Tak Seperti Daun Keladi
Dhanil sudah lebih dari lima kali melihat papan pengumuman yang melekat lebar dihadapannya. Tetap seperti semula, nama Ramadhanil tak ada tertulis disana, tak ada juga nama Muhammad Fadli, tak ada nama Irfansyah, tak ada Miftah, tak ada juga Azdi yang merupakan teman teman sekolah Dhanil. Tapi jelas pada urutan ke 89 ada nama Rahmayani, hanya itu nama yang Dhanil kenal dari ratusan nama yang tertera disana. Dhanil mencoba membaca lagi dari pangkal, tapi tak sampai separuh Dhanil memilih berhenti membaca, berbalik dan melangkah menjauh dari papan pengumuman yang masih banyak dikerumuni orang, dari yang muda hingga yang lumayan tua, belum beruntung.
“Bisa dilihat lihat dulu Bang”.
“Baca Baca dulu Bang “.
Demikian deretan wanita yang membagi brosur dijalan menuju pintu keluar kampus sambil menyodorkan kertas kearah Dhanil. Dhanil mengambil semua yang menyodorkan padanya dan memegangnya begitu saja, langkah Dhanil terus menuju gerbang keluar. Tak ada pilihan Dhanil yang lain saat itu kecuali kembali ke kost Baimil.
“Dan... “.
Dhanil menoleh kearah yang memanggil namanya. Tampak diseberang ada Fadli sambil melambai lambaikan tangan. Dhanil mengangguk dan bergegas menuju seberang, sebuah kantin mini.
“Mau kemana rencana ?”.
“Balik ke tempat Bang Baimil”.
“Nanti ajalah baliknya, minum teh dulu, cerita cerita”.
Dhanil hanya senyum saja dan mengikuti langkah Fadli menuju kedalam kantin dan memesan teh manis. Memang ada baiknya istirahat sejenak dulu setekah tadi cukup lama berdiri didepan papan pengumuman yang padat itu. Dhanil memandangi sekeliling kantin, tak ada wajah yang dikenalnya kecuali Fadli, kemudian Dhanil merasa lebih baik membaca baca brosur yang sedari tadi dipegangnya.
Fadli ambil satu lembar dari tangan Dhanil. “Ini Universitas yang bagus juga Dan. Bang Baimil kan kuliah disini”.
Dhanil melihat sepintas. “Jadi. Kita kesana aja ?”.
Fadli anggukkan kepala. “Boleh juga”.
“Telephon Bang Baimil aja dulu”.
“Nanti ajalah di kostnya”.
“Okelah”.
Dhanil terus membaca satu demi satu brosur yang ada ditangannya. Tapi pilihan Fadli yang juga merupakan kampus Baimil rasanya termasuk pilihan yang paling tepat. Disamping disana ada Baimil, ada juga beberapa pertimbangan lain yang dapat mendukung, seperti tempat kost. Dengan memilih Universitas itu, maka kemungkinan untuk terus bertahan tinggal bersama Baimil akan lebih baik.
“Bang Baimil tinggal sendiri disana kan ?”.
Fadli anggukkan kepala. “Kemarin ada tiga sebenarnya, tapi temannya yang dua orang sudah selesai sidang tahun ini”.
“Jadi tinggal sendiri dia kalo begitu”.
Fadli mengangguk lagi. “Tinggal sendiri”.
“Kita bisa tinggal disana aja kalo begitu Fad”.
“Aku juga rencana begitu. Bang Baimil juga udah bilang, kalo kita mau kita bisa tinggal disana aja”.
Dhanil angguk angguk kepala. Pilihan untuk tinggal bersama Baimil mungkin akan lebih baik, Baimil kakak kelas yang baik, dulu waktu masih SMA pun Dhanil termasuk orang yang menyukai dan menghormati mantan ketua OSIS itu. Orang yang ramah dan tak banyak meminta, tak banyak syarat dan paling suka menolong. Setidaknya Dhanil sudah beberapa kali menerima dan menikmati pertolongan Baimil waktu masih SMA dulu. Baimil juga orang yang punya jiwa sosial tinggi, bukan hanya karena dia aktif di Pramuka, akan tetapi Baimil memang selalu menunjukkan jiwa sosialnya dengan terlibat langsung dalam beberapa kegiatan kemasyarakatan.
“Pacarmu lulus kan Dan ?”.
Dhanil menoleh. “Yani lulus di Sastra Inggris”.
“Udah ketemu ?”.
Dhanil menggeleng. “Belum”.
Dhanil juga lihat tadi nama Yani ada dideretan nama yang lolos UMPTN tahun ini, artinya Yani akan kuliah di Universitas Negeri. Yani memang pacar Dhanil sejak kelas XI SMA dulu. Sampai kini memang belum ada cerita bubar, artinya Dhanil dan Yani masih terus menjalin hubungan. Bahkan waktu mau ke Medan ini kemarin Yani setengah memaksa agar berangkat sama, tetapi Dhanil tidak bisa karena ada urusan lain, Dhanil juga agak segan karena Yani pergi dengan keluarganya.
“Irfan kemarin jadi ikut kan ?”.
Fadli geleng kepala. “Seingatku nggak jadi. Irfan jadinya ke IAIN”.
“Pantas namanya nggak ada. Heran juga aku tadi Irfan nggak lulus”.
Fadli menggeleng. “Nggak lulus lah. La memang dia nggak ikut”.
Dhanil dan Fadli sama tertawa. Dhanil tadi memang cari juga nama Irfan dan tidak ketemu, Dhanil baru sadar kalau memang sampai kapanpun ia cari, yang namanya Irfan memang tak bakal ada, karena Irfan tak jadi ikut mendaftar, Irfan memilih ke perguruan tinggi agama.
“Miftah sama Azdi kok nggak kelihatan ya”.
Fadli sekali lagi menggeleng. “Aku juga nggak lihat mereka. Lagian memang rame, susah nyarinya. Atau memang
mereka memang nggak datang”.
Dhanil angguk anggukkan kepala.
Suasana di kampus ini memang amat sangat ramai, banyak manusia yang berjubel hanya untuk melihat pengumuman, bahkan walau pengumuman di koran sudah ada ditangannya, masih juga ikut nimbrung berdiri didepan papan pengumuman, mungkin masih punya rasa penasaran atau kurang puas dengan yang tercetak di koran.
Dhanil angkat Hpnya yang berdering. “Hallo”.
“Yani Bang ... abang dimana ?”.
“Masih di Kampus, di kantin seberang kampus”.
“Kantin yang mana ?, Yani juga disini kok”.
“Yang diseberang Gerbang Utama”.
“Bentar ya Bang.. “.
Hp mati. Dhanil keluar kantin dan melihat Yani dengan jilbab biru sedang berjalan menuju keluar gerbang. Dhanil berinisiatif melangkah menyeberangi jalan menemui Yani yang sudah berdiri tepat dimulut pintu gerbang utama.
“Kesana aja yok”.
“Kemana ?”.
“Kesana”. Dhanil menunjuk kantin.
“Fadli juga disitu”.
Yani anggukkan kepala. Dhanil pegang tangan Yani dan berdua mereka menyeberangi jalan yang cukup lebar dan cukup padat. Dhanil tampak begitu menjaga Yani dari lalu lalang kenderaan.
“Yani tadi kesini sama siapa ?”.
“Kakak Ipar”.
“Sekarang Kakaknya dimana ?”.
“Udah pulang duluan”.
Dhanil hanya anggukkan kepala saja dan terus sama berjalan menuju kantin. Fadli yang menatap dari kantin hanya tersenyum saja, setidaknya saat ini Fadli mengakui kalau ia akhirnya terkena aroma cemburu juga melihat kedua temannya yang tampak makin mesra itu. Fadli merasakan itu karena memang hingga saat ini Fadli belum juga punya pacar, dari dulu hingga kini memang Fadli belum pernah tahu bagaimana rasanya kalo punya pacar, Fadli kurang tahu bagaimana cara mendekati perempuan yang pada ujungnya ya seperti ini, jomblo terus.
Fadli menyambut dengan jabat tangan yang diajukan padanya. “Selamat Yan. Kaya’nya dari banyak kita, hanya
kamu yang lulus”.
Yani menggeleng. “Nggak juga Bang”.
“Nggak juga gimana Yan ?”.
“Tika dan Irfan juga lulus. Tapi nggak disini, disebelah”.
“Disebelah gimana maksudnya ?”.
“Di Universitas lain, yang UMPTN nya nggak sama dengan yang disini”.
Fadli angguk angguk kepala. “Oh ya.. Hebat juga mereka. Berarti yang bodoh kita ni Dan“.
Dhanil hanya tertawa tipis. Boleh jadi memang, karena mereka lumayan bodoh yang menyebabkan tidak lulus UMPTN, Dhanil juga akui itu, dari 125 soal yang mau dijawab kemarin tiap mata ujian Dhanil paling mampu menjawab tak sampai seperempatnya, apalagi soal Matematika dan Bahasa Inggris, Dhanil pusing dibuatnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
Puan Harahap
hello hadir kembali
2021-09-07
0
Fira Ummu Arfi
pembaca setiaaa hadirrr..😘😘😘😘
tinggalin jejak jg di Novel ku ya ASIYAH AKHIR ZAMAN 💃💃💃💃💃
2021-03-16
0