Clara tersenyum walau terlihat menyeramkan. Sekarang entah kenapa melihat Kanaya bersama seorang pemuda yang ia ketahui bernama Kenzo membuatnya lega dan tenang. Selama ini tidak ada yang mau mendekati Kanaya, entah itu sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan. Mereka terlalu menganggap bahwa Kanaya adalah gadis aneh, nyatanya tidak sama sekali. Seharusnya mereka sadar kalau Kanaya sama seperti gadis pada umumnya, yang pantas bahagia dan mempunyai teman berbicara. Tapi semua itu hanyalah sebatas angan. Nyatanya semua orang lebih memilih menutup mata dan lebih mempercayai dengan apa yang mereka lihat dengan sekilas.
Clara melihat Kanaya tengah sibuk mengantarkan pesanan pelanggan. Clara duduk di sebuah meja pelanggan yang kosong dengan posisi kaki disilangkan. Restoran tempat kerja Kanaya tidak terlalu ramai, berbeda dengan restoran yang ada di depan mereka. Kanaya tidak pernah mengeluh sama sekali walau keringat sudah menetes di dahinya meluncur ke lehernya. Ingin sekali Clara membatu Kanaya walau hanya sebatas mengelap keringat, namun semua itu tidak mungkin terjadi. Dirinya tidak bisa menyentuh Kanaya. Mana ada arwah yang bisa menyentuh manusia tanpa adanya perantara?
Beberapa jam setelahnya, pekerjaan Kanaya telah usai. Kanaya segera bersiap pulang dan pergi keluar restoran. Clara mengikutinya dan berjalan di sampingnya. Clara bersiul guna memecahkan keheningan yang ada, tapi yang ada justru Kanaya semakin mempercepat langkahnya. Clara terdiam, tak melanjutkan acara siulannya. Ada yang aneh, kenapa Kanaya bersikap dingin dan tak menganggapnya ada? Apakah Kanaya marah padanya?
Sesampainya di rumah pun Kanaya langsung mandi dan tidur di ranjang. Bahkan memasak untuk makan malam pun tidak dilakukannya. Clara duduk di pinggiran ranjang, melihat Kanaya yang tidur memunggunginya. Clara tahu kalau Kanaya masih terjaga. Seorang insomnia tidak akan tertidur semudah itu. Lalu sekarang apa masalahnya? Kanaya tidak akan bersikap layaknya anak kecil yang sering merajuk karena marah ataupun kesal kepada orang lain, tapi sekarang?
"Kay kamu kenapa?" tanya Clara pada Kanaya. Namun tidak ada jawaban, yang ada hanya hembusan napas kasar. "Kamu lagi ada masalah? Kalau ada, kamu bisa cerita sama aku. Memendam sebuah masalah akan buat kamu sakit."
Kanaya masih diam. Matanya berusaha terpejam, namun setiap kali ia mencoba selalu saja gagal. Hatinya mengutuk insomnia yang dimilikinya.
"Kamu marah sama aku, ya? Kalau aku ada salah, kamu bisa beritahu aku. Tapi bukan gini caranya," kata Clara tidak menyerah.
"Bukan salahmu," kata Kanaya setelah terdiam beberapa lama. Clara mendekatkan diri pada Kanaya lalu menghilang dan muncul di hadapan Kanaya, tepat pada wajahnya. "Pergi Cla, aku nggak mau diganggu dulu."
"Masalah apa yang udah bikin kamu kayak gini, kasih tahu aku biar aku bisa bantu kamu." Clara masih tetap berusaha.
Memangnya apa yang bisa arwah itu lakukan untuknya? Bahkan untuk menyentuhnya saja ia tidak bisa, dan sekarang arwah itu berniat membantunya? Apa dia sedang bercanda?!
"Tidak ada masalah apa-apa. Aku hanya bingung dengan diriku sendiri. Kamu tidak tahu apapun, Cla. Seharian ini pikiranku kacau dan hanya memikirkan satu orang saja." Kanaya mulai membuka suara. Lalu dia bangkit dari tidurnya dan duduk bersandar di kepala ranjang. Dia menatap Clara dengan raut wajah lelahnya. Ada perasaan campur aduk dan rasa bersalah yang amat besar pada Clara. Seharusnya ia tak melakukan ini kepada Clara, apalagi sampai mendiamkan arwah sebaik dan secerewet Clara.
