💌 MAFIA BERHATI MALAIKAT 💌
🍀 HAPPY READING 🍀
.
.
Pagi datang menyapa. Javier bergumam dalam tidurnya. Ia merenggangkan otot-ototnya, tangannya di tarik ke atas melewati kepala. Tubuhnya seperti sudah terbiasa bagun di jam seperti ini. Javier pun perlahan membuka matanya, Ia mengerjap begitu matanya terkena sinar lampu yang cukup terang. Javier reflek menutup matanya menggunakan lengannya. Matanya kembali menyesuaikan cahaya itu. Ia menatap sekelilingnya.
"Aku tertidur di sini?" Javier bergumam pada dirinya. Ia membuang napas sambil mengacak rambut di belakang tengkuknya secara kasar.
"Dimana ibu, apa ibu tidak pulang?" Suara Javier terdengar serak khas bangun tidur. Ia langsung menatap ke arah pintu rumah, kunci masih tergantung di sana. Ibu benar-benar tidak pulang.
"Kemana ibu, siapa lelaki yang datang menjemputnya tadi malam?" Javier nampak gelisah. Ia mencemaskan Ibunya yang tidak pulang. Ia mengembuskan napas panjang sambil menatap langit-langit ruangan. Ia tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu kepulangan ibunya. Saat ini pilihan tepat adalah membersihkan tubuhnya. Ia kembali merenggangkan otot-ototnya lalu bangun dengan posisi duduk. Ia berjalan ke kamar ibunya untuk memastikan kembali. Dengan satu kali tarikan dan satu kali embusan napas panjang, Javier membuka pintu kamar ibunya.
CEKLEK
Pintu terbuka. Benar saja, kamar itu kosong dan tidak ada ibu. Javier bernapas lesu. Lalu menutup pintu kamar itu kembali.
Javier memandang jam kayu yang bergantung di dinding rumahnya. Javier tidak mau membuang waktunya. Ketika matahari belum beranjak dari peraduannya. Javier sudah keluar untuk mengantar koran ke rumah-rumah. Javier memulai paginya dengan semangat baru. Ia mulai menggowes sepeda bututnya. Setiap pukul 05.00, Javier memang bekerja sebagai penjual koran. Ia mendapatkan tiga ratus ribu setiap bulannya dari hasil mengantar koran ke setiap rumah yang memang sudah berlangganan. Semua uang itu ia berikan ke ibunya. Kemudian pukul 07.00 nanti, ia menjual koran berkeliling di pasar di kota xx. Javier juga bisa menjual koran-koran yang tak terpakai, biasanya akan dibeli oleh pedagang di pasar untuk keperluan membungkus makanan. Kendati demikian, harganya tentu jauh dari harga asli. Begitulah setiap hari Javier menjalani kehidupannya. Ia tetap bersyukur, masih bisa menikmati hari-harinya dengan penuh suka cita.
Suasana pagi itu sebenarnya dalam keadaan sedikit mendung bahkan sempat beberapa menit gerimis. Javier mengayun sepedanya dengan semangat. Menyusuri jalan-jalan disekitar pasar. Jika jaraknya dekat ia memarkir sepedanya dan berlari, lalu meletakkan koran itu di atas meja di setiap rumah yang sudah menjadi langganannya. Suasana saat itu masih gelap, tetapi sudah banyak orang-orang di jalan yang sudah berada di jalan karena kebetulan hari itu hari minggu. Ada yang jalan-jalan pagi, bersepeda dan para pedagang di pasar yang sudah mulai berangkat.
"Heuh apakah karena ini hari minggu ibu tidak pulang?" Batin Javier berbicara. Ia menarik napas sambil menggeleng pelan. Ia tetap melanjutkan pekerjaannya, walau hati kecilnya ia masih memikirkan Ibunya.
