Saat sudah sampai di kost, Naya meletakkan tasnya di tempat gantungan tas, Sedangkan dua manusia yang mengikutinya tadi malah melemparkan tas mereka sembarangan di atas tempat tidur.
"Ih, tasnya jangan letak disitu Wid, Din! Itu tempat tidur buat rebahan, udah kecil malah di sempit-sempitin." omel Naya.
Widya langsung menggantung tas mereka takut jiwa emak-emak Naya kumat.
"Tinggal buang aja sih." Dinda berkomentar.
Naya tidak menanggapi, gadis itu kemudian keluar menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan kakinya. Kemudian kembali lagi ke kamarnya.
"Gabut gue" Ucap Naya pada dua sahabatnya yang sedang rebahan.
Dinda langsung duduk, "ke pasar yuk. Gue mau beli sesuatu nih."
"Mau beli apaan? Emang punya duit?" Tanya Widya yang kemudian dijawab sendiri, "eleh, paling cuma beli es krim goreng doang."
"Punya dong, gue kan anak Sultan." Jawab Dinda sambil mengibaskan rambutnya.
Widya mengernyit. "Bukannya nama bapak lo Pandapotan ya, Din?" ucapnya dengan jahil.
"Aduh" Widya langsung mengadu karena kepalanya langsung ditoyor oleh Naya.
"Itu nama bapak Gue ya, anak Johani!" Balas Naya dengan jahil karena Johani adalah nama ayah kandung dari Dinda.
Dinda yang sudah gemas dengan kedua sahabatnya langsung berteriak, "Jimmy, Pandapotan, I love youuuuuuu"
Mendengar itu Naya dan Widya langsung menggelitik gemas Dinda. Bagaimana tidak, Jimmy itu adalah nama ayah kandung Widya.
Ini adalah salah satu kebiasaan tiga sejoli ini yang tidak layak dicontoh. Karena mereka selalu menggunakan nama orang tua (laki-laki) mereka untuk bercanda.
Namun sifat mereka yang ceplas-ceplos dan sederhana membuat mereka tidak terlalu mempermasalahkan hal seperti itu. Asalkan hanya mereka bertiga yang tahu.
Dinda yang ngos-ngosan sehabis dibantai dua sahabatnya itu berucap, "sesama enggak punya bapak, tolonglah. Enggak usah tersinggung gitu kali, kita kan enggak punya."
"Iya, ya." Ucap Naya sedikit cekikikan, "tapi ya enggak apa-apa sih, biar serasa punya."
Ketiga gadis itu kemudian memutuskan untuk pergi ke pasar. Namun saat mereka hendak keluar, Rika, kawan satu kamar Naya muncul.
"Kok lama pulangnya Dek?" Tanya Naya.
"Masih latihan paduan suara tadi bentar kak Nay," jawabnya.
Rika masih junioran mereka, satu tingkat dibawah tiga sejoli ini.
Naya mengangguk, "kita mau ke pasar, mau ikut?"
Rika menggeleng, "enggak ah kak, masih capek mau istirahat dulu."
Naya mengangguk lagi. "Ok. kita pergi ya"
"Ok, kak" Balasnya, kemudian tersenyum pada dua sahabat Naya.
***
Saat memasuki pasar, banyak penjual yang heboh menawarkan barang dagangannya.
"Dek, Dek, ini bajunya bagus-bagus, mampir yuk." Ucap salah satu pedagang.
Dinda membalikkan badannya dan bertanya. "Berapaan harganya Bu?"
"170 aja Dek, udah murah ini," jawab sang pedagang.
Dinda menghela nafas, "belum sanggup beli Bu, soalnya belum dinafkahi sama si Abang yhaaaaa," jawabnya dengan cekikikan yang membuat sang pedagang juga ikut berkata "yhaaaaa."
Dengan sedikit berlari, Dinda menyusul Naya dan Widya yang sudah agak jauh di depannya.
"Kaos kaki, kaos kaki, tiga sepuluh. Ya, dipilih-pilih..."
Karena sedikit berisik, Naya jadi menoleh pada penjual kaos kaki itu. Melihat itu, sang penjual kaos kaki kembali menawarkan dagangannya pada Naya.
"Dipilih Neng, tiga sepuluh."
"Udah punya banyak buat dipake ke sekolah Bang. Kalau saya beli lagi buat apaan dong?" Tanya Naya
"Ya buat jalan-jalanlah Neng." Saut sang penjual kaos kaki.
"Enggak mau ah, Bang." Kemudian Naya berlalu.
"Kenapa enggak mau Neng?"
Mendengar pertanyaan itu, Naya membalikkan badannya, "karena jalannya enggak sama Abang"
"Yhaaaa" Sorak pedagang lain yang mendengar percakapan antara Naya dan si penjual kaos kaki.
Widya dan Dinda jadi ikut bersorak kemudian melenggang bersama untuk mencari dagangan yang lain.
Widya teringat sesuatu. "Eh, Din, tadi lo bilang mau beli sesuatu,"
"Kan mau beli es krim goreng yang dua ribuan Wid." Jawabnya dengan cekikikan.
"Itu mah cuman akal-akalan si Dinda aja biar ke pasar.";Saut Naya
"Hehehehe"
Mereka memasuki tempat aksesoris, Naya melirik sebuah kalung yang terlihat menarik.
"Yang itu empat puluh lima ribu aja Dek," ucap sang penjual saat Naya memegang kalung tersebut.
"Buset, mahal amat." Batinnya. Memang sih, Naya punya cukup uang membeli kalung itu, namun rasanya terlalu sayang untuk beli benda sekecil itu.
"Dua puluh ribu ya Bu, anak sekolahan ini." Tawarnya.
"Aduh,,, enggak bisa Dek, ini barangnya bagus, lagi musim, lagi nge-trend"
Mendengar penuturan sang penjual, Naya melangkah pergi. Melihat itu Widya dan Dinda ikut menyusul.
"Eh, Dek, bisa kurang kok, sini. Jadi empat puluh ribu aja" Panggil sang penjual lagi
Namun ketiga sejoli itu tidak menggubris.
"Ya udah Dek 30 ribu."
Mereka tetap melangkah sambil menahan senyum.
"Dek," panggil sang penjual agak berteriak, "Ya udah dua puluh ribu," ketiga sejoli itu semakin berusaha terlihat tidak tertawa.
Kemudian ada satu kalimat lagi yang membuat mereka benar-benar terbahak.
"Dek, ini banyak yang lima belas ribu, sini!" Ucapnya teriak sedikit histeris.
Mereka melangkah dengan cepat agar jauh dari tempat aksesoris itu. Tiga sejoli itu masih memegang perutnya karena tertawa.
"Et dah, dari harga empat puluh lima ribu ke lima belas ribu." Ucap Naya disela-sela tawanya. "Bagus tadi dia kasih gue pas nawar dua puluh ribu, untung lima ribu dia, kan lumayan."
Dinda yang sudah mulai bisa menguasai diri berkata, "Belum punya kenalan Chinese mungkin. Biar murah, asal laris manis."
Widya sudah tenang, kemudian menoleh pada suatu lapak dress yang terlihat cukup bagus.
"Eh, guys. Cantik itu bajunya," tunjuknya pada salah satu baju.
Mereka mendekati lapak tersebut. Naya tertegun melihat satu dress yang selama ini jadi impiannya tuk dimiliki. Payah emang kalau sudah lama dilirik, disukai, dikagumi namun tak dapat dimiliki, yhaaaaa ambyar!
Kembali ke laptop!
Naya melirik sakunya, dia punya delapan puluh lima ribu. "Cukup enggak ya?" Tanyanya dalam hati.
Sementara Dinda dan Widya sudah membeli dress yang mereka sukai.
"Nay, mau beli yang mana?" Tanya Dinda
Ibu penjual dress itu mendekati Naya. "Mau yang mana Dek?" Tanyanya.
Naya menghela napasnya, menunjuk dress impiannya, " itu harganya berapa Bu?"
"Seratus lima puluh ribu aja Dek, udah murah itu loh," jawab sang penjual.
"Delapan puluh ya Bu," tawarnya.
"Enggak dapat Dek, soalnya tadi banyak yang nawar seratus dua puluh Ibu tolak semua."
Naya sejenak berfikir, "gue tinggal, dia manggil lagi enggak, ya? coba ah."
Naya melirik baju itu. "Enggak jadi Bu, uang saya kurang." Naya menunjukkan uangnya pada sang penjual, "tinggal segini Bu, enggak ada lagi." Naya beranjak pergi.
Baru beberapa langkah, Naya sedikit tersentak saat tangannya di tarik oleh Ibu penjual dress tadi.
"Ya udah, harganya sesuai isi kantong kamu aja, Ibu bungkus ya." Ucap sang penjual yang langsung membungkus Dress tersebut.
Naya mengerjap beberapa kali. Ia masih tidak percaya. Berhasillllll. Ingin rasanya gadis berteriak saat itu juga.
"Makasih Bu," ucap Naya lalu pergi, dan disusul oleh dua sahabatnya.
Ditempat yang agak jauh, Naya menghela nafas, kemudian mulai cekikikan karena melihat raut wajah dua sahabatnya yang manyun.
"Dress gue harganya seratus tujuh puluh ribu cuma dikasih potongan sepuluh ribu." Ucap Widya kesal.
Dinda mengangguk. "Jiwa emak-emak yang Lo punya Nay, emang paling berguna disaat kek gini, nyesel gue menjiwai kegadisan ini."
Naya cekikikan lagi. "Rezeki anak Pandapotan." kali ini Naya menyebut nama ayah kandungnya. Dan itu sontak membuat mereka tertawa.
"Sebenarnya, ini tuh pengalaman pertama gue beli baju sendiri, biasanya emak gue yang beliin plus nawarnya," jelas Naya.
Widya menoleh, " Terus kok bisa berhasil pas tadi nawar?"
Dinda memegang pundak Widya. "Positif aja, si Naya kan punya muka kasihan jadi nampak sengsaranya." Naya langsung refleks memukul pelan tangan Dinda.
"Gue juga enggak tahu kali, selama ini gue cuma dengar-dengar dari orang lain aja, ternyata praktek lebih mudah daripada teori," ucap Naya. "Pulang yuk." Ajaknya.
Kedua sahabatnya itu hanya mengangguk.
Saat hendak pulang, kering ditenggorokan pun menghampiri. Mereka singgah di salah satu lapak penjual minuman.
Naya melihat-melihat menu rasa minuman, tanpa sengaja gadis itu menoleh dan menangkap sosok seseorang yang membuatnya membulatkan mata.
"Astaga!" Pekiknya.
"Mau rasa apa Neng?" Tanya sang pedagang minuman.
Naya masih belum konsentrasi, dia melirik lagi memastikan apa yang dilihatnya itu benar atau tidak. Ah, ternyata benar, Josua.
"Neng rasa apa?" Tanya sang pedagang lagi yang tadinya dikacangi oleh Naya.
"Rasa yang pernah ada Bang." kemudian tersadar dengan apa yang diucapkannya, "eh, maksud saya, rasa jeruk Bang. Iya, jeruk." Jawabnya gugup.
"Si Naya salah tingkah lihat musuh rasa pengeran Wid." Sindir Dinda.
Naya jadi kelabakan. "Apa sih"
Widya jadi cekikikan dan memanggil pemuda itu. Kemudian Josua menoleh dan menghampiri mereka.
Hubungan pertemanan antara Josua dan Naya cukup dingin, namun tidak dengan dua sahabatnya, mereka tetap akur. Karena bagi Josua, Naya yang punya masalah dengannya bukan temannya. Sedewasa itu.
"Ngapain Jo?" Tanya Dinda sambil mendekat.
Josua menunjukkan selembaran kertas daftar belanjaan.
"Beli pesanan Emak."
"Anak Mami masa mau di suruh belanja ke pasar sih, enggak malu Jo?" Tanya Widya.
"Taruhan nyawa ini." Jawabnya.
Dinda mengernyit, "maksudnya?"
"Kalau gue enggak nurut, Emak gue enggak masak dong. Kalau ga masak, mati kelaparan kami sekeluarga." Ucapnya.
"Ini Neng, rasa yang pernah ada Abang kasih jeruk biar ada kenangan." Ucap sang penjual minuman sambil menyerahkan pesanan Naya.
Naya menunduk malu menggigit bibir bawahnya. Dia lupa uangnya kan udah habis buat beli dress. Ia menoleh pada Widya dan Dinda secara bergantian kemudian cengengesan.
"Lo kenapa? Kesambet?" Tanya Widya.
"Bayarin dong, gue lupa duit gue udah habis tadi hehehe." Jawabnya cengengesan.
Belum sempat salah satu dari dua sahabatnya itu mengambil uang, Josua sudah lebih dulu mengeluarkan lembaran lima ribuan dari sakunya. "Nih Bang buat rasa jeruk yang di campur dengan rasa yang pernah ada," ledeknya. Kemudian dia pamit pada mereka namun tidak memandang Naya sedikit pun. Dan yang lebih parah, mau mengucapkan terimakasih pun lidah Naya susah sekali untuk digerakkan.
Widya jadi baper. "Ahhh, meleleh gue."
"Diem-diem perhatian." Ucap Dinda.
Widya menatap Naya sambil senyum-senyum, "Kalau Josuanya gue ambil boleh ya?"
"Auk gelap." Jawab Naya ketus
"Kayaknya persahabatan kita harus diakhiri guys, karena kita bakalan bersaing mendapatkan cintanya."
"Aduh." Dinda langsung mengaduh karena Naya kali ini pake tenaga menoyor kepalanya.
"Pulang." Ucap Naya ketus.
"Iya, Mak" jawab Dinda dan Widya bersamaan.
Diperjalanan pulang, Naya tampak sedikit bingung. Dahinya berkerut seperti memikirkan sesuatu.
"Josua gila!" Ucapnya tiba-tiba, sontak membuat dua sahabatnya jadi bingung, mereka memasang wajah ingin sebuah penjelasan.
"Kalau misalnya uang belanja dia kurang, terus Emaknya marah gimana?"
Dan pertanyaan itu membuat dua sahabatnya tersenyum. "Cie perhatian." Ucap mereka bersahutan.
Naya mencebikkan bibirnya. "Bukan apa, taruhannya coret nama dari kartu keluarga."
Widya langsung merangkul Naya, "Iya deh, iya. Percaya."
"Percaya, kalau lo enggak khawatir dan enggak perhatian sama musuh lo." timpal Dinda yang membuat mereka cekikikan.
"Kawan gila!"
***
Dilain tempat, Josua yang baru sadar akan sesuatu memukul keningnya,
"Buset, uang minyak motor gue." Gerutunya.
"Cewek gila!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
sassyyhhh_
aku akan mampir setelah aku selesai baca ya kak di tunggu ajaa
2020-09-15
1
y/n
Wah seruu nihh kya nya torr!! semangatt😍✔
2020-09-14
1
Olan
sambil baca boleh dong promosi 🤗my devil husband. jangan lpa mampir ya
2020-09-14
1