My Posesif Husband
Di salah satu sudut kota, di bawah langit malam yang menampakkan bintang-bintangnya, di bawah rembulan yang bersinar terang. Seorang gadis pekerja paruh waktu baru saja selesai dengan pekerjaannya. Dia berjalan menyusuri trotoar untuk bisa mencapai halte bus. Bus terakhir yang akan membawanya pulang.
Auris POV.
Haii, aku Auristella Leesham call me Auris. Aku anak pertama dan masih memiliki satu adik perempuan. Keseharianku tidak ada yang berubah dari tahun-tahun sebelumnya, hanya saja di semester akhir ini aku harus bekerja paruh waktu untuk bisa menyelesaikan pendidikanku.
Awalnya semua berjalan normal, ayah yang bekerja diperusahaannya, ibu yang sibuk dengan urusan rumah tangga, adikku yang masih duduk di bangku SMP dan aku yang sibuk dengan perkuliahanku.
Tapi semua itu berubah saat perlahan Audi-Corps Leesham milik keluargaku, harapan satu-satunya keluargaku, hancur. Semenjak itu aku harus bekerja paruh waktu untuk bisa membiayai kuliahku sendiri karena ayahku yang terkena stroke setelah mengetahui perusahaan yang dibangunnya hancur.
Hari ini aku pulang lebih malam, ah semoga saja masih ada bus yang bisa membawaku kembali ke rumah.
Aku duduk di bangku halte yang sudah sangat seppi, hanya ada aku dan tas ranselku yang setia berada dipundakku.
Ah itu dia busnya sudah datang.
Auris POV end.
Dengan sisa tenaganya yang telah terkuras hari ini karena menyanyi sampai larut di sebuah café, Auris duduk di salah satu bangku bus. Di dalam bus itu hanya berisi 3 penumpang perempuan dan 1 penumpang laki-laki.
Perjalanan dari tempatnya bekerja menuju kerumahnya memakan waktu 30 menit. Sampai di halte, Auris masih harus berjalan sekitar 1 km untuk bisa mencapai rumahnya.
“Tok,, tok,, tok,,” Auris mengetuk pintu rumahnya.
“Apa semua orang sudah tertidur? Tapi ini baru pukul setengah sepuluh malam,” gumam Auris.
Dia mencoba lagi untuk mengetuk pintu rumahnya untuk yang kedua kalinya. Tapi sama saja, masih tidak ada jawaban.
“Ceklek.”
Daun pintu terbuka saat Auris menekannya.
“Kenapa pintu ini tidak dikunci?” tanya Auris dengan keanehan pada malam ini.
Perlahan Auris masuk ke dalam rumah sederhanya. Di ruang tamu tidak ada apapun, di ruang keluarga pun demikian. Tanpa merasa aneh Auris menuju dapur untuk mengambil minum kemudian dia membersihkan dirinya.
“Apa semua orang memang sudah tertidur?” gumam Auris sambil berjalan ke arah kamar ayah dan ibunya.
“Ya Allah, ibu, ayah!!!” teriak Auris.
Tubuhnya meluruh ke lantai dingin rumahnya. Tangannya bergetar, kakinya lunglai seperti tak bertulang, nafasnya memberat, air mata mengalir dari pelupuk mata indahnya.
Tidak ada firasat apapun, tidak ada petunjuk apapun, bahkan tidak ada pikiran akan menemui keluarganya dalam keadaan terbunuh di rumahnya sendiri.
Auris bangkit dengan sisa kekuatannya dan mendekat ke ayah dan ibunya.
“Astaga, ayah,, ibu.. jangan berpura-pura mati seperti ini. Ayo bangun, jangan pergi dari Auris,” teriak Auris saat dia tau kedua orang tuanya sudah tidak lagi bernafas.
Darah menggenang di sekitar tubuh orang tuanya. Ibunya yang tergeletak di lantai dekat kaki ayahnya dengan ayahnya yang bersandar tenang di kursi rodanya.
Auris sadar dan teringat adiknya. Secepat kilat dia pergi ke kamar adiknya.
Dibukanya pintu kamar adiknya perlahan. Dadanya kembali bergemuruh. Dengan kemampuan seadanya, dia meraba nadi adiknya yang ada di pergelangan tangan kanan.
“Ayu?” panggil Auris pada adiknya.
“Kakak, seseorang datang dan dia tiba-tiba menodongkan pistol,” jelas Ayu, adik Auris.
“Kakak sudah hubungi ambulance, kita ke rumah sakit sekarang.”
Auris fokus pada adiknya, karena kedua orang tuanya sudah meninggal. Jadi, dia memprioritaskan adiknya dahulu.
...Di rumah sakit....
“Pasien terluka parah, Nona. Kita harus segera melakukan operasi untuk mengeluarkan peluru yang bersarang,” dokter menjelaskan setelah dilakukan foto pada Ayu.
“Lakukan apapun untuk adik saya, Dokter. Selamatkan adik saya. Saya mohon,” pinta Auris.
“Kami pasti akan berusaha."
Dokter pergi dan menyiapkan segala sesuatunya untuk operasi.
Beberapa saat kemudian, Auris dipanggil oleh seorang perawat. “Apakah mbak ini wali dari pasien tertembak atas nama Ayudia Leesham?"
“Eh iya, mbak. Saya kakaknya.”
“Baik, mari ikut saya untuk tanda tangan berkas operasinya.”
Auris tersenyum dan mengangguk.
Di meja administrasi, Auris menandatangi berkas operasi adiknya.
“Mbak, kalau untuk biaya bagaimana?” tanya Auris.
“Biayanya kemungkinan sekitar 50 juta tapi itu belum termasuk obat dan sewa ruangannya. Semakin bagus fasilitas ruangannya maka akan semakin mahal,” jelas Perawat.
“Untuk pembayarannya bagaimana?”
Perawat tersebut tersenyum. “Untuk pembayarannya mbak tenang saja, di rumah sakit ini sistem pembayarannya di akhir.”
Auris sedikit lega karena dia bisa fokus dulu pada adiknya tanpa memikirkan bayarannya. Jujur saja saat ini Auris tidak memiliki uang sebanyak itu.
“Terimakasih, Mbak.”
Auris melangkah menunggu di dekat ruang operasi. Menunggu sendiri adiknya yang sedang berjuang di dalam ruang operasi.
“Selamat malam, Nona?"
Auris mendongak dan mendapati dua orang polisi sudah ada di hadapannya.
“Iya? Selamat malam.”
“Kami dari kepolisian, kami akan meminta keterangan dari nona atas insiden yang terjadi di rumah nona. Bisa perkenalkan diri nona terlebih dahulu?"
“Saya Auris, putri sulung dari dua orang suami istri yang terbunuh dan kakak dari adik saya, Ayu. Sekarang dia masih menjalani operasi,” ucap Auris sedikit terbata.
“Tolong sebutkan nama korbannya dan kronologi bagaimana nona menemukan mereka.”
“Ayah saya Aditya Leesham sedangkan ibu saya Ayunindya. Saya menemukan mereka sekitar 15 menit sejak saya sampai di rumah, sekitar pukul 9.45 malam. Sebelumnya saya berada di Café D untuk bekerja paruh waktu menjadi penyanyi di Café tersebut. Saat saya dekati dan periksa dengan kemampuan seadanya, saya sudah tidak merasakan denyut nadi di pergelangan tangan kedua orang tua saya. Kemudian saya berlari ke kemar adik saya, Ayudia Leesham, dan saya menemukan dia masih bernafas. Kemudian saya segera menghubungi ambulance.”
“Baik, kami akan bekerja untuk menemukan pembunuh keluarga nona Auris. Selamat malam.”
Kedua polisi tersebut pergi dari hadapan Auris.
“Siapa yang sebenarnya tega melakukan hal ini?” batin Auris.
Operasi Ayu selesai pukul 1 dini hari. Tetapi, Ayu masih ditempatkan di ruang ICU agar dapat dipantai dengan baik.
Pagi hari..
Semalaman Auris tidak tidur, orang tuanya akan dimakamkan siang nanti.
Sekarang ini, ada bibi Auris, yaitu Bibi Ani yang datang saat subuh tadi setelah Auris menghubunginya.
“Bibi, aku titip Ayu sebentar ya? Aku mau lihat ayah sama ibu untuk terakhir kalinya.”
“Iya, bibi tunggu di sini.”
Selesai melihat jenazah kedua orang tuanya, Auris memilih duduk di salah satu sudut rumah sakit untuk menenangkan sejenak dirinya.
“Biaya sebesar itu? Dari mana aku mendapatkannya?” gumam Auris.
“Aku bisa membantumu, tapi kamu juga harus membantuku,” ucap seseorang mengagetkan Auris.
...****************...
Bersambung..
like comment yuk 🤗🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
AsnaIloponu
lanjut
2021-11-04
0
aqilaAqlan05
nyimak
2021-06-24
0
mojang banten
nyimak
2021-05-04
1