Sesampainya di rumah, kata-kata ibu masih terngiang-ngiang di benak Annisa..
Ya, Annisa harus segera bertindak dan membuat keputusan. Persoalan seperti ini memang tidak bisa di biarkan. Ini harus segera di selesaikan agar semua pihak bisa tenang.
Annisa memutuskan untuk membicarakan hal ini kepada suaminya.
"Kak."
Dia menyerahkan sepiring nasi goreng ke hadapan suaminya. Tak lupa secangkir kopi kesukaannya.
Dia menatap lekat wajah Annisa..
"Iya, Sayang. Kenapa?""
Wajahnya memerah malu-malu.
"Kak, Ading ingin tinggal di rumah Nini."
Lelaki muda itu tersenyum.
"Kenapa Ding? Apa maksudmu?"
Annisa menghela nafas.
"Beberapa hari lagi Kakak akan menikah dengan Zahra. Ulun tahu, kalau orang tua Zahra sudah menyiapkan rumah untuk Kalian. Jadi Ulun ingin tinggal di rumah Ulun sendiri, yaah walaupun rumah itu warisan dari nenek yang pindah atas nama Ulun," ucapnya.
"Kakak harus bersikap adil. Jadi Kita berdua sama-sama tidak tinggal di rumah ini."
Laki-laki itu mengangguk.
"Iya, Kakak mengerti. Tapi bagaimana dengan rumah ini?"
"Rumah ini kan bisa di pakai fokus untuk majelis pengajian. Suruh beberapa santri Kakak untuk menempati rumah ini, sekalian merawatnya." Annisa memberi solusi.
"Iya bener juga." Sahut Fikri setelah menyeruput kopinya.
"Kakak akan bermalam disini setiap hari kamis. Mengunjungi Pian setiap hari Senin, Selasa dan Rabu. Kemudian di rumah Zahra setiap hari Jumat, Sabtu dan Minggu. Gimana?"
Annisa mengacungkan jempolnya.
"Setuju!"
Hari masih pagi. Mereka sudah selesai sarapan dan beranjak meninggalkan meja makan.
"Ding." Annisa yang tengah merapikan tempat tidur menoleh kepada suaminya.
"Ya, Kakak."
"Sini duduk di dekat Kakak." Fikri menepuk kasur di sampingnya. Annisa menurut.
Dia meraih tangan Annisa dan mengecupnya sekilas.
"Kakak benar-benar minta maaf sama Pian atas semua yang terjadi di dalam rumah tangga Kita."
"Yang perlu Pian tahu, kakak tidak pernah berniat untuk melakukan ini. Bagi Kakak, satu istri sudah cukup."
"Tapi yahh ...." Dia menghela nafas. "Mungkin ini sudah jalannya." sambungnya.
"Tak ada yang mesti di maafkan, Kak. Sejak awal menikah, Ading menyadari kalau Kakak bukan hanya milik Ading seorang, tapi juga milik Keluarga dan Masyarakat."
"Lagipula, seorang laki-laki itu berhak atas empat orang perempuan. Kejadian seperti ini sudah Ading perkirakan sebelumnya." Annisa tersenyum kecut.
"Kalau bukan karena Pak Burhan yang meminta, Kakak gak akan menerima hal ini. Ading tahu kan siapa Pak Burhan?"
Annisa mengangguk.
Siapa yang tak kenal H. Burhanuddin? Pengusaha sasirangan yang terkenal di Martapura. Di kenal bukan cuma karena beliau sebagai pengusaha, tapi juga karena kemurahan hatinya. Beliau adalah donator tetap di pesantren.
Sungguh, suaminya bukanlah seorang lelaki mata keranjang yang suka tebar pesona ke semua wanita. Meskipun memiliki wajah tampan, alim ilmu agama, dan berasal dari kalangan elit pesantren.
Annisa tak heran kalau banyak wanita yang jatuh cinta dan berniat memilikinya meskipun jelas-jelas lelaki itu sudah menikah.
"Tahukah engkau Ding, apa yang Kakak rasakan saat itu? Kakak seperti de Javu. Teringat kisah Sayyidina Umar yang menawarkan putrinya untuk di nikahi para sahabatnya, Sayyidina Utsman dan Sayyidina Abu Bakar."
"Kakak benar-benar tak tega Ding."
Annisa kembali tersenyum masam. Dia mengecup punggung tangan suaminya sekilas.
"Pada intinya Ading mengizinkan Kakak untuk menikah lagi. Tapi dengan satu syarat, ini adalah yang pertama dan terakhir. Istri Kakak cukup dua aja."
Fikri menganggukkan kepala. Annisa tergelak.
"Tenanglah Ading. Kakak akan tepati janji Kakak. Jangan khawatir. Takkan ada lagi penawaran serupa yang akan Kakak terima."
Annisa mencubit lengan Fikri dengan gemas.
"Resiko Kakak itu. Salah sendiri kenapa suami Ading ini punya wajah tampan banget sih ...." Fikri tergelak. Dia mencubit hidung Annisa dengan gemas.
"Ading ... pandainya gombalin Kakak."
Annisa menjulurkan lidahnya.
"Tak apalah. Yang di gombalin kan suami sendiri. Hahaha.."
Annisa melirik jam yang tersemat di dinding kamar mereka
"Sudah jam 8 pagi, Kak," ucapnya mengingatkan kegiatan Fikri hari ini.
Lelaki itu segera beranjak dari tempat duduknya.
"Baiklah. Kakak siap-siap dulu. Ading hati-hati di rumah ya. Kalau mau keluar, ijin Kakak dulu. Oke?" Annisa mengacungkan jempolnya sembari tersenyum.
"Oke."
Lelaki itu masih mencuri ciuman di kening dan pipinya sebelum akhirnya bergegas keluar kamar dan melangkah menuju ke belakang untuk mengambil air wudhu.
***************
Pagi ini Annisa memutuskan untuk mengunjungi tempat ini. Rumah itu penuh kenangan, dimana kakek dan neneknya pernah bersama dan menua sampai akhirnya menutup mata.
Annisa mengendarai motornya sendirian. Tak berapa lama kemudian, Annisa sudah sampai di rumah ini. Di parkirnya motornya di halaman dan melangkah ke depan pintu masuk.
Ceklek. Wah, koq tak di kunci sih?
"Mama." Annisa mendapati ibunya tengah duduk di ruang tamu.
Wanita tua itu tersenyum.
"Mama koq sudah sampai duluan sih?"
Ya, sehari sebelumnya Annisa memang sudah menghubungi ibu untuk bertemu di rumah ini.
Ibu mengelus pundak Annisa.
"Mama hanya sering teringat rumah ini. Kebetulan ada waktu kosong, jadi Mama bisa lebih cepat sampai sini."
"Gimana keadaan Pian? Apa masih ada masalah?"
Annisa menggelengkan kepala.
"Sudah clear semuanya Mama," ucapnya.
"Tapi Nisa memang mengizinkan kak Fikri untuk nikah lagi, tapi hanya untuk kali ini saja. Dan juga, Nisa memutuskan untuk pindah ke rumah ini."
Mama menganggukkan kepala.
"Semua keputusan ada padamu, Nak. Tidak ada yang memaksamu. Siapapun gak boleh ada yang memaksamu. Mama, Kak Yahya, bahkan suami dan keluarganya tak berhak menekanmu untuk mengambil keputusan yang bertentangan dengan hatimu."
**************
[Kakak, jemput Ading di rumah Nini]
[Disini ada Mama. Kita akan makan siang bersama. Kakak bisa kan?]
Terlihat centang biru di layar ponselnya.
[Bisa, InsyaAllah Kakak usahakan.]
[Kakak masih di toko. Tapi sebentar lagi selesai. Tunggu ya. Salam buat Mama.]