Sekarang waktu sudah hampir menunjukkan pukul setengah delapan, secara perlahan mendung di langit mulai menghilang. Matahari sudah menunjukkan dirinya. Hingga Javier sampai pada suatu jalan di daerah xx. Ia berdiri di sana sambil menatap suatu pemandangan yang menurutku sangat indah. Sehingga ketika memandang ke arah timur terlihat matahari yang masih malu menunjukkan sinarnya. Kombinasi antara sinar matahari yang sedikit mendung menghasilkan cahaya merah marun yang tentunya jarang di temui Javier di pagi hari. Udara masih segar namun cuacanya menjadi sedikit panas dan ditambah tubuh yang sudah mulai merasa kelelahan. Melihat kondisinya tersebut, Javier memutuskan untuk beristirahat. Ia duduk bersandar pada tembok bangunan. Javier selesai mengantar koran-koran itu. Ia hanya tinggal menjual koran yang tersisa.
"Perutku lapar, koran ini belum terjual. Huffft...Koran tadi, hanya di bayar di awal bulan saja." Javier memegang perutnya. "Apa ibu Maria mau memberiku ngutang lagi?" Javier tersenyum dan bangun dari duduknya. Langkahnya terhenti saat ingin naik ke atas sepedanya.
Jalanan agak lengang. "Tumben sekali. Apakah ada sesuatu?" Javier melihat sekitarnya. Ia menepuk jidatnya, menyadari sesuatu. Javier pernah mendengar nama tempat ini. Preman-preman biasanya ngumpul di sini dan menganggap wilayah ini menjadi tempat kekuasaan mereka. Jadi melewati tempat ini saja, orang-orang takut.
Untuk menghindari hal buruk, ia pun memutuskan meninggalkan tempat itu. Javier mengayun sepedanya semakin cepat dengan sesekali melihat jam tangannya. Hadiah ulangtahun pemberian ibu Angel kepadanya beberapa bulan yang lalu.
Matahari sudah mulai menunjukan kuasanya. Javier mulai berpeluh. Punggungnya sudah gatal oleh keringat. Di persimpangan jalan, Javier melihat rumah makan ibu Maria tutup. Ia mengembuskan napas lesu. Seakan tidak ada harapan untuk sarapan pagi ini. Karena hanya ibu Maria yang bersedia memberikannya ngutang.
Javier tersenyum saat melihat Alexis sedang asyik menghitung lembaran kertas media cetak yang sedari tadi pagi masih tak kunjung habis dibeli oleh pelanggannya. Javier tersenyum, dia adalah teman sesama penjual koran, satu tahun di bawah umur Javier.
"Apa belum habis?"
"Javier? tumben baru datang?"
"Tadi aku tersesat." Javier duduk di sebelah Alexis. Ia menekuk ke dua kakinya. Mengurangi rasa laparnya. "Apa itu?" Javier melihat kantong plastik warna putih ditumpukkan koran.
"Ini roti, kau mau?"
Javier mengangguk cepat sambil tersenyum. Alexis mengulurkan tangannya dan memberikannya kepada Javier.
"Kau belum sarapan?"
"Ehmm." Javier hanya mengangguk dan terus menikmati setiap roti yang ia masukkan ke dalam mulutnya.
"Ini sudah jam berapa Javier?" tanya Alexis.
Sekilas Javier melihat jamnya." Pukul 09.25." Jawabnya.
"Satupun belum ada yang membelinya."Keluh Alexis.
"Sama...." ucapan Javier menggantung. Tiba-tiba matanya memicing, menatap lurus pada sosok yang dikenalnya di seberang jalan. Ibunya baru keluar dari restoran dan berjalan ke toko butik tepat di sebelah restoran itu.
"Alexis, aku titip koran dan sepedaku ya. Aku tinggal sebentar."
"Hei, kau mau kemana Javier?" teriak Alexis.
Namun Javier sudah berlari menyebrang jalan. Dengan langkah gontai dan terburu-buru anak itu melangkah cepat tanpa memikirkan hal yang ada di sekitarnya.
Matahari panas terik pagi di atas kepala Javier sedang menyebrang jalan. Kendaraan yang lalu-lalang terdengar sangat bising, ketika Javier sedang melintasi trotoar. Klakson-klakson mobil dan motor seketika menampar telinganya itu dengan garang. Ia tidak perduli. Saat ini, dia hanya ingin bertemu dengan ibunya. Javier tiba dan mendorong pintu kaca itu sekuat tenaga. Benar saja, ibunya sudah ada di sana sedang memilih beberapa pakaian.
"Ibu," panggil Javier.
Valeria begitu shock saat mengenal suara itu. Dia diam membeku di tempatnya. Jari-jari tangannya begitu dingin. Valeria mengepalkan tangannya begitu kuat. Dua orang karyawan butik itu menoleh ke arah anak itu.
"Anak itu memanggil anda nyonya."
Valeria menutup mata dan menahan napasnya sejenak. Ia membalikkan badannya dan tersenyum lembut kepada dua orang karyawan butik itu.
"Aku tidak mengenalnya, dia hanya seorang pengemis. Maklum saja, hanya karena aku sering memberinya uang, dia memanggilku ibu." Ucap Valeria dengan senyuman lembut. Ia langsung mengeluarkan uang dan melangkah mendekat memberikannya kepada Javier.
"Apa anda tidak masalah nyonya dipanggil ibu?"
"Kita tidak boleh melarang anak-anak memanggil kita ibu. Bagiku tidak masalah kok." Valeria tersenyum semanis mungkin.
"Hati anda begitu mulia nyonya." kata seorang karyawan butik saat melihat Valeria mengeluarkan beberapa uang lembar dan memberikannya kepada Javier.
Valeria sedikit menunduk dan menatap ke arah Javier. "Kau pergi dari sini, atau kau mati di tanganku." ucap Valeria menggeram dengan rahang mengeras. Suaranya pelan, namun sorot matanya begitu tajam.
"Aku mencemaskan ibu."
"Ambil uang ini. Lenyap dari hadapanku sekarang." gigi Valeria saling bergesekan karena menahan emosi.
"Sayang?" Panggil Alexander masuk ke dalam toko butik.
"Ah...sayang." Ekspresi Valeria begitu lembut tersenyum ke arah Alexander. "Sini, biar aku tunjukkan pakaian yang cocok untukmu." Valeria menjentikkan tangannya ke arah Alexander.
Alexander berjalan dan mendekat. "Siapa anak ini?"
"Dia hanya pengemis sayang, aku kasihan dan memberikannya beberapa uang. Biasalah, jika kita baik sekali dua kali, anak ini dengan sendirinya datang menemui kita."
"Benarkah? Hatimu begitu baik sayang, sampai anak ini bisa mengingatmu."
Valeria tertawa awkward, matanya menyorot tajam ke arah Javier dan memberikan gestur agar cepat meninggalkan toko itu.
"Tapi..."
Sebelum Javier bicara, Valeria menyentuh pelan lengan Javier. "Lain kali saya akan memberikan uang lagi. Aku rasa yang saya berikan sudah lebih dari cukup. Sekarang kamu keluar ya..." Kata Valeria tersenyum sekilas menatap ke arah Alexander dan saat melihat ke arah Javier wajahnya berubah gahar. Jika tidak ada Alexander. Ingin rasanya, ia menghajar Javier. Namun Ia mengurungkan niatnya dan tetap menjaga sikapnya.
"Baik, aku akan keluar." Kata Javier membungkukkan badannya beberapa kali. "Terima kasih nyonya," Javier mencengkram uang itu begitu kuat agar tidak terjatuh dari tangannya. Matanya berkaca-kaca. Saat membalikkan tubuhnya. Air mata itu terjatuh di pipinya. Ia mengusapnya dengan pelan dan menunduk sedih. Javier tahu saat ini ibunya sedang memendam amarah untuknya. Untuk menghindari itu, Javier melangkah meninggalkan butik itu. Javier mundur beberapa langkah, agar bisa memandang ibunya dari luar. Hingga ia tidak melihat ada seorang bapak tua mendorong gerobak ke arahnya.
"Ahhhhh..."Javier mengeluh kesakitan saat tertabrak gerobak. Javier melihat ke arah bapak tua itu.
Terlihat bapak tua berhenti mendorong gerobak kayu yang hampir reot termakan oleh rayap. Lalu, bapak tua itu menggeleng menatap ke arah Javier.
"Kau sangat ceroboh anak kecil, saat kau menyebrang aku sudah melihat aksi nekatmu yang tidak perduli dengan suara klakson mobil dan sekarang juga seperti itu. Beruntung kau hanya tertabrak gerobak reotku. Bagaimana jika mobil. Badanmu yang kurus itu akan cepat terluka."
Javier bangun dan berdiri menghadap bapak tua itu. "Maafkan saya pak, saya tidak melihat jalan."
"Cih.. ternyata kau tahu kesalahanmu."
"Iya pak saya tahu." Mata Javier tiba-tiba melihat ke arah toko butik itu lagi. Ibunya keluar dari sana tanpa memandang ke arahnya. Rasanya sakit. Matanya kembali berkaca-kaca. Dengan satu kali tarikan napas, Javier kembali tersenyum ke arah bapak tua itu.
"Apa gerobak bapak rusak?"
"Kau masih bertanya dengan gerobakku, bagaimana dengan kakimu?"
"Tidak apa-apa pak. Tidak terluka hanya memar sedikit."
"Kita duduk dulu. Biar aku periksa kakimu." Kata lelaki itu duduk di samping gerobaknya. Javier ikut menyusul dan duduk di sana.
"Kau menangis?" kata bapak tua itu sambil memeriksa kaki Javier.
"Ah..." Javier tersenyum mengelak. "Saya tidak menangis pak. Hanya kelilipan saja." ucapnya menggeleng sambil tersenyum.
"Aku melihat raut wajahmu sedih saat melihat wanita itu keluar dari toko butik. Apa dia kakakmu?"
Javier menggeleng sendu. "Tidak, dia ibuku."
Bapak tua itu mengangguk mengerti. Ia tersenyum lembut menatap Javier "Kau anak berhati mulia dan baik. Kau akan mendapat tantangan hidup yang membuatmu semakin kuat menghadapi dunia kejam ini. Ingat saja dengan kata-kataku, suatu saat nanti engkau akan mendapatkan kebahagiaan. Walau kau harus menghadapi proses hidup yang rumit. Ada tantangan yang harus kau hadapi. Ada perjuangan yang harus dimenangkan. Karena Itulah hidup." kata bapak tua itu menepuk pundak Javier. Ia tersenyum lalu bangkit ingin meninggalkan Javier.
Javier ikut bangkit. Ia masih belum mengerti perkataan lelaki itu. "Saya bantu pak?"
"Tidak, aku ingin melanjutkan perjalanan. Tetap semangat anak kecil. Jika kita bertemu kembali, kau harus mentraktirku minum kopi di kafe termahal ya."
"Amin pak," Javier tersenyum sambil menggaruk kepalanya. Ia belum mengerti arti kata-kata dari bapak tua itu. Pikirannya masih bingung. Ia hanya terus tersenyum, lalu membiarkan bapak tua itu pergi sambil mendorong gerobaknya. Javier menarik napas singkat. Ia masih berdiri dan larut dalam pikirannya.
BERSAMBUNG
💌BERIKAN LIKE DAN KOMENTARMU💌
💌 BERIKAN VOTEMU 💌
💌 BERIKAN BINTANGMU💌
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments
🍸🌹🌹🍸🌹🌹🍸
🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹
🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹
🍸🌹🌹🌹🌹🌹🍸
🍸🍸🌹🌹🌹🍸🍸
🍸🍸🍸🌹🍸🍸🍸
🍸🍸🍸🌹🍸🍸🍸
🍸🎁😊❤☺🎁🍸
2022-02-15
0
Sedih
2022-02-15
0
🥀adinta
tisyu qu habis aq lap.ingus pake kain mpe basah🤧
2021-10-25
0