh, nanti kita ulangi yah lompat dari atas batu yang tinggi itu!” ucap Helena sambil menunjuk batu yang sedikit tinggi dari batu yang mereka lompat tadi.
”Ok.” sahut Syakila, Fitria, Sartini, dan Arianti kompak.
Mereka sekarang sedang asyik bermain di dalam air, mereka main siram siraman juga berlomba berenang dan berlomba siapa yang paling lama berada di dalam air. Setelah puas bermain, mereka kembali ke atas batu.
Mereka kembali berjejer rapi di bebatuan yang di tunjuk Helena tadi, bersiap untuk melompat.
”Satu... dua... tiga..!” Mereka kembali menghitung secara bersamaan dan melompat ke dalam sungai.
Byur!
Plung!
Bunyi itu kembali terdengar setelah mereka loncat ke dalam air sungai.
”Eh, kita sudahan, yok! Ini sudah mau Maghrib. Kita pulang sekarang!” ucap Syakila. Ia telah keluar dari dalam sungai.
”Eh, iya yah, sudah mau Maghrib. Iya, ayok kita pulang! Kalau pulang agak malam nanti mama dan papa marah.” sahut mereka kompak.
Akhirnya mereka keluar dari sungai, mereka kembali memakai tasnya.
”Ini, ada sedikit sayur dari ibuku.” ucapnya seraya membagikan satu plastik sayur kepada temannya, sesuai perintah dari ibunya. ”Terima kasih, kalian sudah menemaniku ke kebun.” ucapnya dengan tulus.
”Iya, sama-sama! Besok, kita ke sana lagi, yah! kan, masih libur juga ngajinya.” ucap mereka kompak.
”Boleh! Yang penting, kalian harus izin kepada bapak dan ibu kalian.” sahut Syakila menasehati.
”Iya, tentu saja!” ucap mereka kompak.
Sungai adalah tempat mereka untuk mandi dan mencuci. Dan karena air sungai tidak berada jauh dari rumah-rumah mereka, kini mereka sudah sampai di kampung. Mereka berjalan terpisah-pisah menuju rumahnya masing-masing.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 239 Episodes
Comments
coco
jangan lupa mampir lagi.
2021-07-11
2
zien
semoga sukses selalu 💗💗
2021-05-18
2
Senja Cewen
Gawat kalau lupa Pancasila
2021-04-09
2