Seusai menghadapi 3 mata pelajaran yang membosankan, akhirnya suara yang ditunggu-tunggu oleh seisi Evergreen International School pun berbunyi.
Kring kring
"Kantin, skuy," ajak Claretta sambil berdiri dari kursinya. Lalu dia meregangkan otot-otot badannya, seperti sudah bertahun-tahun tidak berdiri.
"Gue di kelas aja," jawab singkat Laura membuat ketiga temannya menoleh.
"Lo kenapa sih hari ini! Gue ga suka kalo lo lagi badmood gini. Ga jelas sumpah!" Claretta memang selalu marah kalau temannya bersikap beda dari biasanya. Jadi sudah tidak heran mendengar perkataannya.
"Hmm, gc nih.. mau kantin ga? Kalo enggak, gue mau ke ayang bebeb," respon Nadine sambil senyum-senyum gak jelas.
"Gue baca buku dulu lah. Lama," dumel Kaila. Dia mengambil novelnya dari kolong meja, lalu membuka, mencari pembatas bukunya untuk melanjutkan baca yang sempat tertunda.
Laura masih terdiam di tempat. Hari ini sangat menyebalkan. Tidak ada alasan untuk bersemangat.
Claretta yang sudah kesal, akhirnya dia berjalan menuju kantin. Dan diikuti oleh Nadine dan Kaila. Tidak dengan Laura yang masih duduk di kursi tempat duduknya.
"Ehem," deham seseorang membuat Laura sadar dari lamunannya.
Laura menoleh ke asal suara itu, tanpa merespon balik.
"Ga kantin?" tanya Nathan yang baru saja duduk disebelah Laura.
Mata Laura melotot. Dia menegakkan tubuhnya. "Ngapain lo?!"
"Sans, kayak mau diapain aja lo," ucap Nathan sambil mengalihkan pandangannya ke jendela sebelah tempat duduk Laura.
Posisi tempat duduk Laura sangat beruntung. Dia bisa melihat pemandangan kota Jakarta dari sana. Hampir setiap proses pelajaran, Laura pasti memandangi jalanan dibawah.
Laura tidak merespon cowo disebelahnya. Moodnya sedang tidak bagus. Padahal biasanya kalau ada cowo yang mendekatinya, pasti akan direspon. Eh, tunggu. Emang Nathan mau deketin dia?
"Nama lo siapa?" Lagi-lagi Nathan mencari topik agar bisa berbicara dengan cewe itu.
Laura menatap Nathan dengan sinis. "Siapa? Gue?"
"Menurut lo aja gimana."
"Panggil Ara aja," jawab singkat Laura, lalu dia mengalihkan pandangannya ke jendela.
"Gue nanya nama lo, bukan nama panggilan lo." Nathan mulai kesal. Ternyata, mengajak Laura ngobrol adalah salah satu hal yang sulit untuk dilakukan.
"Laura Agatha Veronica." Laura sama sekali tidak menoleh ke arah Nathan. Dia masih fokus melihat jalanan yang macet.
Nathan tersenyum tipis. Lalu dia berdiri dan pergi meninggalkan Laura tanpa berbicara apa pun.
"Freak banget, ****," gerutu Laura. Dia menaruh kembali kepalanya ke atas meja.
*
Tanya hati-pasto, menemani Laura dalam perjalanan. Mini Cooper miliknya terhenti didepan Starbucks yang jaraknya tidak jauh dari sekolahnya.
Wangi kopi-kopian membuat Laura mengembangkan sedikit senyumnya. Sudah beberapa minggu, dia tidak kesini.
"Mas, caramel frappuccino satu ya," ucap Laura sambil menarik uang dari dompetnya.
"Itu saja?"
Laura mengangguk, lalu memberikan selembar uang berwarna pink. Setelah menerima kembalian, dia menggeserkan tubuhnya, menunggu sampai minumannya jadi.
Setelah memasukkan sedotannya, dia menyeruput minuman itu. Rasanya masih sama. Dia tidak pernah bosan memesan caramel frappuccino dari 4 tahun yang lalu. Tiba-tiba, terlintas kenangan dulu.
Flashback on.
"Kamu gak suka kopi?" tanya Anto, seorang ayah yang terlihat masih gagah.
Anak kecil yang berusia 12 tahun, menggelengkan kepalanya. "Gak suka, pa. Pahit, huek!"
"Ada kopi yang enak loh.. mau coba gak?" tanya Anto dengan semangat. Dia menggandeng tangan anaknya menuju ke arah Starbucks.
"Boleh. Tapii.. kalo aku gak suka, papa yang abisin ya." Laura terkekeh sambil menggaruk lehernya yang tidak terasa gatal.
Anto tertawa kecil. Dia yakin, setelah membawa anaknya ke Starbucks, pasti anak itu akan menyukai kopi. Pasti.
Flashback off.
Senyuman tipis terlihat di wajah Laura. Dia masih mengingat kenangan itu. Laura mengaduk-aduk minumannya dengan sedotannya. Rasanya masih sulit untuk menerima kenyataan ini.
