Kebetulan, pagi itu cuaca sangat cerah. Matahari bersinar terang. Selesai menjemur cucian, Farida segera menggelar kasur yang basah oleh air seni Ryanthi. "Semoga cuacanya tetap cerah sampai kasur ini kering," gumam Farida seraya mengembuskan napas penuh keluhan. Dia benar-benar lelah hari itu. Farida ingin beristirahat sejenak, sambil menunggu Ryanthi kembali dari sekolah.
Akan tetapi, baru saja Farida hendak masuk, tiba-tiba ada yang berseru padanya. "Saya lihat dari kemarin, Mama Riry sering sekali menjemur kasur."
Farida segera menoleh. Mama Riry adalah panggilan untuknya di tempat itu. Di sana, ibu-ibu dipanggil dengan nama anak atau suami mereka, sehingga jarang ada yang tahu dengan nama asli masing-masing.
Seorang wanita tua keluar dari dalam kontrakannya. Dia duduk di bangku kayu yang terletak di depan pintu. Wanita tua itu adalah Bu Surtinah, tapi lebih dikenal dengan sebutan Mbah Sur. Konon katanya, Mbah Sur memiliki dua belas orang cucu dari tiga anak. Akan tetapi, Mbah Sur hanya tinggal sendiri di kontrakannya.
Farida tersenyum sopan. Dia selalu bersikap ramah kepada Mbah Sur, meskipun tidak jarang wanita tua itu membuatnya jengkel. "Iya, Mbah. Akhir-akhir ini, Riry sering ngompol saat malam," jawab Farida ramah.
"Owalah! Sudah besar kok masih ngompol! Jangan-jangan, dia juga masih suka ngobrok," ledek wanita tua itu lagi dengan logat jawa yang sangat kental. Ngobrok adalah istilah yang artinya buang air besar di celana.
"Ajari yang benar itu si Riry. Seharusnya, sebelum tidur suruh dia untuk buang air kecil dulu," lanjut Mbah Sur lagi.
Farida tersenyum. Dia tahu tidak ada gunanya membantah kata-kata wanita itu, karena mbah Sur selalu merasa benar dan orang lain selalu salah. "Sudah, Mbah. Akan tetapi, namanya juga anak kecil," kilah Farida. Sebenarnya, dia begitu malas menanggapi ucapan wanita tua tersebut.
"Iya, tapi dia kan sudah mau delapan tahun. Seharusnya sudah mengerti." Mbah Sur tetap keukeuh dengan pendapatnya.
Lagi-lagi, Farida hanya menanggapinya dengan senyuman. Dia mengangguk sopan. "Saya selalu menasihatinya setiap hari, Mbah," ujarnya. Rasa lelah Farida akan semakin bertambah, andai dia terus meladeni wanita tua itu.
"Saya masuk dulu. Kebetulan sedang ada pesanan," ucap Farida mencari alasan. Dia segera masuk ke kontrakannya. Farida tidak ingin menanggapi lagi. Bagi ibunda Ryanthi tersebut, orang seperti Mbah Sur sebaiknya dihindari. Jika terus dilayani, maka hanya akan menjadi hal yang sia-sia dan membuat migrainya kambuh.
Seperti itu pula yang dilakukan Farida kepada suaminya, Surya. Dia lebih memilih pergi dan menghindari pria itu, dari pada terus-menerus berselisih paham dengannya.
Bagaimana tidak? Surya telah membawa seorang wanita yang dirinya sebut sebagai istri muda. Wanita bernama Maya, yang merupakan sekretaris baru di kantornya. Dengan bangga, si perebut itu menyebut dirinya sebagai Nyonya Surya Wijaya.
"Lalu aku siapa?" tanya Farida kepada sang suami. "Akulah istri pertama yang dinikahi olehmu secara sah, bukan secara diam-diam seperti yang kamu lakukan padanya!" tegas Farida dengan perasaan yang hancur.
Surya tidak membela Farida, ketika sang istri bertengkar hebat dengan Maya. Entah apa yang membuat pria itu menjadi sangat pasif. Dia seakan melupakan segala rasa cintanya terhadap Farida.
