19 Maret 2020 di Berlin, Jerman.
PRANK...
Seorang pria menghantam meja kaca hingga pecah berhamburan meninggalkan kayu kokoh yang selama ini menopangnya. Di tangannya terlihat sebuah gelas kristal yang ikut pecah dan melukai tangan pria itu hingga meneteskan darah segar. Seketika ruangan yang tadinya ribut berubah menjadi hening, bahkan beberapa orang yang ada disana menahan nafas karena terkejut dengan apa yang barusan terjadi.
Dengan tatapan yang menakutkan, Ahmad Dzaki, nama pria itu menatap ketiga orang yang duduk di depannya secara bergantian. Liza ditemani ibu dan pamannya menuntut agar Dzaki menikahinya dan mereka sudah menyebarkan undangan pernikahan mereka.
Padahal Dzaki ingat betul dia tidak pernah berhubungan badan dengan perempuan manapun, bahkan dua bulan yang lalu dia sengaja membuat dirinya masuk dalam perangkap Liza untuk menuduh Dzaki menghamilinya. Dzaki masih ingat detail kejadian malam itu, saat Liza tidur di samping Dzaki hingga pagi karena Dzaki pura-pura mabuk. Saat terbangun keesokan harinya, Liza bersikap seolah-olah mereka telah melakukan hubungan suami istri.
"Verdammt ( sialan ), apa harus gue ulangi lagi?" kalimat tegas Dzaki mengakhiri kebisuan di ruangan itu.
Orang yang ditanya hanya menunduk ketakutan, tangan yang tadinya refleks menutupi wajahnya saat tangan Dzaki menghantam meja, kini disatukan di depan mulutnya. Matanya hanya melirik ibu dan pamannya yang kini ikut-ikutan membisu, seakan-akan meminta pertolongan atas situasi yang di luar harapannya.
"Das ist so peinlich ( ini memalukan )" Paula kemudian berjalan meninggalkan putri dan Jeremy, saudara iparnya.
Paula menyesali apa yang barusan terjadi akibat keserakahannya untuk menikahkan Liza dengan Dzaki. Paula, Liza, dan Jeremy tidak menyangka kalau ternyata Dzaki memiliki bukti yang akan mencoreng nama baik keluarganya. Bukti perselingkuhan Paula dan Jeremy serta bukti jika Liza menjebak Dzaki agar mau menikah dengannya.
"Mommy, Ich muss ihn heiraten ( saya harus menikah dengannya )" pekik Liza.
Liza berdiri mengejar Paula yang sudah membuka pintu apartemen Dzaki.
"Dzaki, om minta maaf atas hal memalukan ini. Om berharap kamu bisa menjaga rahasia keluarga kami, om janji akan memperbaiki semua kekacauan ini" suara Jeremy bergetar karena malu atas perbuatannya.
"Om tenang saja, itu semua bukan urusanku" Dzaki menjawab ketus.
"Dzaki, Pak Reka menelpon anda" Ferdy, asisten Dzaki selama 3 tahun menyodorkan ponsel Dzaki, Reka adalah ayah Dzaki, pengusaha nomor satu di Asia. Kerajaan bisnisnya ada dimana-mana, mulai dari rumah sakit, properti, kosmetik, elektronik, pusat perbelanjaan, tambang, stasiun TV bahkan maskapai penerbangan.
"Halo" Ucap Dzaki dengan nada rendah tapi tegas.
"Apa yang terjadi denganmu nak, beraninya perempuan nakal itu mengganggu putraku?" perempuan yang berbicara di telepon terdengar hampir teriak.
Widya, ibu Dzaki yang menggunakan ponsel suaminya untuk menghubungi putranya. Sejak sore Widya berusaha menghubungi Dzaki tapi tidak pernah sekalipun dijawab. Dzaki memang sengaja menghindar karena sudah tahu kalau ibunya pasti akan minta penjelasan mengenai masalah Liza, dan Dzaki enggan membahasnya. Jangan ditanya darimana Widya tahu mengenai Liza, bahkan warna pakaian dan menu yang dimakan Dzaki dalam satu hari akan selalu sampai di telinga kedua orang tuanya. Mereka sengaja mempekerjakan orang khusus untuk mengawasi, menjaga dan melaporkan setiap aktifitas kedua anaknya yaitu Dzaki dan kakaknya, Syifa.
"Mama pasti tahu yang terjadi, semua sudah beres Ma" ucap Dzaki datar.
"Papamu mau berbicara nak" sambung Widya
Tanpa menunggu jawaban dari Dzaki, Widya menyerahkan ponsel ke Reka.
"Halo, Dzaki. Pekan depan kamu balik ke Indonesia ya, papa bisa stroke karena keseringan mendengar mamamu marah-marah karena masalah seperti ini" Reka berbicara panjang lebar tanpa aba-aba.
"Tapi pa,.." Dzaki berusaha menolak dan ucapannya dipotong oleh Reka.
"Papa sudah tua nak, papa sudah tidak bisa pulang pergi ke Jerman untuk bertemu putra papa"
Dzaki hanya diam
"Dzaki, ini sudah terlalu lama. Sudah 18 tahun sejak kamu meninggalkan Indonesia, pulanglah nak" suara berat Reka mengakhiri sambungan telepon tersebut.
Sementara Dzaki membeku dengan tatapan kosong, "sudah 18 tahun" gumamnya dalam hati. Pikirannya kembali ke 18 tahun yang lalu saat dia masih duduk di bangku SMA.
***
13 April 2002 di Jakarta, Indonesia.
“Adee, boleh nyontek tugas bahasa Mandarin kamu gak?” tanya Keisya dengan suara yang dibuat-buat manja.
Keisya memutar badannya agar bisa melihat wajah murid yang duduk tepat dibelakangnya. Sedangkan yang ditanya hanya mengangkat wajahnya dan menjawab dengan senyum tipis lalu kembali sibuk dengan laptopnya.
“Adeeee, boleh yaa” Keisya kini memelas berharap siswa ganteng yang menjadi sahabatnya selama hampir setahun ini berubah pikiran.
“Kak Keisya, aku kan sudah bilang kalo aku mending ngajarin kakak sampai bisa daripada harus selalu memberi contekan” balas murid itu tanpa menoleh.
Ade sebenarnya hanyalah nama julukan yang diberikan oleh teman-temannya di sekolah. Dia mendapat dua kali akselerasi belajar padat. Satu kali saat duduk di bangkus SD dan yang kedua saat duduk di bangku SMP. Itu membuatnya harus belajar bersama kakak kelasnya yang dua tahun lebih tua di kelas yang sama. Dan karena itu nama Ahmad Dzaki akhirnya disingkat menjadi AD dan melekat sampai saat dia memasuki jenjang SMA.
Hampir semua guru dan murid di sekolah mengenal siapa Ade tapi hanya segelintir orang yang tahu nama Ahmad Dzaki.
“Diajar sampai kapanpun aku tetap tidak bisa” suara Keisya mulai melemah.
“Bukan tidak bisa, kakak memang tidak mau mencoba” lirih Dzaki.
"Baiklah, aku pasrah saja kalau aku dikeluarkan dari kelas IPA 1 karena nilai bahasa Mandarinku juga anjlok" suara Keisya semakin melemah karena mengingat nilai bahasa asingnya yang lain juga tidak bisa diharapkan.
"Ini terakhir kalinya kak Keisya" ucap Dzaki serius dengan tatapan tajam.
Dzaki mengambil buku bersampul merah dari dalam laci mejanya, Keisya mengambil buku itu sambil tersenyum puas.
"Aku janji" jawab Keisya penuh keyakinan.
Keisya sadar kali ini Dzaki serius dengan ucapannya.
Tapi detik selanjutnya Keisya tersenyum sambil bergumam sendiri "Toh ini sudah akhir semester, sebentar lagi tahun ajaran baru dan siswa jurusan IPA di tahun kedua hanya akan belajar bahasa Inggris dan Jerman saja"
Mereka adalah murid di kelas khusus untuk Jurusan IPA tahun pertama di SMA Rajawali, salah satu SMA teladan di Jakarta. Walaupun mereka murid jurusan IPA tapi aturan di sekolah menerapkan bahwa murid di tahun pertama wajib mengikuti lima kelas bahasa asing. Inggris, Arab, Jerman, Mandarin dan Prancis. Dan Dzaki tahu betul kalau teman sekelasnya itu memang tidak tertarik untuk belajar bahasa asing.
"Yang penting nilai bahasaku bisa mencapai standar kelulusan, itu sudah cukup. Aku tidak bercita-cita untuk tinggal dan bekerja di luar negeri. Bekerja di luar negeri atau bekerja untuk orang-orang kaya hanya akan menyia-nyiakan bakatku. Lebih baik aku jadi dokter hebat dan mengabdikan diriku untuk orang-orang miskin dan tertinggal" Itu yang selalu Keisya ucapkan setiap kali ditegur oleh teman-temannya karena tidak peduli pada pelajaran bahasa asing.
Keisya yang lemah di mata pelajaran bahasa asing berbeda dengan Dzaki yang menguasai hampir seluruh mata pelajaran. Selain pernah mengikuti olimpiade Matematika, Kimia dan Fisika, Dzaki juga pernah mengikuti debat kebangsaan dengan bahasa Inggris. Ditopang dengan postur tubuh yang tinggi dan tegap serta kulit yang kuning langsat, Dzaki juga jago di beberapa olahraga seperti basket, renang dan catur. Hal itu membuatnya cukup populer di kalangan siswi SMAnya, walaupun pada akhirnya mereka hanya sebatas kagum karena Dzaki dua tahun lebih muda dari mereka.
Setelah memberikan bukunya ke Keisya, Dzaki kembali fokus menatap laptopnya dan sesekali mengetik beberapa kata. Hari ini ada presentase untuk mata pelajaran biologi dan bahan presentase Dzaki belum siap karena selalu diganggu oleh Syifa selama dua minggu terakhir.
Syifa adalah kakak semata wayang Dzaki. Walaupun umur mereka selisih empat tahun tapi Dzaki terkesan lebih dewasa dibandingkan dengan Syifa yang manja. Syifa seringkali meminta Dzaki melakukan berbagai hal untuknya. Contohnya semakam, Syifa memaksa Dzaki untuk membantunya menjadi model dadakan. Dzaki dipaksa untuk memakai satu per satu pakaian yang didesign Syifa untuk peragaan busana di kampusnya. Alhasil setelah berganti pakaian puluhan kali dan difoto dengan berbagai pose, Dzaki akhirnya tumbang sebelum menyelesaikan tugasnya.
"Untung materinya sudah pernah aku pelajari" gumam Dzaki dalam hati sambil mengetik kesimpulan dari tema yang akan dia bahas nanti.
Tepat setelah Dzaki menyimpan laptopnya di laci, seseorang memanggilnya.
“Ade, ada yang cari tuu” teriak kevin sambil berjalan masuk kelas dan menunjuk ke arah pintu.
Kevin tersenyum jahil dan mengedipkan matanya, teman sekelasnya yang terkenal tenang dan hanya tahu belajar, hari ini dicari oleh siswi kelas lain yang lumayan cantik dan anggun.
“Siapa?” Dzaki bertanya tenang tapi dari raut wajahnya terlihat kalau dia cukup penasaran. “tumben” pikirnya.
“Entahlah, mungkin bidadarimu” jawab Kevin yang diikuti sorakan dari murid-murid lain.
Sesampainya di depan kelas Dzaki melihat seorang siswi yang memakai kerudung berdiri menghadap lorong sambil menundukkan wajahnya.
“Kakak cari aku?” tanya Dzaki ramah, walaupun Dzaki pintar, tampan dan berasal dari keluarga yang diperhitungkan se-Asia tapi dia dikenal ramah dan sopan pada siapa saja, itulah sebabnya Dzaki banyak disukai disekolah baik guru, murid, penjaga kantin, bahkan tukang kebun sekolah.
“Assalamu'alaikum, selamat pagi”, siswi itu mengangkat wajahnya yang ternyata sudah memerah, mungkin karena malu setelah mendengar sorakan dari dalam kelas.
Dzaki terdiam sesaat, “cantik” gumamnya dalam hati.
“Wa’alaikumsalam, iya selamat pagi” jawan Dzaki dengan senyum manis, entah kenapa dia merasa kagum dengan sosok yang ada di depannya, mungkin karena cantik atau mungkin saja karena sopan santun yang ditunjukkan, jarang ada orang yang menyapa dengan mengucapkan salam saat di zaman sekarang.
“Kamu dipanggil Kepsek ke ruangannya sepulang sekolah nanti” kata siswi itu.
“Oh, baik.. terima kasih kak" jawab Dzaki cepat sambil memperlihatkan senyum tipisnya.
"Oke" sambil tersenyum siswi itu melangkahkan kakinya meninggalkan kelas X IPA 1.
Tanpa sadar Dzaki memandangi punggung siswi yang tadi dititipi pesan oleh kepsek dengan senyum penuh arti.
Bersambung...
Setelah guru di jam pelajaran terakhir meninggalkan kelas X IPA 1, Dzaki langsung berjalan menuju ruang kepala sekolah. Sebelumnya dia sudah menelpon supir pribadinya yang bernama Mendi agar menunggunya sedikit lebih lama.
Sesampainya di ruang Kepala Sekolah, Dzaki mengetuk daun pintu yang sudah terbuka sehingga semua orang yang ada di dalam ruangan seketika menoleh ke arah Dzaki
"Siang bu" Sapa Dzaki
"Ade ya? masuk nak" jawab Novy penuh keramahan
"Iya bu" Dzaki tersenyum sambil melihat di sekeliling ruangan, bebepara sertifikat dan foto-foto saat menerima penghargaan terpajang di dinding ruangan dengan rapi, sementara di sebelah kanan meja kerja Novy ada sebuah lemari kaca setinggi 2 meter yang penuh dengan piala dengan berbagai ukuran
Didepan meja kerja kepala sekolah ada sofa berwarna krem, disana sudah duduk empat orang yang menoleh ke arahnya. Mereka adalah Novy, Kepala Sekolah SMA Rajawali, Firdaus Wakil Kepala sekolah bagian Pendidikan dan dua lainnya yang berpakaian sama dengan seragam yang Dzaki kenakan.
"Duduk dulu" Novy menunjuk ke arah sofa yang ada disamping Firdaus
"Baik bu"
Kini Dzaki duduk berhadapan dengan kedua pelajar lainnya. Salah satu dari mereka adalah murid yang tadi datang ke kelasnya untuk menyampaikan pesan dari kepala sekolah. Seorang lagi adalah murid laki-laki yang belum pernah dilihatnya sebelumnya.
"Perkenalkan, Sam, Aleya.. Ini Ade. Ade ini Sam, dan ini Aleya" Novy memperkenalkan mereka satu sama lain
"Oh, jadi namanya Aleya" gumam Dzaki tersenyum sambil menatap Sam dan Aleya bergantian
Setelah perkenalan singkat, Novy menyampaikan maksudnya memanggil ketiga murid tersebut untuk berkumpul di ruangannya.
"Lima bulan lagi akan diadakan ISO, dan sekolah kita diminta untuk mengutus tiga orang untuk diseleksi masuk ke tim Olimpiade Nasional mewakili Indonesia" Novy mulai menjelaskan maksudnya mengumpulkan mereka semua.
"Dan seperti yang kalian ketahui, kakak kelas kalian di kelas XII harus fokus mempersiapkan diri untuk UN dan masuk perguruan tinggi. Menurut rekomendasi dari guru-guru dan mempertimbangkan prestasi kalian maka sekolah memutuskan untuk mengutus Sam, Aleya dan Ade" lanjut Novy
Novy dan Firdaus tersenyum melihat ketiga siswanya mendengarkan penjelasan Novy tanpa respon apapun.
"Selain informasi tadi, kalian dipanggil kesini untuk membicarakan jadwal bimbingan kalian bertiga untuk persiapan OSP yang akan diadakan dua minggu lagi, yang lulus tahap OSP akan lanjut ke OSN dan selanjutnya masuk tim nasional untuk mewakili Indonesia di ISO" sambung Firdaus
Setelah berdiskusi sekitar 30 menit akhirnya diputuskan mereka akan mendapat bimbingan tambahan 2 jam per hari mulai besok sepulang sekolah. Kecuali hari Minggu, bimbingan akan dimulai pukul 1 siang setelah Sam selesai beribadah.
