Tidak lama setelah mobil yang ditumpangi Dzaki meninggalkan UNAS, sebuah mobil Panther memasuki pekarangan UNAS dan berhenti tidak jauh dari tempat Aleya dan Sam.
Kaca pintu depan mobil itu perlahan bergerak turun dan terlihat wajah Ihsan yang tersenyum ke arah mereka sambil melambaikan tangannya.
"Makasih yah Sam udah nemenin anak om, maaf loh jadi merepotkan, tadi mobil om masuk bengkel jadi terpaksa pinjam mobil teman om dulu" kata Ihsan kemudian.
"Gak merepotkan kok om, sekalian liat-liat suasana kampus" Sam menjiplak alasan Dzaki.
"Makasih yah kak, hati-hati pulangnya" sahut Aleya sambil berjalan menuju pintu disamping kursi kemudi dengan lesu.
Melihat putrinya yang tidak ceria, apalagi dengan mata yang sembab, Ihsan menatap Sam dan mengangkat telapak tangannya "ada apa" Ihsan bertanya dalam hati. Sam hanya mengangkat kedua bahunya dan tersenyum. Mendapat jawaban seperti itu, Ihsan lalu mengeritkan dahinya dengan penuh rasa penasaran.
"Om jalan dulu ya Sam, kamu hati-hati loh" kata Ihsan kembali melambaikan tangannya dan pelan-pelan mulai mengemudikan mobilnya meninggalkan tempat Sam.
Dalam perjalanan Aleya lebih banyak terdiam menatap kearah kaca mobil.
"Udah makan belum" tanya Ihsan berusaha menghibur anaknya.
Aleya cuma menggeleng, dia memang sudah merasa lapar sejak tadi. Tapi karena keributan tadi, Aleya jadi lupa dengan perutnya yang keroncongan. Setelah Ihsan bertanya, tiba-tiba Aleya merasa sangat kelaparan.
"Kita cari es kelapa yuk" ajak Ihsan.
"Es kelapa?" Aleya menatap Ihsan dengan heran.
"Iya, es kelapa. Supaya kamu tidak kekurangan cairan setelah menangis" Ihsan kini tertawa sambil mengusap kepala anaknya.
Mendengar hal itu, Aleya pun ikut tertawa lalu menutup wajahnya karena merasa malu.
Ihsan menyadari kalau putri semata wayangnya kini perlahan mulai beranjak dewasa. Selama tidak melanggar prinsip agama, Ihsan akan selalu mendukung putrinya. Dia tidak akan menjadi dewasa jika tidak mengalami naik turunnya kehidupan.
***
Di salah satu rumah mewah di Pondok Indah.
"Loh muka anak mama kenapa?" Dzaki disambut oleh Widya yang langsung panik, dia mengangkat tangannya mendekat ke wajah Dzaki tapi tidak berani untuk menyentuhnya.
Dzaki makin menunduk menyembunyikan wajahnya yang semakin membengkak.
"Sini mama liat, aduuh anakku yang ganteng kenapa jadi begini. Yaa Gusti Allah, anakku kok kayak ember pecah begini" Widya memegang dagu Dzaki dengan lembut agar dapat memandang wajah anaknya.
"Gak papa kok ma, cuma lecet sedikit. Tadi Dzaki kurang hati-hati makanya jatuh dari tangga UNAS. Ya kan Pak Mendi" Dzaki berusaha menutupi perkelahiannya.
"Eh iya bu, tangganya nggak sopan" Pak Mendi menjawab gugup.
"Hush..kalo ngomong hati-hati loh Pak Mendi, nanti malah dikerjai sama penunggu tangganya" sahut Widya.
Mendi seketika memucat "Bu, penunggunya tahu alamat ini nggak?" suaranya mulai tertahan di tenggorokan.
Mereka berdua tiba-tiba membeku, hanya bola mata mereka yang bergerak menatap ke sekeliling ruangan, kanan, kiri, atas, bawah, depan.
Tiba-tiba Widya berterik "Bi Inaah, taburi garam didepan pintu" lalu setengah berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya yang ada di lantai dua.
"Dzaki kamu juga masuk kamarmu, nanti kita ngobrol kalau papamu sudah datang" sambungnya memberi perintah kepada Dzaki.
Beberapa jam kemudian sekitar pukul 16.30, Reka sudah berada dirumah setelah seharian mempersiapkan acara pembukaan yayasan barunya yang akan diadakan dua hari lagi. Yayasan itu merupakan lembaga sosial semacam panti jompo yang akan membantu menyokong kehidupan lansia yang terlantar baik karena tidak memiliki sanak saudara ataupun karena keluarganya mengalami kesulitan secara finansial.
