THREE

Alice memasuki ruang kerja barunya. Baru beberapa langkah dia memasuki ruangan itu, seseorang sudah menghampirinya terlebih dahulu.

"Kamu ada perlu apa di sini? Di sini bukan tempat untuk main."

"Ma … maaf, tapi saya disuruh Tuan Britama ikut kerja di sini." Alice menundukkan kepalanya, ia tidak terbiasa dengan suasana seperti ini.

Seorang perempuan menghampirinya dan berkata, "Selamat bergabung! Tadi Tuan Britama sudah memberi tahuku, kamu ganti baju dulu saja, ya. Ruang gantinya ada di bagian kanan di pintu warna merah itu." Perempuan itu mengarahkan Alice pada tempat di mana baju karyawan sudah tersedia di sana.

Padahal tangan Alice masih sakit, lalu bagaimana cara dia bekerja nanti? Alice mengganti seragam sekolahnya dengan seragam perusahaan ini, bahkan seragam itu sudah tercetak nama dirinya.

"Hai, nama kamu siapa? Namaku Hailey, Hailey Flawless." Alice yang baru membuka pintu merasa terkejut saat perempuan tadi tiba-tiba berdiri di depan pintu.

Alice membalas uluran tangannya, meski sedikit terhalang perban yang melingkari telapak tangannya. "Alice, Alice Zoyna Smith."

"Tangan kamu kenapa? Apa kamu bisa bekerja dengan keadaan seperti ini?"

"Tentu saja. Aku harus bekerja, ini semua demi lunasnya hutang keluarga kami."

Hailey merubah raut wajahnya, ia merasa kasihan pada teman barunya ini. "Ya sudah aku akan mengajarimu sekarang. Ikutlah denganku!"

Alice mengangguk dan mengikuti ke mana Hailey melangkah. Mereka menuju salah satu ruangan yang sudah tersedia sebuah monitor otomatis. Hailey menjelaskan secara rinci pada Alice. Ia merasa takjub karena Alice memiliki daya tanggap yang cukup cepat. Bahkan gadis itu sekarang sudah mulai bekerja sendiri meski sesekali harus berhenti karena merasa sakit pada lukanya.

Sedangkan di dalam ruangan CEO Daniel tengah meminta penjelasan dari atasannya itu.

"Sebenarnya apa yang sudah terjadi, Tuan?"

"Tadi malam aku menemuinya dan dia memohon agar aku memberinya waktu lagi. Aku menurutinya, saat akan pergi dari kompleks perumahannya, kulihat dia berlari ke luar rumahnya. Aku merasa curiga dan mengikutinya. Ternyata dia mencari pekerjaan saat itu juga. Sayangnya, seorang pria bejat tidak menerimanya dan malah menerima uang dari laki-laki yang akan memakai tubuhnya, padahal perempuan itu tidak bekerja di situ."

Daniel manggut-manggut, dia sudah mengerti alasan tuannya itu untuk mengirimkan bom semalam. Satu hal lagi yang membuat Daniel tidak mengerti, kenapa tuannya itu peduli pada perempuan lain? Padahal selama ini dia tidak pernah perhatian pada perempuan, kecuali keluarganya. Apalagi Alice itu tidak pernah dikenalnya.

"Daniel, tolong awasi Alice. Ke manapun dia pergi, awasi dia!" Daniel menganggukkan kepalanya dan memilih untuk meninggalkan tuannya. Ada tugas yang harus dia lakukan, tetapi bukan mengawasi Alice. Gadis itu tidak akan diawasi ketika berada di perusahaan, padahal belum tentu gadis itu akan aman-aman saja di tempat megah ini.

David menuju balkon ruangannya, dia menelpon seseorang untuk menyuruhnya agar segera datang. Ponselnya berdenting, terdapat pesan masuk di sana.

Dave, aku sudah tiba di Kanada tadi malam. Maukah kau bertemu denganku? Aku ingin meminta maaf padamu. Please, come here!

David meremas ponselnya. Dia berdiri di belakang sofa yang ada di balkon. Tangannya bertumpu pada sisi atas sofa itu.

"Tumben kau menyuruhku datang."

"Ada apa, Dave?" Pria yang baru saja muncul dari balik pintu, segera menghampiri David yang sudah terlihat begitu marah.

"Dia … muncul lagi!" Tanpa dirinya menyebutkan nama, pria itu sudah paham. Lantas bagaimana caranya supaya David tidak bertemu dengan orang itu lagi?

"Oke, aku paham masalahnya. Lalu, apa yang ingin kau lakukan?"

"Intinya … jangan biarkan dia datang ke mansionku, perusahaan ini atau lainnya, dan jangan sampai dia mengganggu urusan pribadiku."

"Dave, Dave, semoga saja kamu cepat mendapatkan pengganti perempuan itu agar kamu tidak terus-menerus diteror sama dia."

"Sudah ada."

Pria tadi menoleh dengan tatapan tidak percaya dan ingin mengeluarkan suaranya.

"Apa? Nggak percaya? Lihat saja besok!" David terlebih dahulu menyela sebelum pria itu mengeluarkan suara.

"Adik tidak sopan! Memangnya ada yang menyukai pria dingin sepertimu, huh?"

David menggedikkan bahunya tak peduli. Ditatapnya sang kakak tertua. "Sebenarnya, aku tidak mengenalnya. Tapi entahlah, kuharap dia ingin mengenalku lebih dalam. Herland, apa kau mau membantuku?"

Herland yang tengah menatap langit, menoleh pada adik laki-lakinya. "Tentu saja. You are my brother!"

