Hari lumayan panas, Dhanil keluar ruang kampus secepat ia bisa, Dhanil langsung memulai aktifitas yang ia lakukan hampir setiap hari. Menjadi guru les privat malam hari rasanya masih belum nyaman untuk menutupi biaya hidup dan kuliahnya, sehingga Dhanil menambah aktivitas dengan menjual rokok, minuman dan makanan kecil di kampus, memang hanya diseputar kampus, tidak sampai keluar.
Dhanil sedikit bergegas mendekati ibu paruh baya yang memanggilnya. Walau Dhanil tak kenal Dhanil merasa perlu mengacuhkan semua orang yang memanggilnya, apalagi yang memanggilnya itu berusia jauh lebih dewasa dari usianya, anak kecil saja tak pernah tak diacuhkan Dhanil, apalagi sekelas orang tua yang baru saja memanggilnya.
Dhanil dengan senyum mendekat ibu paruh baya itu dan duduk di deretan kursi semen yang memang disediakan kampus.
“Kamu yang namanya Dhanil ?”.
“Benar Bu, ada yang bisa saya bantu ?”. Dhanil balik bertanya.
Dhanil cukup lama menunggu jawaban dari Ibu paruh baya yang wajahnya tiba tiba kurang ramah dimata Dhanil. Dhanil meletakkan kotak jualannya kesamping berusaha tenang. Tapi rona wajah yang tegang itu membuat Dhanil jadi bertanya tanya, Dhanil mendapat firasat yang kurang baik dari sikap sang ibu yang tak ikut sertakan senyum dalam raut wajahnya yang tampak masih cantik.
“Jadi kamu kerja jual rokok disini, bukan kuliah ?”.
Dhanil terus berusaha senyum. “Sedang tak ada mata kuliah Bu, apa salahnya nyari tambahan jualan rokok”.
“Memang orang tuamu kerjanya apa ?”.
Dhanil masih berusaha senyum. “Saya sudah yatim piatu Bu”.
“O..”.
Cukup ketus, ini membuat Dhani jadi kurang enak. Ada yang aneh menurut Dhanil. Ibu paruh baya ini sama sekali belum Dhanil kenal, tapi sudah banyak pertanyaan yang harus Dhanil jawab, tapi entah kenapa Dhanil serasa tak punya kekuatan untuk bertanya siapa ibu itu sebenarnya, hingga Dhanil hanya menunggu pertanyaan dan berusaha menjawabnya dengan baik.
“Tinggal dimana ?”.
“Di Gang Perhubungan, masih dekat sini Bu”.
“Kos ?”.
Dhanil menganggukkan kepala. “Iya Bu”.
“Kamu betul kuliah”.
Kening Dhanil jadi berkerut. Menurut Dhanil pertanyaan itu lumayan membuat kesal. Tapi Dhanil anggukkan kepala juga. “Saya ambil Pendidikan IPS Bu”.
“Mau jadi Guru ya”.
“Memang jurusannya kesana Bu”.
Dhanil masih merasa kalau tak ada yang salah dalam dirinya, tapi Dhanil juga sangat merasa kalau semua yang ia punya salah dimata wanita paruh baya ini. Yang terus mengejar kini adalah, apa dan siapa wanita paruh baya ini. Kenapa semua tanya yang disampaikan kurang membuat nyaman.
“Gaji guru kurang bagus kan ?. dengan itu kamu bisa apa ?”.
Kali ini Dhanil betul betul tercekat. Pernyataan itu membuat Dhanil jadi punya sedikit rasa kesal. Dhanil merasa itu pertanyaan yang kurang bagus, atau malah tak bagus, tak patut dipertanyakan sama sekali. Tapi Dhanil masih berusaha tersenyum, walau kalimat itu cukup menyakitkan bagi Dhanil tapi Dhanil tetap berusaha tegar sebisanya, dan kembali pertanyaan pertanyaan yang makin banyak muncul dibenak Dhanil kembali lagi keawal, siapa dan apa tujuan ibu parah baya ini mengajaknya bicara.
“Saya ibunya Yani. Saya ingin tahu saja siapa laki laki yang membuat anak perempuan saja jatuh cinta. Tadi saya pikir adalah anak yang berasal dari keluarga yang jelas asal usulnya, punya tingkat yang layak untuk membuat bahagia anak saya”.
Walau sangat terkejut, Dhanil masih berusaha senyum tipis. Kata kata itu cukup menyayat memang, tapi untuk tersenyum sepertinya tak juga salah, sehingga Dhanil tetap berusaha tenang dan menatap wanita paruh baya yang ternyata Ibu Kekasihnya itu dengan senyum walau amat sangat tipis sekali.
“Tapi ternyata pikiran saya salah total. Ternyata hanya kamu yang untuk kuliah saja harus mati matian kerja, hanya penjual rokok asongan yang untungnya tak seberapa. Kok bisa ya ?”.
“Maksud Ibu ?”.
“Apa yang merusak pikiran anak perempuan saya sehingga bisa jatuh cinta pada lelaki semacam kamu. Heran saya”.
Dhanil senyumpun tak lagi bisa. Ada banyak emosi yang muncul dikepalanya, tapi hati Dhanil tetap mengatakan lebih baik diam. Dhanil terus memandangi Ibu separuh baya itu dengan seksama, ada perasaan aneh yang muncul dihati Dhanil, sebegitu rendahkan apa yang sedang ia kerjakan ?, tapi itu hanya ada di batin Dhanil. Mungkin berbanding terbalik dengan apa yang ada dalam pikiran wanita paruh baya itu.
“Tapi inikan halal Bu”. Dhanil berusaha tegar.
Ibu paruh baya ini sedikit mendengus. “Saya ingin seseorang yang lebih untuk anak saya, setidaknya bisa melakukan hal yang sama dengan apa yang saya bisa berikan padanya. Bukan malah jadi susah”.
Dhanil tak lagi berusaha menjawab. Menurut Dhanil tak ada kalimat yang dapat mematahkan kalimat demi kalimat yang pedas yang meluncur dari bibir ibu paruh baya itu. Dhanil hanya mampu menghusap wajahnya dengan kedua tangannya berupaya mengurangi detak jantungnya yang makin lama makin kencang saja.
“Ibu akan sangat berterima kasih jika kamu paham. Ibu ingin sebuah kebahagiaan yang nyata, bukan sekedar bayangan. Semoga kamu paham”.
Dhanil mengangguk, tak ada lagi yang bisa Dhanil katakan selain hanya anggukan kepala. Pelan sudah memang suara ibu ini, tapi kalimatnya mampu membuat dada Dhanil sangat panas. Akhirnya Dhanil buang nafas berat dan mencoba tersenyum, walau itu mungkin sangat tipis, tapi tampaknya Dhanil berhasil mengutasnya lengkap.
“Kenapa ibu seperti itu ?”.
Ibu paruh baya ini mendelik. Matanya tajam dan sangat lurus menghujam tepat kearah Dhanil. Untuk kesekian kalinya Dhanil mengambil sikap menunduk, mengalihkan pandangan dari wajah ibunya Yani yang tetap saja tidak memberikan kemungkinan melembut.
“Kenapa seperti ini ?”.
Sang Ibu seperti balik bertanya dan menatap Dhanil cukup lekat. Dhanil tak kuat lama lama menatap tajamnya mata ibu separuh baya itu, bagai menghujam dan membelah kepala Dhanil, ini kemudian yang membuat Dhanil memilih membuang pandangan beralih ke halaman kampus. Walau sesungguhnya ada banyak pertanyaan yang mengitari pikiran Dhanil, tapi tak ada satu patahpun yang dapat keluar.
“Itu karena saya seorang ibu, seorang ibu ingin sesuatu yang lebih baik untuk anak gadisnya”.
“Tapi Bu... “.
“Lantas kamu bisa apa anak muda ?, kamu bisa apa coba ?”.
Dhanil kecut. Entah kalimat apa lagi yang bisa Dhanil ukir untuk disampaikan ke ibu paruh baya yang memang terang terangan menjengkali hidupnya. Dhanil memutar otak, tapi rasanya tak ada lagi yang patut disampaikan pada ibu paruh baya ini, semuanya akan tampak mentah pada akhirnya, sehingga Dhanil merasa lebih baik memilih alternatif menerima apa yang ibu paruh baya ini inginkan.
“Ibu tidak usah khawatir, saya akan mengikutinya”.
Ibu paruh baya ini menatap Dhanil amat lekat. Hingga Dhanil salah tingkah dibuatnya. Dhanil sudah berusaha tenang dengan menggeser sedikit tempat duduknya, tapi tatapan ibu paruh baya yang lurus tepat kewajahnya membuat Dhanil tak bisa berkelit kemana, Dhanil tak mampu menatap wajah ibu paruh baya itu hingga memilih menunduk menatap tanah.
“Kamu tidak berusaha dekati Yani lagi ?”.
“Saya janji Bu”. Jawab Dhanil dengan tetap memandang tanah.
Ibu paruh baya ini sedikit tersenyum dan berdiri. “Ibu percaya kamu bukan seorang pendusta. Kamu pasti mempertahankan apa yang kamu katakan”.
“Insya Allah Bu, saya janji”. Tegas Dhanil.
“Baik. Tapi kamu harus ingat satu hal, jika masih ada pertemuan antara kamu dan Yani, Ibu akan ambil jalan lain. Kamu jangan menyesal nanti”.
Lembut memang, tapi cukup kembali membuat dada Dhanil sesak. Dhanil berdiri sama seperti ibu paruh baya itu, Kalimat ancaman itu membuat Dhani geleng geleng kepala, dan kembali harus menahan hati, uluran tangan Dhanil sama sekali tak digubris ibu paruh baya ini hingga Dhanil perlahan menariknya kembali. Dhanil terus memandangi ibu paruh baya itu hingga masuk mobil, bergerak dan bahkan hingga mobilnya hilang ditikungan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
Sri Astuti
lagi" arogansi orang yg merasa lbh unggul
2022-02-02
0
Fira Ummu Arfi
boom likeee mendaratttt kakk
2021-04-29
0
Yoo_Rachel
Semangat
2021-04-12
0