Hani anak berusia 16 tahun sudah berteriak ketakutan selama satu bulan lamanya. Dia berteriak histeris mendengar suara-suara yang tidak jelas darimana asalnya. Hingga suatu malam saat dia tidur. Dia mendengar suara anak kecil mengajaknya bermain.
“Kak... ayo main! Ayo kakak. Kiki pengen main.”
Suara itu terdengar samar tapi jelas di telinga Hani. Dia mencoba mengabaikannya. Menutup telinganya dengan bantal tapi masih terdengar suara itu. Dia menambahkan lagi menutupnya dengan selimut hingga kepalanya. Namun suara itu masih menghantui. Hingga akhirnya Hani merasa sesak napas. Dia pun membuka selimutnya dan langsung duduk. Keringat bercucuran di seluruh tubuhnya.
“Mama! Papa!” Teriak Hani ketakutan.
Ratih dan Beni yang masih terjaga pun langsung menuju kamar Hani. Sebelum sampai di kamar Hani. Tiba-tiba Ratih dan Beni merasa ada udara berhembus kencang melewati di antara kaki mereka. Mereka berhenti sejenak karena terkejut.
“Maaa! Paaa!” Teriak Hani lagi.
Teriakan Hani menyadarkan mereka. Mereka kembali berlari ke kamar Hani. Sampai di sana mereka terkejut melihat Hani yang meringkuk ketakutan. Ratih langsung berlari memeluk anaknya yang ketakutan itu. Dia juga mengelus elus punggung Hani agar dia tenang.
“Apa kita pindah rumah aja ya ma?” Tanya Beni.
“Percuma pa, meski pindah rumah Hani akan sama seperti ini. Semenjak Hani melewati masa kritis di rumah sakit itu, kepekaan Hani terhadap makhluk halus semakin tajam.” Jelas Ratih.
“Iya ya. Waktu itu Hani dinyatakan meninggal kan? Tapi syukulah, hanya selang dua puluh menit Hani sadar.”
Semenjak mengalami mati suri kepekaan Hani terhadap mahkluk itu semakin tajam. Dulu Hani hanya merasa selalu di awasi. Tapi sekarang, Hani lebih sering mendengar bisikan misterius. Kadang dia juga mendengar seperti orang yang berada di pasar. Mendengar banyak orang berbicara padahal dia berada di ruangan sepi dan kedap suara.
2 bulan berlalu.
Hani sudah mulai terbiasa dengan hal-hal yang tidak dapat di jelaskan secara logis itu. Namun, kali ini Hani lebih peka lagi. Dia bisa merasakan emosi dari sosok yang berbisik kepadanya.
Pagi itu seperti biasa Hani sedang sibuk berkebun di belakang halaman rumah. Dia berkebun di temani mamanya. Hari ini Minggu. Mulai Hani kecelakaan orang tua Hani selalu menyempatkan diri untuk bercengkrama bersama Hani. Bagi mereka itu sangat penting. Mengingat mereka hampir saja kehilangan Hani.
“Pak Beni... pak.” Ucap pak Herdi terburu-buru mengampiri pak Beni yang asik mengumpulkan daun kering.
“Ada apa pak?” Tanya Beni.
“Ada itu... ibu mas Jaelani marah-marah di depan gerbang.” Jelas pak Herdi.
Mendengar nama Jaelani membuat Hani langsung menghentikan aktifiasnya. Dia menoleh ke pak Herdi yang terlihat gugup itu. Kemudian dia melihat papanya yang terlihat kebingungan.
“Ada apa ya ma?” Tanya Hani.
“Gak tau.”
Tidak lama kemudian, Beni dan pak Herdi pergi ke depan tanpa cuci tangan terlebih dahulu. Mereka terlihat tergesa-gesa membuat Hani dan Ratih jadi khawatir. Akirnya mereka pun mengikuti Beni dan pak Herdi.
Sampai di halaman depan dekat pos satpam. Hani mendengar ada suara seorang wanita dan laki-laki seperti sedang bertengkar di balik pagar yang tinggi itu.
“Heh! Anak pembawa sial keluar kamu!” Teriak wanita itu.