Meski Herland tersenyum manis untuk adiknya, David tidak sedikit pun membalasnya. Herland tidak mempermasalahkan hal itu, dia tahu dari sekadar tahu tentang adiknya itu.

▫️▪️▪️▫️

Pukul 7 petang, perusahaan besar tersebut mulai bubar karena waktu bekerja telah habis. Alice mendapatkan giliran terakhir untuk mengambil tasnya. Hailey memilih menunggunya di lobi.

Saat Alice meraih gagang pintu ruang ganti, ternyata pintu itu tidak bisa dibuka. Ia mulai merasa panik. Langit sudah gelap, bagaimana cara dia pulang nanti?

"Siapa yang tega mengunciku di sini?" Alice menahan diri agar tidak menangis sekarang. Dia benar-benar merasa takut. Apakah di sini ada yang tidak menyukai kedatangannya?

Alice tidak memiliki ponsel. Benda itu sudah dijualnya untuk menambahi uang cicilan hutang kemarin. Ia mengacak rambutnya dan merasakan sesuatu yang menempel di rambutnya. Jepit rambut. Benda itu ia manfaatkan untuk membuka kunci pintu, semoga saja usahanya berhasil.

Ternyata cukup lama juga usahanya untuk membuka pintu tersebut. Alice harus kehilangan waktunya hanya untuk usaha yang belum tentu membuahkan hasil.

Namun, ternyata usahanya tidak sia-sia, pintu itu terbuka setelah 30 menit lamanya dia berjuang. Dengan buru-buru, ia langsung bergegas keluar dari ruang editing itu. Perusahaan sudah terlihat sepi, mungkin semua karyawan sudah pulang semuanya.

Setibanya di lobi, ia tidak mendapati Hailey yang katanya menunggu dia tadi. Namun tidak masalah, itu juga karena dirinya yang begitu lama. Akhirnya, Alice memutuskan untuk pulang jalan kaki karena tidak memiliki uang sepeser pun.

Dinginnya angin malam begitu terasa menusuk kulit. Gadis itu tidak memakai jaket sama sekali, bahkan dia hanya mengandalkan kehangatan dari blazer almamater sekolahnya. Perutnya terasa melilit karena dia belum makan sejak kemarin. Jatah makan siangnya tadi tumpah tak bersisa, sepertinya memang ada orang yang sengaja menyenggol lengannya.

Alice berjalan sembari tangannya memegangi perut. Meski jalanan masih tampak ramai, ia merasa kesepian. Sudah 5 tahun lamanya dia hidup sendiri tanpa keluarga. Mamanya pergi meninggalkan dirinya saat masih berumur 8 tahun, sedangkan papanya meninggal saat dia berumur 12 tahun karena sebuah kecelakaan. Saudara pun dia tidak memilikinya. Yang dimilikinya hanyalah sebuah hutang peninggalan orang tuanya dan itu benar-benar membebani hidupnya, tetapi sebisa mungkin ia tidak terlalu memikirkan dengan begitu penat akan hal itu meskipun ia tidak pernah bisa melakukannya.

Alice terus berjalan hingga melewati sebuah klub malam. Sesuatu melintas di kepalanya dan membuatnya nekat untuk melakukan sesuatu.

"Bukankah CEO dingin itu menyuruhku untuk bekerja di mansionnya sebagai ganti hutang kami? Lebih baik aku juga bekerja di sini, uangnya nanti lumayan untuk aku makan sehari-hari atau untuk membiayai keperluan sekolahku." Tanpa pikir panjang, Alice segera memasuki klub itu. Baru juga dirinya menginjakkan kaki di tempat yang masih terlihat sepi itu, sudah ada seorang laki-laki yang menggodanya.

"Kau murid Ontorio SHS?" tanya laki-laki yang menggodanya tadi. Alice langsung berlari meninggalkan klub malam itu. Jika ada yang mengetahui dirinya berada di klub itu, bagaimana nasibnya di sekolah nanti?

Alice menangis, ia tidak kuat lagi menahan rasa lapar dan perih di tangannya. Dia berharap ada seseorang yang mau menolongnya sekarang ini.

Tenggorokannya terasa tercekat karena dia juga tidak minum sama sekali. Bibirnya sudah terlihat pucat, badannya juga menggigil kedinginan. Benar-benar terlihat menyedihkan. Tega sekali pria bernama David itu. Dia sudah datang dan memaksa Alice ikut dengannya lalu dia menelantarkannya seperti sekarang ini.

Alice mulai limbung, kepalanya terasa seperti berputar-putar. Tangannya meremas kepala, tidak peduli lagi dengan rasa perih di telapak tangan itu. Bahkan perutnya terasa mual, mungkin efek asam lambungnya naik karena tidak makan.

Gadis itu terjatuh di atas trotoar. Tubuhnya sudah tidak mampu lagi untuk berjalan menuju rumahnya. Pandangannya mulai menggelap, telinganya terus berdenging dan membuatnya terus menutupi kedua telinga itu.

"Argh!" Dia berteriak tanpa tenaga sedikit pun karena tubuhnya sudah merasa begitu lemas.

"Hei, kau!" Teriakkan itu bertepatan dengan tubuh Alice yang mulai tergeletak di trotoar dan matanya sudah tertutup.

Terpopuler

Comments

Ani Yuningsih

Ani Yuningsih

kasian alice

2019-11-07

1

Thutich

Thutich

gmn yg sabar y Alice.....😭😭😭
semangat Thor 💪💪💪💪

2019-08-01

3

Fahriani Amalia

Fahriani Amalia

Thor lanjut terus ya semangatt buat authornya

2019-07-31

6

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!