NovelToon NovelToon

Tak Seperti Daun Keladi

Belum Beruntung

Dhanil sudah lebih dari lima kali melihat papan pengumuman yang melekat lebar dihadapannya. Tetap seperti semula, nama Ramadhanil tak ada tertulis disana, tak ada juga nama Muhammad Fadli, tak ada nama Irfansyah, tak ada Miftah, tak ada juga Azdi yang merupakan teman teman sekolah Dhanil. Tapi jelas pada urutan ke 89 ada nama Rahmayani, hanya itu nama yang Dhanil kenal dari ratusan nama yang tertera disana. Dhanil mencoba membaca lagi dari pangkal, tapi tak sampai separuh Dhanil memilih berhenti membaca, berbalik dan melangkah menjauh dari papan pengumuman yang masih banyak dikerumuni orang, dari yang muda hingga yang lumayan tua, belum beruntung.

“Bisa dilihat lihat dulu Bang”.

“Baca Baca dulu Bang “.

Demikian deretan wanita yang membagi brosur dijalan menuju pintu keluar kampus sambil menyodorkan kertas kearah Dhanil. Dhanil mengambil semua yang menyodorkan padanya dan memegangnya begitu saja, langkah Dhanil terus menuju gerbang keluar. Tak ada pilihan Dhanil yang lain saat itu kecuali kembali ke kost Baimil.

“Dan... “.

Dhanil menoleh kearah yang memanggil namanya. Tampak diseberang ada Fadli sambil melambai lambaikan tangan. Dhanil mengangguk dan bergegas menuju seberang, sebuah kantin mini.

“Mau kemana rencana ?”.

“Balik ke tempat Bang Baimil”.

“Nanti ajalah baliknya, minum teh dulu, cerita cerita”.

Dhanil hanya senyum saja dan mengikuti langkah Fadli menuju kedalam kantin dan memesan teh manis. Memang ada baiknya istirahat sejenak dulu setekah tadi cukup lama berdiri didepan papan pengumuman yang padat itu. Dhanil memandangi sekeliling kantin, tak ada wajah yang dikenalnya kecuali Fadli, kemudian Dhanil merasa lebih baik membaca baca brosur yang sedari tadi dipegangnya.

Fadli ambil satu lembar dari tangan Dhanil. “Ini Universitas yang bagus juga Dan. Bang Baimil kan kuliah disini”.

Dhanil melihat sepintas. “Jadi. Kita kesana aja ?”.

Fadli anggukkan kepala. “Boleh juga”.

“Telephon Bang Baimil aja dulu”.

“Nanti ajalah di kostnya”.

“Okelah”.

Dhanil terus membaca satu demi satu brosur yang ada ditangannya. Tapi pilihan Fadli yang juga merupakan kampus Baimil rasanya termasuk pilihan yang paling tepat. Disamping disana ada Baimil, ada juga beberapa pertimbangan lain yang dapat mendukung, seperti tempat kost. Dengan memilih Universitas itu, maka kemungkinan untuk terus bertahan tinggal bersama Baimil akan lebih baik.

“Bang Baimil tinggal sendiri disana kan ?”.

Fadli anggukkan kepala. “Kemarin ada tiga sebenarnya, tapi temannya yang dua orang sudah selesai sidang tahun ini”.

“Jadi tinggal sendiri dia kalo begitu”.

Fadli mengangguk lagi. “Tinggal sendiri”.

“Kita bisa tinggal disana aja kalo begitu Fad”.

“Aku juga rencana begitu. Bang Baimil juga udah bilang, kalo kita mau kita bisa tinggal disana aja”.

Dhanil angguk angguk kepala. Pilihan untuk tinggal bersama Baimil mungkin akan lebih baik, Baimil kakak kelas yang baik, dulu waktu masih SMA pun Dhanil termasuk orang yang menyukai dan menghormati mantan ketua OSIS itu. Orang yang ramah dan tak banyak meminta, tak banyak syarat dan paling suka menolong. Setidaknya Dhanil sudah beberapa kali menerima dan menikmati pertolongan Baimil waktu masih SMA dulu. Baimil juga orang yang punya jiwa sosial tinggi, bukan hanya karena dia aktif di Pramuka, akan tetapi Baimil memang selalu menunjukkan jiwa sosialnya dengan terlibat langsung dalam beberapa kegiatan kemasyarakatan.