Setelah makan malam, Reka, Widya, Dzaki dan Syifa mengobrol di ruang baca, tempat mereka selalu menghabiskan waktu bersama sebelum tidur di kamar masing-masing. Di tengah ruangan ada sebuah meja besar dengan empat kursi, disamakan dengan jumlah anggota keluarga mereka. Di ruangan itu terdapat berbagai jenis buku, mulai dari buku ekonomi, bisnis, management, resep, ilmu alam bahkan majalah fashion, sesuai dengan selera baca tuan rumah yang berbeda-beda.
"Beneran gak papa pa?" Dzaki kembali meyakinkan ayahnya, dia ragu untuk datang ke acara yang akan dihadiri banyak orang-orang penting dengan wajah yang babak belur.
"Iya, walaupun bonyok begitu kamu harus tetap datang dong, yayasan ini penting bagi papa dan kelak papa pengen anak-anak papa mau mengurus yayasan ini dengan serius" Reka menjawab Dzaki sambil sibuk memeriksa kembali berkas-berkas yang harus ditanda tangani.
Sementara Widya dan Syifa sibuk membaca sambil sesekali memakan cemilan yang sudah disediakan Inah, wanita paruh baya yang sudah lima tahun bekerja dengan mereka sebagai asisten rumah tangga.
***
1 Mei 2002 di Jakarta.
Hari pembukaan Yayasan Sumber Kasih telah tiba, kini keluarga pemilik JD.Corp. sudah berkumpul di lokasi acara. Sebuah bangunan kompleks yang terdiri dari empat gedung panjang yang bertingkat dan saling terhubung sehingga membentuk sebuah persegi. Di bagian tengah bangunan disulap menjadi taman yang sangat indah, ada sebuah kolam disudut taman yang diisi dengan ratusan ikan hias aneka warna, bunga-bunga yang ditata rapi dengan bentuk dan corak yang beragam, rumput hijau yang dipotong rapi serta bangku untuk duduk santai yang terletak dibeberapa titik. Suara kicauan burung-burung dalam sangkar yang digantung di beberapa pohon yang tumbuh rindang menambah asri pemandangan tersebut. Suasana yang bisa membuat orang yang melihatnya akan lupa bahwa mereka sedang berada di "panti jompo".
Di lantai bawah gedung depan, tepat dis amping pintu utama terdapat sebuah aula yang bisa menampung 2000 orang, di sanalah acara peresemian yayasan Sumber Kasih digelar. Acara tersebut dihadiri oleh banyak orang-orang penting dari berbagai kalangan, misalnya wakil presiden, menteri sosial, menteri kesehatan, Gubernur DKI Jakarta dan sekitarnyahampir semua pengusaha terkemuka di Indonesia serta beberapa artis papan atas dalam negeri yang turut meramaikan peresmian Yayasan Sumber Kasih sebagai pengisi acara hiburan.
Dalam sambutannya tadi, Reka Diaksa menyampaikan sebuah pesan yang menyentuh hingga membuat beberapa tamu yang hadir sempat meneteskan air mata. Suaranya yang berat tapi tegas dan kata per kata yang diucapkan tenang tapi sangat berkharisma "Alhamdulillah kami diberi rejeki berupa harta benda yang cukup, tapi saya dan istri tidak memiliki kesempatan untuk merawat orang tua kami dengan penuh kasih sayang, kami tidak diberi kesempatan untuk membantu masa tua mereka saat mereka sudah renta. Oleh karena itu, kami berharap bisa membantu saudara-saudara kita yang memiliki mimpi yang sama dengan kami, memberikan masa tua yang bahagia dan nyaman kepada para orang tua"
Suara Reka bergetar, dalam benaknya terlintas wajah kedua orang tuanya yang telah tiada. Sebenarnya sudah sejak lama Reka dan Widya punya mimpi untuk mendirikan sebuah yayasan seperti itu dan akhirnya mimpi itu jadi kenyataan. Bukan karena biayanya yang sangat besar, tapi selalu saja ada kendala yang mereka dapatkan sehingga setidaknya butuh 6 tahun sampai yayasan itu benar-benar bisa diresmikan.
Setelah para tamu meninggalkan lokasi acara, kini tinggal Reka sekeluarga beserta beberapa karyawan penting yang masih ada di dalam aula. Mereka berencana mengadakan makan malam disebuah hotel untuk merayakan acara pembukaan yang sukses besar.
"Ma, Syifa boleh pulang duluan gak?" Syifa mulai bosan, sepanjang hari dia disibukkan dengan kerumunan orang dewasa yang hanya membicarakan hal-hal yang berbau bisnis.
