TEMBANG SUNYI ANNISA
"Saya terima nikah dan kawinnya Mutiara Az Zahra dengan mas kawin tersebut di bayar tunai."
Kata-kata yang terdengar begitu lantang itu seakan bagai godam yang menghantam dadanya. Sangat sakit.
Kini sudah resmi dia di madu. Kini bukan cuma dia saja yang menjadi istri bagi laki-laki itu. Laki-laki yang sudah melafalkan janji yang sama di hadapan Tuhan tepat dua tahun yang lalu. Tapi juga ada seorang wanita lain yang menjadi istri kedua suaminya.
Ya, suami yang sangat di cintanya menikahi perempuan lain tepat di tanggal seharusnya mereka merayakan ulang tahun pernikahan mereka yang kedua.
Apapun alasannya, jelas itu sangat menyakitkan. Jujur saja, tidak ada seorang pun wanita yang ingin di madu. Apapun alasannya.Tapi apalah dayanya? Bagaimanapun juga, ia harus berpikir jernih dalam menghadapi semua ini.
Ia harus menerima konsekuensi dari pernikahannya. Ia menikah dengan seorang pemuka agama. Dan di daerah ini, poligami yang di lakukan oleh seorang pemuka agama, malah seperti tradisi.
Dia harus menyadari, bahwa suaminya bukan cuma miliknya seorang, tapi juga milik keluarga dan masyarakatnya. Pernikahan itupun sebenarnya juga bukan murni kehendak suaminya, tapi juga keluarga suaminya.
Ia dapat menangkap sorot mata suaminya yang seakan tak rela. Tapi apa dayanya?
Mereka sama-sama di hadapkan oleh keadaan yang mana dia tak bisa menolak. Hanya bisa menerima dan belajar untuk bersikap ikhlas.
"Sabar, Nak," bisik ibunya begitu melihat pertahanan Annisa mulai runtuh.
Dia memegang tangan ibu yang duduk di sampingnya. Dan mengulas senyum sendu.
"Nisa baik-baik saja Ma," ucapnya menenangkan.
Ibu menepuk pundak Annisa pelan.
" Hati seorang ibu tak bisa di bohongi, Nisa. Fisikmu baik, tapi hatimu sakit."
Dia menghela nafas panjang.
"Emang kalo semua orang tahu kalau Nisa sakit hati, bisa merubah keadaan? Gak kan, Ma?" ucapnya.
Ibu menghela nafas panjang dan menggelengkan kepala.
"Sakit hati memang gak akan bisa merubah keadaan, Nak. Tapi waktu yang membuat semuanya terbiasa. Tetap berlaku baik ya, pada suamimu."
Annisa meraih tangan tangan ibu dan menciumnya.
"Pasti, Mama. Nisa sangat mencintai suami Nisa. Beliau tetaplah yang terbaik."
****************
Tak berapa lama acara pun usai. Ini hanya akad sederhana dan tak banyak tamu yang hadir. Sesuai dengan permintaan suaminya sendiri.
Mungkin ia tak ingin menyakiti hati istri pertamanya terlalu dalam dengan menggelar resepsi mewah. Karena dulu, diapun menikahi Annisa juga dengan akad yang sederhana. Yang penting kan sah baik secara agama maupun hukum negara.
Para tamu undangan satu persatu sudah meninggalkan tempat acara. Sehingga yang tertinggal hanya keluarga inti saja. Kedua mertuanya, ketiga kakak iparnya dan suami mereka, orang tua Zahra, dan juga ibunya.
Hanya Yahya, kakak lelaki Annisa satu-satunya memilih untuk tidak hadir, karena kesal dengan ulah suaminya yang memadu adiknya.
Annisa melangkah menghampiri kedua mempelai itu
"Barokallah.. Selamat ya, Kak. Selamat ya, Ading. Semoga samawa selamanya," ucapnya lembut.
Lelaki itu mendongakkan wajahnya. Dia meraih tangan Annisa dan mengecupnya.
"Makasih ya Ding. Makasih atas doa Pian. Makasih juga karena Pian sudah mau datang ke pernikahan Kakak. Dan maaf, Kakak sudah menyakiti Pian."
Entah sudah ratusan kali suaminya mengucapkan kata maaf. Bahkan ia sudah bosan mendengarnya. Di hati kecilnya dia sudah memaafkan dan berusaha memahami posisi suaminya.
Annisa tersenyum sendu.
"Ah, jangan lebay dong, Kak. Kakak gak salah koq. Jadi gak ada yang mesti di maafkan."
Annisa mengalihkan pandangannya ke hadapan wanita cantik di sisi suaminya yang masih mengenakan gaun pengantin itu. Dia mengulurkan tangannya. Wanita itu menyambut dan mencium tangan Annisa.
"Kakak," bisiknya menghambur ke dalam pelukan Annisa.
Annisa membalas pelukannya.
"Maafkan diri Ading ini. Ading tidak pernah bermaksud merebut suami Kakak. Ading hanya menjalankan ketaatan Ading sebagai anak yang harus mentaati perintah orang tua." Ada bulir hangat basah di dada Annisa.
Annisa mengusap kepala Zahra.
"Kakak mengerti posisi Ading. Kakak pun seandainya berada di posisi Ading, akan menjalankan hal yang sama. Percayalah, Kakak tidak pernah membenci Pian."
"Jangan khawatir, Kita bisa memulai hubungan Kita sebagai teman, sebagai sahabat. Pian mau kan?"
Kepala itu mengangguk. Annisa menyeka air mata yang masih mengalir di pipi Zahra.
"Cup cup, jangan menangis lagi. Nanti cantiknya hilang," godanya.
***************
"Ding,"
Sebuah suara berhasil menghentikan aktifitasnya memasukkan berbagai barang keperluannya ke dalam tas besar di hadapannya.
Annisa menoleh ke belakang. Di lihatnya suaminya menghampirinya.
"Ya, Kak," sahutnya.
"Ading benar-benar mau pindah ya?" Annisa mengangguk.
"Iya, Kak. Sudah bulat niat Ading untuk tinggal di rumah Ading sendiri."
Sebenarnya bukan rumah sendiri sih. Tapi rumah almarhum neneknya yang di alihkan atas nama dirinya.
Lelaki itu menggelengkan kepala dan mengusap pundak wanita itu.
"Sebenarnya Kakak tak tega Ding, menempatkan Pian di rumah itu. Tapi Kaka tidak akan melarang kehendak Pian. Mungkin dengan tinggal di rumah sendiri akan membuat Pian lebih nyaman."
Annisa tersenyum lembut.
"Kita sudah membahas ini sejak jauh hari kan? Jadi Kakak gak usah merasa tidak enak."
Suaminya menganggukkan kepala.
" Nanti Pian berangkat, Kakak yang antar ya?"
Annisa menggelengkan kepala.
"Tak usah, Kak. Biar Mama aja yang mengantar Ading. Kakak fokus menemani istri kedua Kakak aja," tolaknya halus.
Lelaki itu tercenung. Tapi tak lama kemudian kembali mengangguk.
"Ya udah. Kakak bantu beres-beres aja ya. Ingat, tidak ada penolakan. Hmmm ...." Lelaki itu menempelkan jari telunjuknya di bibir istri pertamanya itu.
Annisa pun terdiam.
*******************
Adakalanya apa yang terlihat di permukaan tidak seperti yang nampak sebenarnya. Itulah hidup. Apapun peristiwa yang terjadi sejatinya menjadi pelajaran dan pengalaman buat kita semua.
Annisa tertegun menatap rumah sederhana di hadapannya. Di helanya nafas dalam-dalam. Ada perasaan perih di dadanya. Sudah lama sekali ia tak datang ke tempat ini. Sejak sang nenek meninggal beberapa tahun yang lalu.
Dia bersyukur, bangunan ini masih berdiri kokoh meskipun tak berpenghuni. Mama dan Acil (Bibi: bahasa Banjar)nya sering datang dan membersihkan tempat ini. Rumah penuh kenangan kebersamaan mereka bersama kakek dan neneknya.
"Ceklek." Pintupun akhirnya terbuka.
Annisa menyeret tas besar yang di bawanya, masuk ke dalam rumah.
Di tatapnya sekeliling ruangan. Meja dan kursi model tua, lemari pajangan dengan gelas dan piring hiasan khas tempo dulu, membiaskan kesan antik di ruangan ini.
Tak ada karpet yg menutupi lantai ruangan. Lantai yang berbahan papan itu di biarkan polos apa adanya.
Annisa tersenyum getir.
"Selamat datang sunyi," bisiknya.
Annisa baru saja menunaikan shalat ashar ketika ponsel yg terletak di atas tempat tidurnya berbunyi.
"Kak Fikri," gumamnya.
"Assalamu'alaikum Kak," lirihnya.
Terdengar sahutan di seberang.
"Wa alaikum salam Ding (Dik/Adik: bahasa Banjar). Sudah sampai kah di rumah Nini (Nenek: bahasa Banjar)?"
"Iya Kak. Ulun (Saya: bahasa Banjar) sudah di rumah Nini. "
"Alhamdulillah," desah Fikri. Ada hela nafas berat di seberang sana. "Baik-baik disana, Ding. Tunggu kedatangan Kakak seminggu lagi."
"Iya, Kakak. Pasti. Ulun kangen Pian..(Kamu: bahasa Banjar)." Lirih sekali suaranya.
Tiba-tiba matanya mengembun.
"Kakak pun kangen Pian. Maafkan Kakak ya," bisik Fikri.
"Tak ada yang mesti di maafkan, Kakak."
Annisa memutus begitu saja percakapan itu. Ia meletakkan kembali di tempat tidurnya. Rasanya sudah sulit sekali berkata-kata. Dadanya terasa sesak. Dan buliran bening itu lolos begitu saja membasahi pipinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Juan Sastra
poligami,,mau pemuka agama kek mau presiden kek apa pun itu jabatannya yg namanya poligami tetaplah menyakitkan bagi istri pertama,, tak kata iklas yg ada hanya berusaha menerima ketentuan drinya..dan garis besarnya tidak ada manusia yang adil fi dunia ini ,, apa lagi yg namanya bermadu istri..yg jelas nyesek udah di rasa di awal fart
2023-02-21
0
Risky Titi sarlinda
aku mampir ni kita coba uji nyali dan hati ya kuat gak aku baca kisah ini atau kah mulut ku ini tidak bisa mengerem rentang tanggap cerita ini oke lanjut otw
2022-09-23
0
Erni Handayani
Salam kenal othor☺️
2022-09-23
0