“Pacarmu lulus kan Dan ?”.

Dhanil menoleh. “Yani lulus di Sastra Inggris”.

“Udah ketemu ?”.

Dhanil menggeleng. “Belum”.

Dhanil juga lihat tadi nama Yani ada dideretan nama yang lolos UMPTN tahun ini, artinya Yani akan kuliah di Universitas Negeri. Yani memang pacar Dhanil sejak kelas XI SMA dulu. Sampai kini memang belum ada cerita bubar, artinya Dhanil dan Yani masih terus menjalin hubungan. Bahkan waktu mau ke Medan ini kemarin Yani setengah memaksa agar berangkat sama, tetapi Dhanil tidak bisa karena ada urusan lain, Dhanil juga agak segan karena Yani pergi dengan keluarganya.

“Irfan kemarin jadi ikut kan ?”.

Fadli geleng kepala. “Seingatku nggak jadi. Irfan jadinya ke IAIN”.

“Pantas namanya nggak ada. Heran juga aku tadi Irfan nggak lulus”.

Fadli menggeleng. “Nggak lulus lah. La memang dia nggak ikut”.

Dhanil dan Fadli sama tertawa. Dhanil tadi memang cari juga nama Irfan dan tidak ketemu, Dhanil baru sadar kalau memang sampai kapanpun ia cari, yang namanya Irfan memang tak bakal ada, karena Irfan tak jadi ikut mendaftar, Irfan memilih ke perguruan tinggi agama.

“Miftah sama Azdi kok nggak kelihatan ya”.

Fadli sekali lagi menggeleng. “Aku juga nggak lihat mereka. Lagian memang rame, susah nyarinya. Atau memang

mereka memang nggak datang”.

Dhanil angguk anggukkan kepala.

Suasana di kampus ini memang amat sangat ramai, banyak manusia yang berjubel hanya untuk melihat pengumuman, bahkan walau pengumuman di koran sudah ada ditangannya, masih juga ikut nimbrung berdiri didepan papan pengumuman, mungkin masih punya rasa penasaran atau kurang puas dengan yang tercetak di koran.

Dhanil angkat Hpnya yang berdering. “Hallo”.

“Yani Bang ... abang dimana ?”.

“Masih di Kampus, di kantin seberang kampus”.

“Kantin yang mana ?, Yani juga disini kok”.

“Yang diseberang Gerbang Utama”.

“Bentar ya Bang.. “.

Hp mati. Dhanil keluar kantin dan melihat Yani dengan jilbab biru sedang berjalan menuju keluar gerbang. Dhanil berinisiatif melangkah menyeberangi jalan menemui Yani yang sudah berdiri tepat dimulut pintu gerbang utama.

“Kesana aja yok”.

“Kemana ?”.

“Kesana”. Dhanil menunjuk kantin.

“Fadli juga disitu”.

Yani anggukkan kepala. Dhanil pegang tangan Yani dan berdua mereka menyeberangi jalan yang cukup lebar dan cukup padat. Dhanil tampak begitu menjaga Yani dari lalu lalang kenderaan.

“Yani tadi kesini sama siapa ?”.

“Kakak Ipar”.

“Sekarang Kakaknya dimana ?”.

“Udah pulang duluan”.

Dhanil hanya anggukkan kepala saja dan terus sama berjalan menuju kantin. Fadli yang menatap dari kantin hanya tersenyum saja, setidaknya saat ini Fadli mengakui kalau ia akhirnya terkena aroma cemburu juga melihat kedua temannya yang tampak makin mesra itu. Fadli merasakan itu karena memang hingga saat ini Fadli belum juga punya pacar, dari dulu hingga kini memang Fadli belum pernah tahu bagaimana rasanya kalo punya pacar, Fadli kurang tahu bagaimana cara mendekati perempuan yang pada ujungnya ya seperti ini, jomblo terus.

Fadli menyambut dengan jabat tangan yang diajukan padanya. “Selamat Yan. Kaya’nya dari banyak kita, hanya

kamu yang lulus”.

Yani menggeleng. “Nggak juga Bang”.

“Nggak juga gimana Yan ?”.

“Tika dan Irfan juga lulus. Tapi nggak disini, disebelah”.

“Disebelah gimana maksudnya ?”.

“Di Universitas lain, yang UMPTN nya nggak sama dengan yang disini”.

Fadli angguk angguk kepala. “Oh ya.. Hebat juga mereka. Berarti yang bodoh kita ni Dan“.

Dhanil hanya tertawa tipis. Boleh jadi memang, karena mereka lumayan bodoh yang menyebabkan tidak lulus UMPTN, Dhanil juga akui itu, dari 125 soal yang mau dijawab kemarin tiap mata ujian Dhanil paling mampu menjawab tak sampai seperempatnya, apalagi soal Matematika dan Bahasa Inggris, Dhanil pusing dibuatnya.

Mau Jadi Guru

Sejujurnya Fadli agak resah campur risih melihat tingkah laku Yani yang persis didepan matanya. Sambil duduk Yani terus mengamit tangan Dhanil dan menyandarkan kepalanya di bahu Dhanil, Fadli merasa Yani tak sebegitu perlu bermanja manja dikantin seperti ini, banyak orang dan hanya mereka bertiga yang saling kenal. Tapi Fadli bisa apa, tak mungkin ia mengeluarkan larangan atau semacamnya, sehingga Fadli hanya sebisa mungkin lebih sering mengalihkan pandangan kelokasi lain.

“Rencana kost dimana Bang ?”.

“Mungkin terus sama Bang Baimil di Gang Perhubungan, Yani dimana ?”.

“Yani di tempat sodara, di Jalan Balai Desa”.

Dhanil mengangguk. “Didaerah mana itu Yan ?”.

“Sudah dekat ke Amplas Bang”.

Dhanil sedikit agak berkerut keningnya. “Kan jauh kemari”.

“Nggak apa apalah”.

“Apa nggak capek ?”.

“Lihat nanti ajalah Bang”.

Fadli sebenarnya sudah mulai merasa tak sedap, hati Fadli main tak karuan dengan keadaan yang dihadapinya. Yani jelas tampak makin mempererat gamitan tangannya, kepalanya juga makin disandarkan kebahu Dhanil, dan Dhanil seakan menikmatinya dengan baik. Fadli merasa Yani dan Dhanil berada pada tempat yang salah untuk menunjukkan gaya manja manjaan, untungnya tidak banyak yang peduli dengan gaya keduanya, hanya Fadli saja yang merasa risih. Apalagi tampak Dhanil dan Yani saling mengumbar bisik seakan tak ada siapa siapa didepan mereka, sial bagi Fadli, semakin sering pun ia melempar pandangannya tetap saja pandangan Fadli kembali kepada gaya Dhanil dan Yani. Fadli agak lega saat Yani melepaskan gamitan tangannya dan meluruskan duduknya untuk mengambil HP dikantongnya yang berdering.

Fadli hanya mendengar selintas kalau yang menelphon Yani adalah Kakak Iparnya, dan juga tak tahu apa lagi karena pada jawaban kedua Yani dan Dhanil langsung beranjak keluar kantin. Fadli juga hanya memandangi dari jauh saat Yani masuk mobil dan Dhanil kembali kedalam kantin.

Dhanil buang nafas agak berat. “Kakak Ipar Yani itu sebenarnya cantik”. Dhanil bersungut sambil geleng kepala. “Tapi seram kalipun”.

Fadli mengangkat kepala menatap Dhanil. “Seram ?. Seram gimana Dan, udah macam hantu aja”.

“Seram. Matanya melotot ngeliat aku”. Dhanil masih terus menggerutu, tampak Dhanil sangat kesal.

“Molotot itukan biasa Dan. Sampai gimana memang ?”.

“Macam memandang pencuri aja”. Jawab Dhanil sambil memperagakan.

Fadli tertawa. “Ach.. perasaanmu aja kali Dan”.

“Serius. Aku gerah melihatnya”.

Fadli hanya tersenyum kecil, Fadli justru merasa Dhanil agak berlebihan, masa ada orang yang gayanya kayak begitu. Tapi itu sangat berbanding terbalik dengan apa yang ada dikepala Dhanil. Dhanil agak merasa aneh dengan cara kakak ipar Yani memandangnya. Tak ada sedikitpun aroma keramahan yang bisa ditunjukkan ibu muda itu, bahkan senyum yang dilontarkan Dhanil pun tak mau ia balas walau hanya nyinyir. Ibu muda itu tampak dengan jelas menunjukkan kesangaran dan ketidak senangan Dhanil berdiri disamping adik iparnya. Padahal jika ibu muda itu mampu menunjukkan sedikit saja keramahan, Dhanil yakin ibu muda itu akan tampak sangat cantik, aroma muka yang disodorkannya sangat tidak sesuai dengan jilbab yang ia pakai.

