Keesokan harinya.
Sarmi terbangun dengan wajah yang begitu gembira. Ia duduk dan bersandar di dinding gode-gode untuk mengumpulkan kesadarannya.
Ia mengedarkan pandangannya mencari sosok suaminya yang begitu ia cintai. Tetapi, sejauh matanya memandang di area kebun, ia tidak menemukan sosok suaminya tersebut.
”Kemana perginya suamiku pagi-pagi begini, yah?”
Ia bangkit dari duduk, berjalan ke arah rumah dan menaiki anak tangga hingga ia masuk kedalam rumah. Di sana pun ia tidak menemukan suaminya, ia hanya melihat wajah-wajah ceria anak-anaknya yang masih tertidur, juga wajah ibunya yang masih terlelap.
Setelah puas memandang wajah anak-anak yang di cintai nya itu, ia kembali lagi menuruni anak tangga untuk turun ke bawah. Ia menyalakan api untuk merebus air panas juga untuk memasak. Ia memasak menggunakan tungku dan kayu kering sebagai bahan bakarnya.
Setelah selesai memasak, ia menyiapkan teh di termos air yang kecil untuk mereka santap bersama ubi jalar yang di kukus. Ia kembali menaiki anak tangga untuk membangunkan anaknya dan ibunya untuk sarapan.
Sarmi menyuruh anak-anaknya untuk mandi sebelum mereka sarapan dan ia sendiri memandikan Endang yang baru berusia satu tahun itu. Di dalam kebun itu, terdapat beberapa titik mata air yang muncul, Halim memanfaatkan mata air yang ada dengan membuat kali-kali kecil untuk mereka mandi dan mata air yang lain, ia buatkan untuk mereka pakai buat memasak dan minum.
Setelah semua sudah selesai mandi dan bergantian, mereka memakan sarapannya dan disaat lagi menyantap sarapan, Halim datang dengan memikul kayu-kayu bakar.
Rupanya ia bangun lebih awal untuk mencari kayu bakar, sepertinya ia sengaja mengumpulkan kayu bakar untuk ku selama ia pergi merantau.
”Papa, sudah datang? Mari duduk disini.” ajak Sarmi. Ia menepuk lantai di dekatnya.
Halim tersenyum, ia duduk di samping istrinya.
”Selamat pagi Ibu, selamat pagi anak-anak.” sapa nya pada ibu mertua dan anak-anaknya.
”Celamat pagi, Papa!” sahut anak-anak kompak.
”Selamat pagi, Halim. Kamu mencari kayu bakar cukup banyak Halim. Kemarin juga kamu baru cari kayu bakar.” ucap sang ibu mertua.
”Iya ibu, aku sengaja mengumpulkan kayu bakar yang banyak, agar ibu dan Sarmi tidak perlu cari kayu bakar lagi, apalagi di saat Halim tidak berada di kebun.” ucap Halim menyahuti.
Ia melihat anak-anaknya. ”Apa anak-anak Papa sudah mandi?”
”Cudah mandi dong, Pa! Cudah Halim!” jawab anak-anak dengan kompak.
Halim tersenyum gembira melihat anak-anaknya yang penuh dengan semangat.
Sarmi mengambilkan secangkir teh dan sepiring ubi jalar yang sudah ia siapkan untuk suaminya, sebelum ia membagikan kepada anak-anaknya dan ibunya.
”Sarapan dulu, Pa. Mama sudah siapkan untuk Papa.” ucapnya, ia menaruh teh dan kukusan ubi di hadapan suaminya.
”Terima kasih, Mama.”
Halim memandang wajah istrinya dengan tersenyum mesra. Ia juga memandang wajah teduh anak-anaknya bergantian.
Besok, aku akan pergi meninggalkan kalian semua, aku pasti merindukan saat-saat seperti ini dengan kalian. Kebersamaan, canda tawa, dan suara-suara berisik kalian yang selalu memanggil Papa, Papa.
Mata Halim mulai berkaca-kaca memikirkan hal tersebut. Sarmi menyadarinya, ia menggenggam jemari tangan suaminya untuk menenangkannya.
