Ryanthi : Manisnya Kue, Pahitnya Kenyataan
Matahari belum menunjukkan sinarnya, ketika Ryanthi terbangun. Gadis kecil itu menoleh kepada Farida yang masih terlelap di sebelahnya. Sorot mata Ryanthi menyiratkan keraguan, saat dirinya hendak membangunkan wanita yang merupakan ibu kandungnya tersebut.
"Bagaimana ini?" ucap Ryanthi. Dia memberanikan diri mengguncangkan tubuh Farida.
Sesaat kemudian, Farida membuka mata. "Ada apa?" tanya wanita itu lesu. "Sekarang masih gelap," ucapnya pelan. Farida kembali tidur. Dia membelakangi Ryanthi, yang saat itu terduduk sambil menatap nanar padanya.
"Aku ngompol lagi, Bu," bisik Ryanthi dengan wajah cemas. Dia takut jika Farida akan kembali memarahinya. Sesuatu yang kerap wanita itu lakukan, tiap kali Ryanthi ngompol di kasur.
Farida mengeluh pelan mendengar pengakuan putri kecilnya. Dia sudah sering memperingatkan putri semata wayangnya tersebut. Namun, entah kenapa Ryanthi selalu saja mengulanginya.
Perlahan, Farida bangkit dari tidurnya lalu duduk sambil berusaha mengumpulkan segenap tenaga, yang masih melanglang buana di alam mimpi. Diraihnya jepitan kecil, lalu dipasangkan pada rambut sehingga membentuk sanggul, meskipun tidak terlalu rapi. Farida juga sempat menguap panjang.
Ditatapnya wajah polos Ryanthi. Anak itu tertunduk takut. Baju dan celananya basah. Begitu juga dengan selimut yang hanya berupa kain jarik berwarna pudar, karena terlalu sering digunakan. "Ya Tuhan, Ryanthi! Baru tiga hari yang lalu Ibu mencuci kain jarik ini," keluh Farida.
Ryanthi tidak menjawab. Gadis kecil itu hanya menatap Farida dengan mata beningnya. Tentu saja, dia berharap agar dirinya tidak dimarahi lagi seperti hari-hari kemarin, saat melakukan kesalahan seperti itu.
Farida mengeluh sekali lagi. Tubuhnya masih sangat lelah. Dia juga mengantuk setelah hampir semalaman menyelesaikan pesanan kue tart dari tetangga. Akan tetapi, jika sudah begini keadaannya, dengan terpaksa dirinya harus bangun dan mengurus Ryanthi.
"Maaf, Ibu," ucap Ryanthi kecil lirih.
Farida tidak menjawab. Dia langsung bangkit. Tidak ada gunanya marah, karena itu tak akan mengubah apapun. Lagi pula, saat itu masih terlalu pagi untuk membuat kegaduhan. Semua orang pasti akan langsung bangun, jika ada suara berisik sedikit saja.
Tempat tinggal mereka merupakan kawasan padat penduduk. Kontrakan petak berbaur dengan rumah warga. Tata letak bangunan pun tidak beraturan. Terkadang mereka harus menerobos jemuran milik tetangga, ketika akan melewati jalan. Sementara, jalur menuju kontrakan yang di tempati Farida berada di bagian atas. Akses masuk ke sana hanya berupa gang sempit untuk satu motor saja.
Tinggal di tempat seperti itu tentunya bukan keinginan Farida. Terlebih, dia harus membawa serta Ryanthi yang masih kecil. Usia sang putri baru sekitar lima tahun, ketika dia dibawa pindah ke sana. Sebuah kontrakan petak yang tidak terlalu besar, dengan harga per bulan sebesar lima ratus ribu rupiah.
Lima ratus ribu bukanlah nominal sedikit bagi orang tua tunggal seperti Farida, yang bertahan hidup hanya dari berjualan kue. Akan tetapi, wanita itu merasa sangat beruntung, karena si pemilik kontrakan sangat baik padanya. Mereka kerap memberikan kelonggaran dalam hal pembayaran.
"Apa semua buku pelajaran untuk hari ini sudah kamu masukkan ke dalam tas?" tanya Farida sambil duduk di dekat Ryanthi yang tengah mengenakan sepatu.
"Sudah, Bu," jawab Ryanthi yang kini telah duduk di sekolah dasar. "Bu, di kelasku ada acara piknik bulan depan. Semua teman-teman ikut. Sebentar." Ryanthi membuka resleting saku tasnya. Dia mengeluarkan selembar kertas. "Kata Bu Maryati, surat ini harus diberikan kepada orang tua," ujar gadis kecil itu seraya menyodorkan kertas berisi tulisan yang diketik rapi.
Farida meletakkan piring berisi nasi putih dan telur dadar di atas karpet. "Kamu makan saja dulu sambil menunggu Alesha," suruhnya. Selagi Ryanthi menyantap menu sarapan sederhana tadi, Farida membaca tulisan yang tertera di kertas.
Di sana, tertera jelas bahwa sekolah akan mengadakan piknik tahunan. Rincian biaya pun dijabarkan jelas, berakhir pada angka ratusan ribu sebagai totalan dari segala macam yang masuk dalam agenda piknik.
"Ya, Tuhan." Farida bergumam pelan. Dia mengalihkan perhatian kepada Ryanthi yang sudah menyelesaikan sarapan. "Di sini tertera bahwa seluruh biaya harus dilunasi akhir bulan ini. Kenapa pihak sekolah memberikan surat pemberitahuannya sangat mendadak?"
"Maaf, Bu," ucap Ryanthi sambil meletakkan gelas, di samping piring kotor yang telah kosong. "Sebenarnya, surat itu sudah diberikan sejak dua minggu yang lalu. Aku lupa memberikannya kepada Ibu." Ryanthi memasang raut penuh sesal. Dia tahu bahwa sebentar lagi dirinya akan menerima teguran keras dari sang ibu.
"Astaga, Ryanthi," decak Farida seraya menggeleng tak percaya. "Kamu tahu berapa biaya yang harus Ibu persiapkan kali ini? Bagaimana caranya mencari uang tiga ratus lima puluh ribu dalam jangka waktu dua hari? Apa kamu tidak berpikir seperti apa kondisi ibumu ini?"
"Maaf, Bu. Aku lupa," kilah Ryanthi tak berani memberikan pembelaan selain itu.
"Kenapa selalu saja mengatakan lupa?" Farida terdengar begitu kesal. "Berkali-kali ibu tegaskan padamu, kita bukan orang kaya. Teman-temanmu bisa menghabiskan uang seratus ribu hanya untuk bersenang-senang. Sementara, bagi kita ... uang sebanyak itu bisa digunakan untuk membeli makanan selama tiga hari. Jadi, berpikirlah sedikit saja!"
Pagi-pagi, Farida sudah dibuat kesal oleh Ryanthi. Beban yang harus dirinya tanggung selama bertahun-tahun, terasa kian berat.
"Lalu, bagaimana?" tanya Ryanthi pelan.
"Apanya yang bagaimana?" Farida balik bertanya.
Ryanthi terlihat ragu untuk berbicara. Namun, kepolosannya sebagai seorang anak berusia delapan tahun tak bisa dirinya tutupi. "Teman-temanku sudah membayar uang untuk piknik. Hanya aku yang belum," ujarnya.
Farida mengembuskan napas panjang. Dalam hati kecil wanita itu, sebenarnya dia merasa tak tega. Namun, kondisi keuangan mereka memang tidak memungkinkan. "Ya, sudah. Kamu tidak usah mengikuti acara piknik tahunan sekolah. Katakan saja bahwa Ibu tidak punya uang," putus Farida. Dia mengambil piring dan gelas bekas sarapan Ryanthi, lalu beranjak ke dapur.
"Bu ...." Ryanthi mengikuti langkah sang ibu dengan mata berkaca-kaca. Namun, jika Farida sudah membuat keputusan, maka tak ada siapa pun yang bisa mencegahnya.
Sementara di dalam dapur. Farida meletakkan piring dan gelas tadi di dalam baskom. Wanita itu terdiam beberapa saat, hingga suara Ryanthi kembali menyadarkannya dari lamunan.
"Alesha sudah datang. Aku berangkat dulu," pamit Ryanthi ragu, karena dia tahu bahwa sang ibu sedang merasa kesal terhadapnya.
Farida menoleh. Dia menghela napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Farida biasa melakukan itu, ketika dirinya tengah dilanda kegalauan. "Ya, sudah." Farida tersenyum lembut. Dia mendekat kepada Ryanthi, lalu membelai pucuk kepala gadis kecil tersebut. "Sampaikan pada Bu Maryati, kamu akan melunasi biayanya akhir bulan ini."
🍒🍒🍒
Hai, semua. Selamat datang di novel pertama ceuceu. Mohon maaf jika masih banyak kekurangan dalam penulisan atau apapun yang berkaitan dengan novel ini. Semoga bisa memghibur dan menemani waktu senggang teman-teman pembaca di manapun berada. Jangan lupa, berikan dukungannya dengan like, love, dan komen sebanyak-banyaknya. Terima kasih.
🍒 Komalasari
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 132 Episodes
Comments
Maisha Intania
aq hadir ceuceu... selalu puas dengan cerita ceuceu.. jadi penasaran..
2023-08-17
1
Octavia Via
cantik banget
2022-12-12
1
Tengku Nafisa
aku mampir...sptnya menarik
2021-11-21
1