"Saya terima nikah dan kawinnya Mutiara Az Zahra dengan mas kawin tersebut di bayar tunai."
Kata-kata yang terdengar begitu lantang itu seakan bagai godam yang menghantam dadanya. Sangat sakit.
Kini sudah resmi dia di madu. Kini bukan cuma dia saja yang menjadi istri bagi laki-laki itu. Laki-laki yang sudah melafalkan janji yang sama di hadapan Tuhan tepat dua tahun yang lalu. Tapi juga ada seorang wanita lain yang menjadi istri kedua suaminya.
Ya, suami yang sangat di cintanya menikahi perempuan lain tepat di tanggal seharusnya mereka merayakan ulang tahun pernikahan mereka yang kedua.
Apapun alasannya, jelas itu sangat menyakitkan. Jujur saja, tidak ada seorang pun wanita yang ingin di madu. Apapun alasannya.Tapi apalah dayanya? Bagaimanapun juga, ia harus berpikir jernih dalam menghadapi semua ini.
Ia harus menerima konsekuensi dari pernikahannya. Ia menikah dengan seorang pemuka agama. Dan di daerah ini, poligami yang di lakukan oleh seorang pemuka agama, malah seperti tradisi.
Dia harus menyadari, bahwa suaminya bukan cuma miliknya seorang, tapi juga milik keluarga dan masyarakatnya. Pernikahan itupun sebenarnya juga bukan murni kehendak suaminya, tapi juga keluarga suaminya.
Ia dapat menangkap sorot mata suaminya yang seakan tak rela. Tapi apa dayanya?
Mereka sama-sama di hadapkan oleh keadaan yang mana dia tak bisa menolak. Hanya bisa menerima dan belajar untuk bersikap ikhlas.
"Sabar, Nak," bisik ibunya begitu melihat pertahanan Annisa mulai runtuh.
Dia memegang tangan ibu yang duduk di sampingnya. Dan mengulas senyum sendu.
"Nisa baik-baik saja Ma," ucapnya menenangkan.
Ibu menepuk pundak Annisa pelan.
" Hati seorang ibu tak bisa di bohongi, Nisa. Fisikmu baik, tapi hatimu sakit."
Dia menghela nafas panjang.
"Emang kalo semua orang tahu kalau Nisa sakit hati, bisa merubah keadaan? Gak kan, Ma?" ucapnya.
Ibu menghela nafas panjang dan menggelengkan kepala.
"Sakit hati memang gak akan bisa merubah keadaan, Nak. Tapi waktu yang membuat semuanya terbiasa. Tetap berlaku baik ya, pada suamimu."
Annisa meraih tangan tangan ibu dan menciumnya.
"Pasti, Mama. Nisa sangat mencintai suami Nisa. Beliau tetaplah yang terbaik."
****************
Tak berapa lama acara pun usai. Ini hanya akad sederhana dan tak banyak tamu yang hadir. Sesuai dengan permintaan suaminya sendiri.
Mungkin ia tak ingin menyakiti hati istri pertamanya terlalu dalam dengan menggelar resepsi mewah. Karena dulu, diapun menikahi Annisa juga dengan akad yang sederhana. Yang penting kan sah baik secara agama maupun hukum negara.
Para tamu undangan satu persatu sudah meninggalkan tempat acara. Sehingga yang tertinggal hanya keluarga inti saja. Kedua mertuanya, ketiga kakak iparnya dan suami mereka, orang tua Zahra, dan juga ibunya.
Hanya Yahya, kakak lelaki Annisa satu-satunya memilih untuk tidak hadir, karena kesal dengan ulah suaminya yang memadu adiknya.
Annisa melangkah menghampiri kedua mempelai itu
"Barokallah.. Selamat ya, Kak. Selamat ya, Ading. Semoga samawa selamanya," ucapnya lembut.
Lelaki itu mendongakkan wajahnya. Dia meraih tangan Annisa dan mengecupnya.
"Makasih ya Ding. Makasih atas doa Pian. Makasih juga karena Pian sudah mau datang ke pernikahan Kakak. Dan maaf, Kakak sudah menyakiti Pian."
Entah sudah ratusan kali suaminya mengucapkan kata maaf. Bahkan ia sudah bosan mendengarnya. Di hati kecilnya dia sudah memaafkan dan berusaha memahami posisi suaminya.
