Usai kejadian semalam, Alice tetap memutuskan untuk pergi ke sekolah. Ia tidak ingin tertinggal banyak pelajaran hanya karena hal kecil seperti ini.
Herland—pria yang tadi malam membantunya, terus menghantui pikirannya. Sampai dirinya tiba di sekolah pun tidak sadar.
Alice merapikan blazernya yang sedikit berantakan. Tiba-tiba seseorang—dengan sengaja—menabraknya.
"Keturunan memang tidak pernah jauh, kan? Ibunya saja *****! Jangan-jangan anaknya juga sama." Orang itu berkata pada temannya, tetapi ucapannya jelas saja untuk menyindir seseorang yang tidak jauh darinya.
Alice mengepalkan tangannya, ia merasa tidak terima dengan ucapan orang itu tadi. Ia menatap skeptis perempuan yang berdiri di hadapannya.
"Apa? Mau marah? Satu sekolah ini sudah tahu kalau kau bermain ke klub! Pasti kau mau menjual diri, kan?"
"Tentu saja, Mel. Apalagi dia punya hutang sama Tuan Triliuner itu."
Melinda menutup mulutnya—pura-pura terkejut. "Oh iya, hampir saja aku lupa. Dasar, ******!"
Alice tidak mampu menahan emosinya. Ia hanya tidak suka saat seseorang menyebutnya seperti itu, tetapi ia tidak bisa marah, yang bisa dilakukan hanya menatap perempuan bernama Melinda itu.
"Aku lihat…." Melinda menjeda ucapannya sebentar. Kini, sudah banyak yang mengerubungi 3 orang perempuan itu. "Semalam kau dibawa seseorang ke dalam mobil. Kau pura-pura pingsan, kan?"
Alice hanya terdiam, suaranya tidak ingin keluar. Tenggorokannya tercekat karena berusaha menahan diri agar tidak menangis.
"Jangan-jangan kau dibayar—"
"CUKUP, MELINDA!" Alice mendapatkan keberanian. Ia sudah tidak tahan dituduh yang tidak-tidak. Namun, hal itu malah membuat Melinda semakin menjadi.
"Oho, akhirnya suaranya keluar juga. Kenapa? Suaranya habis? Oh, jangan-jangan suara kau sudah habis untuk mendesah tadi malam?"
PLAK!
Alice melayangkan tamparannya tepat di atas pipi kanan Melinda. Melinda terlihat marah karena itu. Tangannya menarik rambut Alice hingga kepala perempuan itu mendongak ke atas.
"Lepasin, Mel!"
"Berani sekali tangan kotormu itu menamparku, hah?!"
"Salah siapa kau menghinaku?!"
"Kau itu memang *****! Wanita ******! Murahan!"
Alice menarik paksa tangan Melinda, ia kembali menampar pipi perempuan itu. Teman Melinda yang bernama Debora, mendorong tubuh Alice sekuat mungkin hingga terhempas di atas lantai. Siswi yang ikut menonton tadi, lantas ikut turun tangan untuk membully gadis itu.
"Kalian semua berhenti!" Seorang guru laki-laki mendekat ke arah kerumunan itu. Dia mendapati siswi kesayangannya berlumuran darah.
"Apa yang kalian lakukan, hah?!" Guru itu berkacak pinggang. "KATAKAN!"
"Alice yang mulai menamparku, Mister Lee."
"Melinda, kau ini sering kali berbuat ulah! Orang tidak akan menamparmu jika mulutmu itu tidak sembarangan berbicara!"
Jeniffer yang sejak tadi berdiri di belakang Mr. Lee langsung menghampiri sahabatnya. Ia mengusap dengan lembut air mata Alice yang membasahi matanya.
"Melinda dan Debora, ikut saya ke BK! Jeni, tolong kamu obati luka Alice."
Alice tidak tahu, hari itu adalah hari awal mula penderitaannya bertambah. Ia tidak tahu bahwa ke depannya nanti akan seperti apa. Padahal tangannya itu masih sakit, tetapi dia malah menggunakannya untuk menampar pipi Melinda.
"Alice." Jeni mengusap lembut telapak tangan sahabatnya. Ia tahu bahwa sahabatnya itu tengah memikirkan sesuatu.
Alice menoleh, menghadap Jeni yang tengah menatap sendu ke arahnya. "Maafin aku, Jen. Aku bukan sahabat yang baik buat kamu. Aku hanya menyusahkanmu."
"Tidak, Al. Sama sekali tidak. Aku beruntung memiliki sahabat sepertimu. Kamu orang yang begitu kuat, jika aku yang di posisimu … mungkin aku sudah bunuh diri karena tidak sanggup."
▫️▪️▪️▫️
Siang ini, Alice memilih untuk jalan kaki menuju kediaman triliuner itu. Ia sudah terikat kontrak pekerjaan di sana. Mungkin sampai mati pun tidak akan selesai pekerjaannya, mengingat jumlah hutang yang tidak begitu sedikit.
Mengingat kata mati, Alice masih memikirkan ucapan Jeniffer tadi pagi. Sekejap dia berpikir, apa dengan bunuh diri semuanya akan usai?