Ini semua karena perkataan Kenzo yang memberinya penawaran untuknya. Penawaran yang merupakan impiannya sejak dulu. Namun antara mau atau tidak, ia masih bingung. Ia tidak mau Kenzo terkena imbas karena berdekatan dengannya. Oleh karena itu besok ia mengatakan tidak pada Kenzo.
"Siapa orang itu?" tanya Clara penasaran.
"Bukan orang penting. Bisakah kamu pergi atau tidur saja? Aku pusing mendengar pertanyaanmu itu," pinta Kanaya pelan.
Clara cemberut tapi menganggukkan kepalanya. "Oke. Tapi jangan seperti ini lagi."
"Hmm."
Setelah Clara menghilang, Kanaya mulai berusaha memejamkan mata. Tapi selalu saja gagal. Oleh karena itu ia mengambil ponselnya dan mengetik untuk melanjutkan naskahnya yang belum rampung. Beberapa jam kemudian Kanaya melirik jam beker yang ada di atas nakas, di sana menunjukkan pukul 2 dini hari. Kanaya menggerutu, sudah jam 2 pagi tapi ia belum juga mengantuk. Matanya masih segar tanpa ada adegan menguap. Sebenarnya Kanaya ingin mengonsumsi obat tidur, tapi setelah dipikir-pikir itu tidak diperlukan. Kanaya tidak berani meminum obat yang bisa membuatnya merasa ketergantungan.
Pengaruh Kenzo memang sebesar ini. Bukan orangnya, melainkan ucapannya. Kanaya sadar kalau apa yang dikatakan Kenzo itu memang benar adanya. Dia tidak boleh stuck di waktu yang sama. Tapi kalau ia melangkah maju, dia takut dengan semua orang yang akan menatapnya dengan aneh. Ini semua karena kemampuan yang ia miliki. Seandainya kemampuan ini lenyap, ia akan menjadi manusia normal yang sudah bahagia sekarang.
Keesokan harinya Kanaya memutuskan untuk berangkat pagi-pagi sekali ke sekolah. Ia bahkan melupakan sarapannya dan membiarkan perutnya kosong sejak tadi malam. Kanaya memasuki gerbang sekolah dengan earphone yang sudah terpasang apik di telinganya. Tangannya ia masukkan ke dalam saku hoodie berwarna hitam miliknya. Lalu ia melangkah ke kelas dengan santai. Sesampainya di kelas, ia langsung duduk di tempatnya tanpa memperdulikan orang-orang yang baru datang.
"Bagaimana, kamu sudah memikirkan perkataanku kemarin?" tanya Kenzo yang baru datang. Lelaki itu menaruh tasnya di atas meja dan menatap Kanaya lekat. Ia sangat berharap Kanaya mau dan menyetujui ucapannya kemarin. Selain untuk mencari tahu rahasia di balik sikap Kanaya yang aneh, ia juga ingin dekat dengan gadis itu. "Aku harap kamu setuju. Itu demi kebaikanmu."
Kanaya acuh dan lebih memilih tenggelam pada ponselnya. Gadis itu mati-matian untuk mengacuhkan ucapan Kenzo, ia harap lelaki itu akan menyerah menganggunya.
"Aku hanya ingin kamu hidup dengan baik. Sosialisasi kamu sangat kurang, bahkan nyaris tidak ada. Kamu harus belajar untuk mengubah hidup dan cara berpikir kamu," ujar Kenzo merayu.
"Tidak." Satu jawaban itu sukses membuat Kenzo membatu. Apa baru saja Kanaya menolak ajakannya untuk berubah? Sebenarnya apa yang ada di kepala Kanaya, kenapa gadis itu sangat bebal? Padahal ia melakukan ini demi kebaikannya juga. Tapi seolah-olah Kanaya justru menjauh dan tak ingin terlibat apapun.
"Kenapa? Jangan ambil keputusan dalam kepala panas. Kamu terlalu tergesa-gesa."