“Kalo dia tadi nggak pake jilbab nggak apa apa juga rasanya”.

Fadli mendehem. “Siapa Dan ?”.

“Itu tadi..”.

“Siapa ?”.

“Kakak ipar Yani”.

Fadli tertawa kecil. “Masih pikirkan itu juga ?”.

“Heran aja Fad”.

“Biasalah Dan. Kadang jilbab bukan petunjuk bersikap islami, jilbab bisa juga dijadikan mode, pake jilbab bukan berarti baik hati. Tapi tidak semua ya, jangan bilang itu trend”.

“Itu yang sering buat kecewa Fad”.

“Lantas. Apa gunanya kita kecewa. Apa itu bisa merubah keadaan”.

Dhanil menggeleng. “Mungkin Ya, mungkin tidak”.

“Nggak semudah itu. Kita pada dasarnya hanya bisa berharap. Tapi harapan tetaplah harapan, tak lantas bisa

diharapkan”.

Dhanil anggukkan kepala juga, seperti setuju dengan kata kata Fadli. Harus jujur memang, banyak orang yang menjadikan jilbab bukan sebuah kewajiban tapi tak lebih dari kebutuhan, yang lebih parah lagi jilbab lebih mengarah kepada kesesuaian mode. Dhanil beranggapan sedikit agak tegas, menurut Dhanil seharusnya, jika bisa memakai jilbab berarti bisa pula menunjukkan sikap yang betul betul agamis, punya tingkat keramahan setidaknya, mampu menunjukkan sikap sikap yang diwajibkan oleh agama, bisa menunjukkan sikap dengan budi pekerti yang baik dari kebanyakan. Tapi Dhanil juga paham bahwa bukan berarti pula orang yang tak pakai jilbab tak bisa bersikap lebih baik, akhirnya tetap kembali kepada sikap asli seseorang, bagaimana ia melihat dan menjalankan hidup. Intinya, sikap seseorang tidak lantas bisa dikukur dengan hanya melihat gayanya berpakaian.

 “Cabut Dan ...”.

Dhanil langsung berdiri. “Ayo”.

Dhanil hanya memandangi Fadli yang bayar apa yang tadi mereka pesan dan kemudian melangkah keluar berbarengan dengan Fadli, untung ada angkot yang kebetulan berhenti turunkan penumpang. Dhanil dan Fadli naik dan sudaco melaju lagi.

“Masih ingat simpangnya Dan..”.

Dhanil tertawa kecil. “Mudah mudahan masih”.

“Jangan sampe lewat ya. Aku udah rada rada lupa”.

Dhanil kembali tertawa kecil. “Paling lewat nanti”.

Dhanil dan Fadli akhirnya sama sama tertawa. Ini merupakan perjalanan ketiga mereka di Kota Metropolitan Medan dengan angkot. Pertama dulu waktu mendaftar, kedua waktu ujian. Tapi keduanya ditemani oleh Baimil sehingga baik Dhanil maupun Fadli tak begitu peduli turun dan naik dimana karena sepenuhnya urusan Baimil. Sangat berbeda dengan perjalanan kali ini, Dhanil dan Fadli tanpa Baimil. Waktu berangkat tadi sudah lumayan sukses walau masih salah turun, tidak digerbang utama. Tak mengapa memang, Cuma jalan kakinya makin jauh dikit.

Dikost Dhanil dan Fadli disambut oleh Baimil dengan senyuman yang cukup lebar. Hari ini Baimil agak cepat pulang karena di kampus masih sibuk dengan agenda penerimaan mahasiswa baru.

“Gimana ?”.

“Hancur lebur Bang”. Fadli yang menjawab.

“Sama ?”.

Dhanil anggukkan kepala. Baimil hanya tersenyum saja dan memberikan nasehat yang ia bisa, Baimil beranggapan kalau itu semua biasa saja, bukan satu hal yang luar biasa. Lagi pula perguruan tinggi swasta yang banyak di Kota Medan ini juga banyak yang bagus bagus. Baimil langsung mendukung pendapat Dhanil kalau mereka akan kuliah satu kampus dengan Baimil.

