Jungkir Balik Dunia Rania
Blup... Blup... Blup...
"Di mana ini? Kenapa semua gelap dan terasa basah? Ugh... Sesak... Napasku sesak sekali... Tolong! Siapa pun tolong aku!"
"Pegang tanganku... Kamu pasti selamat." Sayup-sayup terdengar suara gadis remaja memberikan pertolongan.
Blup... Blup... Puahhh!
"Akhirnya... Aku selamat!" ujar Rania sambil membuka mata. Napasnya masih terasa sesak. Peluh membanjiri seluruh punggungnya.
“Loh, aku hanya bermimpi? Astaga! Di mana ini?” pekik Rania.
Kamarnya yang seluas 6 x 8,5 m itu menghilang. Tak ada lagi lukisan indah miliknya yang meraih penghargaan tingkat internasional. Tak terlihat meja rias yang dipenuhi make up branded, yang diluncurkan oleh mamanya sendiri. Lalu ke mana juga lemari kacanya yang dipenuhi majalah dan komik petulangan yang dikumpulkannya sejak SD?
Yang dilihat Rania saat ini hanyalah ruangan sempit berukuran tidak lebih dari 2,5 x 3 m. Berdindingkan papan yang sudah mulai lapuk. Sebuah lemari triplek yang penuh tambalan. Sebuah tempat tidur lajang dengan sprei hijau polos dan sebuah bantal lepek . Serta beberapa lembar baju yang digantung di belakang lemari.
Rania masih mencerna semua yang dilihatnya saat ini. “Apakah aku sedang bermimpi? Jika tidak, aku sedang berada di mana saat ini?”
Tok… tok… tok…
“Rania, bangun Nak. Sudah hampir jam setengah enam. Ayo, sholat subuh, lalu siap-siap berangkat ke sekolah,” ucap seorang ibu dengan daster kuning mencolok.
“Ibu… siapa?” tanya Rania semakin bingung.
Rasanya mama tidak pernah memiliki asisten rumah tangga ibu ini? Ia baru meilhat wajahnya pagi ini. Tingginya sekitar 160 cm, kulitnya sawo matang dengan rambut hitam. Usianya diperkirakan 40-45 tahun.
“Ibu siapa? Ibu ya ibu... Ibu kamu. Ayo bangun. Cuci muka biar nggak mimpi mulu,” ujar wanita paruh baya itu.
“Ibu aku? Maksudnya gimana, sih? Ini di mana?” gumam Rania bingung.
“Ini di surga."
"Hah?" Rania terkejut.
"Udah ah ngigaunya. Kamu mau terlambat? Hari ini ada upacara, lho. Ayo bangun,” lanjut wanita berdaster kuning itu.
Rania masih sangat kebingungan. Apa ini acara prank? Tetapi mamanya tidak pernah mengikuti acara murahan begitu. Atau dia saat ini sedang diculik dan dihipnotis? Rania kemudian mengikuti wanita berdaster itu keluar kamar. Ia harus mencari tahu apa yang sedang terjadi.
“Kakak sudah bangun? Tumben telat?” kata seorang remaja usia belasan tahun. Ia mengikat rambutnya yang panjang dengan karet gelang, lalu mencuci dan menyiang seikat kangkung.
“Nah, ini siapa lagi? Lagian aneh banget. Ikat rambut kok pakai karet gelang, sih? Apa nggak rusak tuh rambut?” pikir Rania.
Masih dalam kebingungannya, pandangan Rania menyapu seluruh ruangan itu. Rumah ini tidak terlalu besar. Seluruh dindingnya terbuat dari papan, seperti kamar Rania tadi. Atapnya terbuat dari seng, tanpa langit-langit. Lantainya berlapiskan semen biasa.
Selain kamar yang ditempati Rania tadi, terdapat tiga kamar lain yang semua pintunya mengarah ke rung tengah ini. Tidak banyak perabotan yang bisa diperhatikan. Hanya ada delapan buah kursi kayu, sebuah meja kayu untuk meletakkan makanan, TV tabung yang sudah cukup tua, sebuah kipas angin dan sebuah lemari tua berwarna cokelat kayu.
