Main Yuk Kak
Hani anak berusia 16 tahun sudah berteriak ketakutan selama satu bulan lamanya. Dia berteriak histeris mendengar suara-suara yang tidak jelas darimana asalnya. Hingga suatu malam saat dia tidur. Dia mendengar suara anak kecil mengajaknya bermain.
“Kak... ayo main! Ayo kakak. Kiki pengen main.”
Suara itu terdengar samar tapi jelas di telinga Hani. Dia mencoba mengabaikannya. Menutup telinganya dengan bantal tapi masih terdengar suara itu. Dia menambahkan lagi menutupnya dengan selimut hingga kepalanya. Namun suara itu masih menghantui. Hingga akhirnya Hani merasa sesak napas. Dia pun membuka selimutnya dan langsung duduk. Keringat bercucuran di seluruh tubuhnya.
“Mama! Papa!” Teriak Hani ketakutan.
Ratih dan Beni yang masih terjaga pun langsung menuju kamar Hani. Sebelum sampai di kamar Hani. Tiba-tiba Ratih dan Beni merasa ada udara berhembus kencang melewati di antara kaki mereka. Mereka berhenti sejenak karena terkejut.
“Maaa! Paaa!” Teriak Hani lagi.
Teriakan Hani menyadarkan mereka. Mereka kembali berlari ke kamar Hani. Sampai di sana mereka terkejut melihat Hani yang meringkuk ketakutan. Ratih langsung berlari memeluk anaknya yang ketakutan itu. Dia juga mengelus elus punggung Hani agar dia tenang.
“Apa kita pindah rumah aja ya ma?” Tanya Beni.
“Percuma pa, meski pindah rumah Hani akan sama seperti ini. Semenjak Hani melewati masa kritis di rumah sakit itu, kepekaan Hani terhadap makhluk halus semakin tajam.” Jelas Ratih.
“Iya ya. Waktu itu Hani dinyatakan meninggal kan? Tapi syukulah, hanya selang dua puluh menit Hani sadar.”
Semenjak mengalami mati suri kepekaan Hani terhadap mahkluk itu semakin tajam. Dulu Hani hanya merasa selalu di awasi. Tapi sekarang, Hani lebih sering mendengar bisikan misterius. Kadang dia juga mendengar seperti orang yang berada di pasar. Mendengar banyak orang berbicara padahal dia berada di ruangan sepi dan kedap suara.
2 bulan berlalu.
Hani sudah mulai terbiasa dengan hal-hal yang tidak dapat di jelaskan secara logis itu. Namun, kali ini Hani lebih peka lagi. Dia bisa merasakan emosi dari sosok yang berbisik kepadanya.
Pagi itu seperti biasa Hani sedang sibuk berkebun di belakang halaman rumah. Dia berkebun di temani mamanya. Hari ini Minggu. Mulai Hani kecelakaan orang tua Hani selalu menyempatkan diri untuk bercengkrama bersama Hani. Bagi mereka itu sangat penting. Mengingat mereka hampir saja kehilangan Hani.
“Pak Beni... pak.” Ucap pak Herdi terburu-buru mengampiri pak Beni yang asik mengumpulkan daun kering.
“Ada apa pak?” Tanya Beni.
“Ada itu... ibu mas Jaelani marah-marah di depan gerbang.” Jelas pak Herdi.
Mendengar nama Jaelani membuat Hani langsung menghentikan aktifiasnya. Dia menoleh ke pak Herdi yang terlihat gugup itu. Kemudian dia melihat papanya yang terlihat kebingungan.
“Ada apa ya ma?” Tanya Hani.
“Gak tau.”
Tidak lama kemudian, Beni dan pak Herdi pergi ke depan tanpa cuci tangan terlebih dahulu. Mereka terlihat tergesa-gesa membuat Hani dan Ratih jadi khawatir. Akirnya mereka pun mengikuti Beni dan pak Herdi.
Sampai di halaman depan dekat pos satpam. Hani mendengar ada suara seorang wanita dan laki-laki seperti sedang bertengkar di balik pagar yang tinggi itu.
“Heh! Anak pembawa sial keluar kamu!” Teriak wanita itu.
Seketika Hani kebingungan siapa yang dia maksud, sedangkan Ratih merasa geram dengan ucapan wanita di balik pagar itu. Karena marah, dia berjalan cepat mendahului pak Herdi serta Beni suaminya. Dia ingi segera melabrak wanita yang berteriak itu.
Greekkk!
Gerbang di buka paksa oleh Ratih dengan amarah yang sudah meluap-luap.
“Ibu tidak punya sopan santun ya! Teriak-teriak di depan rumah orang seenaknya. Oh iya ibu tinggal di hutan ya? Jadi ibu tidak tau apa itu tata krama.” Oceh Ratih.
“Ah... ibu bilang anak pembawa sial? Siapa anak pembawa sia? Anak ibu pembawa sial? Iya anak ibu pembawa sial bagi anak saya karena berteman dengannya anak saya kena masalah sampai hilang ingatan.” Lanjut Ratih.
“Hey! Punya mulut udah kayak setlika aja. Licin banget. Saking licinnya sudah membolak-balikkan fakta.” Sahut mama Jaelani.
Pak Herdi, Beni, papa Jaelani dan Jaelani berusaha melerai dua wanita paruh baya itu. Sedangkan Hani menatap kebingungan kedua orang yang bertengkar itu.
“hahaha... hahaha... hahaha.” Suara misterius itu datang lagi.
Hani mendengar ada suara anak kecil tertawa terbahak-bahak. Dia menoleh ke kanan, ke kiri mencari sumber suara. Namun tidak ada siapapun disana.
“Hahaha... hahaha...”
Suara itu semakin keras dan keras membuat Hani merasa risih dengan tawa anak kecil itu. Dia menutup kedua telinganya sambil membaca doa sebanyak-banyaknya. Berharap suara menghilang. Tetapi, suara itu malah semakin keras di telinga Hani.
“DIAM!” teriaknya.
Teriakan Hani mampu menghentikan dua wanita paruh baya yang sedang adu mulut itu. Semua mata menatap ke Hani. Dia sangat ketakutan hingga berjongkok sambil menutup kedua telinganya.
“Lihat itu anak ibu! Dia sekarang jadi gila kan?!” Ucap mama Jaelani.
Plak
Tamparan keras mendarat ke pipi mama Jaelani. Seketika suasana menjadi semakin mencekam. Mama Jaelani hendak membalasnya namun di tahan oleh suaminya. Kemudian Ratih menghampiri Hani dan memeluknya.
“Gak apa-apa nak udah ya. Gak apa-apa. Ayo masuk.” Ucap Ratih sambil memapah Hani masuk.
Sedangkan mama Jaelani dan papa Jaelani sedang terjadi adu mulut di sana. Mama Jaelani marah karena suaminya menghentikannya tadi.
“Bapak, ibu, Jaelani ayo masuk dulu. Kita selesai di dalam saja ya.” Ajak Beni dengan ramah.
Papa Jaelani pun tersenyum dan mengagguk. Dia membujuk istrinya agar menahan emosinya. Dia mengingatkan kembali alasan keluarga Jaelani datang kemari adalah mempertanyakan apa yang terjadi hingga membuat Jaelani di panggil sebagai saksi atas pembunuhan di sekolah lamanya.
Setelah di dalam rumah.
Beni mempersilahkan keluarga Jaelani untuk duduk. Kemudian, dia berpamitan ke dapur untuk membuat minuman. Mengingat budhe Inem libur hari ini. Sebelum ke dapur Beni naik ke lantai dua melihat keadaan anaknya.
Di depan kamar Hani. Beni melihat anaknya sudah tenang dalam pelukan istrinya. Dia menghampiri mereka dan ikut memeluk Hani.
“Hani di sini dulu aja ya. Papa sama mama harus turun ada tamu.” Ucap Beni.
“Kenapa mereka di suruh masuk di pa?” Tanya Ratih geram.
Beni hanya mengedipkan matanya, memberi isyarat agar istrinya diam. Kemudian Beni mencium kening Hani dan beranjak pergi. Tetapi Ratih masih kekeh memeluk anaknya itu.
“Ayo ma.” Ucap Beni tegas.
Mendengar itu Ratih melepas pelukannya kepada anaknya itu. Dia mengusap lembut kepala anaknya, membelainya dengan penuh kasih sayang. Meski tidak tega meninggalkan Hani. Dia harus melakukan itu.
***
Di ruang tamu.
Keluarga Jaelani dan keluarga Hani sudah berkumpul lengkap dengan minuman dan camilan di atas meja. Saat Beni hendak berbicara tiba-tiba Hani mendahuluinya.
“Bapak! Hati-hati karena bapak sedang dapat kiriman dari rekan bisnis bapak.” Ucap Hani tiba-tiba yang sudah berdiri di batas ruang tamu dan ruang keluarga.
~ Terima kasih, sudah mampir baca~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
lidia
ok
2022-02-03
1
Càröliné Gie White
Haii thor.. baru mulai baca nih...
Like dari Misteri Penunggu Lantai 4 dan Pembalap Idola
2021-06-27
0
Nikodemus Yudho Sulistyo
ayuk main...
😆😆
salam dari ANGKARAMURKA.
2021-04-15
2