“Gak mungkin..” Pikir Hani.
Kemudian tanpa sadar Hani meminum air yang di berikan oleh Beni, dan Ratih pun berhenti menepuk-nepuk punggung Hani.
Glek glek glek
Hani meminum airnya sedikit rakus. Setelah lega, Hani mengatur napasnya yang tadi terengah-engah karena batuk. Sambil mengatur napas dia menatap kedua orang tuanya. Mereka tampak khawatir.
“I’m OK.” Ucap Hani sambil memberikan sinyal dengan jarinya.
Beni dan Ratih duduk kembali ke tempat duduknya dengan mata yang masih fokus kepada Hani.
“Pelan-pelan Han. Gak ada yang minta.” Ucap Ratih.
Hani mengangguk dan tersenyum manis. Lalu, dia kembali makan sambil berusaha melupakan apa yang dia pikirkan tadi. Dia tidak ingin percaya dengan bisikan dari makhluk tidak berwujud itu.
Di tempat lain.
Mia, Deden dan Jaelani pergi meninggalkan rumah sakit. Mereka memesan taksi online. Tidak butuh waktu lama taksi online sudah datang di loby rumah sakit. Jaelani membuka pintu mobil belakang dan membantu Deden masuk karena papa Jaelani masih tidak bisa berjalan dengan seimbang karena merasa punggungnya masih sakit.
Setelah beres Jaelani duduk di bangku dekat supir. Selama perjalan suasana di dalam mobil hening. Mereka sedang tenggelam dengan pemikirannya masing-masing. Keheningan itu bertahan hingga sampai tujuan.
Mereka pun turun dan segera masuk. Semua langsung menuju kamarnya masing-masing untuk istirahat. Mereka rasa mereka telah mengalami hari yang panjang dan menguras banyak energi. Mereka benar-benar lelah hingga melewatkan makan siang. Keesokan harinya.
***
Keesokan harinya.
“Kak, gimana ini?” Ucap Jaelani panik.
“Kemarin di bawa ke rumah sakit kan? Harusnya kan di cek juga kemarin.” Jawab kakak Jaelani.
“Kemarin dokter bilang baik-baik aja kak.”
Pagi itu Jaelani menelepon kakaknya dengan panik berharap kakanya bisa memberi pertolongan pertama kepada Deden, mengingat saat ini kakak Jaelani sedang menempuh pendidikan kedokteran.
Namun, kakaknya menyarankan untuk segera di periksakan ke dokter. Pagi itu semua panik karena Deden tidak bisa menggerakan kedua kakinya. Padahal kemarin masih baik-baik saja. Karena tidak mendapat jawaban yang di harapkan dari kakaknya, Jaelani langsung memesan taksi online dan membawa Deden ke rumah sakit.
Di rumah Hani.
Saat ini dia sedang sarapan dengan keluarganya. Dia makan sambil melamun. Hani masih memikirkan ucapan dari Seorang anak kecil itu. Dia memikirkan makna dari “tidur lama” itu apa?
“Han... jangan melamun.” Ucap Beni.
Hani tersadar dari lamunannya dan langsung menelan makanan yang sudah lama dia kunyah di mulutnya. Kemudian, dia tersenyum cangung dan mengangguk pelan.
“Ma.. pa... bagaimana ya keadaan papanya Jaelani?” Tanya Hani.
Pertanyaan Hani membuat Ratih menghentikan aktifitasnya dan menatap tajam anaknya. Dia masih sangat marah dengan keluarga itu. Rasa sakit hati karena ucapan Mia yang mengolok-olok anaknya masih terasa di dalam hatinya.
“Kenapa sih kamu mikirin dia Han?” Tanya Ratih ketus.
“Ma, ya bagus dong. Itu tandanya Hani peduli dengan orang sekitar. Apalagi Jaelani kan temannya Hani.” Jawab Beni.
Beni melirik sekilas istrinya kemudian menendang kecil kaki istrinya. Ratih mendengus kesal karena itu tandanya dia harus berhenti untuk bicara.
“Yah, kalau kita tau rumahnya ya kita jenguk. Tapi kan kita gak tau rumahnya.” Jelas Beni.
Hani pun mengangguk-angguk paham. Sedangkan Ratih makan dengan perasaan dongkol di dalam hatinya. Dia ingin sekali mengeluarkan amarahnya, tapi suaminya melarangnya. Dia bahkan berburuk sangka kepada suaminya sedang menutupi sesuatu karena selalu membela keluarga Jaelani.
“Pasti ada sesuatu?” Pikir Ratih.
Mereka pun selesai makan. Ratih dan Beni berangkat kerja. Ratih masih sama seperti tadi. Wajahnya masih kusut, namun itu hanya dia tunjukkan kepada Beni tidak dengan anaknya. Hani langsung mencium tangan kedua orang tuanya sebelum mereka berangkat. Biasanya Hani mengantar mereka sampai depan rumah, tapi kali ini tidak karena di larang oleh Ratih. Karena Ratih ingin mengeluarkan unek-uneknya. Mereka pun berangkat dan Hani membersihkan sisa makanan di meja makan agar bisa di cuci oleh budhe Inem.
“Pa, kenapa sih papa itu?” Tanya Ratih sambil berjalan keluar.
“Kita bahas di mobil aja.” Jawab Beni santai.
“Kenapa gak sekarang aja sih pa?” Ratih semakin kesal.
Beni tidak menjawab dia buru-buru keluar dan masuk ke mobil mereka.
Blam.
Pintu mobil tertutup. Beni dan Ratih sudah duduk di kursi belakang. Ratih masih dengan sikapnya menunggu jawaban dari Beni. Pak Rian pun mulai menjalankan mobilnya.
“Mama tadi tanya papa kenapa? Kenapa apanya sih ma?”
“Kenapa papa bela terus keluarga itu.”
“Oke, sebelum papa jawab. Papa tanya dulu ke mama. Apa mama juga mendengar cerita tentang apa yang di lakukan Hani dari orang lain? Seperti pak Rian misalnya?” Tanya Beni.
Pak Rian yang namanya di panggil, melirik ke arah spion. Terlihat wajah tegang di kedua majikannya itu. Dia menghembuskan napas berat. Dia tau pasti akan ada pertengkaran kecil selama perjalanan. Dia pun mencoba tenang dan fokus menyetir.
Ratih yang awalnya menggebu-gebu akhirnya padam mendengar pertanyaan itu. Karena selama ini dia hanya mendengar cerita dari Hani saja. Sedangkan ingatan Hani itu terputus. Dia menggeleng dengan pasrah. Beni menghembuskan napas panjang bersiap untuk menjelaskan.
“Berdasarkan cerita yang papa dengar dari pak Rian, pak Herdi dan budhe Inem. Orang yang kita percaya serta orang yang lebih banyak menghabiskan waktu dengan anak kita saat kita di rumah sakit. Haahh...” Beni menghembuskan napas panjang lagi seakan tidak sanggup bercerita.
“Hani itu mengalami kejadian-kejadian aneh, kayak berteriak histeris tiba-tiba, melamun, berbicara sendiri, ketakutan, bahkan dia juga marah-marah tidak jelas.”
“Selama di sekolah pun, pak Rian pernah mendengar bahwa teman-temannya menjauhi anak kita karena sikapnya yang di anggap aneh itu. Bahkan pak Rian juga mendengar bahwa Hani di panggil anak pembawa sial di sekolah. Tapi pak Rian tidak berani bertanya, karena dia tidak mau membebani Hani lagi.”
“Pak Rian juga pernah melihat saat menyabrang jalan saja. Hani di kucilkan. Tidak ada yang mau berjalan sejajar dengan Hani meskipun mereka sama-sama akan menyabrang. Mama bisa membayangkan kan bagaimana perasaan Hani?”
“Tetapi Hani begitu beruntung ada Jaelani. Dia satu-satunya anak yang mau berteman dengan Hani. Dia bahkan mau mengantar Hani menjenguk temannya yang jelas-jelas membeci Hani. Bahkan Jaelani tidak meninggalkan Hani ketika dia pingsan dan malah di usir oleh keluarga teman Hani yang di jenguk itu. Bahkan dia juga sesekali menemani Hani saat kita koma.”
“Memang benar orang tua Jaelani tidak menyukai Hani. Papa juga ingin membalas perbuatan mereka. Tapi, Jaelani tidak bersalah. Jaelani tidak ada hubungannya dengan amarah kedua orang tuanya. Jadi, hanya ini yang bisa papa lakukan untuk balas budi ke Jaelani. Bahkan papa gak sempat berterima kasih kepada anak itu karena telah menjaga Hani.”
Mendengar penjelasan Beni, Ratih merasa seperti sedang di tekan dadanya. Dadanya begitu sesak membayangkan apa yang telah terjadi kepada anaknya. Air mata mulai menetes merasakan sakitnya di jauihi orang dan merawat orang tua yang tidak bisa apa-apa. Rasa sakit itu tidak dapat di ungkapkan kata-kata.
Dia tidak menyangka anak semata wayangnya itu begitu kuat melewati semua ini. Bahkan semenjak dia sempat sadar dia hanya melihat wajah anaknya yang riang. Dia sama sekali tidak melihat wajah yang sedih saat melihatnya di rumah sakit.
Dia tidak habis pikir bagaimana cara Hani menutupi semua itu dengan senyuman. Bebannya begitu berat, sudah lelah akan belajar, lelah mental di jauhi oleh teman-temannya, belum lagi dia di ganggu oleh hal-hal tidak kasat mata.
Ratih begitu bersyukur saat itu juga. Hani hanya mengalami hilang ingatan dan tidak stress ataupun depresi, meski orang lain mengatakan anaknya seperti orang gila. Dia tidak berhenti menangis membayangkan kesakitan yang di alami anaknya. Dia sempat menyesal tidak bisa mendampingi Hani di masa sulitnya itu.
Beni mencoba menenangkan Ratih dengan memeluknya dan menepuk-nepuk pundak istrinya itu. Sedangkan pak Rian menahan air mata. Karena dia mengingat semua kejadian yang mana tidak dia ceritakan semua ke Beni. Dia ingat kejadian dimana hani hampir meninggal karena kecelakaan mobil. Suasana di mobil itu benar-benar penuh dengan haru.
~ Terima kasih, sudah mampir baca~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
lidia
psti ad musuh trdekat nie
2022-02-03
1
Dhiesta Rahma H.
semangat thor
2021-03-05
0