NovelToon NovelToon

Ryanthi : Manisnya Kue, Pahitnya Kenyataan

● SATU : Pembuka Hari

Matahari belum menunjukkan sinarnya, ketika Ryanthi terbangun. Gadis kecil itu menoleh kepada Farida yang masih terlelap di sebelahnya. Sorot mata Ryanthi menyiratkan keraguan, saat dirinya hendak membangunkan wanita yang merupakan ibu kandungnya tersebut.

"Bagaimana ini?" ucap Ryanthi. Dia memberanikan diri mengguncangkan tubuh Farida.

Sesaat kemudian, Farida membuka mata. "Ada apa?" tanya wanita itu lesu. "Sekarang masih gelap," ucapnya pelan. Farida kembali tidur. Dia membelakangi Ryanthi, yang saat itu terduduk sambil menatap nanar padanya.

"Aku ngompol lagi, Bu," bisik Ryanthi dengan wajah cemas. Dia takut jika Farida akan kembali memarahinya. Sesuatu yang kerap wanita itu lakukan, tiap kali Ryanthi ngompol di kasur.

Farida mengeluh pelan mendengar pengakuan putri kecilnya. Dia sudah sering memperingatkan putri semata wayangnya tersebut. Namun, entah kenapa Ryanthi selalu saja mengulanginya.

Perlahan, Farida bangkit dari tidurnya lalu duduk sambil berusaha mengumpulkan segenap tenaga, yang masih melanglang buana di alam mimpi. Diraihnya jepitan kecil, lalu dipasangkan pada rambut sehingga membentuk sanggul, meskipun tidak terlalu rapi. Farida juga sempat menguap panjang.

Ditatapnya wajah polos Ryanthi. Anak itu tertunduk takut. Baju dan celananya basah. Begitu juga dengan selimut yang hanya berupa kain jarik berwarna pudar, karena terlalu sering digunakan. "Ya Tuhan, Ryanthi! Baru tiga hari yang lalu Ibu mencuci kain jarik ini," keluh Farida.

Ryanthi tidak menjawab. Gadis kecil itu hanya menatap Farida dengan mata beningnya. Tentu saja, dia berharap agar dirinya tidak dimarahi lagi seperti hari-hari kemarin, saat melakukan kesalahan seperti itu.

Farida mengeluh sekali lagi. Tubuhnya masih sangat lelah. Dia juga mengantuk setelah hampir semalaman menyelesaikan pesanan kue tart dari tetangga. Akan tetapi, jika sudah begini keadaannya, dengan terpaksa dirinya harus bangun dan mengurus Ryanthi.

"Maaf, Ibu," ucap Ryanthi kecil lirih.

Farida tidak menjawab. Dia langsung bangkit. Tidak ada gunanya marah, karena itu tak akan mengubah apapun. Lagi pula, saat itu masih terlalu pagi untuk membuat kegaduhan. Semua orang pasti akan langsung bangun, jika ada suara berisik sedikit saja.

Tempat tinggal mereka merupakan kawasan padat penduduk. Kontrakan petak berbaur dengan rumah warga. Tata letak bangunan pun tidak beraturan. Terkadang mereka harus menerobos jemuran milik tetangga, ketika akan melewati jalan. Sementara, jalur menuju kontrakan yang di tempati Farida berada di bagian atas. Akses masuk ke sana hanya berupa gang sempit untuk satu motor saja.

Tinggal di tempat seperti itu tentunya bukan keinginan Farida. Terlebih, dia harus membawa serta Ryanthi yang masih kecil. Usia sang putri baru sekitar lima tahun, ketika dia dibawa pindah ke sana. Sebuah kontrakan petak yang tidak terlalu besar, dengan harga per bulan sebesar lima ratus ribu rupiah.

Lima ratus ribu bukanlah nominal sedikit bagi orang tua tunggal seperti Farida, yang bertahan hidup hanya dari berjualan kue. Akan tetapi, wanita itu merasa sangat beruntung, karena si pemilik kontrakan sangat baik padanya. Mereka kerap memberikan kelonggaran dalam hal pembayaran.

"Apa semua buku pelajaran untuk hari ini sudah kamu masukkan ke dalam tas?" tanya Farida sambil duduk di dekat Ryanthi yang tengah mengenakan sepatu.

"Sudah, Bu," jawab Ryanthi yang kini telah duduk di sekolah dasar. "Bu, di kelasku ada acara piknik bulan depan. Semua teman-teman ikut. Sebentar." Ryanthi membuka resleting saku tasnya. Dia mengeluarkan selembar kertas. "Kata Bu Maryati, surat ini harus diberikan kepada orang tua," ujar gadis kecil itu seraya menyodorkan kertas berisi tulisan yang diketik rapi.

Farida meletakkan piring berisi nasi putih dan telur dadar di atas karpet. "Kamu makan saja dulu sambil menunggu Alesha," suruhnya. Selagi Ryanthi menyantap menu sarapan sederhana tadi, Farida membaca tulisan yang tertera di kertas.

Di sana, tertera jelas bahwa sekolah akan mengadakan piknik tahunan. Rincian biaya pun dijabarkan jelas, berakhir pada angka ratusan ribu sebagai totalan dari segala macam yang masuk dalam agenda piknik.

"Ya, Tuhan." Farida bergumam pelan. Dia mengalihkan perhatian kepada Ryanthi yang sudah menyelesaikan sarapan. "Di sini tertera bahwa seluruh biaya harus dilunasi akhir bulan ini. Kenapa pihak sekolah memberikan surat pemberitahuannya sangat mendadak?"

"Maaf, Bu," ucap Ryanthi sambil meletakkan gelas, di samping piring kotor yang telah kosong. "Sebenarnya, surat itu sudah diberikan sejak dua minggu yang lalu. Aku lupa memberikannya kepada Ibu." Ryanthi memasang raut penuh sesal. Dia tahu bahwa sebentar lagi dirinya akan menerima teguran keras dari sang ibu.

"Astaga, Ryanthi," decak Farida seraya menggeleng tak percaya. "Kamu tahu berapa biaya yang harus Ibu persiapkan kali ini? Bagaimana caranya mencari uang tiga ratus lima puluh ribu dalam jangka waktu dua hari? Apa kamu tidak berpikir seperti apa kondisi ibumu ini?"

"Maaf, Bu. Aku lupa," kilah Ryanthi tak berani memberikan pembelaan selain itu.

"Kenapa selalu saja mengatakan lupa?" Farida terdengar begitu kesal. "Berkali-kali ibu tegaskan padamu, kita bukan orang kaya. Teman-temanmu bisa menghabiskan uang seratus ribu hanya untuk bersenang-senang. Sementara, bagi kita ... uang sebanyak itu bisa digunakan untuk membeli makanan selama tiga hari. Jadi, berpikirlah sedikit saja!"

Pagi-pagi, Farida sudah dibuat kesal oleh Ryanthi. Beban yang harus dirinya tanggung selama bertahun-tahun, terasa kian berat.

"Lalu, bagaimana?" tanya Ryanthi pelan.

"Apanya yang bagaimana?" Farida balik bertanya.

Ryanthi terlihat ragu untuk berbicara. Namun, kepolosannya sebagai seorang anak berusia delapan tahun tak bisa dirinya tutupi. "Teman-temanku sudah membayar uang untuk piknik. Hanya aku yang belum," ujarnya.

Farida mengembuskan napas panjang. Dalam hati kecil wanita itu, sebenarnya dia merasa tak tega. Namun, kondisi keuangan mereka memang tidak memungkinkan. "Ya, sudah. Kamu tidak usah mengikuti acara piknik tahunan sekolah. Katakan saja bahwa Ibu tidak punya uang," putus Farida. Dia mengambil piring dan gelas bekas sarapan Ryanthi, lalu beranjak ke dapur.

"Bu ...." Ryanthi mengikuti langkah sang ibu dengan mata berkaca-kaca. Namun, jika Farida sudah membuat keputusan, maka tak ada siapa pun yang bisa mencegahnya.

Sementara di dalam dapur. Farida meletakkan piring dan gelas tadi di dalam baskom. Wanita itu terdiam beberapa saat, hingga suara Ryanthi kembali menyadarkannya dari lamunan.

"Alesha sudah datang. Aku berangkat dulu," pamit Ryanthi ragu, karena dia tahu bahwa sang ibu sedang merasa kesal terhadapnya.

Farida menoleh. Dia menghela napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Farida biasa melakukan itu, ketika dirinya tengah dilanda kegalauan. "Ya, sudah." Farida tersenyum lembut. Dia mendekat kepada Ryanthi, lalu membelai pucuk kepala gadis kecil tersebut. "Sampaikan pada Bu Maryati, kamu akan melunasi biayanya akhir bulan ini."