Mata Rania masih mengawasi sekeliling, mencari pintu keluar untuk kabur.
“Hei, kenapa berdiri ditengah-tengah ruangan gini? Kamu mau cosplay jadi tugu monas?” seorang pemuda menegur Rania yang sedang kebingungan.
Rania memperhatikan pemuda yang memakai kaus oblong berwarna hijau pudar itu dengan sengaja. Rambutnya acak-acakan, terlihat sekali ia baru bangun tidur. Tetapi yang lebih penting, Rania tidak mengenalnya.
“Kamu siapa?” tanya Rania.
“Aku? Aku majikanmu. Jadi sekarang cepat setrika kemejaku, lalu siapkan sarapan untuk Tuan Muda ini,” kata cowok itu.
“Hei, Arka. Jangan gangguin adikmu terus,” tegur wanita berdaster kuning tadi.
“Adik? Ini bukan prank, kan?” tanya Rania masih penasaran.
“Prank?” tanya Arka bingung.
“Iya. Ini bukan prank untuk konten kamutube murahan itu, kan? Aku nggak kenal kalian semua,” ucap Rania.
“Ngomong apa sih bocah ini? Sejak lahir kita udah rebutan bantal, masih ngomong gak kenal pula. Kecemplung dalam selokan kemarin bikin kamu amnesia, ya?” ucap Arka. Wajahnya tidak sedikit pun memancarkan kebohongan. “Sudah, ya. kalau kamu belum mau mandi, biar aku yang mandi duluan,” lanjutnya.
“Ya mandi aja. Aku juga mau mandi,” ucap Rania. Ia lalu pergi ke kamar.
“Aku harus mengikuti semua permainan mereka, sambil mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini. Aku tidak tahu mereka ini baik atau tidak. Aku juga harus menemukan smartphoneku,” batinnya. Lalu tiba-tiba Rania teringat sesuatu.
“Kamar mandinya di mana, ya?” teriaknya. Tentu saja di kamar kecil ini tidak memiliki kamar mandi pribadi seperti di rumahnya.
“Rania benar-benar aneh pagi ini,” gumam Arka.
“Tuh, kamar mandi ada di belakang. Hati-hati, pagi-pagi gini banyak kodoknya,” tunjuk Arka sambil menatap Rania aneh.
“Kodok? Maksudnya katak? Ckk, nakut-nakutin aja,” ucap Rania. Ia mengambil handuk merah yang sudah mulai kusam di belakang pintu.
"Ini handukku bukan, ya?" gumam Rania ragu, lalu menuju kamar mandi yang ditunjuk Arka.
“Ini kamar mandinya?” gumam Rania ragu.
Ia memperhatikan sebuah bangunan berdinding seng lapuk dan tanpa atap. Pintunya yang hanya setinggi bahu terbuat dari triplek yang sudah tampak berlumut di bagian bawahnya. Lantainya hanya di semen kasar agar tak kotor.
"Bagaimana cara mandinya? Apa tidak ada yang mengintip nanti?" Rania bingung.
Pemandangan ini jauh berbeda dengan kamar mandinya yang seluruh dindingnya berlapiskan batu marmer putih, cermin besar berdesain klasik dengan bingkai emas murni. Cahaya alami dari dinding kaca satu arah yang langsung menghadap ke kebun bunga miliknya, serta bathub mewah yang membuatnya betah berendam lama-lama.
“Hiiaaaaaa!” Rania melompat melihat dua ekor kodok hijau menunggunya di dekat bak mandi.
“Hah… dibilangin gak percayaan. Lagian sejak kapan Rania takut kodok? Biasanya juga mandi di empang. Benar-benar aneh,” gumam Arka.
...🌺🌺🌺🌺🌺...
Pukul setengah tujuh semua sudah berkumpul di meja makan untuk makan bersama. Seorang lelaki setengah baya, mungkin kepala keluarga ini, turut duduk di meja makan.
“Rania… Sudah selesai?” panggil ibu.
“Sebentar lagi, Bu,” sahut Rania. Ia buru-buru menyisir rambutnya.
