Hani merasa kakinya berat sebelah seperti ada yang menariknya untuk menjauh dari rumah sakit. Dia mencoba menggerak-gerakkan kakinya tetapi rasanya pegal dan kaku.
“Kak, aku takut.” Bisik Seorang anak kecil.
“Apa sih.” Kesal Hani dalam hati.
Lama kelamaan kaki Hani terasa semakin berat. Bahkan sampai bergerak dengan sendirinya hingga kakinya yang di tekuk menjadi lurus.
“Kakak itu marah kak, dia gak berhasil. Dia menyeramkan kak lidahnya panjang menjulur sampai di depanku kak. Lidahnya mulai iket aku kak.” Bisik Seorang anak kecil lagi.
Bisikan itu berhasil membuat Hani merinding. Tiba-tiba dia merasa bahwa kakinya seperti terlilit sesuatu. Dia berusaha menggerak-gerakkan kembali kakinya. Tapi lagi-lagi kakinya terasa kaku bahkan sekarang terasa lebih berat.
Hani berjuang menggerakkan kakinya. Tidak lama kemudian kakinya bisa di gerakkan di barengi suara derap langkah seseorang yang menggunakan sepatu hils. Ternyata orang itu adalah mama Jaelani. Mama Jaelani berdiri di depan Jaelani.
“Gimana papa dek?” Tanya mama Jaelani.
“Belum ada kabar ma. Sini ma....” Jawab Jaelani sambil menepuk bangku di sebelahnya.
Mama Jaelani masih tetap berdiri. Dia tidak mau duduk di samping keluarga Hani. Jaelani yang peka itu pun langsung berdiri dan mempersilahkan mamanya untuk duduk di bangku dia duduk tadi.
Baru saja duduk, pintu UGD terbuka dokter dan suster keluar dari sana. Ekspresi mereka tidak menunjukkan ada keadaan gawat. Tetapi tetap saja Jaelani dan mamanya panik. Mereka langsung menghampiri dokter itu.
“Gimana dok?” Tanya Jaelani.
“Syukurlah pasien hanya mengalami pingsan karena syok saja. Setelah infus selesai pasien bisa pulang.” Jelas dokter dan meninggalkan ruangan.
Jaelani dan mamanya masuk untuk memeriksa keadaan papa Jaelani. Sedangkan keluarga Hani di luar. Mereka bingung harus berbuat apa, karena mereka di tinggal begitu saja.
“Kita pulang ajalah pa.” Ucap Ratih.
“Males mama tu, kita gak di hargain sama sekali. Udah yuk pulang.” Lanjut Ratih geram.
“Jangan gitu dong ma. Sabar ya ma. Gini, papa masuk dulu nanti setelah itu kita pulang. Setidaknya kita menunjukkan etikat baik kita kepada mereka meski mereka tidak menanggapi dengan baik.” Jelas Beni dan berlalu masuk.
Ratih diam, sebenarnya jauh di dalam lubuk hatinya dia merasa sangat jengkel kepada tingkah mama Jaelani yang tidak tau terima kasih itu. Bahkan dia menyesal telah memperbolehkan suaminya menolong. Sedangkan Hani masih bingung dengan apa yang terjadi barusan karena dia baru bisa merasa lega saat mama Jaelani datang.
“Kakak perempuan itu marah dan dia menempel ke tante itu. Kakak perempuan itu bujukin tante itu biar marah-marah. Pasti papanya kakak di marahi di dalam.” Bisik Seorang anak kecil.
Hani mengerutkan keningnya. Kenapa makhluk itu bisa tau apa yang sedang Hani pikirkan? Hani semakin merasa was-was dan ingin segera mengusir suara itu bagaimanapun caranya.
“Aku suka kakak. Aku mau sama kakak.” Bisik Seorang anak kecil lagi.
Bisikan itu membuat Hani frustasi. Tapi dia memendamnya dengan menarik napas dalam dan menghembuskan nya pelan-pelan. Dia berusaha untuk tidak histeris agar tidak di sangka gila.
Di ruang UGD.
Benar kata Seorang anak kecil. Beni dimarahi habis-habisan oleh mama Jaelani. Wanita paruh baya itu memang tidak berteriak. Tapi dia berbicara sambil melotot ke arah Beni, dia berbicara lirih tapi mengucapkan kata-kata pedas.