Annisa tersenyum sendu.
"Ah, jangan lebay dong, Kak. Kakak gak salah koq. Jadi gak ada yang mesti di maafkan."
Annisa mengalihkan pandangannya ke hadapan wanita cantik di sisi suaminya yang masih mengenakan gaun pengantin itu. Dia mengulurkan tangannya. Wanita itu menyambut dan mencium tangan Annisa.
"Kakak," bisiknya menghambur ke dalam pelukan Annisa.
Annisa membalas pelukannya.
"Maafkan diri Ading ini. Ading tidak pernah bermaksud merebut suami Kakak. Ading hanya menjalankan ketaatan Ading sebagai anak yang harus mentaati perintah orang tua." Ada bulir hangat basah di dada Annisa.
Annisa mengusap kepala Zahra.
"Kakak mengerti posisi Ading. Kakak pun seandainya berada di posisi Ading, akan menjalankan hal yang sama. Percayalah, Kakak tidak pernah membenci Pian."
"Jangan khawatir, Kita bisa memulai hubungan Kita sebagai teman, sebagai sahabat. Pian mau kan?"
Kepala itu mengangguk. Annisa menyeka air mata yang masih mengalir di pipi Zahra.
"Cup cup, jangan menangis lagi. Nanti cantiknya hilang," godanya.
***************
"Ding,"
Sebuah suara berhasil menghentikan aktifitasnya memasukkan berbagai barang keperluannya ke dalam tas besar di hadapannya.
Annisa menoleh ke belakang. Di lihatnya suaminya menghampirinya.
"Ya, Kak," sahutnya.
"Ading benar-benar mau pindah ya?" Annisa mengangguk.
"Iya, Kak. Sudah bulat niat Ading untuk tinggal di rumah Ading sendiri."
Sebenarnya bukan rumah sendiri sih. Tapi rumah almarhum neneknya yang di alihkan atas nama dirinya.
Lelaki itu menggelengkan kepala dan mengusap pundak wanita itu.
"Sebenarnya Kakak tak tega Ding, menempatkan Pian di rumah itu. Tapi Kaka tidak akan melarang kehendak Pian. Mungkin dengan tinggal di rumah sendiri akan membuat Pian lebih nyaman."
Annisa tersenyum lembut.
"Kita sudah membahas ini sejak jauh hari kan? Jadi Kakak gak usah merasa tidak enak."
Suaminya menganggukkan kepala.
" Nanti Pian berangkat, Kakak yang antar ya?"
Annisa menggelengkan kepala.
"Tak usah, Kak. Biar Mama aja yang mengantar Ading. Kakak fokus menemani istri kedua Kakak aja," tolaknya halus.
Lelaki itu tercenung. Tapi tak lama kemudian kembali mengangguk.
"Ya udah. Kakak bantu beres-beres aja ya. Ingat, tidak ada penolakan. Hmmm ...." Lelaki itu menempelkan jari telunjuknya di bibir istri pertamanya itu.
Annisa pun terdiam.
*******************
Adakalanya apa yang terlihat di permukaan tidak seperti yang nampak sebenarnya. Itulah hidup. Apapun peristiwa yang terjadi sejatinya menjadi pelajaran dan pengalaman buat kita semua.
Annisa tertegun menatap rumah sederhana di hadapannya. Di helanya nafas dalam-dalam. Ada perasaan perih di dadanya. Sudah lama sekali ia tak datang ke tempat ini. Sejak sang nenek meninggal beberapa tahun yang lalu.
Dia bersyukur, bangunan ini masih berdiri kokoh meskipun tak berpenghuni. Mama dan Acil (Bibi: bahasa Banjar)nya sering datang dan membersihkan tempat ini. Rumah penuh kenangan kebersamaan mereka bersama kakek dan neneknya.
"Ceklek." Pintupun akhirnya terbuka.
Annisa menyeret tas besar yang di bawanya, masuk ke dalam rumah.
Di tatapnya sekeliling ruangan. Meja dan kursi model tua, lemari pajangan dengan gelas dan piring hiasan khas tempo dulu, membiaskan kesan antik di ruangan ini.
Tak ada karpet yg menutupi lantai ruangan. Lantai yang berbahan papan itu di biarkan polos apa adanya.
Annisa tersenyum getir.
"Selamat datang sunyi," bisiknya.
Annisa baru saja menunaikan shalat ashar ketika ponsel yg terletak di atas tempat tidurnya berbunyi.
"Kak Fikri," gumamnya.
"Assalamu'alaikum Kak," lirihnya.
Terdengar sahutan di seberang.
"Wa alaikum salam Ding (Dik/Adik: bahasa Banjar). Sudah sampai kah di rumah Nini (Nenek: bahasa Banjar)?"
"Iya Kak. Ulun (Saya: bahasa Banjar) sudah di rumah Nini. "
"Alhamdulillah," desah Fikri. Ada hela nafas berat di seberang sana. "Baik-baik disana, Ding. Tunggu kedatangan Kakak seminggu lagi."
"Iya, Kakak. Pasti. Ulun kangen Pian..(Kamu: bahasa Banjar)." Lirih sekali suaranya.
Tiba-tiba matanya mengembun.
"Kakak pun kangen Pian. Maafkan Kakak ya," bisik Fikri.
"Tak ada yang mesti di maafkan, Kakak."
Annisa memutus begitu saja percakapan itu. Ia meletakkan kembali di tempat tidurnya. Rasanya sudah sulit sekali berkata-kata. Dadanya terasa sesak. Dan buliran bening itu lolos begitu saja membasahi pipinya.
Dengan langkah gontai, ia segera masuk ke dalam kamar tidur tempat biasa ia menginap disini. Di layangkannya pandangan ke sekelilingnya.
Kamar ini masih seperti yang dulu. Ranjang tua yang masih kokoh dan terawat, meja rias dan sebuah lemari pakaian. Hanya itu furniture di kamar ini.
Mungkin ke depannya ia merasa perlu menghadirkan meja belajar tempat dia biasa membaca buku, muthalaah, dan menulis.
Dengan cekatan Annisa segera mengeluarkan barang-barang miliknya.
Sebenarnya tak banyak barang yang di bawanya. Hanya beberapa lembar pakaian, gamis, jilbab, buku-buku penting, dan beberapa perhiasan miliknya.
Tak lupa laptop dan ponsel kesayangannya. Dan satu lagi, boneka beruang warna pink yang mungkin akan menjadi teman tidurnya di saat suaminya tak ada di sisinya.
Ia menarik nafasnya dalam-dalam, untuk kemudian menghembuskannya.
"Ya Allah, semoga semua berjalan dengan baik," gumamnya.
Dalam kesendiriannya, ia merasa begitu rapuh. Dia harus mengakui hal itu. Bagaimanapun dan serapat apapun ia menutupi rasa di hatinya, tetap saja hatinya sakit. Dia cuma wanita biasa yang memiliki rasa sedih.
Hanya dalam tempo sebulan, dia di haruskan untuk memutuskan sesuatu yang sangat sulit. Dia harus merelakan suaminya menikah lagi dan tanpa di sertai rasa sakit hati. Sungguh, ini mustahil kan?
Egonya sebagai wanita jelas tak akan pernah mau berbagi. Kendati pun ia tahu betul hukumnya seorang laki-laki boleh memiliki istri lebih dari satu.
Dia. Muhammad Fikri Maulana. Pemilik wajah tampan dan tubuh yang kokoh itu. Lelaki yang menikahinya dua tahun yang lalu, hari ini sudah melangsungkan akad nikah dengan seorang wanita yang bahkan sampai hari ini masih berstatus sebagai santriwati di sebuah pesantren yang tertua di kota Martapura.
Dia sendiri juga ikut menghadiri pernikahan itu sebagai simbol persetujuannya untuk di poligami.
"Ya Allah.." Erangnya.
Tubuhnya luruh begitu saja ke lantai.
Sedapatnya ia menyembunyikan sakit di dalam hatinya, tapi tetap saja kentara. Ia tidak bisa berpura-pura. Ia sakit, sakit dan sakit.
***************
Annisa Maulida. Begitulah namanya. Lahir 27 tahun yang lalu. Dia tumbuh dan di besarkan di tengah keluarga yang taat terhadap agama.
Kakeknya adalah seorang tuan guru di kampungnya dan ayahnya juga merupakan kepercayaan seorang ulama terkenal di daerahnya.
Masa kecil dan remajanya di habiskan untuk menimba ilmu di pondok pesantren tertua di kota Martapura. Praktis, hidupnya berisi dengan petuah-petuah agama, kitab kuning dan wirid.
Dan terakhir dia mencoba memulai aktifitas sebagai seorang penulis novel setelah dia resmi menikah dengan Fikri.
Pertemuannya dengan Fikri pun bukanlah sebuah kebetulan. Tahu sendiri kan, di pesantren itu pergaulan dengan lawan jenis sangat di batasi?
Yap, pernikahannya memang melewati proses yang bernama perjodohan.
Fikri.
Laki-laki itu datang ke rumahnya bersama kedua orang tuanya. Mengajak ta'aruf dan akhirnya menikah.
Dan orang tua mana yang bisa menolak Fikri sebagai menantu di dalam keluarga mereka?
Bukan cuma wajahnya yang tampan, tapi dia juga alim ilmu agama. Dia pernah menimba ilmu di pondok pesantren Daarul Musthofa Hadramaut.
Dan setelah kembali ke Indonesia, dia pun mengajar di pondok pesantren tertua di kota Martapura itu, sekaligus membuka majelis pengajian di rumah pribadinya di daerah Tunggul Irang seberang.
Adalah sebuah kebanggaan di kalangan orang tua di daerahnya kalau anak perempuannya bisa menikah dengan kalangan pemuka agama, walaupun mungkin hanya menjadi istri kedua atau ketiga. Apalagi Annisa waktu itu memang di jadikan sebagai istri pertama. First lady !
Tak ada penolakan dari Annisa saat itu.
Hal itulah yang mendasari Annisa, mengapa ia sangat memaklumi siapapun orang yang datang menawarkan putri mereka untuk di nikahi suaminya.
Diapun sebenarnya sudah menyiapkan mentalnya kalau akhirnya harus mengalami hal ini. Dan akhirnya kenyataan terbukti kan? Ia tak bisa mengelak.
Bukan karena suaminya yang ingin berpoligami. Tapi orang lah yang menawarkan putrinya untuk di nikahi. Sungguh, ini hanyalah persoalan keadaan.
Annisa tersenyum miris mengingat nasibnya.
Sosok suaminya yang memang cukup di kenal di daerah ini. Bukan cuma dirinya, tapi juga keluarga besarnya.
Boleh di katakan, pernikahannya adalah pernikahan publik, dalam artian segala kejadian di dalam rumah tangganya akan selalu di ketahui masyarakat dan menjadi tranding topic.
********************
flashback sebulan yang lalu...
Sore itu Fikri kedatangan tamu sepasang suami istri. Mereka berdua merupakan orang tua salah seorang santriwati yang dikenalnya bernama Zahra.
Setelah menjawab salam, mempersilahkan mereka berdua duduk, dan berbasa basi, Fikri pun mulai menanyakan maksud kedatangan mereka.
"Apa kabar Abah, Mama? Adakah yang bisa Ulun bantu?" tanyanya sopan.
"Begini Ustadz," ucap Pak Burhan, Abah Zahra. "Kedatangan Kami ke sini bermaksud ingin menanyakan sesuatu ...." Kelihatan jelas raut muka Pak Burhan yang nampak ragu-ragu.
"Ada apa Bah?" Fikri mengurai senyum untuk menenangkannya.
"Maafkan sebelumnya, Ustadz," desahnya.
"Apakah Ustadz ada niat untuk menikah lagi?"
Fikri berusaha menyembunyikan keterkejutannya.
Dia kembali mengurai senyum untuk menetralkan suasana setelah sebelumnya menggelengkan kepala.
"Maaf Abah, kenapa Pian menanyakan hal itu pada Ulun? Jujur saja, Ulun mencintai istri Ulun dan tidak berniat untuk menikah lagi," ucapnya
Laki-laki tua itu tersenyum.
"Tapi bukankah seorang laki-laki itu boleh memiliki istri lebih dari satu?"
Fikri mengangguk.
"Betul. Tapi dengan syarat, harus bisa adil."
"Adil dalam artian bisa membuat nyaman istri-istri nya dalam mengarungi biduk rumah tangga," sambungnya.
Laki-laki tua di hadapanku tersenyum simpul.
"Abah percaya, Ustadz Fikri sudah paham dengan ilmu berumah tangga. Dan Abah yakin, tidaklah salah memilih jodoh untuk putri Abah."
"Ustadz, Abah memiliki seorang putri yang baru berusia 19 tahun. Namanya Zahra. Dia dulu pernah di ajar Ustadz sewaktu masih duduk di kelas 3 wustho. Sekarang dia sudah duduk di kelas 3 Ulya."
Fikri berusaha mengingat para santriwati yang pernah dia ajar dulu. Tapi tak ada gambaran yang jelas mengenai wajahnya.
Maklum, dia sudah mengajar selama beberapa tahun. Dan santriwati-santriwati yang dia ajar jumlahnya ratusan, bahkan bisa ribuan. Mana mungkin dia ingat wajahnya?
Bahkan sebagian di antara mereka ada yang memakai cadar.
Fikri menggelengkan kepala.
"Maaf, Bah. Uln tidak bisa mengingat yang mana putri Pian. Soalnya santriwati yang Ulun ajari di kelas 3 wustho itu banyak. Bahkan Ulun tak hafal wajah mereka. Apalagi sebagian dari.mereka bercadar."
"Tak apa, Ananda Ustadz. Mama mengerti," Sahut wanita tua di samping Pak Burhan yang sejak tadi diam saja.
Wanita tua itu meraih tasnya. Ia mengambil selembar foto dari tasnya.
"Ini fotonya, Nak." Ia menyerahkan selembar foto kepada Fikri.
Dia menatap foto itu. Darah mudanya berdesir. Jujur, gadis itu terlihat cantik sekali dan masih sangat muda.
Fikri menghela nafas panjang.
"Ulun belum bisa memutuskan sekarang, Abah. Ulun harus berkonsultasi dulu dengan Abah dan Mama, juga istri Ulun, Annisa. Istikharah dan musyawarah, itu penting kan?"
Kedua orang tua itu mengangguk paham.
"Baiklah Ustadz. Kami tunggu kabar baik dari Ustadz."
Dia mengangguk perlahan.
"Abah sangat berharap, Ustadz mau memikul amanah untuk menjaga putri Abah dan membimbingnya menjadi istri salehah. Jujur saja, selama ini dia sangat manja kepada Kami. Semoga setelah menikah dengan Ustadz, dia bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi." Harap laki-laki tua itu sambil menghela nafas.
Kedua orang tua itu bangkit dari tempat duduknya. Dan menyalami tangannya. Fikri melepas kepulangan mereka dengan lambaian tangan dan teriring salam.
Tiba-tiba saja kepalanya serasa dihimpit beban berat. Ya Allah, sanggupkah dia berpoligami...?
Allahu Akbar Allahu Akbar..
Terdengar suara azan bersahut-sahutan dari menara mesjid dan musolla yang lokasinya berada di dekat tempat tinggal mereka.
Fikri menyudahi halaqahnya. Dia menutup kitab seraya memberi isyarat kepada salah satu santri untuk melantunkan azan dan iqamah.
Sesaat kemudian, hanya hening yang terasa. Semua khusuk menjalankan ibadah, menyembah Rabb yang menciptakan alam semesta ini.
Setelah semuanya selesai dan para santri sudah pulang, Fikri berjalan menuju dapur. Di lihatnya istrinya sedang menata meja makan.
"Ding," panggilnya. Annisa mendekat.
"Ya Kak." Sahutnya.
"Kita makan yuk."
Fikri mengamati makanan yang tersaji di meja makan. Ada sayur bening bayam dengan labu, goreng, ikan haruan goreng, jangan lupa sambal terasi dan di tambah nasi putih hangat. Sungguh menggoda selera.
Dia beruntung karena Annisa selalu tahu seleranya. Masakannya memang enak.
Lebih enak lagi karena yang masak adalah istrinya, sang pemilik wajah manis, sorot mata yang sayu dan senyuman yang sendu. Jujur dia akui, Annisa memang tak ada duanya..
****************
"Ding," panggilnya ketika mereka sudah memasuki kamar tidur.
Dilihatnya istrinya tengah duduk di sisi ranjang. Wajah itu memancarkan senyum teduhnya.
Fikri menjatuhkan tubuhnya tepat di samping istrinya.
"Hmmm ...." Wanita itu meraih tangannya dan menciumnya. Kebiasaan yang selalu di lakukan nya sejak dulu.
Fikri membalasnya dengan memeluk tubuh dan mencium keningnya.
"Ada yang mau Kakak bicarakan sama Pian, Ding." Fikri menatap wajah istrinya dalam-dalam.
Wanita itu balas menatap sendu wajah suaminya.
"Ada apa Kak?" bisiknya.
Sebenarnya dia tak tega harus mengatakan hal yang akan menyakitkan hati istrinya. Fikri menghela nafas dalam-dalam.
"Soal tamu yang datang tadi ya, Kak? Orang tua seorang santriwati Kakak yang mau menjadikan Kakak sebagai menantunya? Apakah Kakak mau minta izin pada Ading untuk berpoligami?" Pertanyaan beruntun istrinya membuat Fikri kaget.
Fikri tak menyangka istri nya mendengar percakapan mereka tadi.
Dia kembali menghela nafas dalam-dalam. Dengan berat hati dia menganggukkan kepala.
"Iya Ding. Tapi Kakak belum memberikan jawaban apapun terhadap tawaran mereka.. Kakak ingin membicarakan soal ini terlebih dulu denganmu. Apapun keputusanmu, Kakak akan terima. Karena ini menyangkut masa depan rumah tangga Kita."
"Ading bisa menolak kalo Ading tidak setuju. Lagi pula, Kakak gak ada niat untuk menikah lagi. Kalau boleh memilih, cukup Ading yang jadi istri Kakak." Fikri sambil mengelus pundak Annisa.
Annisa mengangguk pelan. Kembali di rengkuh nya tangan suaminya.
"Dari awal Kita menikah, Kita sudah membahas masalah ini, bukan? Ading rasa sudah tak ada lagi yang perlu di bicarakan." Lirih sekali suaranya.
Tapi Fikri tahu, ada yang luka jauh di dalam hatinya.
Fikri tahu, tak akan ada wanita yang mau berbagi suami dengan wanita lainnya. Tak ada seorangpun wanita yang ingin di madu. Setiap wanita hanya ingin mereka adalah satu-satunya wanita yang menjadi istri suaminya.
Annisa benar, Mereka memang sudah membahas ini jauh sebelum mereka menikah. Karena selalu ada kemungkinan pernikahan mereka bisa berubah status menjadi pernikahan poligami. Apalagi riwayat di dalam keluarga Fikri, ayah dan kakeknya memang memiliki istri lebih dari satu.
"Ya Allah, ampuni aku. Aku tak pernah berniat untuk menyakiti hati istriku. Andai aku bisa, aku ingin menghapus luka itu. Biarkan aku saja yang terluka. Jangan Annisa yang terluka." Fikri mendesah dalam hatinya.
Ada yang terasa hangat dan basah di dadanya. Annisa menangis. Isaknya terdengar lirih memenuhi suasana kamar tidur yang bercahaya temaram.
"Menangis lah, Sayang. Menangis lah malam ini sepuas Ading. Kakak akan selalu ada di sampingmu. Tapi besok, buanglah segala beban di hatimu. Dan berbahagialah. Kita masih punya banyak waktu untuk membicarakan hal ini."
"Yang penting, Ading sudah tahu masalah ini." Annisa pun terdiam.
Fikri memeluk erat-erat tubuh istrinya. Dia mengecup matanya, keningnya, pipinya, kemudian ******* bibirnya lembut. Dia menyentuh istrinya dengan segenap cintanya.
Demi Tuhan, Fikri takkan pernah sanggup mengendalikan dirinya kala bersama pemilik sorot mata sayu dan senyum nan sendu itu.
Annisa adalah candunya. Dia begitu memuja apapun yang ada di dalam diri Annisa.
Ahh.. hasrat cintanya terus menggelora. Dia menyempurnakan ibadah malamnya dalam gemuruh rasa yang berkecamuk.
************
Sejak pembicaraan malam itu, Annisa lebih banyak diam. Ia tak banyak berbicara pada suaminya. Wajahnya makin terlihat sendu.
Fikri berjanji tak hendak membicarakan masalah itu, kalau istrinya tak memulainya. Dia biarkan istrinya berpikir dengan jernih. Tanpa berada di bawah pengaruh siapapun.
" Kak," ucap Annisa suatu hari ketika mereka selesai makan siang.
"Ya Ading. Ada apa?" Fikri fokus menatap wajah istrinya..
"Malam ini Ading mau menginap di rumah Mama. Boleh gak Kak?"
Fikri menganggukkan kepala.
"Boleh dong, Sayang. Nanti Kakak antar ke rumah Mama, sekalian Kakak berangkat mengajar."
Annisa tersenyum senang.
"Makasih Kak."
Ia meraih tangan suaminya dan menciumnya. Fikri pun balas mengelus pucuk kepalanya.
"Sama-sama, Ading. Tapi Kakak harap, Kita bisa bersikap dewasa dalam menyikapi masalah di dalam rumah tangga Kita. Apapun masukan yang Pian dapat dari Mama dan Kakak Pian, Kakak harap Pian bisa berpikir jernih. Jangan pernah membuat keputusan karena paksaan dari pihak lain."
Fikri sudah bisa menebak kenapa Annisa menginginkan bermalam di rumah orang tuanya.
Secara Annisa dekat dengan ibu dan kakak lelakinya itu. Bahkan kakak lelakinya itu sudah di anggap sebagai pengganti ayahnya yang sudah tiada.
Annisa mengangguk dan mengacungkan jempolnya.
"Kakak tidak perlu khawatirkan soal itu. Tenanglah." Sahutnya.
Fikri menghela nafas lega.
****************
"Apa?" Ibu tersentak kaget mendengar penuturan Annisa.
"Begitulah ceritanya, Mama," sahutnya
Annisa membaringkan dirinya di samping ibu.
"Kalo menurut Nisa gimana?"
"Nisa belum bisa menentukan sikap, Ma," ucapnya lesu.
"Kalo Nisa menolak, sama artinya Nisa minta pisah dari Kak Fikri. Dan itu aib, Ma. Apa kata masyarakat Kita nantinya? Hanya karena tak mau di madu, Nisa malah minta cerai."
"Sementara untuk menerima pun juga sulit. Tak ada wanita yang mau berbagi suami," keluhnya.
Wanita tua itu menghela nafas. Paham akan kegalauan di hati anaknya.
"Sebenarnya almarhum Abah Pian dulu juga pernah berada di posisi yang sama dengan suami Pian. Di tawari orang untuk menikahi putrinya. Tapi Abah Pian menolak," ucap ibu.
Nisa mendengarkan dengan penuh minat.
"Pian mau tahu kan kenapa Abah Pian bisa menolak hal itu?" tanya ibu.
Annisa mengangguk.
" Karena Mama memiliki perjanjian pra-nikah dengan Abah Pian, yang isinya antara lain adalah Abah Pian tidak boleh menikahi wanita lain selama Mama masih hidup dan sehat," ucap ibu.
"Emang kenapa bisa seperti itu Ma? Apakah di dalam Islam di perbolehkan melakukan perjanjian pra nikah?"
Ibu tersenyum sambil mengelus rambutnya.
"Bukan soal boleh atau tidaknya, Nak. Tapi bagaimana ke depannya Kita bisa menjalin hubungan yang baik dengan pasangan hidup kita," sahut ibu.
"Hukum poligami memang ada dan tersebut di dalam Al Qur'an. Tapi itu kan sebuah pilihan."
" Mama dulu yang meminta Abah Pian untuk menjadikan Mama sebagai istri satu-satunya, bukan karena tidak mengakui adanya hukum poligami. Tapi Mama pikir ketika di dalam rumah tangga hanya ada suami dan satu istri, itu lebih maslahat. Setidaknya untuk situasi dan kondisi saat Mama menikah dengan Abah Pian waktu itu."
"Intinya kembali kepada masing-masing orang, Nak. Pilihan ada di tangan Pian dan Pian bertanggung jawab atas keputusan yang Pian buat sendiri." Ibu kembali mengelus rambutnya.
Annisa tersenyum.
"Nisa akan berusaha membuat keputusan yang terbaik, Ma."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!