Luka
19 Maret 2020 di Berlin, Jerman.
PRANK...
Seorang pria menghantam meja kaca hingga pecah berhamburan meninggalkan kayu kokoh yang selama ini menopangnya. Di tangannya terlihat sebuah gelas kristal yang ikut pecah dan melukai tangan pria itu hingga meneteskan darah segar. Seketika ruangan yang tadinya ribut berubah menjadi hening, bahkan beberapa orang yang ada disana menahan nafas karena terkejut dengan apa yang barusan terjadi.
Dengan tatapan yang menakutkan, Ahmad Dzaki, nama pria itu menatap ketiga orang yang duduk di depannya secara bergantian. Liza ditemani ibu dan pamannya menuntut agar Dzaki menikahinya dan mereka sudah menyebarkan undangan pernikahan mereka.
Padahal Dzaki ingat betul dia tidak pernah berhubungan badan dengan perempuan manapun, bahkan dua bulan yang lalu dia sengaja membuat dirinya masuk dalam perangkap Liza untuk menuduh Dzaki menghamilinya. Dzaki masih ingat detail kejadian malam itu, saat Liza tidur di samping Dzaki hingga pagi karena Dzaki pura-pura mabuk. Saat terbangun keesokan harinya, Liza bersikap seolah-olah mereka telah melakukan hubungan suami istri.
"Verdammt ( sialan ), apa harus gue ulangi lagi?" kalimat tegas Dzaki mengakhiri kebisuan di ruangan itu.
Orang yang ditanya hanya menunduk ketakutan, tangan yang tadinya refleks menutupi wajahnya saat tangan Dzaki menghantam meja, kini disatukan di depan mulutnya. Matanya hanya melirik ibu dan pamannya yang kini ikut-ikutan membisu, seakan-akan meminta pertolongan atas situasi yang di luar harapannya.
"Das ist so peinlich ( ini memalukan )" Paula kemudian berjalan meninggalkan putri dan Jeremy, saudara iparnya.
Paula menyesali apa yang barusan terjadi akibat keserakahannya untuk menikahkan Liza dengan Dzaki. Paula, Liza, dan Jeremy tidak menyangka kalau ternyata Dzaki memiliki bukti yang akan mencoreng nama baik keluarganya. Bukti perselingkuhan Paula dan Jeremy serta bukti jika Liza menjebak Dzaki agar mau menikah dengannya.
"Mommy, Ich muss ihn heiraten ( saya harus menikah dengannya )" pekik Liza.
Liza berdiri mengejar Paula yang sudah membuka pintu apartemen Dzaki.
"Dzaki, om minta maaf atas hal memalukan ini. Om berharap kamu bisa menjaga rahasia keluarga kami, om janji akan memperbaiki semua kekacauan ini" suara Jeremy bergetar karena malu atas perbuatannya.
"Om tenang saja, itu semua bukan urusanku" Dzaki menjawab ketus.
"Dzaki, Pak Reka menelpon anda" Ferdy, asisten Dzaki selama 3 tahun menyodorkan ponsel Dzaki, Reka adalah ayah Dzaki, pengusaha nomor satu di Asia. Kerajaan bisnisnya ada dimana-mana, mulai dari rumah sakit, properti, kosmetik, elektronik, pusat perbelanjaan, tambang, stasiun TV bahkan maskapai penerbangan.
"Halo" Ucap Dzaki dengan nada rendah tapi tegas.
"Apa yang terjadi denganmu nak, beraninya perempuan nakal itu mengganggu putraku?" perempuan yang berbicara di telepon terdengar hampir teriak.
Widya, ibu Dzaki yang menggunakan ponsel suaminya untuk menghubungi putranya. Sejak sore Widya berusaha menghubungi Dzaki tapi tidak pernah sekalipun dijawab. Dzaki memang sengaja menghindar karena sudah tahu kalau ibunya pasti akan minta penjelasan mengenai masalah Liza, dan Dzaki enggan membahasnya. Jangan ditanya darimana Widya tahu mengenai Liza, bahkan warna pakaian dan menu yang dimakan Dzaki dalam satu hari akan selalu sampai di telinga kedua orang tuanya. Mereka sengaja mempekerjakan orang khusus untuk mengawasi, menjaga dan melaporkan setiap aktifitas kedua anaknya yaitu Dzaki dan kakaknya, Syifa.
"Mama pasti tahu yang terjadi, semua sudah beres Ma" ucap Dzaki datar.
"Papamu mau berbicara nak" sambung Widya
Tanpa menunggu jawaban dari Dzaki, Widya menyerahkan ponsel ke Reka.
"Halo, Dzaki. Pekan depan kamu balik ke Indonesia ya, papa bisa stroke karena keseringan mendengar mamamu marah-marah karena masalah seperti ini" Reka berbicara panjang lebar tanpa aba-aba.
"Tapi pa,.." Dzaki berusaha menolak dan ucapannya dipotong oleh Reka.
"Papa sudah tua nak, papa sudah tidak bisa pulang pergi ke Jerman untuk bertemu putra papa"
Dzaki hanya diam
"Dzaki, ini sudah terlalu lama. Sudah 18 tahun sejak kamu meninggalkan Indonesia, pulanglah nak" suara berat Reka mengakhiri sambungan telepon tersebut.
Sementara Dzaki membeku dengan tatapan kosong, "sudah 18 tahun" gumamnya dalam hati. Pikirannya kembali ke 18 tahun yang lalu saat dia masih duduk di bangku SMA.
***
13 April 2002 di Jakarta, Indonesia.
“Adee, boleh nyontek tugas bahasa Mandarin kamu gak?” tanya Keisya dengan suara yang dibuat-buat manja.
Keisya memutar badannya agar bisa melihat wajah murid yang duduk tepat dibelakangnya. Sedangkan yang ditanya hanya mengangkat wajahnya dan menjawab dengan senyum tipis lalu kembali sibuk dengan laptopnya.
“Adeeee, boleh yaa” Keisya kini memelas berharap siswa ganteng yang menjadi sahabatnya selama hampir setahun ini berubah pikiran.
“Kak Keisya, aku kan sudah bilang kalo aku mending ngajarin kakak sampai bisa daripada harus selalu memberi contekan” balas murid itu tanpa menoleh.
Ade sebenarnya hanyalah nama julukan yang diberikan oleh teman-temannya di sekolah. Dia mendapat dua kali akselerasi belajar padat. Satu kali saat duduk di bangkus SD dan yang kedua saat duduk di bangku SMP. Itu membuatnya harus belajar bersama kakak kelasnya yang dua tahun lebih tua di kelas yang sama. Dan karena itu nama Ahmad Dzaki akhirnya disingkat menjadi AD dan melekat sampai saat dia memasuki jenjang SMA.
Hampir semua guru dan murid di sekolah mengenal siapa Ade tapi hanya segelintir orang yang tahu nama Ahmad Dzaki.
“Diajar sampai kapanpun aku tetap tidak bisa” suara Keisya mulai melemah.
“Bukan tidak bisa, kakak memang tidak mau mencoba” lirih Dzaki.
"Baiklah, aku pasrah saja kalau aku dikeluarkan dari kelas IPA 1 karena nilai bahasa Mandarinku juga anjlok" suara Keisya semakin melemah karena mengingat nilai bahasa asingnya yang lain juga tidak bisa diharapkan.
"Ini terakhir kalinya kak Keisya" ucap Dzaki serius dengan tatapan tajam.
Dzaki mengambil buku bersampul merah dari dalam laci mejanya, Keisya mengambil buku itu sambil tersenyum puas.
"Aku janji" jawab Keisya penuh keyakinan.
Keisya sadar kali ini Dzaki serius dengan ucapannya.
Tapi detik selanjutnya Keisya tersenyum sambil bergumam sendiri "Toh ini sudah akhir semester, sebentar lagi tahun ajaran baru dan siswa jurusan IPA di tahun kedua hanya akan belajar bahasa Inggris dan Jerman saja"
Mereka adalah murid di kelas khusus untuk Jurusan IPA tahun pertama di SMA Rajawali, salah satu SMA teladan di Jakarta. Walaupun mereka murid jurusan IPA tapi aturan di sekolah menerapkan bahwa murid di tahun pertama wajib mengikuti lima kelas bahasa asing. Inggris, Arab, Jerman, Mandarin dan Prancis. Dan Dzaki tahu betul kalau teman sekelasnya itu memang tidak tertarik untuk belajar bahasa asing.
"Yang penting nilai bahasaku bisa mencapai standar kelulusan, itu sudah cukup. Aku tidak bercita-cita untuk tinggal dan bekerja di luar negeri. Bekerja di luar negeri atau bekerja untuk orang-orang kaya hanya akan menyia-nyiakan bakatku. Lebih baik aku jadi dokter hebat dan mengabdikan diriku untuk orang-orang miskin dan tertinggal" Itu yang selalu Keisya ucapkan setiap kali ditegur oleh teman-temannya karena tidak peduli pada pelajaran bahasa asing.
