💌 MAFIA BERHATI MALAIKAT 💌
🍀 HAPPY READING 🍀
.
.
Terdengar suara gemuruh petir menggelegar bagai cambuk yang menghantam kuat menuju daratan. Seorang anak laki-laki kurus terlihat sibuk memasukkan beberapa barangnya ke dalam kantong plastik berwarna hitam. Raut mukanya begitu serius dan tergesa-gesa. Hari ini dia mengikuti kelas tanpa sepengetahuan ibunya. Ia mengenakan kaos polos berwarna biru dongker dan celana hitam. Tadi pagi saja, ia tidak sempat sarapan hanya karena mengejar waktu agar bisa mengikuti pelajaran ini. Kini ia melewatkan makan siangnya juga.
TES...TES...TES...TES....!
Suara hujan semakin deras mulai terdengar membasahi bumi. Gaduh air yang mengalir ke atap gudang terdengar menggerutu. Laki-laki berusia 13 tahun dengan cepat melanjutkan usahanya memaksa memasukkan barang-barangnya ke dalam kantong plastik. Hari ini guru tenaga kerja sukarelawan memberikannya banyak buku untuk di bawa pulang dan dipelajarinya di rumah. Javier mendapatkan pujian karena bisa menyelesaikan 50 soal matematika dalam hitungan 30 menit. Javier tersenyum bangga. Kelak ia berguna dan bisa membahagiakan ibunya. Walau sejujurnya dalam hati kecilnya ia ingin mendapat pengakuan dari wanita yang tidak pernah menganggap Javier darah dagingnya sendiri. Walau kerap ia mendapat pukulan, Javier tidak masalah, dia mengerti. Mungkin saja itu hanya bentuk pelampiasan ibunya karena lelah bekerja.
"Javier, kamu tetap mau pulang? lihat, hujan semakin deras. Apa kamu tidak menunggu hujan sampai berhenti saja?" Angel guru pengajar anak-anak di sini menghampiri Javier.
"Maaf, ibu Angel. Sepertinya aku tidak bisa menunggu hujan berhenti. Nanti ibu mencariku." Kata Javier memasukkan buku-bukunya.
Angel tersenyum samar, dia tahu ibunya Javier tidak pernah setuju jika Javier mengikuti belajar seperti ini. "Baiklah, tapi kamu harus menggunakan payung ibu, iya?" katanya dengan lembut, agar kali ini Javier menerima bantuannya.
"Tidak bu, terima kasih sebelumnya. Jika ibu tahu aku menggunakan barang orang, ibu akan marah dan merusak payung ibu. Jika itu terjadi, aku tidak ada uang untuk menggantinya." Kata Javier dengan wajah memelas sendu.
"Astaga, orang tua seperti apa sih yang tega berbuat kejam seperti itu terhadap anaknya sendiri. Javier anak pintar dan hatinya begitu baik seperti malaikat. Aku benar-benar penasaran dengan ibu Javier. Rasanya ingin bertemu dengannya." Angel menggeram dalam hati.
Angel menarik napas dalam-dalam. Lalu tersenyum lagi. "Tidak apa-apa Javier, ambilah! jika ibumu merusaknya biarkan saja. Ibu akan beli payung baru lagi."
"Jangan bu, sayang payungnya di rusak. Aku tidak apa-apa bu, sudah terbiasa seperti ini." Javier bersikeras menolaknya.
"Ya Tuhan, bagaimana bisa pemikiran Javier bisa dewasa seperti ini. Usia anak ini masih 13 tahun. Tapi ia bukan seperti anak-anak pada umumnya. Ia di tuntut menjadi anak yang dewasa dan kuat."
"Tapi Javier?"
"Maaf bu, kalau begitu saya permisi dulu." Javier membungkukkan badannya untuk memberi hormat. Ia langsung membalikkan tubuhnya dan berlari dari gudang tempat dimana ia belajar menuntut ilmu gratis dari pengajar sukarelawan.
Javier berlari menerjang hujan sambil memeluk kantong plastik hitam agar tidak terkena air hujan. Ia terus menerobos derasnya hujan sore ini. Sebelum ibunya pulang, ia sudah lebih dulu tiba di rumah. Meskipun langit dengan serta merta menumpahkan air yang berlimpah bersamaan dengan bising guntur dan kilat petir yang menyambar. Anak laki-laki itu tidak peduli dan tetap berlari, kakinya terdengar menginjak air tergenang di jalan. Masa bodoh dengan pakaiannya yang basah kuyup, atau kemungkinan terburuk, jatuh sakit. Ia sudah terbiasa. Ia tidak perduli dengan guyuran air yang terasa menusuk tulang. Javier sudah rasakan bagaimana dinginnya air yang deras mendarat pada setiap permukaan bumi itu. Menyentuhnya dengan ujung jari pun Ia sudah merasa menggigil. Anak lelaki tak mempedulikannya. Javier mengedarkan matanya dan melihat sekelilingnya, sepi tidak ada orang. Javier hanya tetap berlari memasuki lorong kumuh untuk mengambil jalan pintas menuju rumahnya. Hanya ada Javier di tempat ini. Petir mulai menyambar-nyambar di langit yang begitu kelam. Pandangannya kabur sudah tak terlihat lagi karena kalah dengan derasnya air hujan.