“Ya ampun. Sudah mandi duluan, masih terlambat juga,” gerutu Arka.
“Cih, kalau saja tadi kau tidak sibuk mencari smartphoneku, pasti sudah selesai dari tadi,” gumam Rania dalam hati.
Setelah membongkar hampir seluruh kamarnya, ia masih belum menemukan benda elektronik itu. Rania curiga, smartphonenya sengaja disembunyikan, agar ia tidak berkomunikasi dengan siapa pun. Ia sudah tidak sabar untuk kabur dari rumah ini.
“Ayo, Rania Putri. kita harus segera bergegas agar tidak terlambat,” seru Arka.
“Rania Putri? Namaku Edlyn Rania Austeen,” protes Rania.
“Iya, iya. Nanti saja ngehalunya. Sekarang kita sarapan dulu,” ajak Arka.
“Hmm… apa nama menu ini?” tanya Rania.
Ia baru pertama kali lihat menu sarapan ini. Selama ini asisten rumah tangganya biasa membuatkan sarmale, makanan khas Rumania yang mirip dengan siomay. Berisi daging kambing atau sapi cincang yang dipadu dengan beragam bumbu. Jika membuat sarapan sendiri, Rania lebih suka membuat wafle dan coklat panas, atau waffle dengan madu dan sirup maple.
“Ini kan tmuis kangkung dan telur dadar. Kakak nyindir masakanku, nih?” ucap gadis kecil yang belum diketahui namanya itu.
“Oh,” Rania menyengir malu.
Ia menunggu mereka mengambil makan duluan. Rania takut, jika makanannya diberi obat tidur atau racun. Tetapi lagi-lagi, kecurigannya luntur begitu saja. Mereka semua mengambil sesendok nasi, lalu tumis kangkung dan telur dadar, kemudian memakannya tanpa ragu. Rania pun mengikutinya.
“Wow, enak. Ajarin aku masak ini, ya,” ujar Rania takjub.
“Heh, kita memang hampir tiap hari makan ini. Biasanya juga kamu yang masak, tadi pagi digantikan Livy karena kamu kesiangan dan bersikap aneh terus,” sahut Arka.
“Oh, jadi nama adik manis ini Livy,” bisik Rania dalam hati. Ia takjub, gadis itu sudah pandai memasak di usia remaja. Dirinya saja, masak waffle dan pancake masih sering gosong.
“Hei, sudah. Lagi makan jangan bertengkar. Mungkin adikmu lagi bercanda,” tegur pria yang dipanggil ayah itu.
Pria paruh baya itu memberikan sejumlah uang pada Rania dan Livy. Jumlahnya memang jauh lebih sedikit dibandingkan uang saku Rania sebelumnya.
“Mengapa mereka memperlakukanku seperti keluarganya sendiri? Jika mereka memang berniat jahat, tidak mungkin mereka memberiku uang dan makan. Apa Papa dan Mama di rumah tidak kehilangan aku?” pikir Rania bingung.
Usai sarapan mereka langsung bergegas berangkat. Ibu lalu membeikan masing-masing dari mereka dengan sekotak bekal.
“Kita pergi sekolah diantar siapa?” tanya Rania polos.
“Diantar? Pakai angkot kayak biasanya lah, Kak. Ayah dan ibu kan juga harus pergi kerja. Bang Arka kuliah. Kita semua punya tujuan yang berbeda-beda,” jelas Livy.
“Eeehhh? Naik angkot?” Kepala Rania pusing. Sejak lahir ia sama sekali menggunakan angkot. Ia tidak tahu bagaimana caranya memanggil angkot.
(Bersambung)
Bonus Biodata Tokoh
Terima kasih sudah mampir. Sampai jumpa lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 147 Episodes
Comments
Erna Yunita
Bismillahirrahmanirrahim
2022-12-22
1
Maria Ulfa
aq mampir kak Nemu di FB nih part awal masih bingung nih,,, 😁 tapi penasaran lanjut dulu deh
2022-08-30
1
FeVey
ok...
aku kan baca,
2022-05-15
0