Beberapa waktu sebelumnya, Surya pernah kedapatan berselingkuh dengan salah seorang rekan kerjanya. Farida masih memaafkan pria itu dan bersikap biasa. Namun, tidak kali ini. Alasannya, karena Surya membawa Maya ke rumah mereka.
"Aku tidak sudi tinggal satu atap dengan peliharaan barumu! Silakan kamu nikmati kemesraan kalian! Kamu dan wanita murahan itu memang sama saja!" geram Farida, ketika dia memutuskan pergi dari rumah.
"Tadinya, aku ingin kalian bisa tinggal di sini bersama," harap Surya.
"Cuihh! Kamu pikir dirimu adalah raja yang bisa menyimpan ratu dan selir-selirnya dalam satu kerajaan? Aku tidak tahan, karena setiap malam harus mendengar suara-suara aneh yang kalian timbulkan!" tandas Farida dengan emosi meledak-ledak.
Surya terpaksa merelakan, karena Farida bersikeras ingin keluar dari rumah. Pria itu sebenarnya teramat sedih. Terlebih, karena Farida membawa serta putri semata wayang mereka, yaitu Ryanthi.
"Caraikan aku segera! Dengan begitu, aku akan terbebas dari semua rasa sakit yang sudah kamu berikan!" pinta Farida tegas. Dia berdiri tegar. Pantang baginya untuk menangisi pria seperti Surya. Jauh di lubuk hati, sebenarnya Farida ingin sekali menjerit sekuat tenaga. Dia berharap dapat menumpahkan segala kekesalannya selama ini.
Akan tetapi, Farida sadar bahwa dirinya tengah menggenggam tangan Ryanthi. Dia harus selalu terlihat kuat di hadapan gadis kecil itu. Farida hanya ingin memberi contoh kepada sang putri, bagaimana seharusnya seorang wanita bersikap meskipun sedang di ujung kematian.
Hingga saat ini, Farida selau memberikan nasihat yang sama kepada gadis kecilnya. Dalam setiap kesempatan, dia selalu berusaha mendidik Ryanthi agar kelak bisa menjadi wanita yang mandiri, tegar, dan kuat.
"Dengar, Nak. Meskipun kita adalah seorang wanita, tapi kita tidak boleh lemah. Jangan jadikan air mata sebagai sahabat. Seberapa pun sakit yang kita rasakan, ingatlah untuk segera bangkit dan berpikir. Cari solusi, bukan meratap."
"Ibu tahu, saat ini kamu belum dapat memahami ucapan atau pun segala yang telah terjadi pada kita. Namun, kamu pasti mengerti ketika Ibu mengatakan jangan lemah apalagi menyerah! Jangan pernah menundukkan kepala, di depan siapa pun yang sudah berani menyakitimu! Ingatlah, Ibu akan selalu ada bersamamu." Farida meletakan telapak tangannya di dada Ryanthi.
Ryanthi tersenyum manis sambil menggenggam tangan sang ibu. "Aku tahu. Selain Tuhan, ada Ibu yang akan selalu melindungiku," ucap Ryanthi kecil yang terdengar begitu polos. Dia menatap lembut Farida. Iris matanya yang hitam tampak bercahaya, bagaikan setetes air di atas daun saat terkena kilauan sinar mentari. Begitu menyejukan bagi hati Farida yang sedang panas.
"Ibu akan selalu bersamaku, kan?" tanya Ryanthi polos.
Farida menatap lekat anak kecil itu. Mana bisa dia berpisah dengan malaikat kecilnya. Ryanthi ibarat kaki yang selalu membuat dirinya berdiri tegak. Ryanthi adalah tangan, yang telah membuatnya mampu menciptakan suatu karya seni yang indah. Ryanthi juga merupakan lantunan doa dalam setiap sujud Farida. Semua yang terbaik hanya untuknya, Ryanthi.
"Berjanjilah bahwa Ibu akan selalu bersamaku sampai kapanpun, bahkan hingga aku dewasa dan terbang jauh menembus awan. Aku ingin naik pesawat." Ryanthi tersenyum lebar.