***
Mereka akhirnya meninggalkan ruang kepala sekolah dan berjalan menuju gerbang sekolah yang jaraknya cukup jauh.
Saat berjalan mereka melanjutkan perkenalan singkat yang tadi dilakukan oleh kepala sekolah.
Dzaki baru tahu kalau trnyata Aleya dan Sam adalah murid kelas XI IPA 1, kakak kelasnya di sekolah
"Kak, kalian dijemput? Ikut aku aja" ajak Dzaki
"Aku dijemput Abi, mungkin udah dijalan" sahut Aleya sambil melihat jam tangannya
"Kalau aku naik motor kok" jawab Sam sambil tersenyum
"Loh kak Sam, bukannya tadi motornya dipinjam kak Asril?" tanya Aleya
"Astaga, aku lupa" Sam menepuk jidatnya
Sam memang terkenal cerdas tapi sangat pelupa. Asril sahabatnya memang sering meminjam motornya saat mobil antiknya rusak dan harus menginap di bengkel. Biasanya saat motornya dipinjam oleh Asril, Sam akan nebeng dengan Fedrick, sahabat, sepupu sekaligus tetangganya.
"Kak Sam tinggal di mana? Tanya Dzaki sambil menahan tawa
"Di radio dalam" Sam menjawab penuh harap
Sebenarnya Sam tidak punya ongkos angkot karena dompetnya kelupaan di rumah. Untuk makan siang tadi, Sam ditraktir oleh Asril sekalian sebagai sogokan agar diperbolehkan meminjam sepeda motor milik Sam.
"Wah kebetulan kak, kita searah"
Mendengar jawaban Dzaki, Sam langsung bersemangat.
***
Dalam perjalanan di mobil Dzaki
"kak Sam, kak Aleya juga pernah ikut akselerasi ya?" selidik Dzaki
"Iya, dia pernah lompat setahun di SMP" jawab Sam sambil sibuk bermain game di ponselnya
"O.. pantas" Dzaki mengangguk sambil mengingat percakapan mereka di sekolah. Saat itu Aleya menyebutkan kak Sam di pekarangan sekolah.
Setelah hening beberapa menit, akhirnya mereka membahas materi pelajaran yang nantinya akan menjadi perhatian mereka saat bimbingan belajar.
***
Di mobil Aleya
"Abi, Aleya lapar" Aleya memanyunkan mulutnya menatap Ihsan yang sibuk menyetir mobil
"Wah tuan putri lapar yaa, bagusnya kita makan apa hari ini? kebetulan abi juga belum makan apa-apa hari ini" Ihsan tersenyum melihat tingkah putri semata wayangnya
"Ramen Haji Mamat?", Aleya mengedip-ngedipkan mata kearah Ihsan yang akhirnya mengangguk sebagai pertanda kalau dia setuju dengan usulan Aleya
"Let's goooo" Aleya setengah teriak sambil mengangkat tangan kanannya kedepan. Memperagakan gerakan pahlawan di film kartun saat akan beraksi menegakkan kebenaran.
"Tapi setelah makan ramen, bolehkan kita mampir dulu kerumah atasan Abi? tanya Pak Ihsan
"Boleh dong abi, kemanapun Aleya siap ikut sama abi"
Ihsan tersenyum mendengar jawaban Aleya yang selalu bersikap manja padanya. Walaupun Aleya pemalu sehingga terkesan tertutup dan pendiam di depan orang lain, Aleya sebenarnya sangat periang dan manja jika sudah didepan umi dan abinya.
Setelah makan ramen di warung Haji Mamat, Ihsan mengemudikan mobilnya dengan santai ke kawasan Pondok Indah. Atasan Ihsan adalah orang yang kaya raya bernama Reka Diaksa. Reka adalah pemilik JD.Corp yang bisnisnya menjamur dimana-mana termasuk TvB, stasiun TV tempat Ihsan bekerja sebagai salah satu direktur.
Hari ini Ihsan diminta untuk membawa daftar artis yang memiliki kontrak kerja dengan TvB . Dua minggu lagi Reka ingin mengadakan acara pembukaan untuk yayasan yang baru saja didirikannya dan dia ingin mengatur sendiri semua yang terlibat.
Setelah beberapa saat mobil yang ditumpangi Aleya berbelok ke pekarangan sebuah rumah yang megah, rumah dengan pilar-pilar yang besar dan tinggi. Di beberapa sudut rumah terdapat ukiran manis dan beberapa tanaman yang mempercantik tampilan rumah itu. Halamannya sangat asri dilengkapi dengan kolam ikan yang diatasnya dibangun dua buah gazebo yang terhubung oleh jembatan kecil.
"Tunggu abi disini yah" Ihsan mengusap kepala anaknya lalu mengambil tas hitam yang ada di jok belakang
Aleya tersenyum dan mengarahkan kedua jempolnya kearah Ihsan. Setelah Ihsan masuk kedalam rumah mewah itu, Aleya mengeluarkan sebuah buku kecil berwarna merah muda dari dalam tasnya, dia mulai menulis buku hariannya sambil tersipu malu
Sementara Aleya sibuk mengisi buku hariannya, Ihsan yang telah menyelesaikan urusannya dengan Reka terlihat sedang asyik mengobrol dengan Dzaki, mereka memang akrab sejak Ihsan masih duduk di bangku SD.
"Kapan saya diajak melihat koleksi buku om?" ditengah obrolan Dzaki teringat janji Ihsan untuk membawanya melihat koleksi bukunya.
"Aduh, om hampir lupa loh. Setelah pembukaan yayasan ya. Kali ini om janji nggak bakal lupa lagi" Ihsan tersenyum sambil mengacak-acak rambut Dzaki.
"Om pulang dulu ya Dzaki, anak om lagi menunggu om di mobil" Ihsan pamit
"Hati-hati om Ihsan, salam buat anak om"
Bersambung...
Hari ini sudah hari keempat Dzaki, Aleya dan Sam mendapat kelas tambahan untuk persiapan seleksi OSN. Mereka bertiga sudah semakin akrab dan saling membantu dalam pelajaran.
Selama pelajaran hari ini, Dzaki kurang fokus karena memikirkan percakapannya dengan Aleya tadi pagi.
Flashback on
"Kak Aleya, aku boleh nanya gak?" Dzaki serius menatap wajah Aleya.
Merasa salah tingkah ditatap oleh Dzaki, wajah Aleya memerah "tanya apa?" jawabnya sambil menundukkan wajahnya yang terasa panas
"sadar Aleya, dia itu adik kelasmu" gumamnya dalam hati.
"Setelah kelas tambahan nanti kak Aleya ada acara gak? Aku mau traktir kak Aleya makan basko favoritku"
"hmm oke" jawab Aleya malu-malu.
"Oke, nanti kak Aleya berangkat bareng aku aja yah, sekalian nanti Pak Mendi yang ngantarin pulang, kak Sam mau naik motor soalnya" ajak Dzaki lagi.
"Oh, Kak Sam juga ikut" lirih Aleya tapi tetap terdengar oleh Dzaki. Terbersit raut kecewa di wajah Aleya.
"Kalau gitu aku ke kelasku dulu ya kak" Dzaki melambaikan tangannya dan tersenyum.
Sepanjang perjalanan menuju kelas X IPA 1, Dzaki memikirkan maksud perkataan Aleya tadi.
"Kenapa tadi aku tidak bertanya langsung" gumam Dzaki dalam hati.
Flashback off
Di kelas tambahan, Dzaki masih sibuk dengan pikirannya sendiri "apa kak Aleya berharap kami pergi berdua? kenapa? kak Aleya gak suka sama kak Sam? ah tidak mungkin, mereka sudah lama berteman. Atau kak Aleya suka sama aku?" tiba-tiba wajah Dzaki memerah seperti kepiting rebus.
Dia sudah tidak bisa mengontrol diri dan menyembunyikan senyum dari wajahnya. Agar tidak terlihat, Dzaki mengangkat bukunya hingga sejajar dengan wajahnya.
