Bekas Luka

Hari ini sudah hari keempat Dzaki, Aleya dan Sam mendapat kelas tambahan untuk persiapan seleksi OSN. Mereka bertiga sudah semakin akrab dan saling membantu dalam pelajaran.

Selama pelajaran hari ini, Dzaki kurang fokus karena memikirkan percakapannya dengan Aleya tadi pagi.

Flashback on

"Kak Aleya, aku boleh nanya gak?" Dzaki serius menatap wajah Aleya.

Merasa salah tingkah ditatap oleh Dzaki, wajah Aleya memerah "tanya apa?" jawabnya sambil menundukkan wajahnya yang terasa panas

"sadar Aleya, dia itu adik kelasmu" gumamnya dalam hati.

"Setelah kelas tambahan nanti kak Aleya ada acara gak? Aku mau traktir kak Aleya makan basko favoritku"

"hmm oke" jawab Aleya malu-malu.

"Oke, nanti kak Aleya berangkat bareng aku aja yah, sekalian nanti Pak Mendi yang ngantarin pulang, kak Sam mau naik motor soalnya" ajak Dzaki lagi.

"Oh, Kak Sam juga ikut" lirih Aleya tapi tetap terdengar oleh Dzaki. Terbersit raut kecewa di wajah Aleya.

"Kalau gitu aku ke kelasku dulu ya kak" Dzaki melambaikan tangannya dan tersenyum.

Sepanjang perjalanan menuju kelas X IPA 1, Dzaki memikirkan maksud perkataan Aleya tadi.

"Kenapa tadi aku tidak bertanya langsung" gumam Dzaki dalam hati.

Flashback off

Di kelas tambahan, Dzaki masih sibuk dengan pikirannya sendiri "apa kak Aleya berharap kami pergi berdua? kenapa? kak Aleya gak suka sama kak Sam? ah tidak mungkin, mereka sudah lama berteman. Atau kak Aleya suka sama aku?" tiba-tiba wajah Dzaki memerah seperti kepiting rebus.

Dia sudah tidak bisa mengontrol diri dan menyembunyikan senyum dari wajahnya. Agar tidak terlihat, Dzaki mengangkat bukunya hingga sejajar dengan wajahnya.

Setelah kelas tambahan selesai, Mendi mengantar Dzaki dan Aleya menuju warung langganan bakso Dzaki yang letaknya tidak jauh dari SMA Rajawali. Sam yang mengendarai motor sudah sampai terlebih dulu mengambil tempat duduk dan memesan untuk mereka bertiga. Kebetulan Mendi sudah makan siang di mobil karena kelaparan menunggu anak majikannya selesai mengikuti kelas tambahan.

Saat tiba di tempat yang dituju, Dzaki mengajak Aleya memasuki warung bakso langganannya. Warungnya berdinding kayu dengan atap dari seng, alasnya dilapisi granit yang sudah kusam, meski tampak sederhana tapi kebersihannya patut diacungi jempol. Di pojok belakang warung Sam melambaikan tangan melihat kedua temannya mencari-cari keberadaannya.

"Disini" kata Sam setengah berteriak.

Tidak lama setelah mereka bertiga duduk, pesanan pun diantarkan. Dzaki dan Sam melahap baksonya seakan-akan mereka belum makan selama dua hari. Sesekali Dzaki dan Sam saling bercerita tentang pengalaman mereka saat berlibur keluar negeri, sementara Aleya lebih banyak diam dan menatap makanan di hadapannya.

"Apa kak Aleya sakit" Dzaki bergumam dalam hati saat melihat Aleya hanya banyak terdiam.

Sam yang mengerti gelagat kedua temannya akhirnya bertanya mewakili Dzaki.

"Aleya, kamu sakit?"

"Nggak kok kak" Aleya menggelengkan kepalanya pelan.

"Baksonya nggak enak?" sambung Dzaki.

"Enak kok, aku cuma kepikiran tugas sekolah" jawab Aleya menundukkan kepalanya, dia tidak mau Sam tahu kalau dia berbohong.

Teman sekelasnya itu memang sangat peka dan suka menyimpulkan sendiri setiap hal yang dilihatnya. Karena sering mengikuti kegiatan yang sama sejak kelas X membuat Sam dan Aleya menjadi akrab. Bahkan Sam bisa langsung menebak suasana hati Aleya hanya dengan melihat sekilas raut wajahnya sahabatnya itu.

Tanpa menghabiskan makanannya, Aleya buru-buru keluar dan menunggu di depan warung. Dia merasa butuh udara segar karena dari tadi wajahnya terasa memanas, entah karena apa.

"Ade, kayaknya Aleya suka kamu deh" Sam berbisik sambil merangkul bahu Dzaki yang duduk di sampingnya.

DEG

"Ah kak Sam ada-ada aja" wajah Dzaki memerah.

"Aku juga tahu kok kalau kamu juga suka Aleya"

Sam lalu meninggalkan Dzaki dan berjalan menuju motornya tanpa rasa bersalah, sementara Dzaki yang mendengar itu merasakan dadanya bergerumuh. Tiba-tiba wajahnya terasa panas dan seluruh tubuhnya gemetar.

Setelah membayar di kasir, Dzaki melihat Sam sudah melambaikan tangannya dari atas sepeda motornya. Dzaki pun menyusul Aleya yang sudah menunggunya di depan warung.