Satu cita-cita dalam diri gadis itu, ketika dirinya ingin bersekolah di luar negeri. Ya, awalnya itu merupakan harapan besar seorang Farida. Dia selalu mengatakan bahwa dirinya ingin agar Ryanthi kelak bisa melanjutkan pendidikan di luar negeri.
Entah akan seperti apa caranya, tapi Farida selalu memanjatkan doa terbaik untuk gadis kecil yang dia besarkan seorang diri. Bukan karena ingin menerima balas budi. Farida hanya ingin agar Ryanthi menjadi wanita kuat dan mandiri, dengan pikiran terbuka.
Farida hanya berharap dapat bertahan lebih lama, setidaknya sampai gadis kecil itu tumbuh dewasa dan dapat mengurus dirinya. Sampai Ryanthi mengerti dan bisa menjalani hidup tanpa harus berpegangan pada tangan ibunya lagi.
"Ibu sangat menyayangimu. Ibu sadar bahwa selama ini selalu bersikap keras dan tak jarang membuatmu merasa berbeda. Namun, hidup ini tak selalu bersahabat dengan harapan indah kita. Ada kalanya ia berkhianat dan menghancurkanmu tanpa ampun," ucap Farida lirih. "Ibu hanya sedang mempersiapkan dirimu untuk menghadapi kerasnya takdir."
"Apakah ayah tidak akan menemui kita lagi, Bu?" tanya Ryanthi polos. Dia menatap sang ibu. Sorot matany terlihat penuh harap.
"Tidak," jawab Farida tegas. "Jangan pernah memikirkan hal itu. Ayahmu tak akan pernah mencari kita. Berjuanglah sendiri, Nak. Jangan berharap terlalu banyak pada siapa pun. Tak ada seseorang yang bisa benar-benar kamu andalkan, selain diri sendiri," tegas wanita itu.
Ryanthi menggangguk. Dia mencoba memahami apa yang Farida ucapkan. Seiring berjalannya waktu, makin lama Ryanthi semakin mengerti dengan kondisi ayah dan ibunya. Apa yang terjadi kepada mereka, merupakan suatu perpisahan yang sebenarnya tidak perlu terjadi.
Delapan belas tahun sudah berlalu. Ryanthi mulai lupa, akan sosok pria yang yang dulu dia panggil dengan sebutan 'ayah'. Seperti apa wajahnya sekarang? Apakah dia sudah memiliki banyak kerutan? Apakah rambutnya sudah mulai beruban? Andai mereka berpapasan di jalan, apakah Surya dapat mengenalinya?
Ryanthi, tak ingin memikirkan hal itu lagi. Baginya, dia sudah sangat menikmati hidup berdua dengan sang ibu. Gadis itu tidak membutuhkan yang lain. Doa dan dukungan Farida adalah segalanya. Itu semua ibarat sebuah pedang dan tameng yang akan melindungi dirinya di medan pertempuran.
Ryanthi telah cukup dewasa untuk dapat mengambil sikap. Dia sudah terlanjur menjalani hidup dalam situasi seperti saat ini. Ryanthi tak ingin mengeluh ataupun menyalahkan takdir. Dia tahu, Tuhan sudah menuliskan garis hidup setiap umatnya dengan jalan masing-masing.
"Apapun yang terjadi, sampai kapanpun, Ibu akan selalu berada di sampingmu. Ibu akan selalu hadir, setiap kali kamu membutuhkan pelukan saat udara dingin. Ibu akan selalu menyiapkan pangkuan ini, sebagai alas tidurmu. Jangan pernah merasa cemas apalagi takut. Hadapilah keras hidup dengan berani, karena dirimu adalah Ryanthi. Kamu putri dari seorang Farida, yang berwatak keras melebihi batu karang."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 132 Episodes
Comments
Devita Alexandra Alexandra
meresapi sampai ke relung hatiku ,terasa sakit ,dan pedih thor ....aku nenangiiiss
2021-11-20
1
Quora_youtixs🖋️
semangat pagi 😍😍😍😍😍😍
2021-08-16
2
SUNKIZZ
marathon ini bacanya... 😎
2021-08-12
1