“Saya itu gak suka sama keluarga bapak yang sok religius itu. Padahal aslinya penyembah setan kan? Buktinya aja anaknya cerita hal-hal gak masuk akal. Wajar orang komplek bilang anak bapak gila.” Ucap mama Jaelani.
Beni berusaha semaksimal mungkin agar tidak terpancing dengan ucapan mama Jaelani. Dia berkali-kali menghembuskan napas berat.
“Begini ibu... em... maaf nama ibu?”
“Mia.” Jawab mama Jaelani.
“Begini ibu Mia. Niat kami hanya menolong sesama yang dalam kesulitan saja. Ibu mau menerima atau tidak silahkan. Karena keberadaan saya di sini sangat menggangu ibu. Saya dan keluarga pamit undur diri. Semoga bapak...?”
“Papa saya Deden.” Ucap Jaelani.
“Iya semoga bapak Deden cepat sembuh.”
Setelah mengucapkan itu Beni pergi berlalu. Dia hanya tersenyum kepada Jaelani karena Mia tidak mau melihat wajah Beni. Jaelani pun menyadari bahwa mamanya masih di pengaruhi oleh emosi yang meledak-ledak.
“Maaf... om.” Ucap Jaelani tanpa suara.
Beni hanya mengangguk. Dia berjalan keluar dengan hembusan napas panjang. Dia merasa kesulitan bernapas saat berdekatan dengan Mia. Tetapi dia mencoba untuk terlihat tenang agar istrinya tidak khawatir serta tidak terpancing emosinya.
Di luar UGD.
Beni berjalan dengan sesantai mungkin, dia menghampiri istri dan anaknya. Hani dan Ratih menyambutnya dengan penasaran bagaimana keadaan Deden. Ratih dan Hani bangkit dari duduknya dan mendatangi Beni.
“Bagaimana?” Tanya Ratih.
“Pak Deden masih tidur belum sadar kayaknya.” Jelas Beni.
“Kayaknya?” Tanya Hani.
“Hmmm... iya, yah ibu Mia masih syok mungkin. Jadi papa gak di bolehin jenguk. Udah yuk kita pulang. Tugas kita sudah selesai.”
Beni merangkul anak dan istrinya, memboyong keluarganya untuk pulang. Sedangkan Hani masih merasa ada yang janggal. Perasaanya membuatnya ingin tinggal, tetapi itu tidak mungkin.
“Semoga baik-baik saja.” Batin Hani.
***
Di ruang UGD.
Mia sedang duduk di samping ranjang Deden. Dia menggenggam erat tangan suaminya yang masih belum sadarkan diri itu. Air matanya menetes begitu deras hingga mengaburkan pandangannya.
“Pa... se... mo... ga... hal... itu... gak... terja... di... lagi.” Ucapnya terisak.
Jaelani menatap sedih mamanya. Dia teringat ketika dulu waktu dia masih kelas tiga di sekolah dasar. Deden terkena kiriman santet dari rekan bisnisnya.
Flashback.
Malam itu Jaelani sedang asik main PS dengan kakaknya di kamar kakaknya. Mereka mendengar suara Deden pulang dengan suara yang lemah. Mereka pikir papa mereka kelelahan karena pekerjaan yang menumpuk. Hal itu sudah biasa terjadi.
Tetapi, tiba-tiba Mia berteriak histeris membuat Jaelani dan kakaknya menghentikan permainannya. Mereka langsung menghampiri mamanya. Sampai di ruang tamu mereka terkejut melihat papanya tergelak di lantai dengan darah di mulutnya. Mereka juga melihat ada darah di lantai.
“A-apa itu... itu pa... paku?” Ucap Jaelani terbata-bata.
Seketika kakak jaelani melemas hingga terjatuh. Sedangkan Mia masih menangis histeris. Jaelani bingung apa yang terjadi. Sekujur tubuhnya merinding melihat itu. Dia masih kecil dan tidak tau harus berbuat apa?
Ingatan Jaelani terputus hanya sampai di situ. Yang jelas itu membuat keluarganya berubah. Mereka sering memanggil orang asing ke rumah dengan bau khas kemenyan. Tidak jarang orang asing itu membakar dupa di dalam rumah. Kala itu yang Jaelani tau itu perbuatan syirik yang di larang agama. Dia marah kepada ibunya hingga mogok makan beberapa hari.
Jaelani tidak tau kelakuannya itu malah membuat orang tuanya kerepotan. Karena kesal membujuk Jaelani makan Mia menyumpal mulut Jaelani dengan kain hingga membuat Jaelani hampir kehilangan nyawa karena panik tidak bisa mengatur napas.
Untungnya kala itu kakaknya pulang awal karena guru di sekolahnya rapat. Dia langsung menahan Mia. Berteriak sekeras mungkin untuk menyadarkan Mia. Sedangkan Jaelani berusaha mengeluarkan kain dari mulutnya. Akhirnya dia bisa bernapas, dia bersembunyi di bawah kolong ranjangnya.
Sejak hari itu, Jaelani membenci hal semacam itu seperti kemenyan, hantu, dan hal mistis lainnya . Dia berusaha sebisa mungkin untuk menghindari hal-hal itu. Namun, dia tidak sadar bahwa dia dulunya pernah berurusan dengan arwah Nana.
Flashback berakhir.
***
Di rumah Hani.
Hani sedang tiduran di kamarnya. Dia menatap langit-langit memikirkan apa yang akan terjadi di masa depan. Dia sangat penasaran apakah yang di katakan arwah Seorang anak kecil yang selalu menggangunya itu benar? Dia juga berpikir kenapa dia selalu merasa bersalah dan berdebar yang tidak jelas saat menatap Jaelani. Perasaan itu datang silih berganti. Padahal berdasarkan cerita dari mamanya, dia baru mengenal Jaelani.
“Aku dulu pernah berbuat apa sampai aku merasa seperti itu saat melihat Jaelani?” Gumamnya.
Hani masih larut dalam pikirannya. Bimbang dengan perasaannya sendiri. Hani terus mencoba mengingat hingga dia tertidur.
Tok tok tok
“Hani... Han, makan Han.” Teriak Ratih dari balik pintu.
Merasa tidak ada respon dari anaknya, dia membuka pintu kamar anaknya pelan-pelan. Dia menghembuskan napas lega saat melihat Hani yang ternyata masih tertidur. Dia pun menghampiri anaknya itu untuk membangunkannya.
Dia duduk di samping ranjang dan mengelus kening Hani serta menyibakkan rambut anaknya yang menutupi keningnya. Kemudian, dia memberi kecupan di kening anaknya.
“Semoga kamu bisa cepat beradaptasi ya dengan keadaan ini.” Gumam Ratih.
“Han... bangun Han... makan siang.” Ucapnya sambil menggoyang-goyangkan tubuh Hani.
Hani yang merasa tidak nyaman membalikkan badannya ke arah berlawanan dari Ratih. Sehingga menapakkan punggungnya itu. Ratih tidak kehabisan akal. Dia menggaruk lembut punggung anaknya. Garukan itu membuat Hani kegelian hingga akhirnya terbangun.
Hani merenggangkan tubuhnya itu sambil berusaha mengumpulkan energinya. Dia menatap Ratih yang terlihat samar-samar.
“Kenapa sih ma?”
“Makan siang.”
“Hmm?”
Hani melirik jam dinding, ternyata waktu menunjukkan pukul 12.25. Kemudian dia menatap kembali Ratih dengan malas. Ingin sekali dia melewatkan makan siang dan lanjut tidur.
“Mama masak tumis sawi.” Ucap Ratih kemudian berlalu meninggalkan Hani.
Seketika Hani bernapsu makan karena mamanya memasakkan makanan kesukaannya. Tanpa basa-basi dia menyusul mamanya.
Sampai di meja makan keluarga Hani sudah berkumpul. Hani langsung mengambil piring, nasi, sayur dan lauk pauk di dapur. Lalu, dia berjalan dengan riang ke meja makan. Memakan makanannya dengan lahap.
“Enak?” Tanya Ratih.
Hani hanya mengangguk sambil mengunyah.
“Kak...” Bisik Seorang anak kecil.
Hani mengabaikannya, dia terus makan seperti tidak mendengar apa-apa.
“Besok om itu bakalan tidur terus.” Bisik Seorang anak kecil.
Uhuk uhuk uhuk
Hani tersedak karena mendengar bisikan itu. Di dalam otaknya langsung memikirkan papa Jaelani. Dia juga berpikir yang di maksud “tidur terus” adalah meningal.
Beni dan Ratih panik berusaha membantu Hani dengan menyiapkan minum dan menepuk nepuk punggung Hani.
“Gak mungkin.” Pikir Hani.
~ Terima kasih, sudah mampir baca~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
lidia
mati donggg
2022-02-03
1
Dhiesta Rahma H.
semoga anak kecilnya ga jahat ya
2021-03-04
0