Halim menoleh melihat istrinya, ia tersenyum membalas senyuman istri tercintanya tersebut.
Setelah selesai sarapan paginya. Halim mulai berbicara soal keberangkatan nya kepada anak dan mertuanya.
”Ibu, anak-anak, besok, Papa akan berangkat ke kota A untuk mencari nafkah untuk kelangsungan hidup kita. Bagaimana pendapatmu, Ibu?” tanya Halim pada mertuanya.
”Ibu tidak mengapa, yang penting restu dari istri dan anak-anak mu, Halim. Dan yang penting juga kamu harus jaga diri selama di sana.” jawab sang Ibu
”Iya, ibu, Halim akan selalu menjaga diri dengan baik di sana.” sahut Halim.
”Bagaimana dengan kalian anak-anak?” tanyanya pada anaknya.
”Yang penting Papa cepat pulang bawain mainan pecawat-pecawat untuk Haldin.” sahut Hardin.
”Iya Papa, Papa bawain Yuli boneka yang canti, cama cepelti Yuli cantina.” sahut Yuli
”Papa, Papa bawain Ita main macak macak, Ita mau macak utuk Papa, Mama uga Nenek.” sahut Ita.
Semua tertawa mendengar ucapan-ucapan lucu mereka.
”Iya, Papa janji, Papa akan bawakan kalian mainan sesuai dengan permintaan kalian. Tetapi, kalian harus janji sama Papa sesuatu! Kalian mau gak berjanji sama Papa?” ucap Halim. Sarmi dan sang ibu hanya tersenyum bahagia melihat interaksi anak dan papa itu.
”Mau..Papa aku mau...” seru mereka dengan kompak.
”Baiklah, mari kita berjanji!”
Halim mengangkat jari kelingkingnya, anaknya juga ikut mengangkat jari kelingking dan mengaitkannya pada jari kelingking Halim.
”Aku berjanji, aku akan menuruti ucapan Mama dan Nenek. Aku berjanji, aku tidak akan membuat Mama dan Nenek khawatir. Aku berjanji, aku tidak akan membuat Mama dan Nenek menangis.” ucap Halim dan anak-anaknya mengikuti setiap ucapannya tersebut dengan kompak.
”Bagus! Anak pintar! Jangan ingkar janji, yah.”
”Iya, Papa!” sahut mereka kompak.
Halim melihat istrinya. ”Sayang, Papa akan pergi ke kampung untuk menemui Anton, sekalian untuk mengambil tiket ku.” pamitnya.
”Iya, Pa. Hati-hati di jalan, Pa!”
”Iya, sayang.” sahut Halim.
Ia mencium kening istrinya. Ia berangkat pergi ke kampung dengan berjalan kaki. Setelah beberapa menit berlalu, ia telah sampai di kampung dan sekarang ia lagi berdiri di depan rumah orang tua Anton.
”Assalamu 'alaikum, Anton...”
Ia terus memanggil nama Anton dengan sesekali mengetik pintunya. Tetapi, sedari ia memanggil, tak ada sahutan dari siapapun di rumah itu.
Hingga akhirnya Halim mendengar bunyi suara motor di belakangnya. Ia menoleh dan ternyata itu adalah Anton.
”Eh, Halim.” sapa Anton yang baru datang bersama mamanya dari pasar. Ia mematikan mesin motor. Ia turun dan menghampiri Halim. ”Sudah lama datangnya?”
”Belum, aku baru saja tiba.” jawab Halim.
”Mari masuk ke dalam!” ajak Anton.
Ia mendahului langkah untuk masuk ke dalam rumah. Halim menyusul di belakangnya.
”Silahkan duduk!” ucapnya lagi sambil duduk.
Halim duduk di bangku, berhadapan dengan Anton.
”Bagaimana? Apa kamu berminat untuk ke sana? Apa istrimu menyetujui nya?” Anton langsung membicarakan intinya secara langsung kepada Halim, karena ia tahu apa tujuan kedatangan Halim ke rumahnya.
”Iya, aku berniat untuk ke sana. Dan Alhamdulillah, istriku merestuinya.” jawab Halim.
