Menggapai Cinta Humaira
..."Layaknya tetesan hujan yang jatuh ke bumi yang tidak pernah memilih dimana dan bagaimana ia terjatuh....
...Seperti itu pulalah rasanya cinta dan suka yang tak pernah merencanakan bagaimana dan kepada siapa dia akan berlabuh."...
...[Faizan Sai'dan Manaf]...
Semilir angin kian terasa membelai pipi. Perlahan namun pasti matahari mulai kembali ke peraduannya. Tanpa bosan gadis itu akan selalu menikmati keindahan pesona senja dimana pun kakinya berpijak. Seperti halnya saat ini, ia akan selalu menunggu kilau eksotis yang akan disajikan senja di retinanya.
Khalisa Humaira Husaini, seorang gadis berhijab yang memiliki paras cantik dengan kulit putih bersih, hidung mancung dan bibir merah delima yang selalu merekah bila tersenyum. Gadis yang sudah begitu candu dengan kilaunya senja sejak kecil.
"Maira! Mau sampai kapan kamu duduk di luar? Udah mau masuk waktu magrib loh, Nak!" Wanita yang sudah berumur lebih dari setengah abad itu berteriak dengan keras dari dalam rumah.
"Maaf, Bun. Ini juga Maira mau masuk ke dalam, kok." Cengiran khasnya ia sunggingkan dengan sempurna, berharap agar wanita itu tak lagi mengomelinya.
"Kamu ini kebiasaan tau gak. Pulang kerja bukannya langsung istirahat tapi malah asik nungguin matahari sampai gelap gini," omel wanita itu dengan terus menggelengkan kepalanya.
"Senja itu spesial Bundaku. Ya, udah Maira naik ke atas dulu ya, Bun." Maira mencium pipi wanita itu sekilas dan segera menaiki anak tangga untuk menuju kamarnya.
Setelah melarikan diri dari omelan wanita paruh baya itu, Humaira langsung bergegas membersihkan diri. Sebentar lagi adzan magrib akan berkumandang. Seakan tak merasa lelah pada tubuhnya, setelah selesai dengan rutinitas bersih-bersihnya, ia langsung bersiap untuk menunaikan kewajibannya kepada sang khaliq.
Menurutnya salat bukan hanya sekedar melunasi kewajiban seorang hamba kepada Rabb-nya. Namun, suatu kebutuhan yang jaga harus terus diberikan untuk asupan rohani seseorang. Ia tidak akan menyia-nyiakan waktu dimana Asty Allah tengah terbuka lebar untuk menyambut permohonan hambaNya.
"Maira. Udah selesai salatnya, Nak?” panggil ayah Humaira dengan suara lembutnya di balik pintu kamar Humaira yang masih tertutup rapat.
“Iya, Yah. Bentar, ini Maira baru aja selesai.” Maira menjawab panggilan Ayahnya dan langsung bergegas membuka pintu kamarnya.
“Kalau udah selesai langsung ke bawah, ya. Kita makan malam bareng, sekalian sama kakak kamu juga lagi ada di bawah,” ucap laki-laki itu dengan senyum yang memancarkan kasih sayang kepada anak bungsunya itu.
“Siap, Yah. Maira siap-siap dulu.”
Dengan setelan gamis berwarna biru muda yang dipadukan dengan khimar senada, Humaira mulai menuruni anak tangga. Sepasang retina menatapnya begitu tajam saat ia baru saja menuruni setengah dari anak tangga yang ada. Suasana terasa begitu canggung dengan tatapan yang terus menatapnya dengan tak suka.
“Ngapain masih disitu sih, Nak?” tanya Halimah dengan lembut saat mendapati anaknya itu masih diam mematung di anak tangga terakhir.
“Aa—gak ada apa-apa kok, Bun,” jawabnya asal saat sadar dari lamunannya.
“Udah, sini kita makan dulu. Ayah udah laper banget ini.” Sambung Husain--sang Ayah mencoba mencairkan suasana.
Setelah semuanya duduk di ruang makan, keheningan menyeruak dengan sendirinya. Hanaya suara dentingan sendok dan piring lah menjadi pengisi suara di ruangan itu.
"Alhamdulillah, Kenyang. Jadi besok lusa berangkat ke Medannya, Dek?" kali ini Rayyan lah yang bertanya kepada Humaira.
Rayyan merupakan kakak laki-laki Humaira. Perawakannya yang berkarisma seakan menduplikat ketampanan Ayah mereka saat muda. Ia begitu menyayangi Humaira dan ialah yang akan selalu menjadi tempat berkeluh kesah Humaira selain Bunda mereka.
"Insyaallah. Jadi, Bang," jawab Humaira dengan anggukan sembari menelan kunyahan terakhirnya.
"Gak capek apa, Dek. Harus bolak-balik?" tanyanya kembali.
"Ya mau gimana lagi, Bang. Udah kerjaannya Maira begitu. Gak mungkinkan cabang yang di sana gak Maira kontrol."
"Tapi jangan lupa kesehatan kamu juga penting, Dek," timpal Bunda mereka sambil beranjak dari kursi makannya.
"Udahlah, Bun. Lagian dia udah besar juga. Alasannya aja cabang yang di sana perlu di kontrol, mau dibilangin juga susah. Memang dasarnya aja cewek kegatelan," cibir Amira sambil melemparkan tatapan tak sukanya kepada Maira.
"Omongan kamu itu, Ra!" segah Husain yang tak suka bila anak bungsunya dikatai yang tidak baik-baik.
"Lah memang kenyataannya gitukan, Yah?" selanya tak ingin kalah.
"Kak Amira kenapa, sih? Masih dendam karana Bang Atha gak jadi nikahin kakak waktu itu? Udahlah, Kak. Kurang baik apa lagi Bang Arsyad, Hah? Lagian masalah Bang Atha bukan sepenuhnya kesalahan Maira," seru Rayyan menaikkan suaranya satu oktaf.
"Berani ya kamu ngebentak kakak kamu! Bukan salah dia kamu bilang, Ray? Jelas-jelas dia yang keganjenan ngegodain Mas Atha sampai-sampai Mas Atha suka sama dia dan ninggalin aku." Keheningan yang tadi menyelimuti saat makan malam kini telah lenyap dengan teriakan dan makian yang menyesakkan.
Perlahan pandangan Humaira mulai mengabur karena kabut kesedihan telah menutupinya dengan pilu. Kebencian yang sudah tersulut sejak satu tahun terakhir kian membara dengan hadirnya percikan api kecil yang kembali menyalakannya.
"Udah cukup! Kalian gak perlu lagi kelahi gara-gara Maira. Demi Allah, Kak, Maira sama sekali gak pernah menggoda Bang Atha." Akhirnya air mata yang ia tahan sejak tadi tidak lagi dapat dibendung olehnya.
Dengan langkah cepat Humaira berlalu meninggalkan mereka yang masih mematung mendengar suaranya yang meninggi. Sesak--itu yang kini tengah ia rasakan. Kebencian itu seakan tak pernah redup dari hatinya.
Sepanjang malam ia tak bisa memejamkan matanya dengan sempurna. Bayang-bayang tatapan benci itu terus saja menghantuinya. Hingga pada akhirnya semua itu berdampak pada keadaannya pagi ini. Kepalanya begitu pusing, namun ia tetap memaksakan untuk menjalankan semua aktifitasnya seperti biasa.
"Assalamualaikum. Pagi, Bun, Yah, Bang." Sapa nya saat mendapati keluarganya sudah berkumpul di ruang makan.
"Waalaikumsalam. Pagi, Sayang," jawab Husain dengan senyum hangat miliknya.
"Masalah tadi malam jangan dipikirin ya, Nak," ucap Bunda Humaira mencoba menenangkan Humaira yang terlihat gusar dengan senyum yang dipaksakan.
"Gak papa kok, Bun," balas Humaira dengan menyunggingkan senyum sumbang dari sudut bibirnya.
"Nanti Abang yang anterin ke bandara ya, Dek?" pinta Rayyan saat Humaira sudah duduk di sampingnya.
"Emang Abang gak sibuk?"
"Buat kamu apa pun Abang lakuin," jawabnya sambil kebanggaan diri.
"Uuu, baiknyaa. Makin sayang, deh," balas Humaira dengan bergelayut manja di lengan Rayyan.
"Kak Amira mana, Bun?" tanya Humaira yang tak melihat Amita.
Meski tak lagi pernah akur dengan sang kakak, rasa sayang dan peduli Humaira tidak pernah berkurang untuk wanita itu. Baginya wanita itu tetaplah kakak perempuan yang selalu menyayanginya sejak kecil. Tidak ada alasan baginya untuk ikut membenci Amira, meski wanita itu kini begitu membenci dan menaruh dendam padanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
oinichannz
onichann
2021-05-29
1
Zulham Ardiansyah
oh ini
2021-04-17
0
Bambang Setyo
Mampir thor
2021-04-15
1