🍒🍒🍒

Hai, semua. Selamat datang di novel pertama ceuceu. Mohon maaf jika masih banyak kekurangan dalam penulisan atau apapun yang berkaitan dengan novel ini. Semoga bisa memghibur dan menemani waktu senggang teman-teman pembaca di manapun berada. Jangan lupa, berikan dukungannya dengan like, love, dan komen sebanyak-banyaknya. Terima kasih.

🍒 Komalasari

● DUA : Sekeras Batu Karang

Kebetulan, pagi itu cuaca sangat cerah. Matahari bersinar terang. Selesai menjemur cucian, Farida segera menggelar kasur yang basah oleh air seni Ryanthi. "Semoga cuacanya tetap cerah sampai kasur ini kering," gumam Farida seraya mengembuskan napas penuh keluhan. Dia benar-benar lelah hari itu. Farida ingin beristirahat sejenak, sambil menunggu Ryanthi kembali dari sekolah.

Akan tetapi, baru saja Farida hendak masuk, tiba-tiba ada yang berseru padanya. "Saya lihat dari kemarin, Mama Riry sering sekali menjemur kasur."

Farida segera menoleh. Mama Riry adalah panggilan untuknya di tempat itu. Di sana, ibu-ibu dipanggil dengan nama anak atau suami mereka, sehingga jarang ada yang tahu dengan nama asli masing-masing.

Seorang wanita tua keluar dari dalam kontrakannya. Dia duduk di bangku kayu yang terletak di depan pintu. Wanita tua itu adalah Bu Surtinah, tapi lebih dikenal dengan sebutan Mbah Sur. Konon katanya, Mbah Sur memiliki dua belas orang cucu dari tiga anak. Akan tetapi, Mbah Sur hanya tinggal sendiri di kontrakannya.

Farida tersenyum sopan. Dia selalu bersikap ramah kepada Mbah Sur, meskipun tidak jarang wanita tua itu membuatnya jengkel. "Iya, Mbah. Akhir-akhir ini, Riry sering ngompol saat malam," jawab Farida ramah.

"Owalah! Sudah besar kok masih ngompol! Jangan-jangan, dia juga masih suka ngobrok," ledek wanita tua itu lagi dengan logat jawa yang sangat kental. Ngobrok adalah istilah yang artinya buang air besar di celana.

"Ajari yang benar itu si Riry. Seharusnya, sebelum tidur suruh dia untuk buang air kecil dulu," lanjut Mbah Sur lagi.

Farida tersenyum. Dia tahu tidak ada gunanya membantah kata-kata wanita itu, karena mbah Sur selalu merasa benar dan orang lain selalu salah. "Sudah, Mbah. Akan tetapi, namanya juga anak kecil," kilah Farida. Sebenarnya, dia begitu malas menanggapi ucapan wanita tua tersebut.

"Iya, tapi dia kan sudah mau delapan tahun. Seharusnya sudah mengerti." Mbah Sur tetap keukeuh dengan pendapatnya.

Lagi-lagi, Farida hanya menanggapinya dengan senyuman. Dia mengangguk sopan. "Saya selalu menasihatinya setiap hari, Mbah," ujarnya. Rasa lelah Farida akan semakin bertambah, andai dia terus meladeni wanita tua itu.

"Saya masuk dulu. Kebetulan sedang ada pesanan," ucap Farida mencari alasan. Dia segera masuk ke kontrakannya. Farida tidak ingin menanggapi lagi. Bagi ibunda Ryanthi tersebut, orang seperti Mbah Sur sebaiknya dihindari. Jika terus dilayani, maka hanya akan menjadi hal yang sia-sia dan membuat migrainya kambuh.

Seperti itu pula yang dilakukan Farida kepada suaminya, Surya. Dia lebih memilih pergi dan menghindari pria itu, dari pada terus-menerus berselisih paham dengannya.

Bagaimana tidak? Surya telah membawa seorang wanita yang dirinya sebut sebagai istri muda. Wanita bernama Maya, yang merupakan sekretaris baru di kantornya. Dengan bangga, si perebut itu menyebut dirinya sebagai Nyonya Surya Wijaya.

"Lalu aku siapa?" tanya Farida kepada sang suami. "Akulah istri pertama yang dinikahi olehmu secara sah, bukan secara diam-diam seperti yang kamu lakukan padanya!" tegas Farida dengan perasaan yang hancur.

Surya tidak membela Farida, ketika sang istri bertengkar hebat dengan Maya. Entah apa yang membuat pria itu menjadi sangat pasif. Dia seakan melupakan segala rasa cintanya terhadap Farida.

Beberapa waktu sebelumnya, Surya pernah kedapatan berselingkuh dengan salah seorang rekan kerjanya. Farida masih memaafkan pria itu dan bersikap biasa. Namun, tidak kali ini. Alasannya, karena Surya membawa Maya ke rumah mereka.

"Aku tidak sudi tinggal satu atap dengan peliharaan barumu! Silakan kamu nikmati kemesraan kalian! Kamu dan wanita murahan itu memang sama saja!" geram Farida, ketika dia memutuskan pergi dari rumah.

"Tadinya, aku ingin kalian bisa tinggal di sini bersama," harap Surya.

"Cuihh! Kamu pikir dirimu adalah raja yang bisa menyimpan ratu dan selir-selirnya dalam satu kerajaan? Aku tidak tahan, karena setiap malam harus mendengar suara-suara aneh yang kalian timbulkan!" tandas Farida dengan emosi meledak-ledak.

Surya terpaksa merelakan, karena Farida bersikeras ingin keluar dari rumah. Pria itu sebenarnya teramat sedih. Terlebih, karena Farida membawa serta putri semata wayang mereka, yaitu Ryanthi.

"Caraikan aku segera! Dengan begitu, aku akan terbebas dari semua rasa sakit yang sudah kamu berikan!" pinta Farida tegas. Dia berdiri tegar. Pantang baginya untuk menangisi pria seperti Surya. Jauh di lubuk hati, sebenarnya Farida ingin sekali menjerit sekuat tenaga. Dia berharap dapat menumpahkan segala kekesalannya selama ini.

Akan tetapi, Farida sadar bahwa dirinya tengah menggenggam tangan Ryanthi. Dia harus selalu terlihat kuat di hadapan gadis kecil itu. Farida hanya ingin memberi contoh kepada sang putri, bagaimana seharusnya seorang wanita bersikap meskipun sedang di ujung kematian.

Hingga saat ini, Farida selau memberikan nasihat yang sama kepada gadis kecilnya. Dalam setiap kesempatan, dia selalu berusaha mendidik Ryanthi agar kelak bisa menjadi wanita yang mandiri, tegar, dan kuat.

"Dengar, Nak. Meskipun kita adalah seorang wanita, tapi kita tidak boleh lemah. Jangan jadikan air mata sebagai sahabat. Seberapa pun sakit yang kita rasakan, ingatlah untuk segera bangkit dan berpikir. Cari solusi, bukan meratap."

"Ibu tahu, saat ini kamu belum dapat memahami ucapan atau pun segala yang telah terjadi pada kita. Namun, kamu pasti mengerti ketika Ibu mengatakan jangan lemah apalagi menyerah! Jangan pernah menundukkan kepala, di depan siapa pun yang sudah berani menyakitimu! Ingatlah, Ibu akan selalu ada bersamamu." Farida meletakan telapak tangannya di dada Ryanthi.

Ryanthi tersenyum manis sambil menggenggam tangan sang ibu. "Aku tahu. Selain Tuhan, ada Ibu yang akan selalu melindungiku," ucap Ryanthi kecil yang terdengar begitu polos. Dia menatap lembut Farida. Iris matanya yang hitam tampak bercahaya, bagaikan setetes air di atas daun saat terkena kilauan sinar mentari. Begitu menyejukan bagi hati Farida yang sedang panas.

"Ibu akan selalu bersamaku, kan?" tanya Ryanthi polos.

Farida menatap lekat anak kecil itu. Mana bisa dia berpisah dengan malaikat kecilnya. Ryanthi ibarat kaki yang selalu membuat dirinya berdiri tegak. Ryanthi adalah tangan, yang telah membuatnya mampu menciptakan suatu karya seni yang indah. Ryanthi juga merupakan lantunan doa dalam setiap sujud Farida. Semua yang terbaik hanya untuknya, Ryanthi.

"Berjanjilah bahwa Ibu akan selalu bersamaku sampai kapanpun, bahkan hingga aku dewasa dan terbang jauh menembus awan. Aku ingin naik pesawat." Ryanthi tersenyum lebar.

Satu cita-cita dalam diri gadis itu, ketika dirinya ingin bersekolah di luar negeri. Ya, awalnya itu merupakan harapan besar seorang Farida. Dia selalu mengatakan bahwa dirinya ingin agar Ryanthi kelak bisa melanjutkan pendidikan di luar negeri.

Entah akan seperti apa caranya, tapi Farida selalu memanjatkan doa terbaik untuk gadis kecil yang dia besarkan seorang diri. Bukan karena ingin menerima balas budi. Farida hanya ingin agar Ryanthi menjadi wanita kuat dan mandiri, dengan pikiran terbuka.

Farida hanya berharap dapat bertahan lebih lama, setidaknya sampai gadis kecil itu tumbuh dewasa dan dapat mengurus dirinya. Sampai Ryanthi mengerti dan bisa menjalani hidup tanpa harus berpegangan pada tangan ibunya lagi.

"Ibu sangat menyayangimu. Ibu sadar bahwa selama ini selalu bersikap keras dan tak jarang membuatmu merasa berbeda. Namun, hidup ini tak selalu bersahabat dengan harapan indah kita. Ada kalanya ia berkhianat dan menghancurkanmu tanpa ampun," ucap Farida lirih. "Ibu hanya sedang mempersiapkan dirimu untuk menghadapi kerasnya takdir."

"Apakah ayah tidak akan menemui kita lagi, Bu?" tanya Ryanthi polos. Dia menatap sang ibu. Sorot matany terlihat penuh harap.

"Tidak," jawab Farida tegas. "Jangan pernah memikirkan hal itu. Ayahmu tak akan pernah mencari kita. Berjuanglah sendiri, Nak. Jangan berharap terlalu banyak pada siapa pun. Tak ada seseorang yang bisa benar-benar kamu andalkan, selain diri sendiri," tegas wanita itu.

Ryanthi menggangguk. Dia mencoba memahami apa yang Farida ucapkan. Seiring berjalannya waktu, makin lama Ryanthi semakin mengerti dengan kondisi ayah dan ibunya. Apa yang terjadi kepada mereka, merupakan suatu perpisahan yang sebenarnya tidak perlu terjadi.

Delapan belas tahun sudah berlalu. Ryanthi mulai lupa, akan sosok pria yang yang dulu dia panggil dengan sebutan 'ayah'. Seperti apa wajahnya sekarang? Apakah dia sudah memiliki banyak kerutan? Apakah rambutnya sudah mulai beruban? Andai mereka berpapasan di jalan, apakah  Surya dapat mengenalinya?

Ryanthi, tak ingin memikirkan hal itu lagi. Baginya, dia sudah sangat menikmati hidup berdua dengan sang ibu. Gadis itu tidak membutuhkan yang lain. Doa dan dukungan Farida adalah segalanya. Itu semua ibarat sebuah pedang dan tameng yang akan melindungi dirinya di medan pertempuran.

Ryanthi telah cukup dewasa untuk dapat mengambil sikap. Dia sudah terlanjur menjalani hidup dalam situasi seperti saat ini. Ryanthi tak ingin mengeluh ataupun menyalahkan takdir. Dia tahu, Tuhan sudah menuliskan garis hidup setiap umatnya dengan jalan masing-masing.

"Apapun yang terjadi, sampai kapanpun, Ibu akan selalu berada di sampingmu. Ibu akan selalu hadir, setiap kali kamu membutuhkan pelukan saat udara dingin. Ibu akan selalu menyiapkan pangkuan ini, sebagai alas tidurmu. Jangan pernah merasa cemas apalagi takut. Hadapilah keras hidup dengan berani, karena dirimu adalah Ryanthi. Kamu putri dari seorang Farida, yang berwatak keras melebihi batu karang."

● TIGA : Misteri Sebuah Donat

Ryanthi kecil kini telah tumbuh dewasa. Bulan Juni mendatang, usianya genap dua puluh tiga tahun. Kecantikan fisik warisan dari sang ibu, semakin tampak jelas dan memancar dari raut wajahnya yang teduh. Terlebih, sekarang Ryanthi sudah pandai merawat diri.

Ryanthi adalah gadis dengan penampilan sederhana, dengan celana kulot pendek dan atasan kaos yang sering digunakan untuk kesehariannya. Ryanthi juga masih setia dengan rambut bob pendek.

......................

"Ibu istirahat saja. Malam ini, aku harus menyelesaikan pesanan untuk besok pagi," ucap Ryanthi, setelah memberika obat untuk Farida.

"Maaf, karena Ibu tidak bisa membantumu," sesal Farida yang duduk bersandar pada dinding dekat tempat tidurnya.

"Jangan berkata begitu, Bu. Aku hanya ingin agar Ibu segera pulih. Jika Ibu sehat, maka aku bisa semakin fokus dalam menerima pesanan," ucap Ryanthi lembut.

Malam semakin larut, ketika Ryanthi sibuk menyelesaikan pekerjaannya. Dia terus bergulat dengan adonan. Mencetak dan mengoreng. Ryanthi sedang kebanjiran pesanan. Dalam satu bulan ini saja, hampir setiap hari ada yang memesan kue padanya.

Seperti halnya malam itu, dia sedang membuat donat hias sebanyak dua puluh box. Suara mesin dari mixer terdengar jelas dalam suasana malam yang kian sepi. Padahal, waktu sudah menunjukkan hampir jam satu malam. Ryanthi mengerjakan semua sendirian, karena Farida sudah terlelap akibat obat yang diminumnya selepas maghrib.

Ruang tengah rumah kontrakan itulah yang selalu menjadi saksi bisu, dari semua rasa lelah yang dirasakan Ryanthi setiap hari. Bukan tidak ada dapur. Akan tetapi, dapur di rumah yang mereka kontrak sangat sempit, sehingga tidak memungkinkan untuk uprek di sana.

Semenjak Farida sering sakit-sakitan, maka Ryanthi lah yang mengambil alih dalam mengerjakan semua pesanan. Kini, Farida lah yang menjadi asistennya. Wanita itu hanya mengerjakan hal-hal yang ringan.

Rupanya, suara berisik mixer tadi telah berhasil membangunkan Farida, yang sedang tertidur lelap seperti orang dibius. Wanita paruh baya itu melihat jam yang terpasang di dinding kamar. Sudah bukan hal yang aneh bagi seorang tukang kue seperti mereka, kala harus tetap terjaga hingga selarut ini.

Begadang merupakan hal yang sudah biasa. Apalagi, jika sedang kebanjiran orderan secara berturut-turut, dan dalam jumlah yang banyak. Terkadang, dia pun seringkali mengabaikan kondisi badan sendiri. Padahal, kesehatan harus selalu terjaga. Jika sampai dirinya membatalkan pesanan, maka pelanggan pasti akan kecewa, bahkan bisa berpindah ke lain dapur.

Farida meraih gelas berisi air putih, yang disimpan di atas meja kecil sebelah tempat tidur. Bukan ranjang mewah, melainkan hanya matras kecil yang tentunya lebih nyaman dan empuk, jika dibandingkan dengan kasur busa tipis dulu yang sering di ompoli Ryanthi.

Tiga teguk cukup untuk menghilangkan rasa dahaga di dalam tenggorokan Farida. Wanita itu bangkit, kemudian keluar dari kamar. Dia menghampiri Ryanthi yang sedang sibuk sendiri. "Masih banyak, Ry?" tanya Farida.

"Ya, Tuhan!" Ryanthi memegangi dada, karena rasa terkejut luar biasa. "Ibu mengagetkanku saja," ucap Ryanthi. Dia memperlihatkan ekspresi yang terlihat lucu.

Farida tertawa pelan karenanya. Dia duduk di hadapan Ryanthi, dengan hanya beralaskan selembar karpet tipis. Di sebelahnya, telah berjajar beberapa loyang berisi donat yang sudah di bentuk, dan ditutupi menggunakan plastik bening yang cukup lebar.

"Tinggal berapa lagi?" Farida kembali bertanya.

"Sepuluh box lagi, Bu," jawab Ryanthi tanpa menoleh kepada Farida.

Ryanthi mematikan mixer tadi, lalu mengeluarkan adonan dari dalam wadah. Setelah itu, dia membagi adonan tadi menjadi potongan-potongan kecil, baru menimbangnya. Selesai menimbang, Ryanthi mulai membulatkan mereka satu per satu.

Farida memperhatikan apa yang Ryanthi kerjakan dengan saksama. "Rounding menggunakan dua tangan, pasti akan jauh lebih cepat," sarannya. Sebagai senior, dia memberikan arahan kepada Ryanthi.

Ryanthi menoleh, lalu tersenyum. "Aku belum semahir Ibu," jawabnya merendah.

Farida balas tersenyum. Dia beranjak ke dapur untuk mencuci tangan. Tak lama kemudian, Farida kembali, lalu duduk di tempatnya tadi. Dia bermaksud untuk membantu Ryanthi.

"Tidak usah, Bu. Ibu istirahat saja. Sekarang sudah terlalu malam," cegah Ryanthi penuh perhatian.

Namun, Farida tidak memedulikannya. Dia terus mengambil dua adonan sekaligus, lalu membulatkan mereka secara bersamaan. Sementara, Ryanthi memperhatikannya dengan penuh kekaguman. Padahal, sudah lama sekali ibunya tidak lagi bermain-main dengan adonan. Namun, Farida masih sangat lihai melakukan hal itu.

"Sudah. Kamu cetak dulu sana. Biar Ibu yang mengerjakan ini," suruh Farida.

Ryanthi menurut. Pekerjaannya menjadi cepat selesai, berkat bantuan dari sang ibu. Ryanthi kemudian menyusun donat-donat yang sudah dicetak tadi ke dalam loyang berukuran cukup besar. Dia lalu menutupnya dengan selembar plastik bening dan membiarkan hingga menggembang. Proses itu dinamakan proofing.

Tidak ada ketentuan waktu yang spesifik dalam melakukan proofing, karena proses tersebut biasanya dipengaruhi oleh suhu dan waktu pembuatan donat itu sendiri. Waktu untuk proofing donat yang dibuat pada malam hari, bisa jadi berbeda dengan waktu yang dibutuhkan untuk proofing donat yang dibuat pada pagi atau siang hari.

Ryanthi kerap memakai catatan waktu saat melakukan hal itu. Karena, jika sampai kurang atau bahkan over proofing, maka hasil kerja kerasnya akan menjadi sia-sia. Donat yang dia buat bisa jadi tidak mengembang sempurna saat digoreng, atau bahkan menjadi penyok karena terlalu lama didiamkan. Itulah mengapa, banyak yang mengatakan bahwa donat adalah sebuah misteri.

"Saat ini udaranya cukup dingin. Proofingnya pasti lebih lama," ucap Farida. Dia membantu merapikan plastik bening tadi hingga menutupi loyang-loyang agar lebih rapat. Setelah itu, Farida kembali duduk di karpet, sambil meluruskan kedua kakinya.

Usia Farida sudah semakin tua. Dia mudah sekali merasakan lelah dan tidak enak badan. Akan tetapi, Farida selalu bersyukur, karena Tuhan masih menganugerahkan umur panjang. Dia dapat melihat seperti apa rupa gadis kecilnya saat dewasa.

Ditatapnya Ryanthi yang sedang sibuk membereskan perabotan bekas membuat donat. Ada rasa haru dalam hatinya, karena putri semata wayangnya tersebut tidak menikmati masa kecil dan masa remaja, seperti yang seharusnya dia dapatkan.

Andai Farida dan Surya tidak berpisah, mungkin saat ini tangan dan pakaian Ryanthi tidak akan berlumuran tepung seperti itu. Mungkin juga Ryanthi sedang menikmati masa-masa bahagia, bersama teman-teman sebayanya. Pergi menonton, jalan-jalan, atau menghabiskan waktu dengan berkeliling di Mall. Ryanthi pun tidak akan memakai kaos-kaos usang, seperti yang selalu dia kenakan dalam kesehariannya.

Apakah Farida sudah melakukan ketidakadilan terhadap putrinya? Akan tetapi, jika Farida bertahan di rumah mewah itu, tidak dapat dibayangkan apa yang akan dia hadapi setiap hari. Di mana harga dirinya sebagai seorang wanita, seorang ibu, dan seorang istri? Sudah lima belas tahun berlalu. Entah kenapa, karena Farida masih harus menyesali semua yang telah terjadi.

Lamunan Farida seketika buyar, ketika Ryanthi menghampiri dan tidur di pangkuannya. Farida kemudian mengelus lembut rambut gadis itu. Ryanthi terlihat sangat menikmati setiap belaian dari sang ibu, karena tidak berselang lama dirinya mulai memejamkan mata.

"Bagaimana hubunganmu dengan Arshan? Rasanya, sudah lama Ibu tidak melihat dia datang kemari. Apa hubungan kalian baik-baik saja?" tanya Farida penasaran.

Ryanthi yang sudah terpejam, seketika kembali membuka mata. Akan tetapi, dia tak segera menjawab pertanyaan yang dilontarkan sang ibu tentang Arshan, kekasihnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!