Anton tersenyum senang karena Halim menerima tawarannya. Ia ingin sekali membalas budi pada Halim karena ia telah menolong nyawa istrinya.
”Baiklah, kamu tunggu sebentar disini, aku akan ambilkan tiketnya dulu.” ucap Anton. Halim mengangguk.
Anton masuk ke dalam kamar, beberapa menit kemudian ia kembali lagi dengan memegang tiket di tangannya.
”Ini tiketnya.” Ia memberikan tiket itu pada Halim. Halim mengambil dan membacanya.
Kening Halim mengerut, ”Tapi, di tiket ini tertulis namamu, bukan namaku!” ucapnya.
Anton tersenyum. ”Iya, di tiket itu tertulis namaku. Tapi, aku sudah mengalihkannya dengan namamu. Aku sudah menghubungi pihak loket untuk mengubah namaku atas namamu. Jadi, besok kamu harus turun pagi-pagi sekali ke pelabuhan. Loketnya ada di sana dan kamu tunjukan saja tiket ku ini kepada mereka nanti. Mereka akan mengganti nama di tiket itu sesuai dengan KTP mu.” ucapnya menjelaskan.
”Oh, begitu? Baiklah, terima kasih Anton.” ucap Halim tulus, ia menyimpan tiket itu ke dalam sakunya. Anton mengangguk. Mereka bersalaman.
”Kalau begitu, aku pergi dulu.” ucapnya lagi berpamitan.
”Kenapa buru-buru? Kita sarapan dulu bersama.” tawar Anton.
”Tidak usah, Anton. Sekali lagi, terima kasih atas tawarannya, tapi, sebelum kesini aku sudah sarapan.” ucap Halim menolak halus tawaran Anton.
”Baiklah kalau begitu, aku tidak akan memaksamu.” sahut Anton mengalah. Ia tidak ingin memaksa kehendak Halim.
”Terima kasih, Aku pergi dulu.” Halim ulang berpamitan.
Ia berdiri, Anton menyusul berdiri. Anton mengantar Halim sampai ke teras rumah.
”Hati-hati di jalan, Halim. Semoga sukses!” ucapnya memberikan semangat untuk Halim.
Halim mengangguk dan tersenyum menanggapinya, ”Terima kasih.”
Halim pergi ke rumah saudara iparnya, Mila adik dari istrinya. Kehidupan Mila, tidak lah sama dengan kehidupan Sarmi. Mereka adalah agen minyak tanah di kampung tersebut. Dan juga, suaminya memiliki bis untuk mata pencahariannya. Karena itulah, Fatma anak pertama Halim dan Sarmi memilih tinggal dengan Mila di banding tinggal dengan mereka.
”Assalamu 'alaikum.” ucap Halim.
”Eh, Kakak ipar? Wa 'alaikum salam! Kakak ipar sendiri? Mari masuk, kak.” ajak Mila ramah menyambut kedatangan Halim, kakak iparnya.
Halim masuk, tapi tidak masuk ke dalam rumah, ia hanya duduk di kursi teras depan.
”Iya, hanya aku sendiri. Bagaimana kabar Fatma? Apa dia menyusahkan mu?”
Mila tersenyum, ”Tidak, Kak. Fatma termasuk anak yang rajin. Aku menyukainya.”
”Oh, jika dia melakukan hal yang salah, tolong tegur dia, jangan di biarkan.”
”Tenang saja, kakak ipar! Fatma bukan anak yang bandel.”
”Alhamdulillah, kalau begitu! Aku pulang dulu. Nanti, sampaikan kepada Fatma untuk datang ke rumah. Aku menunggunya di sana.”
”Iya, Kak. Nanti aku sampaikan pada Fatma.”
”Hum, aku pergi!”
Mila mengangguk. Halim pergi dari rumah Mila. Tujuannya sekarang adalah pergi ke rumahnya sendiri untuk istirahat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 239 Episodes
Comments
coco
semangat up ya
2021-07-15
1
Mommy Gyo
5; Like hadir Thor salam cantik tapi berbahaya
2021-07-03
1
Andropist
lanjut
2021-06-03
1