“Okey. Besok pagi aja kita kesana”. Baimil berdiri menuju dapur dan kembali lagi dengan segelas air putih. “Mau ambil jurusan apa ?”.

Dhanil dan Fadli saling pandang. Sejujurnya memang, Dhanil maupun Fadli belum kepikir kesana, baik Dhanil maupun Fadli belum punya kesimpulan yang final soal itu, soal jurusan apa yang akan diambil dalam melanjutkan sekolah saat ini sehingga pertanyaan Baimil justru membuat mereka malah saling pandang, bukan menjawab.

“Abang jurusan apa ?”. Fadli yang bertanya.

“Kalo abang ambil FKIP jurusan Bahasa Inggris”.

“Guru Bang ?”.

Baimil anggukkan kepala. Dhanil dan Fadli kembali saling pandang, dhanil yang merasa ada baiknya ikut dengan

Baimil mencoba jadi guru, dan ternyata Fadli punya pikiran yang sama walau waktu UMPTN kemarin Dhanil ambil Fakultas Ekonomi dan Sastra Bahasa Indonesia sebagai pilihan yang jelas jelas tak ada hubungannya dengan guru dan keguruan, Fadli setali tiga uang, waktu itu Fadli ambil Tekhnik Mesin dan Tekhnik Sipil. Apakah yang akan diambil masih sama ?. pertanyaan itu terus melingkari otak Dhanil dan Fadli.

“Menurut abang yang bagus mana Bang ?”. Dhanil merasa perlu minta pendapat Baimil.

“Kok malah nanya Abang”.

Dhanil tersenyum kecil. “Iya, apa salahnya Bang ?”.

Baimil ikut tersenyum dan menjelaskan kenapa ia memilih FKIP, apa yang menjadi alasan besar Baimil mengambil langkah menempuh pendidikan keguruan, itu bukan pilihan yang berdasarkan rasa ikut ikutan, tapi memang sudah niatan Baimi sejak dari masa SMP. Baimil menjelaskan cukup detail, mulai dari proses perkuliahan hingga keadaan yang diharapkan kelak setelah lulus. Tampaknya Dhanil dan Fadli cukup menerima konsep konsep yang dikemukakan Baimil.

“Saya kalo gitu mau ambil Bahasa Indonesia aja Bang”. Kata Fadli tampak cukup semangat. “Jadi guru kayaknya enak juga”.

Baimil tersenyum. “Jangan kayaknya aja Fad. Istilah sekarang, Jadilah Guru, bukan Guru pun Jadilah”.

Fadli geleng kepala. “Aku serius kok Bang”.

Baimil senyum tipis aja. “Dhanil gimana ?”.

Dhanil anggukkan kepala. “Aku juga mau ke FKIP aja Bang, aku mau ambil IPS aja Bang, nampaknya itu cukup menantang”.

Baimil tampak cukup buas, karena tampak cukup sering mengangguk anggukkan kepalanya. Fadli dan Dhanil juga sepertinya merasa kalau apa yang mereka pilih hari ini adalah pilihan yang paling tepat. Pilihan yang tidak akan salah. Banyak yang positif yang bisa diambil dengan menentukan pilihan sebagai calon seorang guru. Baik Dhanil maupun Fadli membayangkan para guru mereka sejak SD hingga SMA, semuanya tampak bahagia dalam menjalankan hidupnya walau terkesan cukup sederhana.

“Kalau mau kaya. Jadi pengusaha aja”.

Dhanil dan Fadli sama memandang Baimil. “Kaya itu relatif kan Bang ?. tidak harus pengusaha juga”. Dhanil yang ngomong.

“Petani juga banyak yang kaya Bang”. Sambung Fadli.

Baimil anggukkan kepala. “Okelah. Kalo memang itu keputusannya. Besok kita sama kesana, sekarang tidur aja dulu. Capek”.

“Okey Bang”.

