“Bapak! Hati-hati karena bapak itu dapat kiriman dari rekan bisnis bapak.” Ucap Hani tiba-tiba yang sudah berdiri di batas ruang tamu dan ruang keluarga.
Seketika semua mata tertuju pada Hani. Mereka semua terkejut kecuali mama Jaelani yang menatap Hani dengan geram yang sudah meledak-ledak.
“HEY KAMU! ANAK PEMBAWA SIAL... DIAM!” ucap mama Jaelani yang sudah benar-benar marah.
Ratih mendengar itu tidak terima. Ingin sekali rasanya menampar pipi mama Jaelani lagi, tetapi di tahan oleh Beni. Untungnya Beni masih berkepala dingin. Dia masih bisa menahan semua emosinya.
Sedangkan Jaelani terkejut mendengar itu. Dan papa Jaelani jadi ikut terpancing emosi karena ucapan Hani itu.
“Anak bapak sudah keterlaluan.” Ucap papa Jaelani.
Beni bingung dia harus berbuat apa. Karena di lihat dari sudut pandang manapun Hani bersalah karena dia menyela pembicaraan orang. Selain itu dia tidak melihat kondisi sekarang yang masih memanas ini.
“Baik, saya minta maaf atas ucapan anak saya.” Ucap Beni.
“Kamu bawa Hani ke kamar.” Bisik Beni kepada Ratih.
Ratih menganguk cepat, dia segera beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju Hani. Saat ini mata Hani hanya tertuju pada papa Jaelani. Dia mengatakan itu bukan tanpa sebab. Dia mendengar semua dari Kiki. Arwah anak kecil yang selalu berada di sisi Hani.
Flasback di kamar Hani.
“Hahaha... kak aku kasih tau deh.”
“Orang itu bakalan sakit kak. Karena ada dia dapat kiriman kak dari orang jahat. Kakak perempuan itu tadi bilang ke aku. Aku mau di ajak kesana tapi aku gak mau.” Jelas anak kecil misterius
“Perempuan?” tanya Hani.
“Iya, kakak berbadan ular kak.”
“Hahahaha”
Awalnya Hani tidak peduli dengan ucapan Kiki. Tetapi, entah kenapa dia merasa harus menyampaikan ini. Dia berperang dengan antara hati dan pikiran. Dalam pikiran dia tidak boleh percaya dengan ucapan makhluk ini karena bisa saja itu hanyalah tipuan. Tapi hatinya berkata lain. Hatinya mengatakan bahwa dia tidak ingin Jaelani celaka. Akhirnya dia memutuskan untuk mengatakannya.
Flashback end.
Ratih menarik Hani agar masuk ke kamarnya lagi. Dia tidak tahan jika mendengar anak semata wayangnya di hina terus-terusan. Sambil menahan air matanya dia berjalan berdampingan dengan Hani. Sedangkan Hani merasa lega setelah mengungkapkan itu. Meskipun akhirnya dia menyesal karena belum pasti yang dia ucapkan itu benar tetapi yang pasti itu akan membuat keluarga Jaelani marah besar.
Di ruang tamu.
Beni berusaha untuk menenangka orang tua Jaelani. Dia berusaha untuk tetap berkepala dingin menghadapi ini semua.
“Baik, dengan bapak dan ibu siapa?” Ucap Beni.
“Bapak tidak perlu tau siapa nama kami. Tolong jelaskan kepada kami. Apakah benar anak bapak terlibat dalam pengungkapan kasus pembunuhan siswi SMA Dahlia?” tanya papa Jaelani.
Dengan sabar dan lapang dada Beni menjelaskan yang dia tau dari Hani saja. Berkali-kali dia menghela napas panjang dalam menjelaskan kejadian yang tidak bisa di jelaskan oleh logika itu. Sedangkan orang tua Jaelani mendengarkan dengan seksama. Tetapi Jaelani tidak mendengarkan penjelasan Beni. Dia malah masih kepikiran ucapan Hani barusan.
“Apa benar?” Pikirnya.
“Apa-apan itu? Gak masuk di akal sama sekali.” Geram papa Jaelani.
“Iya. Awalnya saya juga berpikir begitu. Tapi Hani anak saya, dan saya percaya kepadanya. Bahkan dia juga sudah kami periksakan ke pskiater dan hasilnya normal. Tidak ada gejala depresi, halusinasi ataupun trauma.”
“Asal bapak tau. Di dunia ini kita hidup berdampingan dengan sosok tidak kasat mata. Meski tidak bisa melihatnya. Saya secara pribadi mempercayai keberadaan mereka. Dan saya hah... saya masih berusaha untuk membimbing keluarga saya untuk lebih dekat dengan Tuhan. Agar kami terhindar dari...” Ucapan Beni terpotong.
Orang tua Jaelani sudah merasa bahwa ucapan Beni sudah melantur. Mereka menganggap keluarga Hani menghidari dari penyelidikan polisi dengan mengarang cerita yang tidak masuk akal.
“Sudah! Saya tidak percaya cerita bapak. Bapak mendapat surat panggilan sebagai saksi kan? Saya tunggu keluarga bapak di pengadilan.” Ucap papa Jaelani dan berlalu meninggalkan rumah Hani.
Beni memang mendapat surat panggilan sebagai saksi bebrapa lalu. Tanpa di ancam pun mereka akan hadir di persidangan itu. Yang Beni khawatirkan adalah keadaan psikologis Hani. Apakah Hani akan menjawab dengan ceritanya sebelum dia sadar dari hilang ingatan itu.
Beni pun menyusul Hani ke kamarnya. Sampai di sana, dia melihat Hani sedang tidur berpelukan dengan istrinya. Meski masih pagi, dia pikir ini yang terbaik untuk Hani dan istrinya. Dia tidak akan membangungkannya sampai mereka bangun sendiri. Beni akhirnya membersihkan rumahnya sendiri.
***
Pukul 19.00 malam.
Keluarga Beni makan malam di luar. Mereka makan di penjual nasi goren di pinggir jalan. Meski sederhana ini sangat istimewa bagi mereka. Hani memakan dengan lahapnya tanpa bersuara. Sedangkan Beni berpikir bagaimana cara Beni menenangkan Hani untuk persidangan besok, atau malah Beni yang terlalu khawatir.
“Enak Han?” Tanya Beni saat melihat piring Hani sudah bersih tidak tersisa.
“Banget pa.”
“Habis ini Hani mau kemana?” Tanya Ratih.
“Emmm... pulang. Kita nonton film di rumah aja. Malam ini dingin banget soalnya. Mau nonton sambil pakai selimut.” Jelas Hani.
Beni menganguk paham. Dia merasa ada kesempatan untuk berbicara kepada Hani sebelum sidang besok. Dengan penuh semangat Beni segera menghabiskan makanannya karena awalnya dia merasa tidak bersemangat makan.
Tidak lama, mereka selesai makan dan pulang. Selama perjalanan Hani sangat riang gembira. Menyanyikan lagu K-pop yang tidak di mengerti oleh orang tuanya. Namun Ratih dan Beni menikmati lagu itu seakan-akan mereka paham apa isi lagu itu.
Sampai di rumah, pak Yanto satpam baru membuka gerbang. Hani menurunka kaca mobilnya dan menyapa dengan riang gembira. Pak Yanto pun membalas lambaian tangan Hani.
“Mbak Hani anaknya ceria ya. Tapi sayang banyak yang bilang dia gila.” Gumam pak Yanto sambil menutup gerbang.
Sampai dalam rumah Hani langsung mempersiapkan semuanya mulai dari film, cemilan, kasur lipat dan selimut semuanya dia siapkan sendiri. Dan akhirnya tiba waktu menonton film. Tapi sebelum menonton film tiba-tiba Beni mengatur duduk Hani agar berhadapan dengannya. Hani dan Ratih kebingungan melihat tingkah Beni.
“Hani... kamu ingatkan besok kita akan mendatangi persidangan?” Tanya Beni dengan serius.
Hani mengangguk dengan cepat. Dia merasa yakin bahwa dia tidak bersalah. Dia akan mengatakan sejujurnya apa yang dia lihat dan alami.
“Tapi, papa harap kamu tidak menceritakan kisah dimana kamu melihat ada perempuan yang mencekik pasien di rumah sakit. Serta kamu melihat ada orang menusuk jantungnya sendiri. Kamu tau? Waktu itu kamu masih berada di rumah sakit dalam keadaan kritis. Jadi papa harap kamu paham ya.”
Hani tersenyum mendengar itu. Dia paham jelas bahwa cerita seperti itu tidak akan di terima di persidangan. Dia akan mengatakan sejujurnya bahwa dia tidak ingat apa-apa. Dia hanya mengingat bahwa terbangun dari rumah sakit dengan keadaan sakit di sekujur tubunya. Dia akan bilang bahwa dia benar-benar tidak mengingat apapun. Karena itu faktanya.
“Tenang pa... Hani itu pintar. Hani tau kok mana yang bisa di terima publik dan tidak.” Ucapnya riang.
Mendengar jawabanya itu Beni merasa lega. Ternyata benar dia hanya terlalu khawatir akan anaknya. Dia semakin yakin bahwa anaknya akan baik-baik saja.
Hani merasa papanya sudah benar-benar tenang. Dia langsung berdiri mematikan lampu di ruangan itu dan menyalakan telvisinya untuk menonton film bersama. Malam itu benar-benar terasa nyaman bagi Hani. Dia sangat merindukan suasana berkumpul dengan orang tuanya.
***
Keesokan harinya.
Hani sudah bersiap untuk pergi ke pengadilan. Dia di temani oleh orang tuanya. Memang tidak bisa di pungkiri jika Hani merasa gugup karena ini adalah pengalaman pertamanya ke pengadilan serta menjadi saksi.
“Siap Han?” Tanya Beni.
“Hah... siap.” Jawab Hani.
~ Terima kasih, sudah mampir baca~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Dhiesta Rahma H.
semangat hanii
2021-03-02
1