Keisya yang lemah di mata pelajaran bahasa asing berbeda dengan Dzaki yang menguasai hampir seluruh mata pelajaran. Selain pernah mengikuti olimpiade Matematika, Kimia dan Fisika, Dzaki juga pernah mengikuti debat kebangsaan dengan bahasa Inggris. Ditopang dengan postur tubuh yang tinggi dan tegap serta kulit yang kuning langsat, Dzaki juga jago di beberapa olahraga seperti basket, renang dan catur. Hal itu membuatnya cukup populer di kalangan siswi SMAnya, walaupun pada akhirnya mereka hanya sebatas kagum karena Dzaki dua tahun lebih muda dari mereka.
Setelah memberikan bukunya ke Keisya, Dzaki kembali fokus menatap laptopnya dan sesekali mengetik beberapa kata. Hari ini ada presentase untuk mata pelajaran biologi dan bahan presentase Dzaki belum siap karena selalu diganggu oleh Syifa selama dua minggu terakhir.
Syifa adalah kakak semata wayang Dzaki. Walaupun umur mereka selisih empat tahun tapi Dzaki terkesan lebih dewasa dibandingkan dengan Syifa yang manja. Syifa seringkali meminta Dzaki melakukan berbagai hal untuknya. Contohnya semakam, Syifa memaksa Dzaki untuk membantunya menjadi model dadakan. Dzaki dipaksa untuk memakai satu per satu pakaian yang didesign Syifa untuk peragaan busana di kampusnya. Alhasil setelah berganti pakaian puluhan kali dan difoto dengan berbagai pose, Dzaki akhirnya tumbang sebelum menyelesaikan tugasnya.
"Untung materinya sudah pernah aku pelajari" gumam Dzaki dalam hati sambil mengetik kesimpulan dari tema yang akan dia bahas nanti.
Tepat setelah Dzaki menyimpan laptopnya di laci, seseorang memanggilnya.
“Ade, ada yang cari tuu” teriak kevin sambil berjalan masuk kelas dan menunjuk ke arah pintu.
Kevin tersenyum jahil dan mengedipkan matanya, teman sekelasnya yang terkenal tenang dan hanya tahu belajar, hari ini dicari oleh siswi kelas lain yang lumayan cantik dan anggun.
“Siapa?” Dzaki bertanya tenang tapi dari raut wajahnya terlihat kalau dia cukup penasaran. “tumben” pikirnya.
“Entahlah, mungkin bidadarimu” jawab Kevin yang diikuti sorakan dari murid-murid lain.
Sesampainya di depan kelas Dzaki melihat seorang siswi yang memakai kerudung berdiri menghadap lorong sambil menundukkan wajahnya.
“Kakak cari aku?” tanya Dzaki ramah, walaupun Dzaki pintar, tampan dan berasal dari keluarga yang diperhitungkan se-Asia tapi dia dikenal ramah dan sopan pada siapa saja, itulah sebabnya Dzaki banyak disukai disekolah baik guru, murid, penjaga kantin, bahkan tukang kebun sekolah.
“Assalamu'alaikum, selamat pagi”, siswi itu mengangkat wajahnya yang ternyata sudah memerah, mungkin karena malu setelah mendengar sorakan dari dalam kelas.
Dzaki terdiam sesaat, “cantik” gumamnya dalam hati.
“Wa’alaikumsalam, iya selamat pagi” jawan Dzaki dengan senyum manis, entah kenapa dia merasa kagum dengan sosok yang ada di depannya, mungkin karena cantik atau mungkin saja karena sopan santun yang ditunjukkan, jarang ada orang yang menyapa dengan mengucapkan salam saat di zaman sekarang.
“Kamu dipanggil Kepsek ke ruangannya sepulang sekolah nanti” kata siswi itu.
“Oh, baik.. terima kasih kak" jawab Dzaki cepat sambil memperlihatkan senyum tipisnya.
"Oke" sambil tersenyum siswi itu melangkahkan kakinya meninggalkan kelas X IPA 1.
Tanpa sadar Dzaki memandangi punggung siswi yang tadi dititipi pesan oleh kepsek dengan senyum penuh arti.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments