Mafia Berhati Malaikat
💌 MAFIA BERHATI MALAIKAT 💌
🍀 HAPPY READING 🍀
.
.
Terdengar suara gemuruh petir menggelegar bagai cambuk yang menghantam kuat menuju daratan. Seorang anak laki-laki kurus terlihat sibuk memasukkan beberapa barangnya ke dalam kantong plastik berwarna hitam. Raut mukanya begitu serius dan tergesa-gesa. Hari ini dia mengikuti kelas tanpa sepengetahuan ibunya. Ia mengenakan kaos polos berwarna biru dongker dan celana hitam. Tadi pagi saja, ia tidak sempat sarapan hanya karena mengejar waktu agar bisa mengikuti pelajaran ini. Kini ia melewatkan makan siangnya juga.
TES...TES...TES...TES....!
Suara hujan semakin deras mulai terdengar membasahi bumi. Gaduh air yang mengalir ke atap gudang terdengar menggerutu. Laki-laki berusia 13 tahun dengan cepat melanjutkan usahanya memaksa memasukkan barang-barangnya ke dalam kantong plastik. Hari ini guru tenaga kerja sukarelawan memberikannya banyak buku untuk di bawa pulang dan dipelajarinya di rumah. Javier mendapatkan pujian karena bisa menyelesaikan 50 soal matematika dalam hitungan 30 menit. Javier tersenyum bangga. Kelak ia berguna dan bisa membahagiakan ibunya. Walau sejujurnya dalam hati kecilnya ia ingin mendapat pengakuan dari wanita yang tidak pernah menganggap Javier darah dagingnya sendiri. Walau kerap ia mendapat pukulan, Javier tidak masalah, dia mengerti. Mungkin saja itu hanya bentuk pelampiasan ibunya karena lelah bekerja.
"Javier, kamu tetap mau pulang? lihat, hujan semakin deras. Apa kamu tidak menunggu hujan sampai berhenti saja?" Angel guru pengajar anak-anak di sini menghampiri Javier.
"Maaf, ibu Angel. Sepertinya aku tidak bisa menunggu hujan berhenti. Nanti ibu mencariku." Kata Javier memasukkan buku-bukunya.
Angel tersenyum samar, dia tahu ibunya Javier tidak pernah setuju jika Javier mengikuti belajar seperti ini. "Baiklah, tapi kamu harus menggunakan payung ibu, iya?" katanya dengan lembut, agar kali ini Javier menerima bantuannya.
"Tidak bu, terima kasih sebelumnya. Jika ibu tahu aku menggunakan barang orang, ibu akan marah dan merusak payung ibu. Jika itu terjadi, aku tidak ada uang untuk menggantinya." Kata Javier dengan wajah memelas sendu.
"Astaga, orang tua seperti apa sih yang tega berbuat kejam seperti itu terhadap anaknya sendiri. Javier anak pintar dan hatinya begitu baik seperti malaikat. Aku benar-benar penasaran dengan ibu Javier. Rasanya ingin bertemu dengannya." Angel menggeram dalam hati.
Angel menarik napas dalam-dalam. Lalu tersenyum lagi. "Tidak apa-apa Javier, ambilah! jika ibumu merusaknya biarkan saja. Ibu akan beli payung baru lagi."
"Jangan bu, sayang payungnya di rusak. Aku tidak apa-apa bu, sudah terbiasa seperti ini." Javier bersikeras menolaknya.
"Ya Tuhan, bagaimana bisa pemikiran Javier bisa dewasa seperti ini. Usia anak ini masih 13 tahun. Tapi ia bukan seperti anak-anak pada umumnya. Ia di tuntut menjadi anak yang dewasa dan kuat."
"Tapi Javier?"
"Maaf bu, kalau begitu saya permisi dulu." Javier membungkukkan badannya untuk memberi hormat. Ia langsung membalikkan tubuhnya dan berlari dari gudang tempat dimana ia belajar menuntut ilmu gratis dari pengajar sukarelawan.
Javier berlari menerjang hujan sambil memeluk kantong plastik hitam agar tidak terkena air hujan. Ia terus menerobos derasnya hujan sore ini. Sebelum ibunya pulang, ia sudah lebih dulu tiba di rumah. Meskipun langit dengan serta merta menumpahkan air yang berlimpah bersamaan dengan bising guntur dan kilat petir yang menyambar. Anak laki-laki itu tidak peduli dan tetap berlari, kakinya terdengar menginjak air tergenang di jalan. Masa bodoh dengan pakaiannya yang basah kuyup, atau kemungkinan terburuk, jatuh sakit. Ia sudah terbiasa. Ia tidak perduli dengan guyuran air yang terasa menusuk tulang. Javier sudah rasakan bagaimana dinginnya air yang deras mendarat pada setiap permukaan bumi itu. Menyentuhnya dengan ujung jari pun Ia sudah merasa menggigil. Anak lelaki tak mempedulikannya. Javier mengedarkan matanya dan melihat sekelilingnya, sepi tidak ada orang. Javier hanya tetap berlari memasuki lorong kumuh untuk mengambil jalan pintas menuju rumahnya. Hanya ada Javier di tempat ini. Petir mulai menyambar-nyambar di langit yang begitu kelam. Pandangannya kabur sudah tak terlihat lagi karena kalah dengan derasnya air hujan.
Hingga Javier tiba. Cat gerbangnya berwarna hijau tua yang mulai memudar, pintu gerbangnya juga sudah mulai berkarat, bahkan engselnya saja mengeluarkan bunyi nyaring kalau digerakkan. Javier membuka pintu pagar itu dengan pelan. Tetesan air hujan jatuh dari rambutnya. Napasnya masih terdengar memburu di tambah tubuhnya menggigil karena begitu lama terkena siraman hujan. Ia mengendap-endap melalui pintu belakang. Ia menyimpan kantong plastik yang berwarna hitam di tumpukan kayu dibagian gudang belakang rumahnya. Javier menarik napasnya dalam-dalam. Setelah selesai melakukan ritualnya. Javier kembali keluar dari gudang itu. Ia sedikit membungkuk melihat keadaan. Javier mengintip dari celah kaca jendela rumahnya.
"Syukurlah, Ibu belum pulang." Javier bernapas lega. Ia menegakkan punggungnya dan mulai membuka pintu rumah dengan kuncinya sendiri.
Belum lagi Javier menutup pintu kembali.
Hantaman benda keras ke dinding rumah terdengar menggelegar.
" Praaangggg!!! "
Javier terperanjak saat melihat ibunya sudah berdiri di depannya. Tatapan sinis dari wanita itu siap menghujam jantung Javier saat ini. Javier langsung merasakan keheningan yang mencekam. Bukan suaranya yang kelihatan begitu menakutkan, akan tetapi ada getaran-geraran samar yang mengelayut di hati dan meninggalkan ketakutan yang menyesakkan. Anak laki-laki itu reflek bersujud dan meminta ampun.
"Maafkan aku ibu, Aku sangat-sangat minta maaf. Aku terlambat pulang." kata Javier gagap saat melihat ibunya sudah memegang kayu rotan ditangannya.
Valeria hanya diam, matanya mengarah ke bawah dan melihat gelas pecah yang berantakan atas perbuatannya sendiri. Wajahnya saat ini terlihat gelap. Ia hanya tersenyum sinis dan matanya beralih menatap Javier siap memberikan hukuman. Javier tidak sanggup mengangkat wajahnya, ia tidak berani menatap ibunya saat ini. Ia meremas tangannya sendiri. Tetesan air hujan dari pakaiannya kini membasahi lantai rumah.
"Kau tahu apa hukumanmu Javier?"
Javier hanya menggeleng dengan tatapan memelas sendu.
"Jawab! Berapa kali aku katakan jangan pernah menggelengkan kepalamu di depanku anak bodoh, sekarang jawab!" suara Valeria kini mengalahi suara petir yang bersahutan-sahutan di atas langit.
"Aku tidak tahu ibu." Javier menggeleng lagi.
"Jangan panggil aku ibu. Aku tidak pernah memiliki anak sepertimu. Kau hanya sampah di mataku." Valeria maju dan mendorong tubuh Javier dengan rotan yang ada ditangannya hingga membuat Javier terduduk.
Dengan cepat Javier mengembalikan posisinya lagi dengan melipat kakinya ke belakang. Wajahnya menunduk sedih. Ini sudah ribuan kali, Ia mendengar kata-kata itu. Ibunya sampai sekarang tidak mengakui keberadaannya. Javier dianggap pembawa sial.
"Kau benar-benar tidak tahu apa hukumanmu?" Desis Valeria mencengkram dagu Javier dengan kuat.
"Sungguh, aku tidak tahu ibu. Maafkan aku." Kata Javier cepat.
Valeria membuang wajah Javier. "Baiklah kali ini kau, aku maafkan."
Javier langsung menatap ibunya kembali. Benarkah apa yang baru di dengarnya tadi? Apakah Javier salah mendengar? Tidak mungkin ibunya melepaskannya begitu saja. Javier menguatkan hatinya. Ia menatap ibunya dengan sendu dan memastikan pendengarannya. "Benarkah ibu, tidak mau menghukumku?" tanya Javier kembali.
Valeria tersenyum jahat, ia mengetuk-ngetuk kayu rotan di lantai rumahnya. "Ehmm, aku tidak akan menghukummu dengan tanganku. Aku lagi berbaik hati Javier."
Senyum di bibir Javier melengkung indah. "Terima kasih ibu, telah......" Belum lagi Javier selesai melanjutkan kalimatnya. Valeria dengan cepat memotongnya.
"Tapi kau harus berjalan di atas pecahan kaca itu."
"Heuh?"
"Hahahaha...." Valeria tertawa jahat, ia kembali menatap Javier. "Lakukan sekarang, atau hari ini juga aku akan membakar tempat belajar yang sering kau datangi itu." Valeria tersenyum sinis saat melihat keterkejutan Javier. "Pilih antara satu Atau ibu gurumu yang akan mati di tanganku. Ada tiga pilihan itu."
Jantung di dada Javier seketika terpukul kencang saat mendengar itu. "Ibu tahu, apa yang harus aku lakukan?" tatapannya turun menatap lantai.
"Sekarang lakukan, atau aku memanggil orang-orangku untuk membakar gudang itu?"
Tangisan Javier pecah, ia menggeleng cepat dengan pandangan nanar. "Ibu, aku belajar untuk mendapat ilmu, kenapa ibu tidak pernah mengizinkanku belajar. Maafkan atas kesalahan Javier yang terlambat pulang. Javier janji akan jadi anak baik. Semua akan Javier lakukan, apapun yang membuat ibu senang. Aku mohon ibu." Anak lelaki itu mengatupkan ke dua tangannya, berharap kali ini ibunya mau mangampuni kesalahannya.
Rahang Valeria mengeras, "Apa kamu pikir aku marah karena kau terlambat pulang?"
"Aku tahu, ibu marah karena Javier belajar kan?"
"Jadi kalau kau tahu aku marah, kenapa kau lakukan?" Suara Valeria memenuhi ruangan. Matanya sudah berkilat emosi. Ia memukul sofa berulang kali dengan kayu rotan yang ada ditangannya.
"Maafkan aku ibu?" Tangisan Javier semakin terdengar pilu. Ia menggeleng cepat sambil menutup ke dua telinganya. Javier sangat takut mendengar pukulan itu.
"Kau tahu, kau itu anak tidak berguna, aku tidak pernah menyukaimu. Aku membencimu, selamanya...sampai aku mati....Aku tidak menerimamu...Anak brengsek..." Valeria memukul Javier berulang kali.
"Ibuuuuuu......Sakit......" tangisan pilu terdengar menyayat hati. Ia berusaha menghindari pukulan Valeria dengan tangannya. "Maafkan aku ibu, maafka...." Javier tidak bisa melanjutkan kata-katanya.
Emosi di mata Valeria semakin terlihat jelas membuncah rongga dadanya. Napasnya terdengar naik turun karena menahan emosinya. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat. Ia mencengkram kepalanya saat mengingat kejadian itu. Di usianya 21 tahun, kebahagiaannya direnggut paksa. Valeria memukul dadanya. Begitu sesak sampai tidak bisa bernapas dengan baik. "Kau tahu anak berengsek, aku diperkosa dan di cabuli saat aku bekerja, hingga menghasilkan anak yang tidak berguna sepertimu. Sekarang pilih, kau keluar sendiri dari rumah ini atau kau mati di tanganku." teriak Valeria.
Air mata Javier menetes di pipi. Ia meringkuk tak berdaya di lantai. Bajunya yang masih basah membuat tubuhnya menggigil. Anak laki-laki itu hanya bisa menggeleng lemah. Ia tidak sanggup untuk menjawab. Bibirnya biru dan gemetar.
TOK TOK TOK
Terdengar ketukan pintu dari luar. Pandangan Valeria langsung ke pintu. Ia berjalan melewati tubuh Javier dan bergegas membuka pintu itu. Ia keluar dan menutup pintu itu kembali, agar lelaki itu tidak melihat Javier.
"Selamat sore nyonya." Sapa seorang lelaki dengan ramah.
Valeria tersenyum manis saat mengetahui siapa yang datang, itu adalah supir Alexander. "Selamat sore pak, ada yang bisa saya bantu?"
"Bapak ingin bertemu dengan anda nyonya. Beliau ingin makan malam bersama anda."
"Tuan Alexander?"
"Iya nyonya." Jawabnya.
Wajah Valeria berbinar bahagia. Ia menjepit bibirnya menahan senyum malunya. Baru beberapa bulan ini, ia menjalin hubungan dengan Alexander. Dia seorang duda beranak satu yang ditinggal mati oleh istrinya. Ia pria terkaya di kota ini.
"Bagaimana nyonya, anda bersedia?"
Valeria melepas lamunannya. Ia tersenyum manis sambil mengangguk. "Tentu saja, saya tidak akan mengecewakan pak Alexander." jawabnya.
"Saya akan menunggu anda di mobil."
"Tunggu saya tiga puluh menit ya." Kata Valeria tersenyum semanis mungkin.
"Baik bu."
Valeria menutup pintu itu kembali. "Sekarang ganti bajumu. Bersihkan semua pecahan kaca itu. Ingat, hukumanmu belum berakhir." Valeria menekan semua perkataannya dengan rahang mengeras. Ia menendang tubuh Javier yang tidak berdaya. Saat ini Valeria hanya ingin bersenang-senang malam ini. Ia ingin memenuhi undangan makan malam dari lelaki yang bernama Alexander itu.
BERSAMBUNG
💌BERIKAN LIKE DAN KOMENTARMU💌
💌 BERIKAN VOTEMU 💌
💌 BERIKAN BINTANGMU💌
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments
Darisha Asley
sukses selalu ya thor
2022-07-18
0
Darisha Asley
Ceritanya memuaskan
2022-07-18
0
Darisha Asley
Saya mampir kesini lagi thor
2022-07-18
0