Melihat Dzaki berjalan ke arahnya, Aleya melangkahkan kaki dan membiarkan Dzaki tertinggal beberapa meter di belakang. Mereka harus menyeberangi jalan raya karena Pak Mendi memarkir mobil di seberang jalan. Saat tersisa tiga langkah lagi dari bahu jalan, tiba-tiba sebuah motor datang dari arah kiri dengan kecepatan tinggi. Melihat bahaya yang akan menimpanya dan Aleya, Dzaki refleks melompat ke arah Aleya yang berjalan di depannya dan mendorong punggung Aleya dengan sekuat tenaga. Karena gerakan sigap Dzaki, mereka berdua berhasil menghindar dari kejadian naas yang hampir menimpa mereka.

"Aaaaakh" Aleya merintih saat tubuhnya terjatuh tepat di trotoar jalan, Dzaki kemudian berlari ke arah Aleya dan membantunya untuk duduk. Sedetik kemudian, suara sepeda motor yang tadi hampir menabrak mereka sudah terdengar semakin menjauh dengan kecepatan tinggi.

"Non Aleya, mukanya luka" sahut Mendi ngos-ngosan karena berlari setelah melihat majikannya hampir tertabrak.

Aleya meringis memeriksa pipinya yang terasa perih, dia melihat darah segar yang menempel di ujung jari-jarinya yang halus. Wajahnya pucat pasi, antara kesakitan dan shock dengan apa yang barusan menimpanya. Ternyata wajah Aleya mendarat persis di ujung besi trotoar yang menonjol.

"Kita ke RS sekarang pak Mendi" Dzaki mulai panik melihat darah yang mengucur di bawah mata kanan Aleya.

***

Di rumah sakit.

"Syukurlah, besinya tidak mengenai mata pasien, walaupun lukanya cukup dalam dan harus dijahit tapi tidak ada luka serius yang dialami pasien"

"Dok, serius tidak ada luka lain kan dok?" Dzaki terlihat cemas, wajahnya masih pucat membayangkan Aleya yang terluka akibat perbuatannya.

"Tidak ada kok, pasien sudah boleh pulang hari ini juga. Kalau memang ada gejala lain yang dirasakan, segera bawa pasien kembali ke RS, jangan lupa untuk membersihkan luka dan mengganti perbannya" dokter menjelaskan dengan sabar.

Hanya Pak Mendi dan Dzaki yang mengantar Aleya ke rumah sakit. Aleya menolak untuk mengabari keluarganya. Menurut Aleya, dia hanya akan membuat keluarganya panik walaupun luka yang dialaminya hanya luka kecil.

***

Di mobil, dalam perjalanan menuju rumah Aleya.

"Maaf kak" Dzaki menatap Aleya penuh penyesalan.

Di bawah mata Aleya kini menempel kain kasa untuk menutup luka tadi.

"Gak papa kok, kamu kan tidak sengaja. Justru aku terima kasih, kalau tidak ada kamu mungkin lukaku akan jauh lebih parah dari ini" Aleya memaksakan dirinya tersenyum. Sebenarnya dia merasa sekujur tubuhnya terasa sakit setelah terhantam di trotoar.

"Lukanya mungkin akan berbekas kak" Dzaki menunduk semakin menyesal. Dia sudah membuat bekas luka diwajah ayu Aleya, gadis yang sepenuh hati ingin dia jaga.

DEG

Wajah Dzaki memerah, sungguh dia tidak menyangka darimana pikiran seperti itu muncul dalam benaknya.

"Mungkin akan terlihat manis dengan bekas jahitan" Aleya tersenyum menghibur Dzaki, dia teringat dengan Andin, adik sepupunya yang punya bekas jahitan yang mirip dengannya. "Aku tidak bisa lagi mengejek Andin dengan panggilan koreng" pikir Aleya

"Kak, aku akan menikahi kak Aleya kalau bekas luka itu merusak wajahmu" lirih Dzaki

DEG

Dzaki menutup matanya karena malu, entah dari mana kata-kata seperti itu bisa keluar dari mulutnya. "Menikah? dengan Aleya? Dzaki.. kamu masih SMA, mengurus diri sendiri saja belum bisa tapi kamu sudah berpikir tentang pernikahan" Tak henti-hentinya Dzaki merutuki dirinya.

"Hanya kalau merusak wajahku?" Tanya Aleya dengan suara yang hampir tidak terdengar.

Mendengar pertanyaan itu, Dzaki langsung menatap Aleya, kaget bercampur bingung, sementara yang ditatap hanya memalingkan wajahnya kearah kaca mobil, pura-pura tidak sadar kalau ada sepasang mata yang menatapnya tanpa berkedip.

Setelah percakapan itu, mereka hanya terdiam di mobil. Sibuk dengan pikiran masing-masing sampai tidak sadar kalau mereka sudah sampai di Menteng, perumahan tempat Aleya tinggal.

"Non Aleya yakin tidak mau ditemani?" sudah tiga kali Mendi menanyakan hal yang sama.

"Tidak usah pak, nanti aku jelasin sendiri ke abi dan umi"

Karena Aleya tetap ngotot untuk tidak ditemani, Dzaki dan Mendi tidak bisa berbuat apa-apa. Perlahan Mendi mulai mengemudikan mobil meninggalkan rumah Aleya.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!