Alice menggeleng dengan cepat. Ia harus membuang jauh-jauh pikiran buruk seperti itu. Tiba-tiba saja kepalanya kembali terasa sakit.
"Aku mohon, jangan sekarang kambuhnya. Aku tidak ada uang sedikit pun, tidak seperti dulu lagi." Alice terus memegang kepalanya. Di sisi kirinya, ada sebuah jembatan yang setinggi pinggangnya. Ia gunakan untuk tumpuan tangannya.
Penyakit ini … penyakit yang sudah membuat keluarganya terlilit hutang. Mamanya pergi meninggalkannya karena sudah tidak sanggup lagi. Sebelum papanya meninggal, penyakit ini sudah sembuh walaupun belum maksimal. Namun beberapa bulan yang lalu, seorang dokter yang pernah menjadi dokter keluarganya kembali datang ke rumah. Dia hanya memastikan kondisi Alice yang sudah dianggap seperti anaknya. Dia mengatakan kalau penyakit itu akan kambuh secepatnya mungkin sekarang adalah waktunya.
Alice memutuskan untuk duduk sebentar. Meski tidak mengurangi rasa sakitnya sedikit pun, ia tetap melakukannya. Rumah CEO itu sudah tidak jauh dari tempatnya. Hanya saja, ia harus datang dengan kondisi yang setidaknya lebih baik dari sekarang.
Dirasa sedikit mendingan, Alice kembali melanjutkan langkahnya. Sudut bibirnya yang membiru mulai terasa linu saat dia menggerakkannya.
Setelah 15 menit lamanya ia berjalan, akhirnya gerbang besi yang tinggi menjulang sudah berada di hadapannya. Rumah itu seperti penjara karena semuanya dipagar besi.
Seorang penjaga datang menghampirinya. Dengan senyum ramahnya dia bertanya, "Ada perlu apa Nona kemari?"
"Maaf sebelumnya, Tuan, nama saya Alice. Saya bekerja di sini, sudah terikat kontrak dengan tuan Britama."
"Tunggu sebentar, Nona." Alice mengangguk, ia berdiri dengan bersandar pintu gerbang besi yang tinggi itu.
Tak berselang lama kemudian, penjaga tadi kembali datang dan membuka gerbang. Dia mengantar Alice menuju pintu utama yang jaraknya cukup jauh. Biasanya, mereka semua mengendarai mobil dari gerbang menuju pintu.
Mereka harus menaiki tangga terlebih dahulu dari samping. Dari depan, dipergunakan untuk orang yang turun dari mobil.
Penjaga tadi meninggalkan Alice agar ia memasuki mansion itu sendirian. Alice merasa gugup dan takut. Dengan penampilannya yang acak-acakan seperti ini, apakah ia bisa masuk ke sana?
Alangkah terkejutnya Alice saat seseorang sudah membuka pintu itu terlebih dahulu. "Lama sekali! Tinggal ketuk pintu lalu—" Pria itu memotong ucapannya. Dia menatap tajam gadis di depannya.
"Untuk apa kau datang dengan wajah seperti itu?" tanyanya dengan nada datar.
"Ma … maaf, Tuan."
"Tck, sudahlah masuk saja!" Pria itu beralih dari pintu dan membiarkan Alice masuk dengan langkah ragu-ragu.
Alice meneguk ludahnya susah payah. Dia tidak menyangka kalau tempat tinggal pria dingin itu begitu megah. Bahkan rumahnya yang terlihat mewah pun tidak ada apa-apanya.
"Berhentilah untuk mengagumi rumah ini!"
"Ma—"
"Kau tidak bersalah, kenapa meminta maaf terus menerus?" Alice menggelengkan kepalanya. David menyuruhnya untuk duduk terlebih dahulu, entah apa yang akan dilakukan oleh pria itu.
Alice mengusap sudut bibirnya. Perih langsung menjalar hingga ujung pipinya. Padahal luka itu sudah diobati oleh Jeni saat di klinik kesehatan sekolah tadi, tetapi kenapa masih terasa sakit sampai sekarang.
Kepala Alice kembali terasa pusing. Ditutupnya hidung dengan telapak tangan kirinya. Bertepatan dengan itu, David kembali ke ruang tamu.
"Kenapa kau?"
"Eum, aku ingin ke kamar mandi. Bolehkah aku minta tolong?"
"Sini aku antar." David kembali berbalik badan, dia pergi mendahului Alice yang tengah memegang kepalanya.
Tubuh itu tidak lagi bisa seimbang. Alice terhuyung lalu terjatuh dengan kepalanya yang membentur meja. David terkejut dan berbalik badan.
"Oh, God!" David berlari menghampiri tubuh Alice yang sudah tergeletak di atas lantai. Hidungnya mengeluarkan banyak darah, pelipisnya juga sedikit robek. David panik karena melihat banyaknya darah itu. Dengan sigap, dia membawa tubuh Alice dalam gendongannya.
David melangkah tergesa-gesa sambil berteriak, "ALEX! ALEX! PANGGIL DOKTER, CEPAT!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Eva Sulina
alicee.. bikin susah z.. hehe
2020-07-19
1
syafa
sebenarnya alice mau di apain sih
2020-02-18
1
Clarita Putrie Juliet Ningtyias
So sad the story... 😭😭
2020-02-05
1