Dhanil dan Fadli sama anggukkan kepala dan masuk kamar, tidur memang termasuk pilihan yang paling tepat. Dhanil memang sangat capek, berdiri berjubel didepan papan pengumuman tadi menghadirkan rasa capek yang cukup besar bagi Dhanil, lututnya cukup goyang juga tadi. Ternyata tidak hanya Dhanil, Fadli juga mengalami hal yang nyaris sama, rasanya badan banyak penatnya, perasaan yang gundah karena tak lulus juga menambah nilai capek karena pikiran tak tenang. Hingga tak butuh waktu lama keduanya sudah lelap tidur disamping Baimil yang juga mengambil pilihan yang sama.

Pacaran Memang "Indah"

Dhanil dan Fadli kini sudah selesai OPSPEK, kini tak lagi harus dengan pakaian putih celana hitam menuju kampus, keputusan untuk menimba ilmu dikampus yang sama dengan Baimil sudah benar benar terwujud. Pernyataan pilihan juga terlaksana, Dhanil dan Fadli berada di Fakultas yang sama tapi beda jurusan, Dhanil ambil IPS sedang Fadli ambil Bahasa Indonesia, sedang Baimil sebelumnya memang sudah tercatat sebagai Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris.

“Satu ruang berapa orang Fad ?”.

“Banyak juga. Ada sekitar 40 juga. Kalian gimana ?”.

Dhanil anggukkan kepala. “Persis Fad. Sekitar begitu juga”.

“Lumayan juga kalo begitu”.

Dhanil kembali angguk kepala. “Memang kapasitas ruangnya segitu kok, jika nambah dari situ, repot juga”.

Fadli ikut angguk kepala. “Iya juga memang. Rasanya kalau aku yang ditanya, angka itu juga udah kebanyakan Dan”.

“Nggak begitu juga”.

“Maksudnya ?”.

“Kalo terlalu sedikit. Kampus yang bingung kan ?”.

Dhanil dan Fadli sama sama tertawa kecil. Jumlah mahasiswa yang lumayan membawa arti penting juga bagi Dhanil dan Fadli, kampus mereka yang lumayan besar juga membuat sensasi yang lain, terasa ada kenyamanan dan ketenangan.

Soal kost, selain Baimil, Dhanil dan Fadli juga satu kost dengan Irfan. Irfan yang lulus di IAINSU memilih kost bersama mereka atas saran orang kedua tuanya, walau jarak cukup jauh dari tempatnya kuliah, Irfan juga merasa itu bukan satu masalah memberatkan yang patut menjadi pertimbangan, ada hal yang paling penting dari sekedar jarak menuju kampus, itu bisa dijawab dengan banyaknya lalu lalang angkot yang bisa membawa Irfan menuju kampusnya, tak susah mencarinya, cukup hanya berdiri dipinggir jalan dan menyetop angkot yang nomornya sesuai. Setuasi yang paling penting lagi bagi Irfan tentunya, dimana ia bisa tetap dekat dengan sahabat

sahabatnya.

Ada banyak cerita kini yang bisa diukir. Ada banyak perbedaan antara menjadi siswa dan mahasiswa. Jika masih siswa dulu banyak menunggu apa yang disampaikan guru, sedang kini tidak bisa hanya berharap pada dosen, tapi juga harus mencari sendiri tambahan bahan yang membantu kelancaran perkuliahan. Khusus untuk Dhanil, setuasi

sekarang memang terasa jauh beda dan terasa jauh lebih rumit dari yang ia alami sebelumya. Jika dulu ia bisa bersandar pada ayah dan ibu angkatnya, bisa meminta tolong dan atau meminta uang untuk keperluan sekolahnya kini sama sekali tak bisa lagi, kini Dhanil hanya bisa bersandar pada dirinya sendiri. Untungnya, atas bantuan Baimil, Dhanil punya kegiatan yang menghasilkan uang yang lumayan. Mulai dari ngisi privat dari rumah kerumah hingga kegiatan lain yang berhubungan dengan dagang dan penjualan.

“Nggak kuliah Fad ?”.

Fadli menoleh dan gelengkan kepala. “Kuliah. Tapi nanti agak siang. Kami baru masuk pukul 10.00”.

Dhanil anggukkan kepala. “Kalo gitu aku duluan”.

“Ok... lanjut”.

“Nanti datang jam berapa ?”.

“Sekitar jam 09.30 lah”.