"Aku tidak tertarik dengan yang kamu ucapkan," kata Kanaya dingin. Lalu menatap Kenzo dengan tatapan tajamnya. "Lagi pula aku tidak tertarik memiliki teman seperti dirimu."
Kenzo bergeming. Ia tak mempedulikan ucapan Kanaya. Justru ia terpaku pada kedua bola mata Kanaya yang berwarna berbeda. Mata Kanaya sangat indah dan menawan. Bagaimana bisa Kanaya memiliki mata secantik itu?
"Aku tidak suka caramu menatap kedua mataku," ujar Kanaya datar lalu memalingkan wajahnya.
"Oke-oke. Lagi pula aku juga heran denganmu. Memang ada apa dengan kehidupanmu, sehingga untuk bersosialisasi saja kamu terasa enggan?" tanya Kenzo mengalihkan pembicaraan.
Kanaya tidak menjawab. Gadis itu malah menyimpan ponselnya ke dalam tas dan mengeluarkan buku catatannya. Saat Kenzo akan bersuara, Kanaya lebih dulu memotongnya dengan nada datar. "Diamlah."
Kenzo menggeram. Kenapa mengajak Kanaya berbicara harus memerlukan kesabaran yang lebih? Oh ayolah, ini bukan kali pertama ia mengajak Kanaya berbicara, tapi selalu saja hasilnya sama; tidak ada hasil yang memuaskan. Ujung-ujungnya Kanaya akan menyuruhnya diam. Kenzo kembali berujar, namun tertunda karena guru memasuki kelas untuk memulai pelajaran.
Kenzo melirik Kanaya dari samping. Gadis itu tampak tenang memperhatikan pelajaran yang diterangkan guru di depan. Berbeda dengan anak-anak lain yang memilih untuk tidur dan bermain ponsel. Kenzo tersenyum dan melirik buku catatan Kanaya yang penuh dengan coretan materi penting. Saat Kenzo melirik catatannya yang masih kosong, lelaki itu mendesah lesu. Ia tak menyukai hal-hal yang berbau tulis menulis. Ia lebih suka mendengarkan apa yang dibicarakan guru di depan kelas.
Istirahat telah tiba. Kanaya berdiri dan keluar kelas. Kenzo mengikutinya dari belakang, mencoba mencari tahu ke manakah Kanaya mau pergi. Setelah ia mengikuti gadis itu, ternyata Kanaya sedang pergi ke kantin untuk membeli makanan. Kenzo tersenyum lalu ikut gabung dengan Kanaya. Saat gadis itu akan kembali ke kelas, Kenzo mencegahnya.
"Makan di sini saja, akan aku temani," katanya pada Kanaya yang menatapnya datar. Kanaya tidak menjawab, saat Kanaya akan pergi, Kenzo kembali mencegahnya. "Aku mohon, sekali saja turuti keinginanku. Kalau kamu tidak mau menganggapku sebagai teman, tidak apa. Tapi aku akan menganggapmu sebagai temanku."
Kanaya tidak keberatan dengan ajakan Kenzo. Tapi keadaanlah yang membuat Kanaya enggan. Semua orang yang ada di kantin melihat interaksinya dengan Kenzo terang-terangan. Mereka semua penasaran, dan itu pasti. Mereka pasti sudah berbisik-bisik tentang dirinya yang bisa berbicara dengan Kenzo, sang most wanted sekolah. Apalagi sebagian dari mereka menatapnya tajam, seperti sedang mengulitinya hidup-hidup. "Tidak bisa."
"Kenapa?" tanya Kenzo parau. Lelaki itu hampir frustasi karena Kenaya. "Ayolah, aku mohon."
"Jangan di kantin," kata Kanaya pelan.
Kenzo terdiam mencerna ucapan Kanaya barusan. Kemudian bibirnya tersenyum saat sudah mengartikan ucapan gadis itu. Kanaya memberikannya lampu hijau untuk makan siang bersama? Walau bukan di kantin, Kenzo sama sekali tidak mempermasalahkannya. Kenzo hanya ingin dekat dengan gadis yang disukainya itu, dan ia harap kali ini usahanya akan berhasil.
"Baiklah. Ayo," ujar Kenzo semangat dan menarik tangan Kanaya untuk keluar dari kantin.
tbc
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments