“Nad …!” panggil Bu Astuti pelan ketika melihat Nadeen hanyut dalam suara merdu Ammar dari lantai atas. “Kenapa melamun?” tanyanya kemudian.
“Sejak masuk rumah ini, Nadeen seperti mendengar suara seseorang yang sedang melantunkan ayat suci Al-Qur'an. Merdu sekali. Suara siapa ya, Bu?”
“Itu keponakan ibu.”
“Ohh ….” Nadeen membulatkan bibirnya sambil mengangguk. “Suara itu seperti tidak asing di telinga Nadeen.”
“Benarkah? Coba ingat-ingat di mana kamu mendengarnya?” Bu Astuti jelas tahu jawabannya karena Ammar seorang Muazin¹⁵. Bahkan suaranya sering terdengar saat menggantikan sang Imam salat berjamaah di masjid. Hanya saja Nadeen belum menyadarinya.
“Entahlah, Bu. Nadeen lupa.” Nadeen segera melupakan ucapannya.
Tak lama kemudian sayup-sayup suara itu menghilang. Di tengah-tengah perbincangan antara Nadeen dan Bu Astuti tiba-tiba Ammar datang dari dapur dengan segelas air putih di tangannya.
“Bude … apa hari ini ada surat untukku?” tanyanya yang belum menyadari kehadiran Nadeen di sana.
“Belum ada, Mar,” jawab Bu Astuti. “Duduklah di sini, Mar!” pinta sang bude kemudian.
Ammar tampak sangat kikuk karena harus duduk berhadapan dengan seorang wanita. Apa lagi orang itu adalah Nadeen. Hal yang sama tengah dirasakan oleh Nadeen. Pasalnya, dia tidak pernah mengira akan bertemu Ammar apa lagi ngobrol sedekat ini sebelumnya.
“Kalian dosen dan mahasiswi di kampus yang sama, kan? Pasti sudah saling mengenal sebelumnya.”
“I-iya, tapi ... Nadeen kok, baru tahu kalau Pak Ammar tinggal di rumah ini juga?” Nadeen melirik Bu Astuti sambil mengerutkan dahinya. Dia masih tidak menyangka akan ada pertemuan se kebetulan ini.
“Iya, Ammar kan keponakan ibu. Yang tadi kamu dengar suaranya itu, Nad.”
“Jadi … Ibu adalah bude yang Pak Ammar katakan tempo hari itu?” Nadeen membelalakkan mata sambil menggelengkan kepalanya berulang-ulang.
“Kenapa Pak Ammar gak bilang dari kemarin? Saya kan bingung.” Beberapa hari ini Nadeen susah payah mencari keberadaan bude sang dosen. Padahal, orangnya jelas sudah di depan mata.
“Saya pikir jika niatmu untuk belajar itu sungguh-sungguh, pasti Ukhty akan berusaha sampai menemukan budeku. Meski tanpa saya beritahu sekali pun.”
“Ishh ….” Nadeen berpura-pura kesal. Sementara Ammar menghela napas sambil menyembunyikan senyum kecilnya.
Diam-diam Bu Astuti memperhatikan gelagat mereka berdua. Karena selama ini, keponakannya tidak pernah sekali pun memiliki teman wanita.
****
Bukan hal yang aneh jika mereka kembali bertemu, kerap berpapasan di persimpangan jalan ketika menuju ke kampus.
“Assalamualaikum …,” sapa Nadeen yang melihat Ammar lebih dulu.
“Waalaikum salam ....” Ammar hanya tersenyum sambil menghentikan langkahnya. “Silakan!” lanjutnya meminta Nadeen untuk berjalan di depannya. Nadeen pun mengangguk sambil melanjutkan perjalanannya sementara Ammar berhenti beberapa saat setelah itu mengikuti Nadeen di belakangnya.
Hanin--sahabat Nadeen sudah menunggu di depan gerbang kampus sedari tadi. Sebelum melanjutkan langkahnya menuju kelas, Nadeen menoleh ke arah Ammar terlebih dahulu.
“Mari Pak Ammar, saya duluan,” pamitnya sambil mengangguk lalu melangkah tanpa menunggu jawaban dari mulut Ammar.
Hanin tak berhenti menatap mata Nadeen seakan menyiratkan banyak pertanyaan.
“Ada apa, Nin? Kenapa menatapku seperti itu? Apa ada yang salah di wajahku?”
“Aku tidak salah dengar, kan, Nad? Tadi kamu menyapa Pak Ammar akrab sekali.”
“Kenapa memangnya? Aku menyapanya karena dia dosen di sini. Aku salah, ya, Nin?”
Hanin tersenyum melihat begitu banyak yang berubah dari sahabatnya.“Aku senang melihat kamu yang sekarang, Nad,” ucapnya sambil merangkul pundak Nadeen.
“Kamu mau bilang kalau aku yang dulu Nyebelin' iya?”
“Dulu kamu ceriwis dan berisik, akan tetapi sekarang kamu sangat tenang dan anggun. Apa itu karena Pak Ammar?” Hanin menatap penuh selidik.
“Aku memang ingin berubah, Nin. Aku ingin hijrah. Aku mau seperti kamu,” ucapnya sambil melirik sekilas wajah sang sahabat. “Namun, Pak Ammar bilang hijrahku harus diniatkan karena Allah semata, jadi kamu jangan bilang jika hijrahku ini karena Pak Ammar, atau siapa pun.”
“Bahkan cara berpikirmu pun sudah berubah sekarang, aku merasa bangga sama kamu, Nad,” tutur Hanin yang memang memiliki dasar didikan yang agamis dari keluarganya.
“Aku belajar sedikit-sedikit di rumah budenya Pak Ammar.”
Mendengar nama Ammar kembali di sebut, Hanin serta merta melayangkan tatapannya lagi.
“Tidak, tidak. Kamu jangan berpikiran yang bukan-bukan, Nin. Aku tidak seakrab yang kamu kira, kok.”
“Kamu, tidak perlu ketakukan begitu, Nad! Aku kan tidak sedang menghakimimu? Seandainya kamu beneran dekat dengan Pak Ammar pun itu malah bagus, Nad.”
“Nin, tolong jangan berpikiran sejauh itu. Aku takut jika nanti tersebar rumor yang tidak enak didengar.” Nadeen melirik ke kanan, dan ke kiri lalu menempelkan telunjuk di bibirnya. Isyarat buat Hanin supaya tidak bicara yang tidak perlu.
“Baiklah ... mari kita lihat apa yang akan terjadi di masa mendatang,” ucap Hanin, seakan memiliki satu keyakinan.
Kegiatan Nadeen mulai padat. Dia hampir kesulitan menyesuaikan waktu belajar di kampusnya. Namun, sesibuk apa pun, dia tak pernah lupa untuk berkunjung ke rumah Bu Astuti meski jadwal sedikit berantakan.
Tanpa menelepon terlebih dahulu, Nadeen datang ke rumah Bu Astuti. Namun, tiba-tiba sang tuan rumah ada keperluan yang sangat mendadak saat itu, sehingga tidak sempat memberitahu jika dia sedang keluar. Ammar yang kebetulan ada di rumah, segera memberi tahu Nadeen ketika ia membukakan pintu.
“Maaf Ukhty, saya tidak bisa mempersilakanmu masuk,” ucap Ammar merasa tidak enak karena di rumah tidak ada orang lain. “Apa bude tidak memberitahumu jika dia sedang pergi?”
“Tidak. Mungkin karena hari ini bukan jadwal saya belajar. Tidak apa-apa, saya bisa datang di hari yang lain saja.”
Nadeen segera pamit pulang. Namun, Ammar menyuruhnya menunggu sebentar. Tak lama dia kembali dan menyerahkan sebuah buku dengan judul ‘Fiqih Wanita Terlengkap’
“Wahh, terima kasih banyak. Setelah selesai membacanya, akan segera saya kembalikan.” Sambil membuka sampul buku yang cukup menarik menurutnya.
“Tidak usah, simpan saja buku itu.”
“Baik. Saya pamit pulang dulu.”
Dua langkah dari pintu utama, Nadeen kembali menoleh. Namun, ternyata pintu sudah ditutup rapat oleh Ammar. Ia pun melanjutkan langkahnya sambil menatap jalanan yang sedang ia tapaki.
\_\_\_\_\_\_\_\_\_\_
¹⁵Muazin \= orang atau beberapa orang terpilih di masjid yang ditugaskan untuk mengumandangkan panggilan ibadah, yaitu "Azan" dan "Ikamah".
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Azqiara
ku tunggu di saat yang tepat
2023-05-24
0
Nur Yuliastuti
terimakasih Mbu'na ilmunya 😍
2021-04-26
0
Pandan Wangi
Hanin dan nadeen 😘😘😘
2021-04-24
0