Sejujurnya Fadli agak resah campur risih melihat tingkah laku Yani yang persis didepan matanya. Sambil duduk Yani terus mengamit tangan Dhanil dan menyandarkan kepalanya di bahu Dhanil, Fadli merasa Yani tak sebegitu perlu bermanja manja dikantin seperti ini, banyak orang dan hanya mereka bertiga yang saling kenal. Tapi Fadli bisa apa, tak mungkin ia mengeluarkan larangan atau semacamnya, sehingga Fadli hanya sebisa mungkin lebih sering mengalihkan pandangan kelokasi lain.
“Rencana kost dimana Bang ?”.
“Mungkin terus sama Bang Baimil di Gang Perhubungan, Yani dimana ?”.
“Yani di tempat sodara, di Jalan Balai Desa”.
Dhanil mengangguk. “Didaerah mana itu Yan ?”.
“Sudah dekat ke Amplas Bang”.
Dhanil sedikit agak berkerut keningnya. “Kan jauh kemari”.
“Nggak apa apalah”.
“Apa nggak capek ?”.
“Lihat nanti ajalah Bang”.
Fadli sebenarnya sudah mulai merasa tak sedap, hati Fadli main tak karuan dengan keadaan yang dihadapinya. Yani jelas tampak makin mempererat gamitan tangannya, kepalanya juga makin disandarkan kebahu Dhanil, dan Dhanil seakan menikmatinya dengan baik. Fadli merasa Yani dan Dhanil berada pada tempat yang salah untuk menunjukkan gaya manja manjaan, untungnya tidak banyak yang peduli dengan gaya keduanya, hanya Fadli saja yang merasa risih. Apalagi tampak Dhanil dan Yani saling mengumbar bisik seakan tak ada siapa siapa didepan mereka, sial bagi Fadli, semakin sering pun ia melempar pandangannya tetap saja pandangan Fadli kembali kepada gaya Dhanil dan Yani. Fadli agak lega saat Yani melepaskan gamitan tangannya dan meluruskan duduknya untuk mengambil HP dikantongnya yang berdering.
Fadli hanya mendengar selintas kalau yang menelphon Yani adalah Kakak Iparnya, dan juga tak tahu apa lagi karena pada jawaban kedua Yani dan Dhanil langsung beranjak keluar kantin. Fadli juga hanya memandangi dari jauh saat Yani masuk mobil dan Dhanil kembali kedalam kantin.
Dhanil buang nafas agak berat. “Kakak Ipar Yani itu sebenarnya cantik”. Dhanil bersungut sambil geleng kepala. “Tapi seram kalipun”.
Fadli mengangkat kepala menatap Dhanil. “Seram ?. Seram gimana Dan, udah macam hantu aja”.
“Seram. Matanya melotot ngeliat aku”. Dhanil masih terus menggerutu, tampak Dhanil sangat kesal.
“Molotot itukan biasa Dan. Sampai gimana memang ?”.
“Macam memandang pencuri aja”. Jawab Dhanil sambil memperagakan.
Fadli tertawa. “Ach.. perasaanmu aja kali Dan”.
“Serius. Aku gerah melihatnya”.
Fadli hanya tersenyum kecil, Fadli justru merasa Dhanil agak berlebihan, masa ada orang yang gayanya kayak begitu. Tapi itu sangat berbanding terbalik dengan apa yang ada dikepala Dhanil. Dhanil agak merasa aneh dengan cara kakak ipar Yani memandangnya. Tak ada sedikitpun aroma keramahan yang bisa ditunjukkan ibu muda itu, bahkan senyum yang dilontarkan Dhanil pun tak mau ia balas walau hanya nyinyir. Ibu muda itu tampak dengan jelas menunjukkan kesangaran dan ketidak senangan Dhanil berdiri disamping adik iparnya. Padahal jika ibu muda itu mampu menunjukkan sedikit saja keramahan, Dhanil yakin ibu muda itu akan tampak sangat cantik, aroma muka yang disodorkannya sangat tidak sesuai dengan jilbab yang ia pakai.
“Kalo dia tadi nggak pake jilbab nggak apa apa juga rasanya”.
Fadli mendehem. “Siapa Dan ?”.
“Itu tadi..”.
“Siapa ?”.
“Kakak ipar Yani”.
Fadli tertawa kecil. “Masih pikirkan itu juga ?”.
“Heran aja Fad”.
“Biasalah Dan. Kadang jilbab bukan petunjuk bersikap islami, jilbab bisa juga dijadikan mode, pake jilbab bukan berarti baik hati. Tapi tidak semua ya, jangan bilang itu trend”.
“Itu yang sering buat kecewa Fad”.
“Lantas. Apa gunanya kita kecewa. Apa itu bisa merubah keadaan”.
Dhanil menggeleng. “Mungkin Ya, mungkin tidak”.
“Nggak semudah itu. Kita pada dasarnya hanya bisa berharap. Tapi harapan tetaplah harapan, tak lantas bisa
diharapkan”.
Dhanil anggukkan kepala juga, seperti setuju dengan kata kata Fadli. Harus jujur memang, banyak orang yang menjadikan jilbab bukan sebuah kewajiban tapi tak lebih dari kebutuhan, yang lebih parah lagi jilbab lebih mengarah kepada kesesuaian mode. Dhanil beranggapan sedikit agak tegas, menurut Dhanil seharusnya, jika bisa memakai jilbab berarti bisa pula menunjukkan sikap yang betul betul agamis, punya tingkat keramahan setidaknya, mampu menunjukkan sikap sikap yang diwajibkan oleh agama, bisa menunjukkan sikap dengan budi pekerti yang baik dari kebanyakan. Tapi Dhanil juga paham bahwa bukan berarti pula orang yang tak pakai jilbab tak bisa bersikap lebih baik, akhirnya tetap kembali kepada sikap asli seseorang, bagaimana ia melihat dan menjalankan hidup. Intinya, sikap seseorang tidak lantas bisa dikukur dengan hanya melihat gayanya berpakaian.
“Cabut Dan ...”.
Dhanil langsung berdiri. “Ayo”.
Dhanil hanya memandangi Fadli yang bayar apa yang tadi mereka pesan dan kemudian melangkah keluar berbarengan dengan Fadli, untung ada angkot yang kebetulan berhenti turunkan penumpang. Dhanil dan Fadli naik dan sudaco melaju lagi.
“Masih ingat simpangnya Dan..”.
Dhanil tertawa kecil. “Mudah mudahan masih”.
“Jangan sampe lewat ya. Aku udah rada rada lupa”.
Dhanil kembali tertawa kecil. “Paling lewat nanti”.
Dhanil dan Fadli akhirnya sama sama tertawa. Ini merupakan perjalanan ketiga mereka di Kota Metropolitan Medan dengan angkot. Pertama dulu waktu mendaftar, kedua waktu ujian. Tapi keduanya ditemani oleh Baimil sehingga baik Dhanil maupun Fadli tak begitu peduli turun dan naik dimana karena sepenuhnya urusan Baimil. Sangat berbeda dengan perjalanan kali ini, Dhanil dan Fadli tanpa Baimil. Waktu berangkat tadi sudah lumayan sukses walau masih salah turun, tidak digerbang utama. Tak mengapa memang, Cuma jalan kakinya makin jauh dikit.
Dikost Dhanil dan Fadli disambut oleh Baimil dengan senyuman yang cukup lebar. Hari ini Baimil agak cepat pulang karena di kampus masih sibuk dengan agenda penerimaan mahasiswa baru.
“Gimana ?”.
“Hancur lebur Bang”. Fadli yang menjawab.
“Sama ?”.
Dhanil anggukkan kepala. Baimil hanya tersenyum saja dan memberikan nasehat yang ia bisa, Baimil beranggapan kalau itu semua biasa saja, bukan satu hal yang luar biasa. Lagi pula perguruan tinggi swasta yang banyak di Kota Medan ini juga banyak yang bagus bagus. Baimil langsung mendukung pendapat Dhanil kalau mereka akan kuliah satu kampus dengan Baimil.
“Okey. Besok pagi aja kita kesana”. Baimil berdiri menuju dapur dan kembali lagi dengan segelas air putih. “Mau ambil jurusan apa ?”.
Dhanil dan Fadli saling pandang. Sejujurnya memang, Dhanil maupun Fadli belum kepikir kesana, baik Dhanil maupun Fadli belum punya kesimpulan yang final soal itu, soal jurusan apa yang akan diambil dalam melanjutkan sekolah saat ini sehingga pertanyaan Baimil justru membuat mereka malah saling pandang, bukan menjawab.
“Abang jurusan apa ?”. Fadli yang bertanya.
“Kalo abang ambil FKIP jurusan Bahasa Inggris”.
“Guru Bang ?”.
Baimil anggukkan kepala. Dhanil dan Fadli kembali saling pandang, dhanil yang merasa ada baiknya ikut dengan
Baimil mencoba jadi guru, dan ternyata Fadli punya pikiran yang sama walau waktu UMPTN kemarin Dhanil ambil Fakultas Ekonomi dan Sastra Bahasa Indonesia sebagai pilihan yang jelas jelas tak ada hubungannya dengan guru dan keguruan, Fadli setali tiga uang, waktu itu Fadli ambil Tekhnik Mesin dan Tekhnik Sipil. Apakah yang akan diambil masih sama ?. pertanyaan itu terus melingkari otak Dhanil dan Fadli.
“Menurut abang yang bagus mana Bang ?”. Dhanil merasa perlu minta pendapat Baimil.
“Kok malah nanya Abang”.
Dhanil tersenyum kecil. “Iya, apa salahnya Bang ?”.
Baimil ikut tersenyum dan menjelaskan kenapa ia memilih FKIP, apa yang menjadi alasan besar Baimil mengambil langkah menempuh pendidikan keguruan, itu bukan pilihan yang berdasarkan rasa ikut ikutan, tapi memang sudah niatan Baimi sejak dari masa SMP. Baimil menjelaskan cukup detail, mulai dari proses perkuliahan hingga keadaan yang diharapkan kelak setelah lulus. Tampaknya Dhanil dan Fadli cukup menerima konsep konsep yang dikemukakan Baimil.
“Saya kalo gitu mau ambil Bahasa Indonesia aja Bang”. Kata Fadli tampak cukup semangat. “Jadi guru kayaknya enak juga”.
Baimil tersenyum. “Jangan kayaknya aja Fad. Istilah sekarang, Jadilah Guru, bukan Guru pun Jadilah”.
Fadli geleng kepala. “Aku serius kok Bang”.
Baimil senyum tipis aja. “Dhanil gimana ?”.
Dhanil anggukkan kepala. “Aku juga mau ke FKIP aja Bang, aku mau ambil IPS aja Bang, nampaknya itu cukup menantang”.
Baimil tampak cukup buas, karena tampak cukup sering mengangguk anggukkan kepalanya. Fadli dan Dhanil juga sepertinya merasa kalau apa yang mereka pilih hari ini adalah pilihan yang paling tepat. Pilihan yang tidak akan salah. Banyak yang positif yang bisa diambil dengan menentukan pilihan sebagai calon seorang guru. Baik Dhanil maupun Fadli membayangkan para guru mereka sejak SD hingga SMA, semuanya tampak bahagia dalam menjalankan hidupnya walau terkesan cukup sederhana.
“Kalau mau kaya. Jadi pengusaha aja”.
Dhanil dan Fadli sama memandang Baimil. “Kaya itu relatif kan Bang ?. tidak harus pengusaha juga”. Dhanil yang ngomong.
“Petani juga banyak yang kaya Bang”. Sambung Fadli.
Baimil anggukkan kepala. “Okelah. Kalo memang itu keputusannya. Besok kita sama kesana, sekarang tidur aja dulu. Capek”.
“Okey Bang”.
Dhanil dan Fadli sama anggukkan kepala dan masuk kamar, tidur memang termasuk pilihan yang paling tepat. Dhanil memang sangat capek, berdiri berjubel didepan papan pengumuman tadi menghadirkan rasa capek yang cukup besar bagi Dhanil, lututnya cukup goyang juga tadi. Ternyata tidak hanya Dhanil, Fadli juga mengalami hal yang nyaris sama, rasanya badan banyak penatnya, perasaan yang gundah karena tak lulus juga menambah nilai capek karena pikiran tak tenang. Hingga tak butuh waktu lama keduanya sudah lelap tidur disamping Baimil yang juga mengambil pilihan yang sama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
Fira Ummu Arfi
baguss tu jadi guru, mencerdaskan anak bangsa 💃💃💃💃💃
salam ASIYAH AKHIR ZAMAN, jgn lp feedback
2021-03-16
1