"Alice, kamu bisa datang ke rumahku nanti?" Pertanyaan itu sungguh mudah untuk dijawab, tetapi tidak untuk gadis yang memiliki nama Alice Zoyna Smith.
"Maaf, Jen, aku tidak bisa datang. Aku harus bekerja dan pulangku selalu malam." Sejujurnya, ia merasa berat hati untuk mengucapkan dua kalimat itu. Apakah sahabatnya itu akan memahami tentang dirinya?
Jeniffer memeluk Alice dengan erat. Air matanya menetes di bahu Alice. "Kamu kenapa menangis?" tanya Alice cemas.
"Alice, aku sahabat kamu, kan?" Jeniffer bertanya di tengah isakannya.
"Iya, kamu sahabat aku satu-satunya."
"Tapi kenapa kamu sedikit pun tidak meminta bantuanku? Aku bisa membantumu kalau kamu mau Alice. Please, hargai aku sebagai sahabatmu."
Alice terharu pada sahabatnya, ia mengusap lembut air mata yang mengalir di pipi Jeniffer. "Ini hutang keluargaku, Jen. Kamu tidak perlu susah-susah membantuku. Kamu masih banyak kebutuhan untuk dipenuhi."
"Lalu bagaimana denganmu? Kebutuhanku bahkan sudah sangat tercukupi, Al. Aku bantu kamu, ya? Aku akan minta mama papaku untuk menolongmu."
"Jangan, jangan lakukan itu! Kalau kamu nekat melakukannya, lebih baik kita tidak saling mengenal." Alice beranjak dari duduknya. Diraihnya ransel abu-abu yang sejak tadi tergeletak di atas mejanya.
Dengan mantap, kakinya melangkah meninggalkan bangunan mewah tempatnya menuntut ilmu. "Papa, kenapa Papa harus pergi? Kenapa Papa tega biarin aku menanggung beban ini sendirian? Kenapa Papa tega sekali sama aku?" Alice tersenyum getir di bawah rintikan hujan. Ia tidak berniat sedikit pun untuk berteduh di halte yang tidak jauh di belakangnya tadi.
Seorang pria datang menghampirinya dengan sebuah payung yang berada di genggamannya, tetapi pria itu tidak untuk menciptakan suasana romantis di tengah hujan seperti ini. Dia menarik Alice secara paksa menuju halte tadi.
"Tuan, aku janji akan segera melunasi hutang itu." Alice membuka resleting ranselnya dan mengeluarkan sebuah amplop coklat yang berisi ratusan lembar uang hasil jerih payahnya. "Tapi aku hanya bisa mencicil seperti ini. Percayalah, aku juga butuh uang untuk memenuhi kebutuhanku setiap harinya." Alice bersimpuh di bawah pria itu. "Aku mohon, beri aku waktu lagi. Hutang itu cukup banyak, Tuan. Aku tidak mampu untuk melunasinya dengan waktu yang begitu singkat. Please, help me!" Alice mulai terisak. Dia benar-benar takut kalau pria itu akan menyita rumahnya.
"Baiklah, saya akan mengatakan ini pada Tuan Britama. Bagaimanapun keadaannya, dialah yang tetap memiliki hak untuk memutuskannya. Permisi, Nona!" Pria itu berlalu dari sana dan memasuki sebuah mobil berplat nomor khusus. Alice masih sesenggukan, dari jauh sana, seseorang memperhatikannya. Tak lama kemudian, orang itu menghampirinya seraya menyampirkan jaket tebalnya di bahu Alice.
▫️▪️▪️▫️
David dengan terburu-buru memasuki ruang kerjanya, mungkin ada sesuatu yang telah terjadi karena dilihat dari wajahnya dia seperti terlihat tengah menahan kesal. Lebih tepatnya amarah. Tidak ada orang yang berani menyapanya saat dia melewati ruangan kerja karyawannya.
"Bagaimana bisa mereka tidak melunasi hutangnya?!" David berkata tegas. Orang suruhannya sampai menciut di tempatnya, tidak seperti biasanya yang terlihat santai.
"Ma … af, Tuan, saya tidak tega pada gadis itu. Dia terlihat begitu tertekan saat melihat saya."
"Itu bukan urusan saya! Itu urusan kamu! Untuk apa saya memperkerjakan dirimu yang tidak berguna, huh?!"
"Maaf, Tuan, besok saya akan menagihnya kembali."
"Tidak perlu! Kau memang tidak berguna! Biar saya sendiri yang turun tangan!"
"Ta … tapi, Tuan—"
"Beri saya alamat rumahnya!" Jika David sudah berkata dengan nada begitu dingin, tidak ada yang bisa membantahnya. Termasuk Daniel, orang suruhannya.
"Tuan, saya mohon agar Anda tidak bersikap kasar padanya. Dia tidak tahu apa pun masalah hutang ini. Dia baru tahu saat saya datang menemuinya untuk yang pertama kalinya dulu."