Setelah kelas tambahan selesai, Mendi mengantar Dzaki dan Aleya menuju warung langganan bakso Dzaki yang letaknya tidak jauh dari SMA Rajawali. Sam yang mengendarai motor sudah sampai terlebih dulu mengambil tempat duduk dan memesan untuk mereka bertiga. Kebetulan Mendi sudah makan siang di mobil karena kelaparan menunggu anak majikannya selesai mengikuti kelas tambahan.
Saat tiba di tempat yang dituju, Dzaki mengajak Aleya memasuki warung bakso langganannya. Warungnya berdinding kayu dengan atap dari seng, alasnya dilapisi granit yang sudah kusam, meski tampak sederhana tapi kebersihannya patut diacungi jempol. Di pojok belakang warung Sam melambaikan tangan melihat kedua temannya mencari-cari keberadaannya.
"Disini" kata Sam setengah berteriak.
Tidak lama setelah mereka bertiga duduk, pesanan pun diantarkan. Dzaki dan Sam melahap baksonya seakan-akan mereka belum makan selama dua hari. Sesekali Dzaki dan Sam saling bercerita tentang pengalaman mereka saat berlibur keluar negeri, sementara Aleya lebih banyak diam dan menatap makanan di hadapannya.
"Apa kak Aleya sakit" Dzaki bergumam dalam hati saat melihat Aleya hanya banyak terdiam.
Sam yang mengerti gelagat kedua temannya akhirnya bertanya mewakili Dzaki.
"Aleya, kamu sakit?"
"Nggak kok kak" Aleya menggelengkan kepalanya pelan.
"Baksonya nggak enak?" sambung Dzaki.
"Enak kok, aku cuma kepikiran tugas sekolah" jawab Aleya menundukkan kepalanya, dia tidak mau Sam tahu kalau dia berbohong.
Teman sekelasnya itu memang sangat peka dan suka menyimpulkan sendiri setiap hal yang dilihatnya. Karena sering mengikuti kegiatan yang sama sejak kelas X membuat Sam dan Aleya menjadi akrab. Bahkan Sam bisa langsung menebak suasana hati Aleya hanya dengan melihat sekilas raut wajahnya sahabatnya itu.
Tanpa menghabiskan makanannya, Aleya buru-buru keluar dan menunggu di depan warung. Dia merasa butuh udara segar karena dari tadi wajahnya terasa memanas, entah karena apa.
"Ade, kayaknya Aleya suka kamu deh" Sam berbisik sambil merangkul bahu Dzaki yang duduk di sampingnya.
DEG
"Ah kak Sam ada-ada aja" wajah Dzaki memerah.
"Aku juga tahu kok kalau kamu juga suka Aleya"
Sam lalu meninggalkan Dzaki dan berjalan menuju motornya tanpa rasa bersalah, sementara Dzaki yang mendengar itu merasakan dadanya bergerumuh. Tiba-tiba wajahnya terasa panas dan seluruh tubuhnya gemetar.
Setelah membayar di kasir, Dzaki melihat Sam sudah melambaikan tangannya dari atas sepeda motornya. Dzaki pun menyusul Aleya yang sudah menunggunya di depan warung.
Melihat Dzaki berjalan ke arahnya, Aleya melangkahkan kaki dan membiarkan Dzaki tertinggal beberapa meter di belakang. Mereka harus menyeberangi jalan raya karena Pak Mendi memarkir mobil di seberang jalan. Saat tersisa tiga langkah lagi dari bahu jalan, tiba-tiba sebuah motor datang dari arah kiri dengan kecepatan tinggi. Melihat bahaya yang akan menimpanya dan Aleya, Dzaki refleks melompat ke arah Aleya yang berjalan di depannya dan mendorong punggung Aleya dengan sekuat tenaga. Karena gerakan sigap Dzaki, mereka berdua berhasil menghindar dari kejadian naas yang hampir menimpa mereka.
"Aaaaakh" Aleya merintih saat tubuhnya terjatuh tepat di trotoar jalan, Dzaki kemudian berlari ke arah Aleya dan membantunya untuk duduk. Sedetik kemudian, suara sepeda motor yang tadi hampir menabrak mereka sudah terdengar semakin menjauh dengan kecepatan tinggi.
"Non Aleya, mukanya luka" sahut Mendi ngos-ngosan karena berlari setelah melihat majikannya hampir tertabrak.