"Sebentar lagi sayang, lagian tadi kita berangkat bareng, kamu mau pulang naik taksi?" bujuk Widya
Widya tahu kalau Syifa masih trauma naik taksi kalau sendirian, dia pernah naik taksi sendiri saat masih SMA, kebetulan pengemudi taksinya orang baru dan berasal dari salah satu kampung di Sumatera. Syifa yang saat itu mau pulang ke rumah malah dibawa keliling-keliling tidak jelas. Salah Syifa sendiri karena di dalam taksi malah sibuk dengan majalahnya. Karena sama-sama tidak tahu jalan, akhirnya mereka bertanya berkali-kali tapi malah semakin bingung. Sampai akhirnya mereka menemukan kantor polisi dan meminta tolong ke petugas kepolisian.
Sejak itu dia menolak jika disuruh naik taksi sendirian sementara si supir taksi yang bernama Mendi dipecat di hari pertamanya bekerja. Karena kasihan, Widya merekrut Mendi menjadi supir pribadi untuk anak-anaknya. Kini Mendi cuma bertugas menjadi supir pribadi Dzaki karena Syifa sudah cukup umur untuk diperbolehkan mengemudi mobil sendiri.
"Coba tadi aku bawa mobil sendiri" gumam Syifa mulai cemberut sementara Widya hanya tersenyum kecut melihat anak sulungnya.
"Ayo kita berangkat" Reka mengajak keluarga kecilnya. Dia tersenyum melihat wajah anak sulungnya yang sudah kusut.
"Makasih yaa, udah mau nemenin papa" bisik Reka sambil mengusap rambut Syifa. Kata-kata itu manjur membuat Syifa yang awalnya malas-malasan menjadi antusias.
"Anytime pa" Syifa mengangguk dan tersenyum.
Reka memang sosok ayah yang sangat dihormati kedua anaknya, dia tegas tapi tidak pernah marah apalagi kasar. Reka selalu bersikap hangat kepada orang lain, bahkan kepada bawahannya. Dia selalu tahu kapan harus bersikap lembut dan tegas dihadapan orang lain, termasuk anak-anaknya.
***
Di salah satu hotel berbintang di Jakarta.
Rombongan JD.Corp sudah selesai melakukan santap malam bersama dan siap-siap untuk kembali ke rumah masing-masing.
"Pa, kita singgah ke toko buku yuk" ajak Dzaki.
"Besok aja Dzaki, capek tau" potong Syifa.
"Besok kan Pak Mendi masih cuti kak. Kak Syifa mau ngantarin aku?" tanya Dzaki. Kemarin Mendi cuti pulang ke Sumatera, dia akan memboyong istri dan anaknya untuk menetap di Jakarta. Reka, majikan yang sangat baik, dia sudah menyiapkan sebuah rumah untuk Mendi dan keluarganya.
"Ogaah, pulang aja yuu, udah malam juga"
"Baru juga jam 8, boleh ya pa?" Dzaki memelas.
Mungkin terdengar aneh bagi orang lain melihat Dzaki yang sudah SMA berbicara seperti itu, tapi bagi Reka dan Widya, Dzaki tetap anak remaja yang baru berusia 13 tahun.
Melihat kedua anaknya, Reka berpikir sejenak. Ihsan yang mendengar obrolan itu tiba-tiba mendekat dan menawarkan diri.
"Kebetulan saya juga mau beli buku, nanti saya yang mengantar Dzaki pak" Sahut Ihsan.
"Gak papa kan?" Ihsan menatap Dzaki yang tersenyum.
"Boleh pa?" Dzaki mengalihkan tatapannya ke Reka.
"Tapi jangan merepotkan om Ihsan ya" jawab Reka.
"Makasih loh Pak Ihsan" sambung Widya.
Dzaki pun mengikuti Ihsan dan naik ke mobilnya..
***
Jam sudah menunjukkan pukul 10.21
Kriing...Kriing...Kriing
Pesawat telepon di rumah Reka Diaksa berdering, suaranya menggema memenuhi ruang keluarga. Sambil mengucek matanya, Inah setengah berlari dari kamarnya yang berada di samping dapur menuju ruang keluarga.
"Halo" Inah menempelkan gagang telepon ke telinganya
"Iya, betul. Tapi Mas Dzakinya belum pulang mas"
"Apa?!! Iya mas, baik mas" Inah langsung menutup telepon dan berlari menuju kamar majikannya
"Paak, Buu.. Den Dzaki kecelakaan" Teriak Inah sambil mengetuk pintu kamar majikannya secara asal.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments