Blup... Blup... Blup...
"Di mana ini? Kenapa semua gelap dan terasa basah? Ugh... Sesak... Napasku sesak sekali... Tolong! Siapa pun tolong aku!"
"Pegang tanganku... Kamu pasti selamat." Sayup-sayup terdengar suara gadis remaja memberikan pertolongan.
Blup... Blup... Puahhh!
"Akhirnya... Aku selamat!" ujar Rania sambil membuka mata. Napasnya masih terasa sesak. Peluh membanjiri seluruh punggungnya.
“Loh, aku hanya bermimpi? Astaga! Di mana ini?” pekik Rania.
Kamarnya yang seluas 6 x 8,5 m itu menghilang. Tak ada lagi lukisan indah miliknya yang meraih penghargaan tingkat internasional. Tak terlihat meja rias yang dipenuhi make up branded, yang diluncurkan oleh mamanya sendiri. Lalu ke mana juga lemari kacanya yang dipenuhi majalah dan komik petulangan yang dikumpulkannya sejak SD?
Yang dilihat Rania saat ini hanyalah ruangan sempit berukuran tidak lebih dari 2,5 x 3 m. Berdindingkan papan yang sudah mulai lapuk. Sebuah lemari triplek yang penuh tambalan. Sebuah tempat tidur lajang dengan sprei hijau polos dan sebuah bantal lepek . Serta beberapa lembar baju yang digantung di belakang lemari.
Rania masih mencerna semua yang dilihatnya saat ini. “Apakah aku sedang bermimpi? Jika tidak, aku sedang berada di mana saat ini?”
Tok… tok… tok…
“Rania, bangun Nak. Sudah hampir jam setengah enam. Ayo, sholat subuh, lalu siap-siap berangkat ke sekolah,” ucap seorang ibu dengan daster kuning mencolok.
“Ibu… siapa?” tanya Rania semakin bingung.
Rasanya mama tidak pernah memiliki asisten rumah tangga ibu ini? Ia baru meilhat wajahnya pagi ini. Tingginya sekitar 160 cm, kulitnya sawo matang dengan rambut hitam. Usianya diperkirakan 40-45 tahun.
“Ibu siapa? Ibu ya ibu... Ibu kamu. Ayo bangun. Cuci muka biar nggak mimpi mulu,” ujar wanita paruh baya itu.
“Ibu aku? Maksudnya gimana, sih? Ini di mana?” gumam Rania bingung.
“Ini di surga."
"Hah?" Rania terkejut.
"Udah ah ngigaunya. Kamu mau terlambat? Hari ini ada upacara, lho. Ayo bangun,” lanjut wanita berdaster kuning itu.
Rania masih sangat kebingungan. Apa ini acara prank? Tetapi mamanya tidak pernah mengikuti acara murahan begitu. Atau dia saat ini sedang diculik dan dihipnotis? Rania kemudian mengikuti wanita berdaster itu keluar kamar. Ia harus mencari tahu apa yang sedang terjadi.
“Kakak sudah bangun? Tumben telat?” kata seorang remaja usia belasan tahun. Ia mengikat rambutnya yang panjang dengan karet gelang, lalu mencuci dan menyiang seikat kangkung.
“Nah, ini siapa lagi? Lagian aneh banget. Ikat rambut kok pakai karet gelang, sih? Apa nggak rusak tuh rambut?” pikir Rania.
Masih dalam kebingungannya, pandangan Rania menyapu seluruh ruangan itu. Rumah ini tidak terlalu besar. Seluruh dindingnya terbuat dari papan, seperti kamar Rania tadi. Atapnya terbuat dari seng, tanpa langit-langit. Lantainya berlapiskan semen biasa.
Selain kamar yang ditempati Rania tadi, terdapat tiga kamar lain yang semua pintunya mengarah ke rung tengah ini. Tidak banyak perabotan yang bisa diperhatikan. Hanya ada delapan buah kursi kayu, sebuah meja kayu untuk meletakkan makanan, TV tabung yang sudah cukup tua, sebuah kipas angin dan sebuah lemari tua berwarna cokelat kayu.
Mata Rania masih mengawasi sekeliling, mencari pintu keluar untuk kabur.
“Hei, kenapa berdiri ditengah-tengah ruangan gini? Kamu mau cosplay jadi tugu monas?” seorang pemuda menegur Rania yang sedang kebingungan.
Rania memperhatikan pemuda yang memakai kaus oblong berwarna hijau pudar itu dengan sengaja. Rambutnya acak-acakan, terlihat sekali ia baru bangun tidur. Tetapi yang lebih penting, Rania tidak mengenalnya.
“Kamu siapa?” tanya Rania.
“Aku? Aku majikanmu. Jadi sekarang cepat setrika kemejaku, lalu siapkan sarapan untuk Tuan Muda ini,” kata cowok itu.
“Hei, Arka. Jangan gangguin adikmu terus,” tegur wanita berdaster kuning tadi.
“Adik? Ini bukan prank, kan?” tanya Rania masih penasaran.
“Prank?” tanya Arka bingung.
“Iya. Ini bukan prank untuk konten kamutube murahan itu, kan? Aku nggak kenal kalian semua,” ucap Rania.
“Ngomong apa sih bocah ini? Sejak lahir kita udah rebutan bantal, masih ngomong gak kenal pula. Kecemplung dalam selokan kemarin bikin kamu amnesia, ya?” ucap Arka. Wajahnya tidak sedikit pun memancarkan kebohongan. “Sudah, ya. kalau kamu belum mau mandi, biar aku yang mandi duluan,” lanjutnya.
“Ya mandi aja. Aku juga mau mandi,” ucap Rania. Ia lalu pergi ke kamar.
“Aku harus mengikuti semua permainan mereka, sambil mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini. Aku tidak tahu mereka ini baik atau tidak. Aku juga harus menemukan smartphoneku,” batinnya. Lalu tiba-tiba Rania teringat sesuatu.
“Kamar mandinya di mana, ya?” teriaknya. Tentu saja di kamar kecil ini tidak memiliki kamar mandi pribadi seperti di rumahnya.
“Rania benar-benar aneh pagi ini,” gumam Arka.
“Tuh, kamar mandi ada di belakang. Hati-hati, pagi-pagi gini banyak kodoknya,” tunjuk Arka sambil menatap Rania aneh.
“Kodok? Maksudnya katak? Ckk, nakut-nakutin aja,” ucap Rania. Ia mengambil handuk merah yang sudah mulai kusam di belakang pintu.
"Ini handukku bukan, ya?" gumam Rania ragu, lalu menuju kamar mandi yang ditunjuk Arka.
“Ini kamar mandinya?” gumam Rania ragu.
Ia memperhatikan sebuah bangunan berdinding seng lapuk dan tanpa atap. Pintunya yang hanya setinggi bahu terbuat dari triplek yang sudah tampak berlumut di bagian bawahnya. Lantainya hanya di semen kasar agar tak kotor.
"Bagaimana cara mandinya? Apa tidak ada yang mengintip nanti?" Rania bingung.
Pemandangan ini jauh berbeda dengan kamar mandinya yang seluruh dindingnya berlapiskan batu marmer putih, cermin besar berdesain klasik dengan bingkai emas murni. Cahaya alami dari dinding kaca satu arah yang langsung menghadap ke kebun bunga miliknya, serta bathub mewah yang membuatnya betah berendam lama-lama.
“Hiiaaaaaa!” Rania melompat melihat dua ekor kodok hijau menunggunya di dekat bak mandi.
“Hah… dibilangin gak percayaan. Lagian sejak kapan Rania takut kodok? Biasanya juga mandi di empang. Benar-benar aneh,” gumam Arka.
...🌺🌺🌺🌺🌺...
Pukul setengah tujuh semua sudah berkumpul di meja makan untuk makan bersama. Seorang lelaki setengah baya, mungkin kepala keluarga ini, turut duduk di meja makan.
“Rania… Sudah selesai?” panggil ibu.
“Sebentar lagi, Bu,” sahut Rania. Ia buru-buru menyisir rambutnya.
“Ya ampun. Sudah mandi duluan, masih terlambat juga,” gerutu Arka.
“Cih, kalau saja tadi kau tidak sibuk mencari smartphoneku, pasti sudah selesai dari tadi,” gumam Rania dalam hati.
Setelah membongkar hampir seluruh kamarnya, ia masih belum menemukan benda elektronik itu. Rania curiga, smartphonenya sengaja disembunyikan, agar ia tidak berkomunikasi dengan siapa pun. Ia sudah tidak sabar untuk kabur dari rumah ini.
“Ayo, Rania Putri. kita harus segera bergegas agar tidak terlambat,” seru Arka.
“Rania Putri? Namaku Edlyn Rania Austeen,” protes Rania.
“Iya, iya. Nanti saja ngehalunya. Sekarang kita sarapan dulu,” ajak Arka.
“Hmm… apa nama menu ini?” tanya Rania.
Ia baru pertama kali lihat menu sarapan ini. Selama ini asisten rumah tangganya biasa membuatkan sarmale, makanan khas Rumania yang mirip dengan siomay. Berisi daging kambing atau sapi cincang yang dipadu dengan beragam bumbu. Jika membuat sarapan sendiri, Rania lebih suka membuat wafle dan coklat panas, atau waffle dengan madu dan sirup maple.
“Ini kan tmuis kangkung dan telur dadar. Kakak nyindir masakanku, nih?” ucap gadis kecil yang belum diketahui namanya itu.
“Oh,” Rania menyengir malu.
Ia menunggu mereka mengambil makan duluan. Rania takut, jika makanannya diberi obat tidur atau racun. Tetapi lagi-lagi, kecurigannya luntur begitu saja. Mereka semua mengambil sesendok nasi, lalu tumis kangkung dan telur dadar, kemudian memakannya tanpa ragu. Rania pun mengikutinya.
“Wow, enak. Ajarin aku masak ini, ya,” ujar Rania takjub.
“Heh, kita memang hampir tiap hari makan ini. Biasanya juga kamu yang masak, tadi pagi digantikan Livy karena kamu kesiangan dan bersikap aneh terus,” sahut Arka.
“Oh, jadi nama adik manis ini Livy,” bisik Rania dalam hati. Ia takjub, gadis itu sudah pandai memasak di usia remaja. Dirinya saja, masak waffle dan pancake masih sering gosong.
“Hei, sudah. Lagi makan jangan bertengkar. Mungkin adikmu lagi bercanda,” tegur pria yang dipanggil ayah itu.
Pria paruh baya itu memberikan sejumlah uang pada Rania dan Livy. Jumlahnya memang jauh lebih sedikit dibandingkan uang saku Rania sebelumnya.
“Mengapa mereka memperlakukanku seperti keluarganya sendiri? Jika mereka memang berniat jahat, tidak mungkin mereka memberiku uang dan makan. Apa Papa dan Mama di rumah tidak kehilangan aku?” pikir Rania bingung.
Usai sarapan mereka langsung bergegas berangkat. Ibu lalu membeikan masing-masing dari mereka dengan sekotak bekal.
“Kita pergi sekolah diantar siapa?” tanya Rania polos.
“Diantar? Pakai angkot kayak biasanya lah, Kak. Ayah dan ibu kan juga harus pergi kerja. Bang Arka kuliah. Kita semua punya tujuan yang berbeda-beda,” jelas Livy.
“Eeehhh? Naik angkot?” Kepala Rania pusing. Sejak lahir ia sama sekali menggunakan angkot. Ia tidak tahu bagaimana caranya memanggil angkot.
(Bersambung)
Bonus Biodata Tokoh
Terima kasih sudah mampir. Sampai jumpa lagi.
'Orang bilang, hidup itu bagai roda.
Kadang di atas, dan kadang dibawah.
Semua bisa berubah dalam sekejab mata.
Tetapi, keluarga yang bertukar apakah termasuk? '
Setelah berjuang dengan bertanya ke sana kemari, akhirnya Rania berhasil juga menemukan angkot tujuan sekolahnya, SMA Nusantara.
Tadi ia sempat putus asa ke sekolah. Livy dan Arka telah lebih dulu berangkat menggunakan bus kota, arah tujuan mereka sama. Sementara Ayah dan ibu pergi kerja berboncengan menggunakan sepeda. Eh, tetapi mereka bekerja di mana, ya? Baju mereka memang rapi dan bersih. Tetapi cukup santai untuk dibawa bekerja.
Setelah menemukan angkot, Rania bernapas lega. Meski harus duduk berdesak-desakan dengan penumpang lainnya, tetapi setidaknya ia bisa sampai di sekolah dengan selamat. Mungkin saja jawaban dari semua kejadian aneh pagi ini bisa ditemukan di sana.
Habisnya, dari tadi tidak ada yang percaya, kalau dia anak dari Pengusaha Geffie Austeen, bahkan polisi lalu lintas malah menganggap dia stalker. Duh...
“Turun di SMA Nusantara kan, Dek?” tanya sang supir. Mereka telah berhenti di seberang SMA Nusantara, SMA paling elit di kota itu.
“Iya, Pak. Ini ongkosnya.” Rania menyodorkan uang lima puluh ribuan yang diberikan ayah tadi pagi.
“Aduh, gede banget uangnya. Gak ada uang kecil?” tanya pengemudi angkot itu
“Gak ada, Pak. Ambil aja kembaliannya,” ucap Rania tanpa ragu.
“Hah, mana bisa begitu. Lebih besar kembaliannya dari pada ongkosnya,” jawab sang supir.
“Emang ongkosnya berapa, Pak?” tanya Rania.
“Untuk pelajar dua ribu.”
“Hah, cuma segitu?” gumam Rania terkejut. Murah sekali?" batin Rania.
“Sudah, Ibu bayarin saja. Kamu langsung ke sekolah aja sebelum terlambat upacara,” sahut seorang ibu dengan ramah.
Ah, benar juga. Rania hampir terlambat. Para siswa terlihat mulai berkumpul di lapangan upacara.
“Terima kasih banyak, Bu. Besok pasti saya ganti uangnya. Saya Edlyn Rania Austeen, putri tunggal Geffie Austeen,” ucap Rania sebelum berlari menyeberang jalan.
“Ah, bukannya Geffie Austeen itu pengusaha terkenal ya? Masa anaknya ke sekolah naik angkot?” tanya ibu itu bingung.
...🌺🌺🌺🌺🌺...
“Hei, Rania,” panggil dua orang remaja cantik. Eh, tetapi tetap Rania yang paling cantik.
“Anjani, Alvi,” ucap Rania terharu. Akhirnya, ada juga yang mengenalinya di sekolah ini. Rania pasti bisa meminta bantuan dari mereka.
“Hei, tumben telat?” ucap Alvi, gadis hitam manis berambut keriting.
“Iya, nih. Masa anak beasiswa telat? Lucu banget lihat kamu panas-panasan di barisan anak terlambat,” sahut Anjani. Gadis Hindustan campuran Melayu yang lemah lembut.
“Beasiswa?” ucap Rania bingung. Ia memang pintar, tapi selama ini ia tidak pernah mendapat beasiswa. Orang tuanya sangat kaya untuk menyekolahkan dia di mana pun Rania inginkan. Malah orang tuanya memiliki beberapa anak asuh yang dibiayai sekolahnya.
“Aku ke sini pakai angkot tahu? Makanya telat,” sungut Rania.
“Angkot? Lah, emang biasanya juga pakai angkot, kan? Kamu bangun kesiangan kali,” ucap Alvi.
“Hmm? Baru sekali ini aku pakai angkot. Biasanya kan aku dianter supir,” sahut Rania.
“Iya, iya… aku percaya…” ucap Anjani.
“Syukurlah. Akhirnya ada yang waras juga di sini,” gumam Rania.
“Supir angkot, kan?” lanjut Anjani sambil terkekeh.
“Aduhh… apaan, sih?” ujar Rania kesal. “Lagian aku terlambat karena mencari HPku yang hilang,” lanjut Rania. Sebenarnya ia ingin sekali cerita keanehan yang dialaminya pagi ini. Tetapi sepertinya waktunya belum tepat.
“HP?” ujar Alvi dan Anjani serempak.
“HPmu kan lagi di service. Minggu kemarin kecemplung got dekat danau,” jelas Andini.
“Hah, masa sih?” sahut Rania bingung. Perasaan kemarin masih baik-bik saja,” pikir Rania dalam hati.
Selama ini Rania belum pernah menservice smartphonenya. Jika sudah rusak ya langsung diganti dengan jenis dan model terbaru.
“Eh, itu kan?” Langkah Rania terhenti ketika melihat sebuah mobil BMW i8 Coupe warna silver metalic memasuki halaman SMA elit itu.
“Syukurlah. Akhirnya mereka menjemputku. Mama dan Papa pasti sudah khawatir kehilangan aku,” batin gadis berambut hitam panjang itu.
“Ehh?? Andini, Alvi… Kenapa Qiandra turun dari mobilku?” pekik Rania heran.
Musuh bebuyutannya yang berambut pirang dan tinggi bak model itu, turun dari mobil pribadi kesayangannya, yang ia beli dari hasil membintangi iklan-iklan produk terkenal. Hei, apa gadis pirang itu tahu berapa harga mobil itu?
“Sstt… kecilkan suaramu,” bisik kedua temannya.
“Aku tahu sejak pagi tadi kamu banyak menghayal. Tetapi jangan ketinggian juga dong,” tegur Alvi.
“Benar banget. Sejak kapan mobil mewah itu jadi milikmu?” tambah Andini.
“A-apa? Yang benar saja?” kepala Rania pusing mencerna ini semua. “Tetapi kenapa ia baru datang jam segini?” lanjutnya.
“Kamu kan tahu sendiri, dia bintang kelas dunia. Model terkenal kayak ibunya, Chloe Eilaria Austeen. Karena jadwal show nya yang padat, jadi sekolah memberikannya sedikit keringanan,” jelas Alvi. "Coba kalau kita bisa kayak dia juga, ya. Kan enak sering bolos," lanjut Alvi.
“Nilai-nilainya juga bagus. Jadi nggak ada masalah. Tapi kalau kamu yang mencobanya, kayaknya bakal gak naik kelas deh,” kata Andini sambil terkekeh menatap Alvi.
“Chl-chloe?”
Jantung Rania berdegup kencang, mendengar nama mamanya disebut sebagai ibu dari orang lain. Bagaimana bisa? Kenapa Qiandra ada di posisinya saat ini? Dan mengapa kedua temannya bersikap, seolah-olah semua keanehan pagi ini adalah hal yang wajar? Apa yang sebenarnya telah terjadi?
“Kenapa kalian melihatku seperti itu?” ucap Qiandra dengan angkuhnya.
“Cih, siapa juga yang melihatmu?” balas Alvi kesal.
“Ke kelas aja, yuk. Sebentar lagi pelajaran pertama akan dimulai,” ajak Andini.
"Eh, tunggu sebentar. Aku kan dulu tidak pernah datang ke sekolah walau pun jadwal sedang padat," batin Rania.
...🌺🌺🌺🌺🌺...
“Rahayu Fitri,” absen Bu Daryatun alias Bu Atun, guru kimia super killer.
“Hadir, Bu,” jawab Rahayu.
“Raisa Andini Solehah.”
“Hadir, Bu,”
“Rania Putri?”
“……”
“Rania Putri?” panggil Bu Atun lagi.
“Ssssttt… Rania, kamu diabsen, tuh?” bisik Anjani.
“Eh, aku? Ha-hadir, Bu,” jawab Rania ragu-ragu.
“Kamu tuh, ya. Sudah tadi terlambat upacara, sekarang banyak melamun di kelas. Mau dijemur di lapangan lagi? Anak beasiswa kok sikapnya gak patut ditiru,” omel Bu Tumpuk.
“Ma-maaf, Bu,” jawab Rania.
“Ya sudah, sekali ini saya maafkan. Tetapi lain kali jangan melamun lagi di kelas saya. Nanti saya minta dengan kepala sekolah agar mencabut beasiswamu biar tidak bisa sekolah di sini lagi,” kata Bu Atun.
Rania hanya menundukkan kepalanya. Meski saat ini di kepalanya banyak pertanyaan, namun selama di kelas ia hanya bisa memendamnya.
“Kenapa sih kamu gak menyahut waktu dipanggil Bu Atun tadi? Untung aja dia baik hati pagi ini. Biasanya dia kan hanya baik pada siswa kaya,” tanya Alvi ketika jam istirahat.
“Ya mana aku tahu kalau dipanggil. Bu Atun memanggilku Rania Putri,” jawab Rania.
“Lah, jadi menurutmu nama kamu siapa?” Andini balik bertanya.
“Aku? Sudah jelas Edlyn Rania Austeen dong,” jawab Rania tanpa ragu.
“Hah? Sejak kapan kamu ganti nama? Memangnya kamu siapa berani memakai nama keluarga kami?” ucap Qiandra angkuh. Ia berdiri di belakang tiga sekawan itu.
“Nama keluarga kamu? Ya sudah jelaskan Austeen itu-“ Rania menghentikan ucapannya. Ia baru teringat sejak pagi tadi banyak kejadian aneh. Apa jangan-jangan saat ini Qiandra benar-benar bertukar tempat dengannya?
“Kenapa kamu diam begitu? Baru ingat posisi kamu di mana? Tuh lihat bed nama kamu di seragam tertulis apa?” sindir Qiandra dengan angkuhnya.
“Rania Putri?” Rania baru sadar kalau nama yang tertulis di seragamnya adalah Rania Putri, bukan Edlyn Rania Austeen.
(Bersambung)
Bonus Biodata Tokoh
Terima kasih sudah mampir. Sampai jumpa lagi.
“Kenapa kamu diam begitu? Baru ingat posisi kamu di mana? Tuh lihat bed nama kamu di seragam tertulis apa,” sindir Qiandra.
“Rania Putri?” Rania baru sadar kalau nama yang tertulis di seragamnya adalah Rania Putri.
“Huh, lihat saja nanti. Kalau aku sudah menemukan akar masalah keanehan ini, ku balas kamu. Keluarga Austeen itu tidak ada yang sombong,” gumam Rania dalam hati.
“Udah. Gak usah pikirkan nenek sihir itu. Yuk, makan aja selagi masih istirahat. Aku bawa ayam tandoori dan roti cane, nih,” ajak Anjani.
Dari semua kejadian aneh sejak pagi, hanya makanan yang dibawa Anjani lah yang tidak berubah. Masih tetap memanjakan lidah seperti biasanya. Keluarga Anjani yang merupakan campuran India dan Melayu memang memiliki usaha restoran India yang terkenal di kota ini.
“Aku juga bawa bekal, nih.” Rania membuka kotak bekalnya. Ternyata isinya nasi putih, yang ditata rapi dengan dadar telur, kerupuk dan sayur kangkung.
Ketika menikmati bekal mereka, Rania teringat sesuatu. “Hei, jam istirahat kedua nanti, temani aku menemui wakil kepala sekolah, yuk,” ujar Rania.
...🌺🌺🌺🌺🌺...
“Plasmid yang telah mengandung potongan DNA yang diinginkan dapat disisipkan ke dalam sel bakteri atau sel hewan. Penyisipan DNA ke dalam sel bakteri disebut transformasi, dan dapat dilakukan dengan berbagai metode, seperti elektroporasi, mikroinjeksi, dan secara kimia. Penyisipan DNA ke dalam sel eukaryote…”
Bola mata Rania bolak balik menatap jam dinding yang terletak di depan kelas sejak tadi. Pelajaran Biologi yang merupakan favoritnya, kali ini terasa sangat membosankan. Ia tak sabar menunggu jam istirahat.
“Baiklah, karena waktu telah habis, kita lanjutkan minggu depan. Jangan lupa buat ringkasan dari materi hari ini,” ujar Bu Elya. Guru biologi sekaligus wali kelas mereka.
“Yes, akhirnya,” gumam Rania. “Guys…”
“Iya… iya… ke ruangan wakil kepala sekolah, kan?” kata Alvi sambil menyimpan bukunya.
“Kenapa kamu tiba-tiba mau bertemu wakil kepala sekolah?” tanya Anjani ketika mereka berjalan di koridor sekolah. Ruang guru cukup jauh dari kelas mereka.
“Ada sesuatu yang harus aku pastikan,” jawab Rania.
“Beasiswa? Beasiswa kamu gak mungkin langsung dicopot, hanya karena terlambat satu kali,” kata Anjani.
“Ada apa, Rania? Tumben kamu menemui saya,” tanya Bu Rosilah, wakil kepala sekolah yang ramah dan lemah lembut.
“Hmm… begini, Bu. Bolehkah saya melihat data siswa?” ucap Rania lirih. Kedua temannya menunggu di luar.
“Data siswa? Kamu mau melihat data siswa siapa? Itu rahasia sekolah,” ucap Bu Rosilah.
“Data saya sendiri, Bu,” jawab Rania lagi.
“Oh! Ada apa? Apa ada masalah?” kata Bu Rosilah terkejut.
“Hmm…” Rania memutar otaknya untuk mencari alasan yang tepat. “HP saya lagi rusak, Bu. Dan saya perlu menelepon orang tua saya,” kata Rania kemudian.
“Oh, begitu. Kamu tidak hapal nomor orang tua kamu, ya? Sebenarnya nomor telepon para wali murid kan dipegang oleh wali kelas masing-masing. Tetapi karena kamu sudah sampai di sini, ya sudah,” ujar Bu Rosilah dengan ramah. Ia mengeluarkan sebuah dokumen tebal dari dalam lemari dan menyerahkannya pada Rania.
“Hanya data kamu saja yang boleh dibuka, ya,” ujar Bu Rosilah tegas.
Kenapa malah memberikan dokumen, jika lebih cepat menggunakan laptop? Ah, tentu saja Bu Rosilah ingin berhati-hati dan menjaga data lainnya.
“Baik, Bu. Terima kasih.” Rania segera membuka dokumen itu dan mencari Namanya di daftar isi.
Hatinya berdegup kencang. Tubuhnya gemetar. Ia tidak menyangka apa yang dibacanya saat ini. Ia adalah putri kandung dari Gelfara Abarua dan Jennia Putri. Tidak hanya itu, ia juga memiliki dua saudara kandung, Arka Giovanni Putra dan Livy Talisa Putri. Siapa mereka? Rania benar-benar tidak mengenalnya. Tidak ada lagi nama Austeen di dalam datanya.
“Su-sudah, Bu. Terima kasih.” Rania menyerahkan dokumen itu kembali. Sebenarnya ia sangat penasaran ingin melihat data Qiandra juga. Tetapi tak bisa karena selalu diawasi oleh Bu Rosilah.
“Bagaimana Rania? Beasiswamu aman, kan?” tanya Alvi dan Anjani ketika Rania keluar dari ruang kepala sekolah.
Rania tidak menjawab. Tubuhnya terguncang dan air matanya meleleh tanpa izin. Ia benar-benar shock saat mengetahui semuanya. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa hidupnya berubah hanya dalam semalam? Siapa yang telah memanipulasi semua ini?
“Rania? Kamu tidak apa-apa? Beasiswamu benar-benar dicabut?” tanya Alvi dan Anjani cemas.
Rania menggeleng. Jemarinya yang lentik menghapus air matanya. Ia tak ingin membuat kedua sahabatnya turut bersedih.
“Tidak apa-apa. Aku hanya bersyukur, mereka masih membiayai sekolahku,” ucap Rania.
Sebelum menutup datanya tadi, ia sempat melihat status beasiswanya. Ia adalah penerima beasiswa siswa berprestasi di sekolah ini. Dengan kondisi keluarganya yang sekarang, rasanya tidak mungkin ia bersekolah di tempat elit begini.
“Syukurlah…” ucap kedua temannya.
Rania hanya tersenyum pahit. Ia tidak mungkin menceritakan keadaan yang sebenarnya pada Alvi dan Anjani. Mereka semua tak merasakan semua keanehan yang dialami Rania.
“Ehm, jangan berkumpul di depan pintu, menghalangi orang yang akan lewat,” tegur seorang siswa. Ia membawa setumpuk kertas di kedua tangannya.
“Iya, iya. Dingin banget sih, kayak es batu,” kata Alvi.
Rania terus memandangi siswa itu sampai ia masuk ke ruangan wakil kepala sekolah. Meski sudah ratusan kali memandangnya, ia tidak pernah bosan.
Siswa bernama Mikko Arthur Walandou itu selalu membuat dadanya berdebar ketika mereka bertatapan. Tetapi seperti kata Alvi, sosok tampan itu selalu bersikap cuek dan dingin kepada wanita. Ia hanya ramah kepada guru perempuan, tetapi tidak dengan semua teman-teman perempuannya.
“Ehem! Tadi aja nangis, giliran gebetannya lewat langsung cerah lagi wajahnya,” gurau Alvi.
“Eh, bukan begitu. Bukankan ia tadi sedikit tersenyum pada kita?” kata Rania.
“Hah, masa, sih? Hati-hati, lho. Katanya kalau melihat senyumannya Mikko, itu tandanya akan ketiban sial,” celetuk Anjani.
“Hahaha… Mitos dari mana itu?” tawa Rania. “Eh, tetapi kenapa kalian mau berteman dengan orang biasa seperti aku?” Rania menguji kedua temannya. Apakah ia akan mengatakan siapa Rania sebenarnya?
“Kenapa memangnya? Karena kamu bukan konglomerat? Kami kan tidak pernah pilih-pilih teman, asalkan ia ramah dan baik hati,” jawab Alvi tegas.
Alvi adalah anak dari William Brown, sutradara terkenal di negeri itu yang terkenal dengan sifatnya yang rendah hati. Kabarnya ia sering mengunjungi panti sosial di setiap ulang tahunnya.
“Aku juga. Aku tak masalah berteman dengan siapa pun, yang penting dia gak judes kaya Qiandra dan komplotannya,” jawab Anjani. Meski keluarganya belum bisa disebut sebagai konglomerat, tetapi finansial keluarganya cukup stabil.
“Kenapa sih kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?” tanya Alvi.
“Nggak apa-apa. Aku sayang kalian,” ucap Rania.
“Ululu… kami juga sayang padamu,” kata Alvi dan Anjani.
...🌺🌺🌺🌺🌺...
Bel pulang akhirnya berbunyi. Rania yang bertahan dengan segala anomali sejak pagi, tadi sudah tidak sabar untuk pulang. Ia harus mengembalikan semuanya ke keadaan semula. Ia juga harus mendapatkan smartphonenya kembali
“Aku harus pulang ke mana? Ke rumah orang tuaku atau tempat aku terbangun tadi pagi?” pikir Rania bingung. Ia tak ingin kembali diamankan polisi dan petugas keamanan karena mengaku sebagai anak dari Chloe Eilaria Austeen.
“Eh, tetapi bagaimana pula caranya aku kembali ke tempat tadi pagi? Aku saja tidak tahu alamatnya di mana?” keluh Rania.
Ia lalu meminjam ponsel Alvi untuk menelepon Chloe, mamanya. Tetapi selalu dihubungkan dengan kotak suara. Tak kehabisan akal, ia menelepon hampir semua asistennya yang ia hapal nomornya, tetapi jawaban mereka sama. Nona muda mereka bukan Rania, melainkan Qiandra Austeen.
“Kak. Kak Rania,” panggil seseorang berseragam SMP.
“Hai, Li-. Duh, siapa ya tadi namanya?” ucap Rania. “Ngapain kamu di sini? Bukannya sekolah kamu jauh?” tanyanya.
“Kita kan harus ke rumah Om Ganendra untuk membantu ibu bekerja. Kakak pasti tadi pagi lupa bawa baju ganti, kan? Nih, sudah aku bawakan,” ucap Livy.
“Kerja? Oh, iya kakak lupa. Heheheh,” ucap Rania pura-pura. Ia harus bersikap senormal mungkin hingga misteri ini terungkap.
Dua puluh menit kemudian, mereka pun sampai di tempat yang dimaksud.
“Ini kan?” jerit Rania dalam hati. Mereka kerja apa di sini?
(Bersambung)
Bonus Biodata Tokoh
Terima kasih sudah mampir. Sampai jumpa lagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!