Aleya meringis memeriksa pipinya yang terasa perih, dia melihat darah segar yang menempel di ujung jari-jarinya yang halus. Wajahnya pucat pasi, antara kesakitan dan shock dengan apa yang barusan menimpanya. Ternyata wajah Aleya mendarat persis di ujung besi trotoar yang menonjol.
"Kita ke RS sekarang pak Mendi" Dzaki mulai panik melihat darah yang mengucur di bawah mata kanan Aleya.
***
Di rumah sakit.
"Syukurlah, besinya tidak mengenai mata pasien, walaupun lukanya cukup dalam dan harus dijahit tapi tidak ada luka serius yang dialami pasien"
"Dok, serius tidak ada luka lain kan dok?" Dzaki terlihat cemas, wajahnya masih pucat membayangkan Aleya yang terluka akibat perbuatannya.
"Tidak ada kok, pasien sudah boleh pulang hari ini juga. Kalau memang ada gejala lain yang dirasakan, segera bawa pasien kembali ke RS, jangan lupa untuk membersihkan luka dan mengganti perbannya" dokter menjelaskan dengan sabar.
Hanya Pak Mendi dan Dzaki yang mengantar Aleya ke rumah sakit. Aleya menolak untuk mengabari keluarganya. Menurut Aleya, dia hanya akan membuat keluarganya panik walaupun luka yang dialaminya hanya luka kecil.
***
Di mobil, dalam perjalanan menuju rumah Aleya.
"Maaf kak" Dzaki menatap Aleya penuh penyesalan.
Di bawah mata Aleya kini menempel kain kasa untuk menutup luka tadi.
"Gak papa kok, kamu kan tidak sengaja. Justru aku terima kasih, kalau tidak ada kamu mungkin lukaku akan jauh lebih parah dari ini" Aleya memaksakan dirinya tersenyum. Sebenarnya dia merasa sekujur tubuhnya terasa sakit setelah terhantam di trotoar.
"Lukanya mungkin akan berbekas kak" Dzaki menunduk semakin menyesal. Dia sudah membuat bekas luka diwajah ayu Aleya, gadis yang sepenuh hati ingin dia jaga.
DEG
Wajah Dzaki memerah, sungguh dia tidak menyangka darimana pikiran seperti itu muncul dalam benaknya.
"Mungkin akan terlihat manis dengan bekas jahitan" Aleya tersenyum menghibur Dzaki, dia teringat dengan Andin, adik sepupunya yang punya bekas jahitan yang mirip dengannya. "Aku tidak bisa lagi mengejek Andin dengan panggilan koreng" pikir Aleya
"Kak, aku akan menikahi kak Aleya kalau bekas luka itu merusak wajahmu" lirih Dzaki
DEG
Dzaki menutup matanya karena malu, entah dari mana kata-kata seperti itu bisa keluar dari mulutnya. "Menikah? dengan Aleya? Dzaki.. kamu masih SMA, mengurus diri sendiri saja belum bisa tapi kamu sudah berpikir tentang pernikahan" Tak henti-hentinya Dzaki merutuki dirinya.
"Hanya kalau merusak wajahku?" Tanya Aleya dengan suara yang hampir tidak terdengar.
Mendengar pertanyaan itu, Dzaki langsung menatap Aleya, kaget bercampur bingung, sementara yang ditatap hanya memalingkan wajahnya kearah kaca mobil, pura-pura tidak sadar kalau ada sepasang mata yang menatapnya tanpa berkedip.
Setelah percakapan itu, mereka hanya terdiam di mobil. Sibuk dengan pikiran masing-masing sampai tidak sadar kalau mereka sudah sampai di Menteng, perumahan tempat Aleya tinggal.
"Non Aleya yakin tidak mau ditemani?" sudah tiga kali Mendi menanyakan hal yang sama.
"Tidak usah pak, nanti aku jelasin sendiri ke abi dan umi"
Karena Aleya tetap ngotot untuk tidak ditemani, Dzaki dan Mendi tidak bisa berbuat apa-apa. Perlahan Mendi mulai mengemudikan mobil meninggalkan rumah Aleya.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!