Karena waktu sudah menunjukkan pukul 17:08, Laura memutuskan untuk pulang.
Dert dert
Pandangannya masih fokus ke arah jalanan didepannya. Tangan kirinya meraih ponsel yang ada didalam tasnya.
"Ara, maaf ya tadi gue marah-marah," ucap seorang cewe dari seb'rang sana.
"Iya. Tadi gue lagi gak mood banget."
"Nanti malem ikut gue yuk.."
"Ke?"
"Club. Mau gak? Lagi jomlo kan?" Claretta terkekeh.
"Boleh.. sama siapa aja?" Laura mengembangkan sedikit senyumnya. Siapa tau abis ini dia ketemu sama cowo, terus bisa pacaran kan?
"Nanti gue ajak Nadine sama Kaila."
"Kaila? Gila ya lo. Kasihan, dia masih alim." Laura terkekeh sambil fokus mengendarai mobilnya.
"Gapapa udah.. sekali-sekali."
"Yauda. Nanti kabarin aja ya. Bye."
Tut tut
*
Langkah kaki Laura kini terhenti karena seorang cewe menatapnya tajam. Sudah menjadi santapan sehari-hari untuk menghadapi kakak tirinya yang selalu berbuat seenaknya.
"Nanti malem gue pinjem mobil lo," ucap Olin dengan kedua tangan yang dilipat didepan dadanya. Olin tidak pernah menganggap Laura sebagai adiknya. Sampai kapan pun tidak akan. Dia seperti ini, karena ada alasan yang tidak bisa dijelaskan.
"Gabisa. Nanti gue pake. Ada janji sama temen," jawab Laura yang hanya menoleh sekilas, dan melanjutkan langkahnya ke kamar.
Dengan cepat, olin melangkahkan kakinya untuk meraih tangan Laura. "Gue bilang gue mau pake! Ga usah ngebantah kek!"
Mendengar teriakan Olin, membuat Alma menghampiri mereka. Alma adalah ibu kandungnya Laura. Setiap melihat wajah Alma, Laura selalu merasa kecewa. Bagaimana bisa ibunya menikah dengan orang lain setelah ayahnya meninggal?
"Ada apa? Jangan ribut dong," reda Alma sambil berdiri diantara keduanya.
"Aku mau pinjem mobil Laura, ma. Tapi, Laura malah bentak-bentak aku," ujar Olin dengan nada manjanya. Seakan-akan Laura yang membentaknya tadi. Padahal, sebaliknya.
"E-enggak. Aku gak bentak dia ma-"
"Laura, ngalah dong sama kakak."
Gak salah? Ngalah sama kakak? Dimana-mana kakak yang ngalah sama adiknya. Itu lah yang dipikiran Laura sekarang.
"Tapi, aku nanti mau pergi, ma. Udah janji sama temen," kata Laura sambil memohon agar Alma bisa mengerti.
Olin menarik-narik tangan milik Alma. Seperti anak kecil yang ingin meminta sesuatu. "Ma.. aku kan belom pernah pake mobil Laura. Aku mau nyoba."
Alma menghela nafasnya. "Ara, kamu ngalah ya. Kamu pake mobil papa aja."
Rasa kecewa terlintas lagi dipikiran Laura. Belakangan ini, Alma selalu membela anak tirinya itu.
"Yauda, ma." Laura langsung saja membalikkan tubuhnya. Dia berjalan menuju kamarnya dengan wajah yang sedih.
Tas sekolahnya dilempar begitu saja ke atas kasurnya. Dia memilih untuk ke balkon kamarnya sebentar. Menikmati pemandangan sore menjelang malam.
"Seandainya masih ada papa, mungkin aku gak bakal kesepian."
*
Laura melihat dirinya di cermin. Malam itu dia memakai dress diatas lutut berwarna hitam. Tidak lupa, dia menyemportkan parfumnya. Setelahnya, dia memakai sepatu heels berwarna senada dengan dressnya.
Laura mengurungkan niatnya untuk membawa mobil papa tirinya. Lebih baik kalau dia minta temannya saja yang menjemput.
Mygirls🤙🏻
Claretta : Ara, gw ud didpn rmh lo.
Setelah melihat pesan dari temannya, Laura bergegas menuruni anak tangga rumahnya, menghampiri temannya dihalaman depan rumahnya.
"Ma, pa, aku pergi ya," pamit Laura yang melihat ke arah Alma dan Arief bergantian.
"Iya. Hati-hati, nak."
Sejujurnya, ada rasa sedih didalam hati Laura. Kenapa mereka gak nanyain kemana dia pergi? Dengan siapa dia pergi? Sama sekali gak nanyain. Apa mereka gak peduli?
"Kaila mana?" tanya Laura yang menyadari kalau tidak ada Kaila didalam mobil temannya.
"Dia gak ikut. Mana mau dia," respon Nadine sambil terkekeh.
Laura ikut terkekeh. "Iya sih. Yauda ayuk, otw."
Terimakasih yang udah baca❣️
Ditunggu episode berikutnya.
Jangan lupa like dan komen.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
hany
jejak dulu..
2020-05-28
1