Hingga Javier tiba. Cat gerbangnya berwarna hijau tua yang mulai memudar, pintu gerbangnya juga sudah mulai berkarat, bahkan engselnya saja mengeluarkan bunyi nyaring kalau digerakkan. Javier membuka pintu pagar itu dengan pelan. Tetesan air hujan jatuh dari rambutnya. Napasnya masih terdengar memburu di tambah tubuhnya menggigil karena begitu lama terkena siraman hujan. Ia mengendap-endap melalui pintu belakang. Ia menyimpan kantong plastik yang berwarna hitam di tumpukan kayu dibagian gudang belakang rumahnya. Javier menarik napasnya dalam-dalam. Setelah selesai melakukan ritualnya. Javier kembali keluar dari gudang itu. Ia sedikit membungkuk melihat keadaan. Javier mengintip dari celah kaca jendela rumahnya.
"Syukurlah, Ibu belum pulang." Javier bernapas lega. Ia menegakkan punggungnya dan mulai membuka pintu rumah dengan kuncinya sendiri.
Belum lagi Javier menutup pintu kembali.
Hantaman benda keras ke dinding rumah terdengar menggelegar.
" Praaangggg!!! "
Javier terperanjak saat melihat ibunya sudah berdiri di depannya. Tatapan sinis dari wanita itu siap menghujam jantung Javier saat ini. Javier langsung merasakan keheningan yang mencekam. Bukan suaranya yang kelihatan begitu menakutkan, akan tetapi ada getaran-geraran samar yang mengelayut di hati dan meninggalkan ketakutan yang menyesakkan. Anak laki-laki itu reflek bersujud dan meminta ampun.
"Maafkan aku ibu, Aku sangat-sangat minta maaf. Aku terlambat pulang." kata Javier gagap saat melihat ibunya sudah memegang kayu rotan ditangannya.
Valeria hanya diam, matanya mengarah ke bawah dan melihat gelas pecah yang berantakan atas perbuatannya sendiri. Wajahnya saat ini terlihat gelap. Ia hanya tersenyum sinis dan matanya beralih menatap Javier siap memberikan hukuman. Javier tidak sanggup mengangkat wajahnya, ia tidak berani menatap ibunya saat ini. Ia meremas tangannya sendiri. Tetesan air hujan dari pakaiannya kini membasahi lantai rumah.
"Kau tahu apa hukumanmu Javier?"
Javier hanya menggeleng dengan tatapan memelas sendu.
"Jawab! Berapa kali aku katakan jangan pernah menggelengkan kepalamu di depanku anak bodoh, sekarang jawab!" suara Valeria kini mengalahi suara petir yang bersahutan-sahutan di atas langit.
"Aku tidak tahu ibu." Javier menggeleng lagi.
"Jangan panggil aku ibu. Aku tidak pernah memiliki anak sepertimu. Kau hanya sampah di mataku." Valeria maju dan mendorong tubuh Javier dengan rotan yang ada ditangannya hingga membuat Javier terduduk.
Dengan cepat Javier mengembalikan posisinya lagi dengan melipat kakinya ke belakang. Wajahnya menunduk sedih. Ini sudah ribuan kali, Ia mendengar kata-kata itu. Ibunya sampai sekarang tidak mengakui keberadaannya. Javier dianggap pembawa sial.
"Kau benar-benar tidak tahu apa hukumanmu?" Desis Valeria mencengkram dagu Javier dengan kuat.
"Sungguh, aku tidak tahu ibu. Maafkan aku." Kata Javier cepat.
Valeria membuang wajah Javier. "Baiklah kali ini kau, aku maafkan."
Javier langsung menatap ibunya kembali. Benarkah apa yang baru di dengarnya tadi? Apakah Javier salah mendengar? Tidak mungkin ibunya melepaskannya begitu saja. Javier menguatkan hatinya. Ia menatap ibunya dengan sendu dan memastikan pendengarannya. "Benarkah ibu, tidak mau menghukumku?" tanya Javier kembali.
Valeria tersenyum jahat, ia mengetuk-ngetuk kayu rotan di lantai rumahnya. "Ehmm, aku tidak akan menghukummu dengan tanganku. Aku lagi berbaik hati Javier."
Senyum di bibir Javier melengkung indah. "Terima kasih ibu, telah......" Belum lagi Javier selesai melanjutkan kalimatnya. Valeria dengan cepat memotongnya.
"Tapi kau harus berjalan di atas pecahan kaca itu."
"Heuh?"
"Hahahaha...." Valeria tertawa jahat, ia kembali menatap Javier. "Lakukan sekarang, atau hari ini juga aku akan membakar tempat belajar yang sering kau datangi itu." Valeria tersenyum sinis saat melihat keterkejutan Javier. "Pilih antara satu Atau ibu gurumu yang akan mati di tanganku. Ada tiga pilihan itu."
Jantung di dada Javier seketika terpukul kencang saat mendengar itu. "Ibu tahu, apa yang harus aku lakukan?" tatapannya turun menatap lantai.
"Sekarang lakukan, atau aku memanggil orang-orangku untuk membakar gudang itu?"
Tangisan Javier pecah, ia menggeleng cepat dengan pandangan nanar. "Ibu, aku belajar untuk mendapat ilmu, kenapa ibu tidak pernah mengizinkanku belajar. Maafkan atas kesalahan Javier yang terlambat pulang. Javier janji akan jadi anak baik. Semua akan Javier lakukan, apapun yang membuat ibu senang. Aku mohon ibu." Anak lelaki itu mengatupkan ke dua tangannya, berharap kali ini ibunya mau mangampuni kesalahannya.
Rahang Valeria mengeras, "Apa kamu pikir aku marah karena kau terlambat pulang?"
"Aku tahu, ibu marah karena Javier belajar kan?"
"Jadi kalau kau tahu aku marah, kenapa kau lakukan?" Suara Valeria memenuhi ruangan. Matanya sudah berkilat emosi. Ia memukul sofa berulang kali dengan kayu rotan yang ada ditangannya.
"Maafkan aku ibu?" Tangisan Javier semakin terdengar pilu. Ia menggeleng cepat sambil menutup ke dua telinganya. Javier sangat takut mendengar pukulan itu.
"Kau tahu, kau itu anak tidak berguna, aku tidak pernah menyukaimu. Aku membencimu, selamanya...sampai aku mati....Aku tidak menerimamu...Anak brengsek..." Valeria memukul Javier berulang kali.
"Ibuuuuuu......Sakit......" tangisan pilu terdengar menyayat hati. Ia berusaha menghindari pukulan Valeria dengan tangannya. "Maafkan aku ibu, maafka...." Javier tidak bisa melanjutkan kata-katanya.
Emosi di mata Valeria semakin terlihat jelas membuncah rongga dadanya. Napasnya terdengar naik turun karena menahan emosinya. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat. Ia mencengkram kepalanya saat mengingat kejadian itu. Di usianya 21 tahun, kebahagiaannya direnggut paksa. Valeria memukul dadanya. Begitu sesak sampai tidak bisa bernapas dengan baik. "Kau tahu anak berengsek, aku diperkosa dan di cabuli saat aku bekerja, hingga menghasilkan anak yang tidak berguna sepertimu. Sekarang pilih, kau keluar sendiri dari rumah ini atau kau mati di tanganku." teriak Valeria.
Air mata Javier menetes di pipi. Ia meringkuk tak berdaya di lantai. Bajunya yang masih basah membuat tubuhnya menggigil. Anak laki-laki itu hanya bisa menggeleng lemah. Ia tidak sanggup untuk menjawab. Bibirnya biru dan gemetar.
TOK TOK TOK
Terdengar ketukan pintu dari luar. Pandangan Valeria langsung ke pintu. Ia berjalan melewati tubuh Javier dan bergegas membuka pintu itu. Ia keluar dan menutup pintu itu kembali, agar lelaki itu tidak melihat Javier.
"Selamat sore nyonya." Sapa seorang lelaki dengan ramah.
Valeria tersenyum manis saat mengetahui siapa yang datang, itu adalah supir Alexander. "Selamat sore pak, ada yang bisa saya bantu?"
"Bapak ingin bertemu dengan anda nyonya. Beliau ingin makan malam bersama anda."
"Tuan Alexander?"
"Iya nyonya." Jawabnya.
Wajah Valeria berbinar bahagia. Ia menjepit bibirnya menahan senyum malunya. Baru beberapa bulan ini, ia menjalin hubungan dengan Alexander. Dia seorang duda beranak satu yang ditinggal mati oleh istrinya. Ia pria terkaya di kota ini.
"Bagaimana nyonya, anda bersedia?"
Valeria melepas lamunannya. Ia tersenyum manis sambil mengangguk. "Tentu saja, saya tidak akan mengecewakan pak Alexander." jawabnya.
"Saya akan menunggu anda di mobil."
"Tunggu saya tiga puluh menit ya." Kata Valeria tersenyum semanis mungkin.
"Baik bu."
Valeria menutup pintu itu kembali. "Sekarang ganti bajumu. Bersihkan semua pecahan kaca itu. Ingat, hukumanmu belum berakhir." Valeria menekan semua perkataannya dengan rahang mengeras. Ia menendang tubuh Javier yang tidak berdaya. Saat ini Valeria hanya ingin bersenang-senang malam ini. Ia ingin memenuhi undangan makan malam dari lelaki yang bernama Alexander itu.
BERSAMBUNG
💌BERIKAN LIKE DAN KOMENTARMU💌
💌 BERIKAN VOTEMU 💌
💌 BERIKAN BINTANGMU💌
💌 MAFIA BERHATI MALAIKAT 💌
🍀 HAPPY READING 🍀
.
.
Setelah ibunya pergi, Javier langsung bergegas membersihkan tubuhnya yang sudah kedinginan karena terkena air hujan. Tidak ingin berlama-lama, Javier langsung melakukan tugasnya. Ia mengabaikan rasa sakit pada bagian tubuhnya. Javier hanya memikirkan bagaimana pekerjaan ini harus selesai dikerjakannya hari ini juga. Setiap hari, ini sudah menjadi rutinitasnya baginya. Setelah membersihkan pecahan kaca, Javier langsung mencuri piring dan melap piring tersebut dengan serbet dan menaruhnya kembali di rak dengan rapi. Dengan cepat ia menyapu dan membersihkan lantai teras yang terkena air hujan. Hujan telah berhenti. Bintang-bintang kini mulai terlihat di atas sana. Javier tersenyum saat melihat kilauan bintang itu begitu indah.
Javier kembali ke dapur lagi. Tadi pagi ia tidak sempat mencuci pakaian. Hari ini Javier mencuci pakaian ibunya lebih dahulu dan memisahkan pakaiannya agar tidak bercampur ke milik ibunya. Setelah membilasnya dengan bersih. Ia lalu bisa menggunakan sisa air pembilasan dari ibunya untuk pakaiannya. Seperti itulah setiap hari dilakukannya.
Pekerjaan rumah tangga bagi Javier seperti kewajiban yang harus ia laksanakan. Membuat Javier terbiasa dan membuatnya menjadi lelaki mandiri dan tumbuh menjadi anak yang kuat dan tangguh. Javier menikmati setiap detail pekerjaan yang dilakukannya. Walau sesungguhnya dalam hati kecilnya, ia ingin seperti anak-anak lain pada umumnya. Bisa bermain dan bercengkrama dengan orangtuanya. Javier dilarang keras menyebut kata 'AYAH' di rumah ini. Itu akan pemicu ibunya akan marah dan berujung melakukan pemukulan kepada dirinya. Bahkan ibunya tega tidak memberikannya makanan sampai beberapa hari.
Huuuuffft... " Akhirnya selesai juga." Javier menarik napas panjang dan mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan. Ia bangga pada dirinya sendiri, melihat rumah sudah rapi dan bersih. Bibirnya mengulas senyum bahagia. Dia yakin ibunya akan bangga padanya. Heeh..Javier membuang napas lesu. Baginya itu hanya harapan mustahil, ibunya tidak akan pernah bangga padanya. Semua yang ia kerjakan hanyalah sia-sia di mata ibunya.
Saat Javier berjalan, reflek ia membungkukkan badannya. "Ahhhhh...." Javier tiba-tiba meringis saat merasakan bagian perutnya terasa sakit. Ia baru teringat dari tadi pagi ia belum makan apa-apa hingga detik ini. Javier berjalan menuju dapur. Tidak ada apa-apa sama sekali. Rasanya ingin menangis.
Javier menunduk lesu, ibunya tidak pernah menyiapkan makanan untuknya, yang ada Javier yang selalu menyiapkan makanan untuk ibunya. Pekerjaannya yang tiap pagi sebagai penghantar koran membuatnya melewatkan sarapan. Tadi siang juga begitu, karena mengejar jadwal belajarnya hari ini, ia melupakan makan siangnya juga. Ia membuang napas, menunduk sedih. Javier mengambil segelas air putih untuk menahan rasa laparnya.
Javier meringis lagi, tak kuasa menahan rasa sakit pada area perutnya yang semakin bertambah. Rasanya sakit sekali sampai ia sedikit membungkuk berjalan menuju sofa. Akhirnya Javier memilih tidur, agar rasa laparnya bisa hilang. Lama-lama napasnya mulai terdengar stabil. Javier akhirnya benar-benar tertidur. Semoga ibunya pulang membawakan makanan untuknya.
SEMENTARA DI SISI LAIN.
Dengan anggun Valeria berjalan di belakang supir yang menjemputnya tadi. Tempo irama dari sepatu heels nya terdengar menggema di sana. Ia menggunakan dress merah tua. Valeria menebarkan senyum manis dengan pandangan lurus ke depan sambil memegang tas kecil di depannya. Ia menunjukkan bahwa dirinya seperti wanita berkelas. Akhirnya mereka tiba di depan pintu ruangan kelas VIP di restoran ternama di kota xx.
"Silakan nyonya, anda bisa langsung masuk." kata pria itu dengan ramah.
Valeria mengangguk sambil tersenyum. "Terima kasih pak." Ucap Valeria dengan lembut. Ia membiarkan supir itu pergi terlebih dahulu. Lelaki paruh baya itu langsung menuju pelayan dan memesan makanan berkelas yang biasa di makan bos-nya itu.
Sementara Valeria masih berdiri di depan pintu. Dengan tarikan napas panjang. Ritual yang biasa ia lakukan jika sedang gugup. Saat ini jantungnya berpacu begitu kuat saat tangan Valeria mengetuk pintu itu dengan pelan.
"Masuk," terdengar sahutan dari dalam ruangan. Valeria mengenal suara itu. Ia mengatur penampilannya lagi dan memberikan senyum terbaiknya saat pintu sudah terbuka.
Benar saja, Alexander sudah ada di sana. Dia begitu menawan hari ini. Wajahnya terlihat cerah mengunakan kemeja tanpa motif. Kulitnya begitu putih bersih dengan rambut hitam yang tersisir rapi. Wajahnya terlihat berbinar saat melihat Valeria sudah datang.
"Selamat malam pak Alexander," ucapnya dengan lembut.
"Selamat malam juga, silakan duduk," Ucap Alexander tersenyum sambil mengulurkan tangan mempersilakan.
"Maaf, tadi di jalan agak macet pak. Sudah lama menunggu?" Kata Valeria dengan begitu elegan layaknya wanita terhormat.
"Lumayan lama. Tapi jika waktuku terbuang karena menunggumu bagiku tidak masalah. Itu tantangan baru bagiku, untuk mendapatkan hatimu sepenuhnya." Kata Alexander tersenyum.
"Bapak bisa saja." Kata Valeria tertawa renyah. Ia sambil mendongak dan menutup mulutnya dengan tangannya. Ia begitu terkesan mendengar ucapan Alexander.
"Aku sungguh-sungguh Valeria."
"Heuh?" tawa Valeria seketika hilang. Jantungnya berdetak kencang di dalam rongga dadanya. Alexander saat ini mengunci pandangannya ke arah Valeria.
Mereka saling menatap, Mata coklat Alexander bertemu dengan mata indah milik Valeria. Mereka terdiam beberapa detik, Valeria melepaskan pandangan ke arah lain untuk menepis rasa canggung.
"Kau tampak cantik dan elegan malam ini, aku benar-benar menyukaimu Valeria."
Wajah Valeria bersemu merah. Ia menunduk malu. "Terima kasih atas pujiannya pak Alexander."
Dengan lembut Alexander memegang tangan Valeria. "Jangan panggil bapak lagi, aku ingin kau malam ini benar-benar menjadi wanitaku yang seutuhnya. Aku ingin mempercepat hubungan kita ketahap yang lebih serius lagi. Menjadikanmu menjadi pendamping hidupku selamanya."
DEG
Jantung Valeria seketika berdetak kencang seperti genderang. Seketika kupu-kupu bermacam-macam spesies berterbangan dari dalam dadanya. Inilah yang ditunggu-tunggunya. Menjadi istri nyonya besar dari pengusaha terkaya di kota ini. Valeria menutup mulutnya. Ia sangat-sangat senang hari ini. Kebahagiaannya tidak bisa ia gambarkan dengan kata-kata.
"Kau tidak menjawabku Valeria."
"Maksudnya pak?"
"Apakah kau bersedia jika malam ini kita menghabiskannya waktu hanya untuk kita berdua." Alexander menatap Valeria begitu dalam. Tatapan seorang lelaki yang sudah lama merindukan sentuhan. Ia begitu menyukai Valeria hingga tidak bisa bernapas dengan baik jika mengingat wajah wanita yang duduk di depannya itu.
"Jawab aku Valeria?"
"Bagaimana dengan anak anda pak, apakah dia mau menerimaku? Saya takut di tolak pak. Sementara aku sudah mulai takut kehilangan."
"Serahkan semua padaku. Anakku akan menerimamu dengan baik. Ia begitu merindukan sosok ibu selama ini."
"Benarkah, dia akan menerimaku pak."
"Tentu saja," Jawab Alexander dengan yakin.
"Aku begitu terharu pak."
"Aku sudah bilang jangan panggil bapak lagi."
"Oh..." Valeria tersenyum sambil menutup mulutnya. "Apakah aku harus memanggilmu sayang saja?" Goda Valeria tersenyum malu.
"Sayang, itu lebih bagus dari bapak. Aku tidak ingin orang-orang mengira kau adalah sekretarisku."
"Hahahaha..." Valeria tersenyum indah.
"Sekarang, ceritakan tentang dirimu. Bagaimana kehidupanmu. Aku dengar kau sudah pernah menikah dan mempunyai anak juga."
DEG!
Mendengar itu, jantung Valeria seketika berhenti berdetak. Napasnya terasa sesak. Menelan salivanya saja ia begitu susah. Ia tidak menduga Alexander akan memberikan pertanyaan itu kepadanya. Wajahnya terlihat gugup, Ia tidak mungkin mengakui bahwa Javier adalah anaknya. Tidak mungkin. "Dasar anak sialan, dia selalu merusak kebahagiaanku."
Soal pernikahan? Valeria tidak pernah menikah. Keluarga bahkan tidak mengakuinya lagi. Valeria sudah dihapus dari daftar keluarga semenjak kejadian ia diperkosa. Keluarganya telah membuangnya jauh-jauh ke kota ini. Karena bagi keluarganya, kehamilannya adalah aib buruk dan kesialan. Apalagi tidak mengetahui siapa ayah dari janin yang dikandungnya.
"Valeria?"
Seketika Valeria menutup matanya saat Alexander memanggil namanya. Reflek ia berpura-pura menangis agar Alexander tidak mengetahui aktingnya.
Dahi Alexander mengerut, ia berpindah tempat dan duduk di sebelah Valeria. Ia menyentuh lengan wanita itu dengan lembut. "Kau tidak apa-apa?"
Tangisan Valeria semakin terdengar. "Maafkan aku,"
Alexander di buat bingung mendengar perkataan Valeria. "Kenapa kau minta maaf, Apa yang terjadi? Ceritakan kepadaku. Apa ada sesuatu yang tidak aku ketahui. Kau bisa terbuka sekarang. Agar kita bisa memecahkannya bersama." kata Alexander dengan lembut.
Valeria menatap sendu ke arah Alexander. "Maafkan aku sayang, Aku memang pernah menikah dan setahun pernikahan kami. Suamiku mengalami kecelakaan maut yang merenggut nyawanya. Aku sedih jika mengingat itu. Jadi maafkan aku, jika aku tidak pernah mengatakan itu. Aku tidak mau mengingat kenangan pahit itu. Aku hanya ingin melupakan kejadian itu, sampai tidak mengatakannya kepadamu. Soal anak, kami belum dikaruniai anak." Valeria menunduk sedih, tangisannya terdengar begitu keras. Ia melirik sekilas ke arah Alexander dan kembali mengeluarkan tangisan yang benar-benar membuat Alexander terperdaya dengan tangisannya.
Dengan lembut Alexander menarik Valeria masuk ke dalam pelukannya, mendekapnya dengan hangat dan memberikan ketenangan kepada Valeria. "Maafkan aku, sungguh aku minta maaf. Aku benar-benar tidak tahu tentang masa lalumu."
Valeria tersenyum, ia tetap melanjutkan aktingnya dengan baik dengan menangis sesenggukan. "Tidak apa-apa, sekarang aku lega bisa menceritakannya kepadamu. Aku tidak ada beban lagi."
"Hmmm, mulai sekarang jangan menyimpannya sendiri. Kau bisa ceritakan semuanya padaku."
"Terima kasih karena sudah mengerti aku sayang." Valeria melepaskan pelukannya. Ia mengusap air matanya dengan cepat dan tersenyum lembut.
"Bagaimana dengan anak yang pernah kulihat di rumahmu. Sebelumnya aku minta Maaf karena mengikutimu saat pertemuan kita pertama di supermarket itu. Aku melihat ada anak laki-laki di sana."
"Ah, dia keponakanku. Untuk sementara ia tinggal bersamaku. Nanti jika kita menikah, ibunya bisa menjemputnya."
"Tidak masalah, jika dia tinggal bersama kita. Anakku pasti ikut senang karena memiliki teman."
Valeria dengan cepat menggeleng. "Tidak sayang, orangtuanya pasti tidak setuju. Jika ia tinggal bersama kita. Aku juga tidak mau dia menjadi beban bagimu."
"Baiklah, jika memang itu yang terbaik."
Valeria tersenyum sambil mengangguk cepat. "Apa? Tidak... tidak...itu tidak akan kubiarkan. Javier akan menjadi benalu bagiku. Aku harus menyingkirkan dia. Jika Alexander tahu, dia anak darah daging lelaki kotor. Itu akan sangat memalukan bagi keluarga Alexander. Tidak bisa!"
"Valeria bagaimana soal penawaranku tadi. Apa kau bersedia?" tanya Alexander kembali.
"Ehmm...Aku bersedia pak, aku akan memberikan yang terbaik untukmu malam ini."
"Sekarang kita pulang."
"Heuh? Makanannya bagaimana pak?"
"Biarkan saja," Kata Alexander langsung berdiri dari kursinya. Tanpa berlama-lama ia langsung menggenggam tangan Valeria dan pergi dari sana. Napas Valeria semakin tidak beraturan. Ia hanya bisa mengikuti langkah Alexander. Jantung mereka berdua seakan terus memburu. Mereka terus berjalan hingga sampai ke parkiran. Supirnya dengan cepat menyerahkan kunci kepada bos-nya itu. Alexander langsung membawa mobilnya dengan kecepatan penuh meninggalkan restoran, mereka menuju hotel berbintang lima.
BERSAMBUNG
💌BERIKAN LIKE DAN KOMENTARMU💌
💌 BERIKAN VOTEMU 💌
💌 BERIKAN BINTANGMU💌
💌 MAFIA BERHATI MALAIKAT 💌
🍀 HAPPY READING 🍀
.
.
Pagi datang menyapa. Javier bergumam dalam tidurnya. Ia merenggangkan otot-ototnya, tangannya di tarik ke atas melewati kepala. Tubuhnya seperti sudah terbiasa bagun di jam seperti ini. Javier pun perlahan membuka matanya, Ia mengerjap begitu matanya terkena sinar lampu yang cukup terang. Javier reflek menutup matanya menggunakan lengannya. Matanya kembali menyesuaikan cahaya itu. Ia menatap sekelilingnya.
"Aku tertidur di sini?" Javier bergumam pada dirinya. Ia membuang napas sambil mengacak rambut di belakang tengkuknya secara kasar.
"Dimana ibu, apa ibu tidak pulang?" Suara Javier terdengar serak khas bangun tidur. Ia langsung menatap ke arah pintu rumah, kunci masih tergantung di sana. Ibu benar-benar tidak pulang.
"Kemana ibu, siapa lelaki yang datang menjemputnya tadi malam?" Javier nampak gelisah. Ia mencemaskan Ibunya yang tidak pulang. Ia mengembuskan napas panjang sambil menatap langit-langit ruangan. Ia tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu kepulangan ibunya. Saat ini pilihan tepat adalah membersihkan tubuhnya. Ia kembali merenggangkan otot-ototnya lalu bangun dengan posisi duduk. Ia berjalan ke kamar ibunya untuk memastikan kembali. Dengan satu kali tarikan dan satu kali embusan napas panjang, Javier membuka pintu kamar ibunya.
CEKLEK
Pintu terbuka. Benar saja, kamar itu kosong dan tidak ada ibu. Javier bernapas lesu. Lalu menutup pintu kamar itu kembali.
Javier memandang jam kayu yang bergantung di dinding rumahnya. Javier tidak mau membuang waktunya. Ketika matahari belum beranjak dari peraduannya. Javier sudah keluar untuk mengantar koran ke rumah-rumah. Javier memulai paginya dengan semangat baru. Ia mulai menggowes sepeda bututnya. Setiap pukul 05.00, Javier memang bekerja sebagai penjual koran. Ia mendapatkan tiga ratus ribu setiap bulannya dari hasil mengantar koran ke setiap rumah yang memang sudah berlangganan. Semua uang itu ia berikan ke ibunya. Kemudian pukul 07.00 nanti, ia menjual koran berkeliling di pasar di kota xx. Javier juga bisa menjual koran-koran yang tak terpakai, biasanya akan dibeli oleh pedagang di pasar untuk keperluan membungkus makanan. Kendati demikian, harganya tentu jauh dari harga asli. Begitulah setiap hari Javier menjalani kehidupannya. Ia tetap bersyukur, masih bisa menikmati hari-harinya dengan penuh suka cita.
Suasana pagi itu sebenarnya dalam keadaan sedikit mendung bahkan sempat beberapa menit gerimis. Javier mengayun sepedanya dengan semangat. Menyusuri jalan-jalan disekitar pasar. Jika jaraknya dekat ia memarkir sepedanya dan berlari, lalu meletakkan koran itu di atas meja di setiap rumah yang sudah menjadi langganannya. Suasana saat itu masih gelap, tetapi sudah banyak orang-orang di jalan yang sudah berada di jalan karena kebetulan hari itu hari minggu. Ada yang jalan-jalan pagi, bersepeda dan para pedagang di pasar yang sudah mulai berangkat.
"Heuh apakah karena ini hari minggu ibu tidak pulang?" Batin Javier berbicara. Ia menarik napas sambil menggeleng pelan. Ia tetap melanjutkan pekerjaannya, walau hati kecilnya ia masih memikirkan Ibunya.
Sekarang waktu sudah hampir menunjukkan pukul setengah delapan, secara perlahan mendung di langit mulai menghilang. Matahari sudah menunjukkan dirinya. Hingga Javier sampai pada suatu jalan di daerah xx. Ia berdiri di sana sambil menatap suatu pemandangan yang menurutku sangat indah. Sehingga ketika memandang ke arah timur terlihat matahari yang masih malu menunjukkan sinarnya. Kombinasi antara sinar matahari yang sedikit mendung menghasilkan cahaya merah marun yang tentunya jarang di temui Javier di pagi hari. Udara masih segar namun cuacanya menjadi sedikit panas dan ditambah tubuh yang sudah mulai merasa kelelahan. Melihat kondisinya tersebut, Javier memutuskan untuk beristirahat. Ia duduk bersandar pada tembok bangunan. Javier selesai mengantar koran-koran itu. Ia hanya tinggal menjual koran yang tersisa.
"Perutku lapar, koran ini belum terjual. Huffft...Koran tadi, hanya di bayar di awal bulan saja." Javier memegang perutnya. "Apa ibu Maria mau memberiku ngutang lagi?" Javier tersenyum dan bangun dari duduknya. Langkahnya terhenti saat ingin naik ke atas sepedanya.
Jalanan agak lengang. "Tumben sekali. Apakah ada sesuatu?" Javier melihat sekitarnya. Ia menepuk jidatnya, menyadari sesuatu. Javier pernah mendengar nama tempat ini. Preman-preman biasanya ngumpul di sini dan menganggap wilayah ini menjadi tempat kekuasaan mereka. Jadi melewati tempat ini saja, orang-orang takut.
Untuk menghindari hal buruk, ia pun memutuskan meninggalkan tempat itu. Javier mengayun sepedanya semakin cepat dengan sesekali melihat jam tangannya. Hadiah ulangtahun pemberian ibu Angel kepadanya beberapa bulan yang lalu.
Matahari sudah mulai menunjukan kuasanya. Javier mulai berpeluh. Punggungnya sudah gatal oleh keringat. Di persimpangan jalan, Javier melihat rumah makan ibu Maria tutup. Ia mengembuskan napas lesu. Seakan tidak ada harapan untuk sarapan pagi ini. Karena hanya ibu Maria yang bersedia memberikannya ngutang.
Javier tersenyum saat melihat Alexis sedang asyik menghitung lembaran kertas media cetak yang sedari tadi pagi masih tak kunjung habis dibeli oleh pelanggannya. Javier tersenyum, dia adalah teman sesama penjual koran, satu tahun di bawah umur Javier.
"Apa belum habis?"
"Javier? tumben baru datang?"
"Tadi aku tersesat." Javier duduk di sebelah Alexis. Ia menekuk ke dua kakinya. Mengurangi rasa laparnya. "Apa itu?" Javier melihat kantong plastik warna putih ditumpukkan koran.
"Ini roti, kau mau?"
Javier mengangguk cepat sambil tersenyum. Alexis mengulurkan tangannya dan memberikannya kepada Javier.
"Kau belum sarapan?"
"Ehmm." Javier hanya mengangguk dan terus menikmati setiap roti yang ia masukkan ke dalam mulutnya.
"Ini sudah jam berapa Javier?" tanya Alexis.
Sekilas Javier melihat jamnya." Pukul 09.25." Jawabnya.
"Satupun belum ada yang membelinya."Keluh Alexis.
"Sama...." ucapan Javier menggantung. Tiba-tiba matanya memicing, menatap lurus pada sosok yang dikenalnya di seberang jalan. Ibunya baru keluar dari restoran dan berjalan ke toko butik tepat di sebelah restoran itu.
"Alexis, aku titip koran dan sepedaku ya. Aku tinggal sebentar."
"Hei, kau mau kemana Javier?" teriak Alexis.
Namun Javier sudah berlari menyebrang jalan. Dengan langkah gontai dan terburu-buru anak itu melangkah cepat tanpa memikirkan hal yang ada di sekitarnya.
Matahari panas terik pagi di atas kepala Javier sedang menyebrang jalan. Kendaraan yang lalu-lalang terdengar sangat bising, ketika Javier sedang melintasi trotoar. Klakson-klakson mobil dan motor seketika menampar telinganya itu dengan garang. Ia tidak perduli. Saat ini, dia hanya ingin bertemu dengan ibunya. Javier tiba dan mendorong pintu kaca itu sekuat tenaga. Benar saja, ibunya sudah ada di sana sedang memilih beberapa pakaian.
"Ibu," panggil Javier.
Valeria begitu shock saat mengenal suara itu. Dia diam membeku di tempatnya. Jari-jari tangannya begitu dingin. Valeria mengepalkan tangannya begitu kuat. Dua orang karyawan butik itu menoleh ke arah anak itu.
"Anak itu memanggil anda nyonya."
Valeria menutup mata dan menahan napasnya sejenak. Ia membalikkan badannya dan tersenyum lembut kepada dua orang karyawan butik itu.
"Aku tidak mengenalnya, dia hanya seorang pengemis. Maklum saja, hanya karena aku sering memberinya uang, dia memanggilku ibu." Ucap Valeria dengan senyuman lembut. Ia langsung mengeluarkan uang dan melangkah mendekat memberikannya kepada Javier.
"Apa anda tidak masalah nyonya dipanggil ibu?"
"Kita tidak boleh melarang anak-anak memanggil kita ibu. Bagiku tidak masalah kok." Valeria tersenyum semanis mungkin.
"Hati anda begitu mulia nyonya." kata seorang karyawan butik saat melihat Valeria mengeluarkan beberapa uang lembar dan memberikannya kepada Javier.
Valeria sedikit menunduk dan menatap ke arah Javier. "Kau pergi dari sini, atau kau mati di tanganku." ucap Valeria menggeram dengan rahang mengeras. Suaranya pelan, namun sorot matanya begitu tajam.
"Aku mencemaskan ibu."
"Ambil uang ini. Lenyap dari hadapanku sekarang." gigi Valeria saling bergesekan karena menahan emosi.
"Sayang?" Panggil Alexander masuk ke dalam toko butik.
"Ah...sayang." Ekspresi Valeria begitu lembut tersenyum ke arah Alexander. "Sini, biar aku tunjukkan pakaian yang cocok untukmu." Valeria menjentikkan tangannya ke arah Alexander.
Alexander berjalan dan mendekat. "Siapa anak ini?"
"Dia hanya pengemis sayang, aku kasihan dan memberikannya beberapa uang. Biasalah, jika kita baik sekali dua kali, anak ini dengan sendirinya datang menemui kita."
"Benarkah? Hatimu begitu baik sayang, sampai anak ini bisa mengingatmu."
Valeria tertawa awkward, matanya menyorot tajam ke arah Javier dan memberikan gestur agar cepat meninggalkan toko itu.
"Tapi..."
Sebelum Javier bicara, Valeria menyentuh pelan lengan Javier. "Lain kali saya akan memberikan uang lagi. Aku rasa yang saya berikan sudah lebih dari cukup. Sekarang kamu keluar ya..." Kata Valeria tersenyum sekilas menatap ke arah Alexander dan saat melihat ke arah Javier wajahnya berubah gahar. Jika tidak ada Alexander. Ingin rasanya, ia menghajar Javier. Namun Ia mengurungkan niatnya dan tetap menjaga sikapnya.
"Baik, aku akan keluar." Kata Javier membungkukkan badannya beberapa kali. "Terima kasih nyonya," Javier mencengkram uang itu begitu kuat agar tidak terjatuh dari tangannya. Matanya berkaca-kaca. Saat membalikkan tubuhnya. Air mata itu terjatuh di pipinya. Ia mengusapnya dengan pelan dan menunduk sedih. Javier tahu saat ini ibunya sedang memendam amarah untuknya. Untuk menghindari itu, Javier melangkah meninggalkan butik itu. Javier mundur beberapa langkah, agar bisa memandang ibunya dari luar. Hingga ia tidak melihat ada seorang bapak tua mendorong gerobak ke arahnya.
"Ahhhhh..."Javier mengeluh kesakitan saat tertabrak gerobak. Javier melihat ke arah bapak tua itu.
Terlihat bapak tua berhenti mendorong gerobak kayu yang hampir reot termakan oleh rayap. Lalu, bapak tua itu menggeleng menatap ke arah Javier.
"Kau sangat ceroboh anak kecil, saat kau menyebrang aku sudah melihat aksi nekatmu yang tidak perduli dengan suara klakson mobil dan sekarang juga seperti itu. Beruntung kau hanya tertabrak gerobak reotku. Bagaimana jika mobil. Badanmu yang kurus itu akan cepat terluka."
Javier bangun dan berdiri menghadap bapak tua itu. "Maafkan saya pak, saya tidak melihat jalan."
"Cih.. ternyata kau tahu kesalahanmu."
"Iya pak saya tahu." Mata Javier tiba-tiba melihat ke arah toko butik itu lagi. Ibunya keluar dari sana tanpa memandang ke arahnya. Rasanya sakit. Matanya kembali berkaca-kaca. Dengan satu kali tarikan napas, Javier kembali tersenyum ke arah bapak tua itu.
"Apa gerobak bapak rusak?"
"Kau masih bertanya dengan gerobakku, bagaimana dengan kakimu?"
"Tidak apa-apa pak. Tidak terluka hanya memar sedikit."
"Kita duduk dulu. Biar aku periksa kakimu." Kata lelaki itu duduk di samping gerobaknya. Javier ikut menyusul dan duduk di sana.
"Kau menangis?" kata bapak tua itu sambil memeriksa kaki Javier.
"Ah..." Javier tersenyum mengelak. "Saya tidak menangis pak. Hanya kelilipan saja." ucapnya menggeleng sambil tersenyum.
"Aku melihat raut wajahmu sedih saat melihat wanita itu keluar dari toko butik. Apa dia kakakmu?"
Javier menggeleng sendu. "Tidak, dia ibuku."
Bapak tua itu mengangguk mengerti. Ia tersenyum lembut menatap Javier "Kau anak berhati mulia dan baik. Kau akan mendapat tantangan hidup yang membuatmu semakin kuat menghadapi dunia kejam ini. Ingat saja dengan kata-kataku, suatu saat nanti engkau akan mendapatkan kebahagiaan. Walau kau harus menghadapi proses hidup yang rumit. Ada tantangan yang harus kau hadapi. Ada perjuangan yang harus dimenangkan. Karena Itulah hidup." kata bapak tua itu menepuk pundak Javier. Ia tersenyum lalu bangkit ingin meninggalkan Javier.
Javier ikut bangkit. Ia masih belum mengerti perkataan lelaki itu. "Saya bantu pak?"
"Tidak, aku ingin melanjutkan perjalanan. Tetap semangat anak kecil. Jika kita bertemu kembali, kau harus mentraktirku minum kopi di kafe termahal ya."
"Amin pak," Javier tersenyum sambil menggaruk kepalanya. Ia belum mengerti arti kata-kata dari bapak tua itu. Pikirannya masih bingung. Ia hanya terus tersenyum, lalu membiarkan bapak tua itu pergi sambil mendorong gerobaknya. Javier menarik napas singkat. Ia masih berdiri dan larut dalam pikirannya.
BERSAMBUNG
💌BERIKAN LIKE DAN KOMENTARMU💌
💌 BERIKAN VOTEMU 💌
💌 BERIKAN BINTANGMU💌
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!