"Pergilah!" usir David dengan nada datarnya. Daniel hanya mengangguk dan mematuhi perintah tuannya.
David mengambil ponselnya yang berdering. Sudut bibirnya sedikit terangkat setelah membaca nama yang tertera di layar ponselnya. "Dasar wanita penggoda!"
🔹🔸🔸🔹
Alice mengusap peluhnya. Dia merasa begitu lelah hari ini. Kafe tempatnya bekerja lumayan ramai hari ini dan membuatnya kewalahan. Bahkan, teman-teman kerjanya yang mendapat jatah shift malam harus ikut turun tangan.
Setelah membuka gerbang rumahnya, dia melangkah memasuki halaman rumah. Dia belum menyadari jika ada seseorang yang sudah menunggu kedatangannya sejak tadi.
Kaki Alice terasa membeku, ia tidak mampu melanjutkan langkahnya saat menyadari ada seorang pria dengan ekspresi wajah yang menyeramkan—menurutnya.
Tidak mungkin dia tidak mengenali orang itu. Orang yang terkenal begitu kejam dan sadis saat bertarung maupun tidak. Ia tidak percaya jika pria itu berada di teras rumahnya.
"Tu … Tuan Britama." Ia menggumam di tempatnya. Pria itu melangkah untuk mendekatinya.
"Tu … tuan, sa … saya janji a … kan me … lunasi hutang Pa … Papa sa … saya." Alice berubah menjadi gagap karena rasa takutnya pada pria di hadapannya itu.
"Saya tidak butuh janji. Yang saya butuhkan itu pelunasan hutang kalian sebelum jatuh tempo!"
"Ta … tapi sa … saya tidak punya u … uang sedikit pun. Ta … tadi sa … saya su—"
"Saya tahu dan saya tidak butuh! Lunasi hutang kalian atau rumah ini saya sita?!"
"Jangan, Tuan! Nanti saya tinggal di mana?"
"Bukan urusan saya!" David langsung melangkah pergi meninggalkan Alice dan pekarangan rumah itu. Dia mengurungkan niat untuk melajukan mobilnya karena melihat gadis tadi berlari menjauhi komplek perumahannya.
"Gadis malam rupanya." David menatap datar punggung yang semakin menjauh itu, tetapi dia memutuskan untuk mengikuti kemana perginya gadis itu. Bagaimanapun juga dia itu perempuan dan bahaya akan datang sewaktu-waktu kalau dia tidak bisa menjaga diri.
"Ngapain ke klub? Bukankah dia tidak memiliki uang?" David memutuskan untuk mengikuti langkah gadis itu.
"Di sini sedang tidak ada lowongan pekerjaan, Nona!" Salah satu barista berkata dengan sedikit keras karena alunan musik yang begitu memekakkan telinga.
"Please, I really need a job!"
"Saya bilang di sini tidak ada lowongan, apa kau tidak paham juga?!" Barista itu terlihat geram. Dia segera keluar dari pantry dan menarik paksa pergelangan tangan gadis itu. Namun, seseorang datang mencegahnya.
"Bagaimana kalau aku sewa perempuan ini? Sepertinya, dia masih gadis."
"Tapi—"
"Kuberi tarif tiga kali lipat, gimana?"
"Oke, deal!" Barista itu tersenyum puas. Padahal perempuan itu tidak bekerja dengannya, tetapi dia yang mendapatkan uang atas sewa tubuh perempuan tadi.
Alice meronta saat dirinya dibawa menuju lantai atas. Ia tidak tahu apa yang akan dilakukan pria itu kepadanya.
"Lepaskan aku!"
"Aku membayarmu mahal, Nona! Tetap diam dan turuti keinginanku!"
"Kenapa kau membayarku pada laki-laki itu?! Di sini aku yang membutuhkan uang untuk melunasi hutang-hutang keluargaku!"
Mereka berdua sudah sampai di satu ruangan. Pria tadi menutup pintu kamar itu dan menguncinya. "Kenapa kau cerewet sekali, Nona?!"
"Aku mohon, jika kau melakukan ini padaku, maka berikan uang itu padaku. Aku tidak bekerja sedikit pun di sini! Aku mohon, aku sangat memohon padamu!"
"Diam kau!" Pria itu menarik paksa pakaian yang dikenakan Alice. Lalu dengan kasar dia menghempaskan tubuh Alice ke atas kasur.
Pria itu menindih tubuh kecil Alice. Alice berusaha meronta, meski ia tahu jika tenaganya tidak ada bandingnya jika dibandingkan dengan tenaga pria yang sedang menindihnya itu.
"Aaaaaaaa!!!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Sella Canelis
Thor kok gx ad gambar visual nya
2020-04-30
1
syafa
itu david britama ta
2020-02-18
1
Mighty Meitty
awal yg seru, semoga kedepannya semakin menarik. semangat thor
2019-10-01
2