Annisa menaruh ponselnya di atas ranjang. Dan bergegas keluar kamar.
***************
Annisa menghampiri ibunya yang tengah asyik memasak di dapur.
"Masak apa, Ma?"
Ibu menoleh ke arahnya.
"Gangan karuh," ucap ibu. "Mama tadi yang membawa bahannya dari rumah."
Matanya berbinar.
"Wah.. Kak Fikri suka sekali gangan karuh. Apalagi kalo ada sambelnya," ucapnya.
"Nisa bikin sambalnya ya, Ma."
Ibu mengangguk. Tangannya masih fokus memotong pisang mentah, kangkung dan jantung pisang.
Annisa mengeluarkan bahan-bahan dari dalam kulkas. Cabe merah, cabe rawit, tomat dan tak lupa bawang merah dan putih.
Dia membersihkan dan memotong kecil-kecil semua bahan, lantas menumisnya dengan sedikit minyak. Aroma harum menguar memenuhi dapur yang mungil itu.
Kemudian dia mengambil cobek dan ulekannya. Ya, sambal yang di ulek lebih mantap rasanya di bandingkan dengan yang di blender. Hehe..
Fikri paling suka sambal buatan Annisa.
"Assalamu alaikum.."
Suara terdengar dari pintu depan rumah.
Annisa bergegas ke depan setelah mencuci tangannya."
"Wa alaikum salam.."
Dia tersenyum menyambut kedatangan suaminya. Annisa meraih tangan suaminya dan menciumnya. Fikri balas mencium kening Annisa.
"Ayo masuk, Kak."
Mereka melangkah bersisian menuju dapur.
"Wahh.. makan besar ini. " seru Fikri. "Asli dah, juara masak Ading ini." Dia terlihat begitu gembira melihat hidangan di atas meja makan.
"Juara apaan? Ini Mama yang masak. Ading kebagian bikin sambal aja," gelak wanita itu.
Suaminya tertawa. Ia menyalami tangan ibu dan menciumnya. Ibu tersenyum.
"Ayo kita makan. Nisa, ambilkan nasi buat suamimu," perintah ibu.
"Siap Mama."
Mereka pun makan dalam hening.
"Pada intinya, Mama tidak bermaksud turut campur dengan urusan rumah tangga Kalian. Kalianlah yang bertanggung jawab dengan semua keputusan yang kalian ambil," ucap ibu kepada Fikri..
Mereka baru saja selesai menunaikan shalat Zuhur berjamaah.
"Tapi Mama adalah seorang ibu yang pastinya selalu berharap agar putri Mama mendapatkan yang terbaik. Tidak ada seorangpun Ibu di dunia ini yang ingin melihat putrinya menderita."
Fikri mengangguk. Ia menggenggam lembut tangan Annisa.
"Ulun mengerti maksud Pian, Mama. Ulun pastikan Putri Pian tetap mendapatkan kebahagiaannya selama bersama Ulun. Ulun janji."
Ibu mengangguk.
"Seorang lelaki itu di pegang karena omongannya, Nak. Jangan sampai Pian ingkar janji."
"Mama akan tetap mendoakan untuk kebahagiaan Kalian berdua,"
"Amin.." Ucap mereka serempak.
Flashback off
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Juan Sastra
tega kamu fikri..kenapa ggak mungkin menolak,, dan ayahnya zahra pun kayak ggak ada pria lain yg lebih layak tuk anaknya,, kenapa harus menggangu rumah tangga orang lain..
2023-02-21
0
Aas Azah
Fikri sungguh tidak ada alasan yang logis untuk dirimu berpoligami,itu hanya karena dirimu saja yang tidak bisa menjaga pandangan mata mu sewaktu orangtua Zahra memperlihatkan foto Zahra padamu🙄
2022-12-27
0
Risky Titi sarlinda
wih gedek aku bingung siapa yang salah ya 🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏 jelas salah pikri bilang saja mau punya istri lebih satu huh
2022-09-23
0