Seketika Hani kebingungan siapa yang dia maksud, sedangkan Ratih merasa geram dengan ucapan wanita di balik pagar itu. Karena marah, dia berjalan cepat mendahului pak Herdi serta Beni suaminya. Dia ingi segera melabrak wanita yang berteriak itu.
Greekkk!
Gerbang di buka paksa oleh Ratih dengan amarah yang sudah meluap-luap.
“Ibu tidak punya sopan santun ya! Teriak-teriak di depan rumah orang seenaknya. Oh iya ibu tinggal di hutan ya? Jadi ibu tidak tau apa itu tata krama.” Oceh Ratih.
“Ah... ibu bilang anak pembawa sial? Siapa anak pembawa sia? Anak ibu pembawa sial? Iya anak ibu pembawa sial bagi anak saya karena berteman dengannya anak saya kena masalah sampai hilang ingatan.” Lanjut Ratih.
“Hey! Punya mulut udah kayak setlika aja. Licin banget. Saking licinnya sudah membolak-balikkan fakta.” Sahut mama Jaelani.
Pak Herdi, Beni, papa Jaelani dan Jaelani berusaha melerai dua wanita paruh baya itu. Sedangkan Hani menatap kebingungan kedua orang yang bertengkar itu.
“hahaha... hahaha... hahaha.” Suara misterius itu datang lagi.
Hani mendengar ada suara anak kecil tertawa terbahak-bahak. Dia menoleh ke kanan, ke kiri mencari sumber suara. Namun tidak ada siapapun disana.
“Hahaha... hahaha...”
Suara itu semakin keras dan keras membuat Hani merasa risih dengan tawa anak kecil itu. Dia menutup kedua telinganya sambil membaca doa sebanyak-banyaknya. Berharap suara menghilang. Tetapi, suara itu malah semakin keras di telinga Hani.
“DIAM!” teriaknya.
Teriakan Hani mampu menghentikan dua wanita paruh baya yang sedang adu mulut itu. Semua mata menatap ke Hani. Dia sangat ketakutan hingga berjongkok sambil menutup kedua telinganya.
“Lihat itu anak ibu! Dia sekarang jadi gila kan?!” Ucap mama Jaelani.
Plak
Tamparan keras mendarat ke pipi mama Jaelani. Seketika suasana menjadi semakin mencekam. Mama Jaelani hendak membalasnya namun di tahan oleh suaminya. Kemudian Ratih menghampiri Hani dan memeluknya.
“Gak apa-apa nak udah ya. Gak apa-apa. Ayo masuk.” Ucap Ratih sambil memapah Hani masuk.
Sedangkan mama Jaelani dan papa Jaelani sedang terjadi adu mulut di sana. Mama Jaelani marah karena suaminya menghentikannya tadi.
“Bapak, ibu, Jaelani ayo masuk dulu. Kita selesai di dalam saja ya.” Ajak Beni dengan ramah.
Papa Jaelani pun tersenyum dan mengagguk. Dia membujuk istrinya agar menahan emosinya. Dia mengingatkan kembali alasan keluarga Jaelani datang kemari adalah mempertanyakan apa yang terjadi hingga membuat Jaelani di panggil sebagai saksi atas pembunuhan di sekolah lamanya.
Setelah di dalam rumah.
Beni mempersilahkan keluarga Jaelani untuk duduk. Kemudian, dia berpamitan ke dapur untuk membuat minuman. Mengingat budhe Inem libur hari ini. Sebelum ke dapur Beni naik ke lantai dua melihat keadaan anaknya.
Di depan kamar Hani. Beni melihat anaknya sudah tenang dalam pelukan istrinya. Dia menghampiri mereka dan ikut memeluk Hani.
“Hani di sini dulu aja ya. Papa sama mama harus turun ada tamu.” Ucap Beni.
“Kenapa mereka di suruh masuk di pa?” Tanya Ratih geram.
Beni hanya mengedipkan matanya, memberi isyarat agar istrinya diam. Kemudian Beni mencium kening Hani dan beranjak pergi. Tetapi Ratih masih kekeh memeluk anaknya itu.
“Ayo ma.” Ucap Beni tegas.
Mendengar itu Ratih melepas pelukannya kepada anaknya itu. Dia mengusap lembut kepala anaknya, membelainya dengan penuh kasih sayang. Meski tidak tega meninggalkan Hani. Dia harus melakukan itu.
***
Di ruang tamu.
Keluarga Jaelani dan keluarga Hani sudah berkumpul lengkap dengan minuman dan camilan di atas meja. Saat Beni hendak berbicara tiba-tiba Hani mendahuluinya.
“Bapak! Hati-hati karena bapak sedang dapat kiriman dari rekan bisnis bapak.” Ucap Hani tiba-tiba yang sudah berdiri di batas ruang tamu dan ruang keluarga.
~ Terima kasih, sudah mampir baca~
“Bapak! Hati-hati karena bapak itu dapat kiriman dari rekan bisnis bapak.” Ucap Hani tiba-tiba yang sudah berdiri di batas ruang tamu dan ruang keluarga.
Seketika semua mata tertuju pada Hani. Mereka semua terkejut kecuali mama Jaelani yang menatap Hani dengan geram yang sudah meledak-ledak.
“HEY KAMU! ANAK PEMBAWA SIAL... DIAM!” ucap mama Jaelani yang sudah benar-benar marah.
Ratih mendengar itu tidak terima. Ingin sekali rasanya menampar pipi mama Jaelani lagi, tetapi di tahan oleh Beni. Untungnya Beni masih berkepala dingin. Dia masih bisa menahan semua emosinya.
Sedangkan Jaelani terkejut mendengar itu. Dan papa Jaelani jadi ikut terpancing emosi karena ucapan Hani itu.
“Anak bapak sudah keterlaluan.” Ucap papa Jaelani.
Beni bingung dia harus berbuat apa. Karena di lihat dari sudut pandang manapun Hani bersalah karena dia menyela pembicaraan orang. Selain itu dia tidak melihat kondisi sekarang yang masih memanas ini.
“Baik, saya minta maaf atas ucapan anak saya.” Ucap Beni.
“Kamu bawa Hani ke kamar.” Bisik Beni kepada Ratih.
Ratih menganguk cepat, dia segera beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju Hani. Saat ini mata Hani hanya tertuju pada papa Jaelani. Dia mengatakan itu bukan tanpa sebab. Dia mendengar semua dari Kiki. Arwah anak kecil yang selalu berada di sisi Hani.
Flasback di kamar Hani.
“Hahaha... kak aku kasih tau deh.”
“Orang itu bakalan sakit kak. Karena ada dia dapat kiriman kak dari orang jahat. Kakak perempuan itu tadi bilang ke aku. Aku mau di ajak kesana tapi aku gak mau.” Jelas anak kecil misterius
“Perempuan?” tanya Hani.
“Iya, kakak berbadan ular kak.”
“Hahahaha”
Awalnya Hani tidak peduli dengan ucapan Kiki. Tetapi, entah kenapa dia merasa harus menyampaikan ini. Dia berperang dengan antara hati dan pikiran. Dalam pikiran dia tidak boleh percaya dengan ucapan makhluk ini karena bisa saja itu hanyalah tipuan. Tapi hatinya berkata lain. Hatinya mengatakan bahwa dia tidak ingin Jaelani celaka. Akhirnya dia memutuskan untuk mengatakannya.
Flashback end.
Ratih menarik Hani agar masuk ke kamarnya lagi. Dia tidak tahan jika mendengar anak semata wayangnya di hina terus-terusan. Sambil menahan air matanya dia berjalan berdampingan dengan Hani. Sedangkan Hani merasa lega setelah mengungkapkan itu. Meskipun akhirnya dia menyesal karena belum pasti yang dia ucapkan itu benar tetapi yang pasti itu akan membuat keluarga Jaelani marah besar.
Di ruang tamu.
Beni berusaha untuk menenangka orang tua Jaelani. Dia berusaha untuk tetap berkepala dingin menghadapi ini semua.
“Baik, dengan bapak dan ibu siapa?” Ucap Beni.
“Bapak tidak perlu tau siapa nama kami. Tolong jelaskan kepada kami. Apakah benar anak bapak terlibat dalam pengungkapan kasus pembunuhan siswi SMA Dahlia?” tanya papa Jaelani.
Dengan sabar dan lapang dada Beni menjelaskan yang dia tau dari Hani saja. Berkali-kali dia menghela napas panjang dalam menjelaskan kejadian yang tidak bisa di jelaskan oleh logika itu. Sedangkan orang tua Jaelani mendengarkan dengan seksama. Tetapi Jaelani tidak mendengarkan penjelasan Beni. Dia malah masih kepikiran ucapan Hani barusan.
“Apa benar?” Pikirnya.
“Apa-apan itu? Gak masuk di akal sama sekali.” Geram papa Jaelani.
“Iya. Awalnya saya juga berpikir begitu. Tapi Hani anak saya, dan saya percaya kepadanya. Bahkan dia juga sudah kami periksakan ke pskiater dan hasilnya normal. Tidak ada gejala depresi, halusinasi ataupun trauma.”
“Asal bapak tau. Di dunia ini kita hidup berdampingan dengan sosok tidak kasat mata. Meski tidak bisa melihatnya. Saya secara pribadi mempercayai keberadaan mereka. Dan saya hah... saya masih berusaha untuk membimbing keluarga saya untuk lebih dekat dengan Tuhan. Agar kami terhindar dari...” Ucapan Beni terpotong.
Orang tua Jaelani sudah merasa bahwa ucapan Beni sudah melantur. Mereka menganggap keluarga Hani menghidari dari penyelidikan polisi dengan mengarang cerita yang tidak masuk akal.
“Sudah! Saya tidak percaya cerita bapak. Bapak mendapat surat panggilan sebagai saksi kan? Saya tunggu keluarga bapak di pengadilan.” Ucap papa Jaelani dan berlalu meninggalkan rumah Hani.
Beni memang mendapat surat panggilan sebagai saksi bebrapa lalu. Tanpa di ancam pun mereka akan hadir di persidangan itu. Yang Beni khawatirkan adalah keadaan psikologis Hani. Apakah Hani akan menjawab dengan ceritanya sebelum dia sadar dari hilang ingatan itu.
Beni pun menyusul Hani ke kamarnya. Sampai di sana, dia melihat Hani sedang tidur berpelukan dengan istrinya. Meski masih pagi, dia pikir ini yang terbaik untuk Hani dan istrinya. Dia tidak akan membangungkannya sampai mereka bangun sendiri. Beni akhirnya membersihkan rumahnya sendiri.
***
Pukul 19.00 malam.
Keluarga Beni makan malam di luar. Mereka makan di penjual nasi goren di pinggir jalan. Meski sederhana ini sangat istimewa bagi mereka. Hani memakan dengan lahapnya tanpa bersuara. Sedangkan Beni berpikir bagaimana cara Beni menenangkan Hani untuk persidangan besok, atau malah Beni yang terlalu khawatir.
“Enak Han?” Tanya Beni saat melihat piring Hani sudah bersih tidak tersisa.
“Banget pa.”
“Habis ini Hani mau kemana?” Tanya Ratih.
“Emmm... pulang. Kita nonton film di rumah aja. Malam ini dingin banget soalnya. Mau nonton sambil pakai selimut.” Jelas Hani.
Beni menganguk paham. Dia merasa ada kesempatan untuk berbicara kepada Hani sebelum sidang besok. Dengan penuh semangat Beni segera menghabiskan makanannya karena awalnya dia merasa tidak bersemangat makan.
Tidak lama, mereka selesai makan dan pulang. Selama perjalanan Hani sangat riang gembira. Menyanyikan lagu K-pop yang tidak di mengerti oleh orang tuanya. Namun Ratih dan Beni menikmati lagu itu seakan-akan mereka paham apa isi lagu itu.
Sampai di rumah, pak Yanto satpam baru membuka gerbang. Hani menurunka kaca mobilnya dan menyapa dengan riang gembira. Pak Yanto pun membalas lambaian tangan Hani.
“Mbak Hani anaknya ceria ya. Tapi sayang banyak yang bilang dia gila.” Gumam pak Yanto sambil menutup gerbang.
Sampai dalam rumah Hani langsung mempersiapkan semuanya mulai dari film, cemilan, kasur lipat dan selimut semuanya dia siapkan sendiri. Dan akhirnya tiba waktu menonton film. Tapi sebelum menonton film tiba-tiba Beni mengatur duduk Hani agar berhadapan dengannya. Hani dan Ratih kebingungan melihat tingkah Beni.
“Hani... kamu ingatkan besok kita akan mendatangi persidangan?” Tanya Beni dengan serius.
Hani mengangguk dengan cepat. Dia merasa yakin bahwa dia tidak bersalah. Dia akan mengatakan sejujurnya apa yang dia lihat dan alami.
“Tapi, papa harap kamu tidak menceritakan kisah dimana kamu melihat ada perempuan yang mencekik pasien di rumah sakit. Serta kamu melihat ada orang menusuk jantungnya sendiri. Kamu tau? Waktu itu kamu masih berada di rumah sakit dalam keadaan kritis. Jadi papa harap kamu paham ya.”
Hani tersenyum mendengar itu. Dia paham jelas bahwa cerita seperti itu tidak akan di terima di persidangan. Dia akan mengatakan sejujurnya bahwa dia tidak ingat apa-apa. Dia hanya mengingat bahwa terbangun dari rumah sakit dengan keadaan sakit di sekujur tubunya. Dia akan bilang bahwa dia benar-benar tidak mengingat apapun. Karena itu faktanya.
“Tenang pa... Hani itu pintar. Hani tau kok mana yang bisa di terima publik dan tidak.” Ucapnya riang.
Mendengar jawabanya itu Beni merasa lega. Ternyata benar dia hanya terlalu khawatir akan anaknya. Dia semakin yakin bahwa anaknya akan baik-baik saja.
Hani merasa papanya sudah benar-benar tenang. Dia langsung berdiri mematikan lampu di ruangan itu dan menyalakan telvisinya untuk menonton film bersama. Malam itu benar-benar terasa nyaman bagi Hani. Dia sangat merindukan suasana berkumpul dengan orang tuanya.
***
Keesokan harinya.
Hani sudah bersiap untuk pergi ke pengadilan. Dia di temani oleh orang tuanya. Memang tidak bisa di pungkiri jika Hani merasa gugup karena ini adalah pengalaman pertamanya ke pengadilan serta menjadi saksi.
“Siap Han?” Tanya Beni.
“Hah... siap.” Jawab Hani.
~ Terima kasih, sudah mampir baca~
Sidang berjalan dengan lancar. Tetapi entah kenapa suara anak kecil selalu mengajak Hani ke kamar mandi pria. Hani jelas tidak mau mengikutinya karena dia tidak mungkin ke kamar mandi pria.
“Ayo kak, aku pengen lihat kakak perempuan itu.” Ucap anak kecil berbisik di telinga Hani.
“Ya gak mungkin lah aku masuk kek kamar mandi pria.” Gumam Hani.
Sedang asik beradu seperti telepati dengan suara anak tidak kasat mata membuat Hani tidak menyadari bahwa ada orang lain di belakangnya. Saat ini Hani menghalangi jalan menuju kamar mandi pria.
“Ngobrol sama siapa Han?” Tanya Jaelani.
Suara Jaelani membuat Hani terkejut. Dia ingin berlari dari sana karena malu. Tapi tidak ada jalan lurus satu satunya jalan yang bisa dia lewati adalah berbalik badan dan berjalan lurus. Akhirnya dia berbalik badan dan menatap bawah karena tidak sanggup menahan malu. Namun, Jaelani malah menahannya dengan menghalanginya.
“Jalan itu lihat ke depan bukan ke bawah. Kalau ada tiang di depan gimana?” Tanya Jaelani.
Hani tidak menjawab dia ingin segera kabur tetapi anehnya kakinya terasa berat sebelah seperti ada yang menahannya.
“Kak, kakak perempuan itu di dalam ketawa kak. Aku pengen lihat kakak itu ngapain?” Bisik anak kecil.
Seketika dia teringat kejadian kemarin dimana Kiki mengatakan bahwa papa Jaelani mendapat kiriman gaib dari patner bisnisnya.
“Kamu ngapain di sini?” Tanya Hani penasaran.
“Nyusul papa Han. Kamu tadi ngobroL sama siapa? Jawab dongg....”
“Eh? Kamu susul sana papa kamu. Aku balik dulu.” Ucap Hani pergi berlalu.
Meskipun meninggalkan Jaelani. Hani berjalan sangat pelan. Dia ingin memastikan papa Jaelani baik-baik saja. Karena penasaran Hani berhenti dan menoleh pelan-pelan. Ternyata Jaelani sudah tidak ada di sana. Hani berbalik cepat berharap semua baik-baik saja.
“Hah...” Hani menghela napas panjang.
“Tolong!!” Teriak Jaelani dari kamar mandi.
Hani buru-buru menyusul Jaelani. Tapi sampai di depan pintu Hani ragu mau masuk. Karena itu kamar mandi pria. Tapi hati nurani Hani tidak tega, sehingga dia membuka pintu itu. Dia melihat Jaelani menyangga kepala papanya di pahanya sambil menahan tangis. Melihat itu Hani panik.
Kemudian dia mendengar suara menggema orang yang melintas di sekitar kamar mandi. Hani buru-buru ke arah suara itu mencari pertolongan.
“Bentar ya Jae.” Ucap Hani.
Dia langsung berlari ke menuju arah suara itu sambil berteriak minta tolong. Untungnya orang yang di tuju Hani ada banyak. Mereka berdatangan menghampiri Hani. Tanpa berucap panjang Hani menunjuk kamar mandi pria. Mereka pun berbondong-bondong ke sana. Hani menyusul.
Tidak butuh waktu lama. Orang-orang itu membopong papa Jaelani keluar dari kamar mandi. Papa Jaelani sudah tidak sadarkan diri. Kemudian Hani menuntun mereka ke Beni. Hani ingin memberi pertolongan kepada Jaelani.
Sampai di sana Beni panik karena di serbu gerombolan orang dengan membopong seseorang. Beni menyipitkan matanya memfokuskan siapa yang mereka bopong itu. Lalu, dia melihat Hani berlari ke arahnya.
“Pa.. papa Jaelani pingsan pa. Bantu dia.” Teriak Hani dari kejauhan.
Beni langsung menyiapkan mobilnya, sedangkan Ratih kebingungan harus berbuat apa. Tidak butuh waku lama mobil Beni sudah siap. Ratih membantu membuka pintu belakang mobilnya. Beberapa orang membantu Jaelani memasukkan papanya ke mobil.
“Ma.. mama susul papa ya di rumah sakit.” Ucap Beni tergesa -gesa menutup kaca mobilnya.
Beni mengendarai mobilnya dengan kecepatan cepat. Jaelani duduk di belakang bersama papanya. Jaelani mengusap kening papanya sambil mulutnya berkomat kamit membaca doa untuk keselamatan papanya.
Di pengadilan Hani dan Ratih kebingungan mencari mama Jaelani. Mereka mencari kesana-kemari dan akhirnya ketemu. Mereka menghampiri wanita paruh baya itu.
“Bu... permisi saya mau menyampaikan kalau suami ibu masuk ke rumah sakit.” Ucap Ratih dengan sedikit panik di wajahnya.
“Iya bu. Tadi...” Ucap Hani terpotong.
“Rumah sakit mana?” Tanya mama Jaelani.
Ratih lupa bertanya mereka ke rumah sakit mana. Dia pun menggeleng pelan. Dia menatap Hani berharap anaknya itu tau. Tapi Hani terlihat tidak tau juga.
Mama Jaelani terlihat kesal karena dia pikir sudah dipermainkan oleh Ratih dan Hani. Akhirnya, dia pergi begitu saja meninggalkan ibu dan anak itu. Dia berjalan keluar pengadilan sambil fokus dengan ponselnya memanggil taksi online.
Ratih dan Hani saling bertatapan keheranan. Mereka sama-sama menghela napas panjang. Hani mengeluarkan ponselnya untuk mencari rumah sakit terdekat di sini. Setelah tau Hani membuka aplikasi taksi online dan memilih tujuannya ke rumah sakit itu.
“Ayo ma. Kita ke rumah sakit ini dulu.” Ucap Hani.
Ratih mengangguk paham dan mengajak Hani berjalan keluar pengadilan. Meski terlihat tenang di dalam hati mereka panik takut Beni tidak bisa sampai tepat waktu menolong papa Jaelani. Di pikiran mereka sama. Mereka tidak ingin di salahkan atas kecelakaan ini, karena keluarga Jaelani membenci keluarga Hani.
***
Di UGD.
Mobil Beni di sambut oleh suster dan satpam. Mereka membatu membopong papa Jaelani keluar. Mereka langsung membawanya ke ruang UGD di ikuti Jaelani di belakangnya. Sedangkan Beni memparkirkan mobilnya.Setelah parkir, Beni berjalan menyusul Jaelani sambil menelepon istrinya.
“Hallo pa.” Ucap Ratih dari telepon.
“Ma, susul papa di rumah sakit BY ya. Sekarang papa mau susul Jaelani ke UGD.” Jelas Beni.
“Iya pa.”
Tut tut tut.
Telepon terputus. Beni berjalan cepat setengah berlari menuju UGD. Sampai di sana dia melihat Jaelani duduk sambil menatap bawah. Dia memegangi kepalanya menekannya ke bawah. Melihat itu terlintas sesuatu di pikirannya.
“Apakah Hani juga seperti itu dulu?” Pikirnya.
Lalu dia menyusul Jaelani dan duduk disampingnya. Beni menepuk-nepuk punggung Jaelani pelan berharap itu bisa membuat anak laki-laki di sampingnya itu lebih kuat.
“Terima kasih ya om.” Ucap Jaelani masih menatap bawah.
“Iya. Kamu yang sabar ya. Semoga tidak terjadi apa-apa.” Ucap Beni sembari menepuk-tepuk punggung Jaelani pelan.
Beberapa menit kemudian mama Jaelani datang. Terlihat jelas wajah panik sambil menahan emosinya, entah marah atau tangis? Beni sudah bersiap jika nanti akan di omeli oleh mama Jaelani.
Mama Jaelani langsung memeluk anaknya erat. Air matanya sudah tidak dapat di bendung lagi. Dia menangis di pelukan anaknya. Dia tidak bisa berkata-kata. Jaelani mencoba menenangkan mamanya dengan memeluknya lebih erat. Beni merasa sedikit lega karena dia belum mendapat omelan.
“Mama urus administrasi dulu. Kamu di sini ya Jae.” Ucap mama Jaelani.
Mama Jaelani pergi meninggalkan ruang UGD tanpa menganggap Beni ada di sana. Sekedar melirik pun tidak. Dia benar-benar tidak menanggapi Beni. Untungnya papa Hani memahami kondisi ini.
Lima belas menit berlalu dalam keheningan. Ratih dan Hani datang dengan berlari kecil. Ratih langsung di persilahkan duduk oleh Beni. Sedangkan Hani hanya mematung melihat Jaelani menundukkan kepalanya serta mengepal kedua tangannya. Ingin sekali Hani menyentuh tangan Jaelani dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.
Kemudian Hani menatap Beni. Memastikan papanya baik-baik saja sekarang. Lalu Hani meminta untuk papanya duduk di sebelah Ratih, mama Hani. Beni pun menurutinya di susul Hani di sebelahnya.
“Pa.. tadi aku belum bilang ke mama Jaelani kalau papanya jaelani jatuh di kamar mandi. Aku takut pa, nanti aku di salahin sama dia. Nanti kalau dia kira aku yang sengaja membuat papa Jaelani jatuh gimana?” Ucap Hani panik.
“Tenang... ada papa dan mama. Selama kamu jujur, kamu gak perlu takut. Meski kadang orang jujur malah kena sial. Tapi... dengan berkata jujur kamu menolong dirimu sendiri agar merasa tidak merasa terbebani.” Jelas Beni.
“Tapi pa...” keluh Hani.
“Siapa lagi kalau gak kamu sendiri yang membantu dirimu sendiri? Orang lain hanya bisa mendukung. Kalau kamu gak ada kemauan untuk menolong dirimu sendiri ya sudah. Orang lain pun gak akan berguna meski mereka menolong.”
Mendengar itu Hani merasa sedikit lega dan berani jika mama Jaelani memarahi Hani. Dia juga merasa aman karena ada orang tuanya yang mendukungnya. Tiba-tiba terdengar sayup-sayup, kemudian kaki Hani terasa berat.
“Kakak, aku takut.” bisik anak kecil.
~ Terima kasih, sudah mampir baca~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!