Fadli hanya anggukkan kepala dan sama sekali tak lagi melihat Dhanil yang beranjak pergi, Fadli lebih peduli kepada lontong kuah yang tersedia didepannya. Mata Fadli juga harus terbagi dengan siaran TV yang menyajikan berita pagi. Fadli juga berlaku sama saat Baimil dan Irfan mengajukan tanya yang sama seperti yang ditanyakan Dhanil tadi, juga tetap nyantai pada saat Irfan dan Baimil menghilang dibalik pintu. Fadli bahkan selesai sarapan memilih tiduran, bukan mandi.

Begitu perkuliahan selesai Dhanil langsung keluar, tak ada rencana Dhanil untuk pulang ke kost walai siang ini Dhanil tak ada kuliah lagi. Dhanil memilih duduk duduk sendirian di bangku semen yang memang banyak dihalaman kampusnya, mencoba menghubung hubungkan teori yang dibacanya dengan ungkapan ungkapan dosennya tadi. Walau tampak sedikit berbeda Dhanil melihatnya tampak sederhana, tapi Dhanil akhirnya mengambil stabilo dan menandai beberapa hal yang menurutnya cukup ganjil.

Dhanil terus membuka buka buku yang ada ditangannya, tapi sekarang Dhanil membacanya tidak begitu serius, hanya tampak membolak balik saja seakan mencari sesuatu yang terselip. Dhanil tersentak dan angkat kepala dan langsung tersenyum lebar, yang menyentuh bahunya adalah Yani.

“Siapa teman Yani kemari ?”.

"Sendiri Bang “.

“Ngapain ?”.

“Rindu”.

Dhanil agak batuk sedikit mendengar jawaban Yani, rindu. Padahal yang merasakan itu bukan hanya Yani kayaknya, tapi juga Dhanil. Seminggu tak bertemu memang membuat Dhanil lumayan rindu pada Yani, tapi sekarang justru Yani yang datang ke kampusnya, bukan Dhanil yang muncul di kampus Yani. Tapi itu mungkin agak masuk akal, karena Yani jika mau pulang dari kampus ke tempat tinggalnya sekarang dipastikan lewat dari depan kampus Dhanil, jadi bisa saja Yani singgah, hitung hitung estafet pertama.

 “Enak kuliahnya Dek ?”.

Yani tersenyum simpul. “Biasa aja. Tapi memang agak ribet Bang, agak pusing juga kadang kadang. Abang gimana ?”.

“Enak tak enak”.

“Maksudnya Bang ?”.

“Kalau saat enak ya enak. Kalo pas nggak enak kadang nggak enak”.

Dhanil dan Yani berbagi senyum. Ini kali pertama Yani singgah di kampus Dhanil dan kebetulan Yani dapat menemukan Dhanil dihalaman kampus. Dhanil berpikir seandainya tadi dia tidak disini, bagaimana Yani bisa menemukannya, karena Yani belum tahu dimana ruang kuliah Dhanil. Tapi apapun itu Dhanil cukup bahagia kini Yani ada disampingnya. Walau tadi pagi mereka masih berkomunikasi via telephon, tapi memang Dhanil dan Yani sudah beberapa hari tidak ketemu. Dhanil bukan tidak mau datang ketempat Yani, masalahnya Dhanil juga untuk saat ini belum paham betul jalanan Kota Medan, untuk saat ini Dhanil hanya tahu sedikit saja, yang betul betul hapal baru sampai Mesjid Raya Medan, untuk lebih jauh belum sama sekali.

Dhanil dan Yani kembali sama tertawa kecil walau sebenarnya kurang pasti apa yang membuat keduanya merasa lucu. Dhanil akhirnya menarik tangan Yani menuju kantin, itu mungkin lebih baik, Yani ikut saja. Tak banyak yang ngumpul dikantin, tak ada pula teman satu ruangan Dhanil sehingga tak ada satu orangpun yang Dhanil kenal dari beberapa orang yang ada disana. Dhanil dan Yani mengambil tempat agak sudut dan hanya memesan minuman biasa dan beberapa buah gorengan sebagai makanan tambahan siang ini.

Pacaran memang indah, paling tidak itulah yang dialami Dhanil dan Yani saat ini, ada banyak cerita yang muncul silih berganti dari keduanya, tak ada keluhan yang muncul dari keduanya, yang ada hanya ungkapan rasa kebahagiaan yang dipertegas oleh gelak tawa kecil dan senyum simpul yang manis manis.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!